Rabu, 03 September 2025

Bahaya Komunisme bagi Demokrasi Indonesia (3)

Ada anekdot klasik yang sering dipakai buat ngejelasin beda Sosialisme sama Komunisme. Bayangin ada petani punya dua sapi. Kalau Sosialisme, pemerintah bakal ambil satu sapi, sisanya dibiarin ke petani, lalu dijanjiin kalau semua warga desa bakal kebagian susu. Kalau Komunisme, pemerintah bakalan ngambil dua-duanya, terus bilang ke petani kalau doski bakal dapet susu lagi kalau negara berbaik hati ngasih—itu pun kalo masih ada. Lucunya, cerita ini sengaja dibikin simpel: sosialisme digambarin masih ada usaha adil tapi tetep ngasih ruang buat punya sendiri, sedangkan Komunisme dipelesetin jadi sistem yang bikin kepemilikan pribadi lenyap total dan sering gak bisa balikin manfaat secara merata. Memang berlebihan sih, tapi cerita kayak gini jadi cara orang biasa memahami ideologi politik yang ribet lewat contoh sehari-hari.

Nah, kalau dibawa ke zaman now, bayanginnya gampang lewat Netflix. Dalam sosialisme, loe punya akun Netflix, terus pemerintah bilang: “Eh, bagi dong passwordnya ama tetangga loe, biar semua orang bisa nonton.” Loe tetep punya akun, tetep bisa maraton drama Korea atau anime, tapi ada rasa adil juga buat orang lain di sekitar. Sedangkan dalam komunisme, akun Netflix loe diambil alih negara, dijadiin satu akun gede buat semua warga, terus pemerintah ngumumin: “Semua boleh nonton!” Tapi ya gitu, jadwal nontonnya diatur negara, dan kadang pas lagi tegang-tegangnya nonton ending drama, eh internetnya mati. Analogi kocak ini nunjukin kalo sosialisme masih ngasih ruang buat punya sendiri meski berbagi, sedangkan komunisme digambarin total kontrol, dimana pilihan pribadi hilang ditelan sistem kolektif.
Kalo dibikin analogi makanan delivery, makin gampang kebayang. Misalnya loe pesen pizza lewat aplikasi. Dalam sosialisme, pemerintah bilang: “Satu potong ya buat tetangga yang kagak bisa pesen.” Loe tetep makan sebagian besar pizza loe, tapi tetangga juga kecipratan. Jadi masih adil tapi kagak ngehapus pesenan loe sepenuhnya. Sedangkan dalam komunisme, pizza loe dicegat dulu ama pemerintah, trus dikumpulin ke panci gede bareng pesenan orang lain, terus dibagi-bagi sesuai versi adil ala negara. Hasilnya? Bisa jadi loe dapet sepotong pizza, setengah burger, ama mie goreng yang loe kagak pernah pesen, dan nungguinnya lama banget. Analogi ini nyindir kalau sosialisme masih ngasih ruang buat loe nikmatin apa yang loe pesen sambil berbagi, sedangkan komunisme nelen semua pesenan pribadi demi sistem bagi rata.

Sekarang bayangin pakai ojek online, biar lebih relate sama keseharian. Dalam sosialisme, loe pesen ojek, terus pemerintah bilang: “Oke, low tetep jalan, tapi drivernya kudu sekalian ngangkut penumpang lain yang searah biar lebih adil.” Loe tetep sampai tujuan, cuma ya mesti berbagi kursi, tapi idenya semua orang bisa kecipratan manfaat. Sedangkan dalam komunisme, konsep pesen pribadi dihapus total. Semua ojek digabung jadi layanan tunggal milik negara. Loe kudu ngantri bareng orang banyak, dan pas giliran loe, sistem negara yang nentuin mau ke mana, bukan sesuai tujuan loe. Lucunya, ini ngegambarin kalau sosialisme masih ngasih loe perjalanan tapi dengan berbagi, sedangkan komunisme bikin pilihan pribadi loe lenyap demi kontrol kolektif.

Gini aja gampangnya: bedain sosialisme ama komunisme bisa lewat hal-hal receh sehari-hari. Kalau pakai sapi, sosialisme artinya satu sapi loe diambil negara, tapi yang satu lagi masih punya loe, biar susu bisa dibagi ke semua. Kalau komunisme, dua-duanya diambil, terus loe dijanjiin susu nanti—itu pun kalo masih ada sisa. Kalau Netflix, sosialisme bikin loe berbagi password ama tetangga, sedangkan komunisme ngehapus akun loe, gantiin sama akun negara yang lemot banget, pas klimaks malah buffering. Kalau makanan delivery, sosialisme bikin loe masih nikmatin pizza tapi kudu berbagi sepotong, sementara komunisme nyampurin pizza, burger, sama mie ke panci gede, lalu loe kebagian random. Kalau ojek online, sosialisme bikin loe tetep jalan tapi harus boncengan sama orang lain, sedangkan komunisme nge-cancel pesenan loe dan nentuin tujuan berdasarkan antrian negara. Semua cerita kocak ini nunjukin garis besar yang sama: sosialisme masih kasih ruang buat pribadi meski harus berbagi, tapi komunisme dibayangin jadi dunia kolektif total dimana individu sering lenyap.

Sosialisme dan komunisme sering dianggap mirip, tapi sebenernya punya level dan filosofi yang beda. Sosialisme itu lebih kayak sistem ekonomi-politik yang pengen ngurangin jurang antara si kaya dan si miskin dengan bikin industri penting dan sumber daya dikelola negara atau masyarakat. Tapi, masih ada ruang buat usaha pribadi dan partisipasi demokratis. Jadi, agak soft lah, nggak langsung ngehapus kepemilikan pribadi. Komunisme beda lagi: ini visi ideologis yang lebih ekstrem, dimana kelas sosial udah nggak ada, kepemilikan pribadi dihapus, semua sumber daya dipakai bareng, dan akhirnya negara pun hilang biar tercipta masyarakat tanpa kelas. Dari sisi sejarah, sosialisme duluan muncul sekitar abad ke-19 sebagai reaksi atas kapitalisme industri yang kejam. Baru setelah itu komunisme muncul lewat pemikiran Marx dan Engels yang lebih revolusioner, kayak upgrade versi ekstrimnya sosialisme.

Dalam praktiknya, sosialisme punya banyak wajah. Di Skandinavia, kayak Swedia, Norwegia, dan Denmark, sosialisme diwujudkan lewat negara kesejahteraan: sekolah gratis, kesehatan ditanggung negara, jaminan sosial aman, tapi bisnis swasta tetep jalan bareng kapitalisme yang dikontrol. Ini sering disebut demokratis sosialisme, semacam mix antara kebebasan pasar dan keadilan sosial. Komunisme beda cerita: contohnya Uni Soviet dulu, China di zaman Mao, atau Kuba di era Fidel Castro. Negara ngambil alih hampir semua sektor ekonomi dan politik, dengan niat biar nggak ada lagi kelas kaya dan miskin. Tapi realitanya, sistem komunis sering jatuh ke otoritarianisme, bikin warganya hidup dalam kekurangan dan tekanan, jauh banget dari cita-cita indah yang dibayangin.

Di abad ke-21 ini, sosialisme dan komunisme udah nggak lagi dilihat dengan kacamata perang dingin kayak dulu. Sosialisme sekarang lebih dianggap sebagai upaya realistis buat ngejaga keseimbangan antara pasar bebas sama proteksi sosial. Bentuk nyatanya bisa negara kesejahteraan, layanan kesehatan gratis, atau kuliah tanpa biaya, dan makin dilirik lagi gara-gara ketimpangan ekonomi parah plus krisis lingkungan. Buat generasi muda, sosialisme bukan soal negara ngatur segalanya, tapi soal jaminan hidup yang manusiawi di dunia dimana ada miliarder superkaya berdampingan sama orang yang gak bisa makan. Komunisme, sebaliknya, sering dipandang lebih skeptis. Setelah Uni Soviet bubar dan China berubah jadi campuran komunis–kapitalis, banyak orang nganggep sistem ini nggak jalan dan gampang banget jatuh ke otoritarianisme. Tapi, idealismenya—kayak kesetaraan radikal dan penolakan terhadap eksploitasi—masih jadi inspirasi buat sebagian aktivis yang muak sama kapitalisme global. Singkatnya, sosialisme sekarang udah di-upgrade jadi lebih mainstream, sedangkan komunisme lebih sering hidup sebagai simbol semangat revolusi ketimbang model nyata buat pemerintahan zaman sekarang.

Di abad ke-21, ada beberapa tokoh dan gerakan yang identik banget sama “sosialisme modern” alias democratic socialism. Di Amerika Serikat, Bernie Sanders dan Alexandria Ocasio-Cortez bikin istilah itu balik jadi topik panas, dengan agenda kayak layanan kesehatan gratis buat semua, kuliah tanpa biaya, dan perlindungan lebih kuat buat buruh. Di Inggris, Jeremy Corbyn sempat nge-boost sayap kiri Partai Buruh dengan ide kepemilikan publik dan redistribusi kekayaan, walaupun pengaruhnya sekarang udah agak redup. Di Amerika Latin, ada Evo Morales di Bolivia dan mendiang Hugo Chávez di Venezuela yang ngenalin “sosialisme abad ke-21,” kombinasi program kesejahteraan sosial plus kontrol negara atas sumber daya alam. Sementara itu, negara Skandinavia kayak Denmark, Swedia, dan Norwegia tetap jadi contoh versi sosialisme yang lebih kalem dan realistis lewat welfare state mereka yang terkenal sukses nggabungin kemakmuran sama kesetaraan. Dari sini kelihatan kalau sosialisme sekarang bentuknya macem-macem, tapi tetep relevan banget di panggung politik global—beda sama komunisme yang lebih banyak tinggal sebagai simbol.

Komunisme di abad ke-21 udah jarang banget jadi sistem pemerintahan murni, tapi masih hidup sebagai ingatan sejarah sekaligus simbol budaya. Di politik, memang masih ada partai komunis resmi kayak di China, Vietnam, atau Kuba, tapi sistem mereka sekarang hybrid, campuran kontrol negara plus pasar bebas. Di luar ranah politik formal, komunisme sering nongol sebagai inspirasi buat gerakan aktivis yang nentang kapitalisme global, kerusakan iklim, atau ketimpangan ekstrem. Banyak demonstran bawa bendera merah atau gambar Che Guevara, bukan karena pengen Uni Soviet balik lagi, tapi karena bahasa revolusi dan kesetaraan radikal ala komunisme masih nyambung banget sama perasaan mereka. Di budaya pop, palu-arit lebih sering dipakai sebagai ikon pemberontakan ketimbang blueprint pemerintahan—bisa muncul di kaos, mural, sampai video musik. Jadi, komunisme hari ini lebih hidup sebagai imajinasi radikal ketimbang peta jalan praktis, semacam pengingat kalau dunia lain itu mungkin aja ada, walau versi nyatanya dulu banyak cacatnya.
Simbol dan tema komunisme ternyata sering banget nyelip di karya budaya pop, kadang serius, kadang juga satire. Di film, misalnya The Death of Stalin (2017) ngebalikin sejarah kelam Uni Soviet jadi satire politik yang pedas, sementara film klasik Reds (1981) lebih serius ngebahas semangat revolusi. Di musik, band kayak Rage Against the Machine sampai grup punk tahun 80-an sering pakai simbol komunis—bintang merah atau palu-arit—sebagai tanda perlawanan terhadap kekuasaan politik dan korporasi. Dunia fashion juga kebanjiran simbol ini: wajah Che Guevara jadi salah satu gambar paling sering direproduksi di abad 20–21, nongol di kaos, poster, sampai mural jalanan, walau sering udah lepas dari ideologi aslinya dan berubah jadi ikon pemberontakan universal. Bahkan di video game kayak Call of Duty atau Red Alert, estetika Soviet dipakai habis-habisan, entah buat nuansa dramatis atau humoris. Semua contoh ini nunjukin kalau dalam budaya pop, komunisme udah geser dari program politik serius jadi simbol fleksibel—kadang ditakuti, kadang ditertawakan, tapi sering juga dikagumi sebagai semangat perlawanan.

Sejarah sosialisme mulai muncul di awal abad ke-19, sebagai reaksi keras dari orang-orang terhadap efek gila-gilaan Revolusi Industri. Bayangin aja: pabrik tumbuh kayak jamur, kota makin padat, tapi pekerja harus kerja belasan jam sehari dengan gaji receh, anak-anak dipaksa kerja, dan hidup di pemukiman kumuh. Dari situ lahir pemikir dan aktivis yang ngomel: “Kapitalisme yang kebablasan ini bikin jurang kaya–miskin makin dalam.” Sosialis awal—disebut utopian socialists kayak Robert Owen di Inggris, Charles Fourier di Prancis, dan Henri de Saint-Simon—mimpiin komunitas koperasi di mana kekayaan dan tanggung jawab dibagi rata. Memang kelihatan idealis, tapi itu jadi pondasi gerakan berikutnya.
Masuk pertengahan abad ke-19, sosialisme makin galak setelah Karl Marx dan Friedrich Engels nulis Manifesto Komunis (1848). Mereka bilang sejarah manusia itu intinya pertarungan kelas. Kapitalisme, kata mereka, pasti akan kolaps karena kontradiksi internalnya, terus diganti dulu dengan sosialisme, lalu ujung-ujungnya komunisme. Bagi Marx, sosialisme adalah fase transisi di mana kelas pekerja merebut kontrol atas negara dan ekonomi.
Di akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, sosialisme naik level jadi partai politik dan gerakan buruh. Di Eropa, partai sosialis memperjuangkan hak pekerja, hak pilih universal, sampai program jaminan sosial. Ada yang tetap revolusioner dengan niat ngegulingin kapitalisme, ada juga yang jadi lebih adem dengan jalur demokratis, alias democratic socialism.
Masuk abad ke-20, sosialisme udah bukan ide pinggiran lagi. Ia ngelahirin welfare state di Skandinavia, jadi bahan bakar Partai Buruh di Inggris, bahkan ikut menginspirasi gerakan dekolonisasi di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Sementara komunisme identik sama rezim otoriter, sosialisme lebih fleksibel, gampang adaptasi sama sistem demokrasi dan tantangan global. Sampai sekarang, sosialisme masih selalu disebut tiap kali orang debat soal keadilan, kesenjangan, atau tanggung jawab sosial—sebuah bukti kalau akar masalah dari zaman Revolusi Industri masih relevan banget.

Di abad ke-19, Friedrich Engels pengen banget ngelurusin perbedaan antara mimpi indah soal kesetaraan dengan cara ilmiah buat ngubah masyarakat. Bukunya, Socialism: Utopian and Scientific (1880, Charles H. Kerr & Company), jadi pondasi intelektual yang ngebedain antara percobaan utopis yang kayak eksperimen iseng sama teori yang bener-bener nyambung sama kondisi nyata dan perjuangan kelas. Buat banyak aktivis generasi berikutnya, karya ini ibarat kitab wajib: bikin sosialisme kelihatan bukan sekadar angan-angan, tapi metode serius buat baca sejarah dan ngerombak tatanan sosial.
Engels dalam Socialism: Utopian and Scientific nunjukin kalau sosialisme itu udah nggak bisa lagi dianggap sekadar mimpi indah atau khayalan doang, tapi udah masuk ke level ilmu yang nyata dan bisa dipelajari. Doski bilang kalau para tokoh kayak Saint-Simon, Fourier, sama Owen memang keren karena jadi pionir yang pertama kali protes soal ketidakadilan kapitalisme awal. Tapi, menurut Engels, ide-ide mereka masih kelewat imajinatif dan kurang nyambung sama kondisi ekonomi serta perjuangan nyata di lapangan. Engels ngegas dengan teori materialisme sejarah: bahwa struktur sosial itu selalu berubah sesuai perkembangan alat produksi dan konflik kelas yang lahir darinya. Kapitalisme, katanya, emang bikin kemajuan teknologi gede-gila, tapi sekaligus melahirkan krisis, eksploitasi, dan kelas pekerja yang makin sadar diri. Nah, kelas buruh inilah yang bakal jadi motor perubahan, ngegulingin sistem kapitalis, dan bikin tatanan baru berbasis kepemilikan bersama serta perencanaan rasional. Jadi, buat Engels, sosialisme itu bukan dongeng moral, tapi konsekuensi logis dari sejarah yang dijalani manusia.
Buat Engels, sosialisme itu bukan sekadar mimpi keadilan atau kumpulan ide-ide baik hati, tapi hasil ilmiah dari keharusan sejarah. Menurutnya, sosialisme muncul justru ketika kapitalisme udah mentok dengan segala kontradiksinya—krisis ekonomi yang berulang, eksploitasi pekerja, dan harta yang numpuk di segelintir orang. Kalau kaum utopis masih percaya dunia bisa berubah lewat bujukan moral atau pemimpin bijak, Engels ngejelasin kalau sosialisme lahir dari perkembangan alat produksi dan perjuangan kelas pekerja. Sosialisme versi Engels itu artinya ngilangin kepemilikan pribadi atas alat produksi, nutup buku permusuhan kelas, dan ngejalanin ekonomi secara sadar buat kepentingan semua orang. Jadi, buat doi, sosialisme itu bukan dongeng “seandainya begini-begitu”, tapi konsekuensi logis dari perjalanan sejarah, dengan realitas produksi dan konflik kelas sebagai mesinnya.

Pas Engels nulis Socialism: Utopian and Scientific tahun 1880, Eropa lagi gonjang-ganjing berubah total. Politiknya masih panas gara-gara revolusi 1848 yang sempat bikin rakyat ngegas tapi ujung-ujungnya elit konservatif tetep bisa bertahan. Negara-negara kayak Jerman dan Italia baru aja ngeklop lewat penyatuan, sementara parlemen makin rame tapi tetep dikontrol ama segelintir elit. Secara sosial, Revolusi Industri bikin hidup orang jungkir balik: banyak petani pindah ke kota, pabrik-pabrik menjamur, buruh jadi kelas baru yang kerja banting tulang, sementara kaum borjuis makin tajir dan makin berkuasa. Ekonominya sih ngebut banget, teknologi dan pasar global naik daun, tapi efek sampingnya juga brutal: krisis yang sering datang, pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan yang makin kentara. Budayanya juga penuh tarik-ulur: ada optimisme sama ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi di sisi lain orang juga cemas sama kerja pabrik yang bikin manusia kayak mesin dan tradisi lama yang mulai hilang.
Nah, makanya Engels bilang kalau sosialisme udah nggak bisa lagi dianggep mimpi indah doang. Soalnya, kontradiksi kapitalisme makin nyata di depan mata: buruh sengsara tiap hari, demo dan mogok kerja meledak dimana-mana, dan gerakan pekerja mulai solid jadi kekuatan politik. Buat Engels, sosialisme bukan lagi wacana moral, tapi kebutuhan sejarah yang udah nggak bisa ditahan-tahan.
Pandangan masyarakat terbelah. Kaum elit sama borjuis liberal biasanya ngecap sosialisme sebagai hantu berbahaya yang bisa ngancurin harta dan stabilitas. Kalangan intelektual ada juga yang simpati, tapi banyak yang nganggep itu utopis dan nggak realistis. Tapi di kelas pekerja, ide sosialisme malah ngehits karena nyambung banget sama realita pahit hidup mereka, jadi kayak obor harapan dan alat perjuangan. Intinya, Engels lagi nunjukin momen penting ketika sosialisme mulai naik kasta: dari sekadar bahan olok-olok jadi kekuatan nyata yang bikin elit politik nggak bisa lagi pura-pura kagak lihat.

Begitu Socialism: Utopian and Scientific terbit, buku itu langsung jadi lebih dari sekadar bacaan serius—berubah jadi semacam buku saku wajib buat Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD). Waktu itu SPD lagi nyari cara biar kaum buruh bisa kumpul di bawah satu visi, melawan represi pemerintah plus saingan politik lainnya. Nah, tulisan Engels ini pas banget jadi senjata, soalnya doi nyederhanain teori Marx yang ribet ke bahasa yang gampang dicerna buruh, tanpa harus jungkir balik baca Capital yang tebelnya kayak batu bata. SPD nyebarin bukunya secara massal, bahkan edisi murah meriah, sampai akhirnya jadi salah satu pamflet sosialis paling laris di abad ke-19. Lewat buku ini, buruh jadi ngerti kalau sosialisme bukan mimpi utopis doang, tapi kesimpulan ilmiah dari realitas kapitalisme yang mereka hadapi tiap hari. Hasilnya, sosialisme berubah dari ide yang cuma dibicarain segelintir intelektual jadi identitas politik massal. Jadi, buku ini fungsinya kayak propaganda dalam arti paling positif: bukan tipu-tipu, tapi pesan yang meyakinkan dan bikin jelas, ngasih kerangka buat ngerti kenapa mereka dieksploitasi, sekaligus nunjukin arah perjuangan sejarah yang kudu dijalanin.

Engels sama Marx sebenernya main di lapangan yang sama soal sosialisme, tapi gaya mereka ngejelasin beda fokusnya. Engels dalam Socialism: Utopian and Scientific ngasih definisi kalau sosialisme itu hasil ilmiah dari perjalanan sejarah. Menurutnya, sosialisme bakal lahir begitu kontradiksi kapitalisme udah matang: kepemilikan pribadi atas alat produksi diganti jadi kepemilikan bersama, dan permusuhan kelas ilang karena ekonomi dikelola secara sadar buat semua orang. Jadi, Engels lebih nekenin kalau sosialisme itu udah kayak takdir sejarah—nggak bisa dihindarin lagi—karena hukum ekonomi dan konflik kelas sendiri yang ngedorong.
Sementara itu, Marx dalam Critique of the Gotha Programme lebih detail soal prakteknya. Doski ngebedain antara fase bawah dari masyarakat komunis—yang sering disebut sosialisme—dengan fase atasnya. Di fase bawah, bekas-bekas sistem lama masih nempel, jadi pembagian hasil masih berdasarkan kerja: “dari masing-masing sesuai kemampuan, buat masing-masing sesuai pekerjaannya.” Baru di fase atas komunis, pembagian berubah total jadi “dari masing-masing sesuai kemampuan, untuk masing-masing sesuai kebutuhannya.” Jadi Marx ngeliat sosialisme itu fase transisi, tangga awal sebelum naik ke komunis full version, sementara Engels lebih fokus ke kepastian sejarah bahwa sosialisme itu pasti datang.
Kalau dirangkum, Engels ngasih sosialisme cap “pasti terjadi” karena hukum sejarah, sedangkan Marx ngasih gambaran “fase awal” yang masih harus ditempuh sebelum masuk ke dunia komunis yang lebih ideal. Engels bikin sosialisme terasa tak terhindarkan, Marx bikin sosialisme terasa kayak bab pertama dari cerita yang lebih panjang.

Di abad ke-20, perbedaan penekanan antara Engels dan Marx soal sosialisme jadi bahan rebutan dan ditafsir ulang sama gerakan politik baru. Lenin misalnya, ngambil banyak inspirasi dari Engels soal sosialisme sebagai keniscayaan sejarah, tapi juga nyatuin sama ide Marx tentang sosialisme sebagai tahap transisi. Buat Lenin, sosialisme itu fase awal menuju komunisme, dan butuh “kediktatoran proletariat” buat ngehajar sisa-sisa kelas lama. Doski yakin cuma partai pelopor yang disiplin ketat yang bisa nuntun buruh lewat fase kacau ini. Jadi, sosialisme ala Lenin bukan cuma soal hukum sejarah, tapi proyek politik yang butuh organisasi, strategi, dan kekuasaan negara.
Sementara itu, kaum sosial demokrat Eropa lebih condong ke kerangka ilmiah Engels, tapi mereka cabut taring revolusionernya. Mereka setuju perubahan sosial itu pasti datang, tapi bilang bisa dicapai lewat jalan damai: pemilu umum, kebijakan kesejahteraan, sama regulasi negara atas industri. Dengan cara ini, mereka ngehapus sisi transisi tajam ala Marx, dan ngegambarin sosialisme bukan lagi tahap awal menuju komunisme, tapi sistem sosial mapan yang berdiri sendiri.
Hasilnya, di abad ke-20 sosialisme jadi punya banyak wajah: buat Leninist, sosialisme itu tahap revolusi yang harus dilewatin; buat sosial demokrat, sosialisme itu versi upgrade kapitalisme yang lebih manusiawi; buat lainnya, sosialisme cukup jadi kritik ilmiah atas eksploitasi yang bisa disesuaikan sama kondisi masing-masing negara. Intinya, ketegangan antara “sosialisme pasti terjadi” versi Engels dan “sosialisme itu tahap awal” versi Marx bikin generasi berikutnya punya ruang kreatif sekaligus bahan ribut-ribut soal arti sosialisme yang sebenarnya.

Perbedaan tafsir Engels dan Marx soal sosialisme bener-bener jadi bahan bakar buat perpecahan politik terbesar abad ke-20. Di Eropa Barat, tradisi Sosial Demokrat ngambil inspirasi dari Engels tentang sosialisme sebagai jawaban logis atas kontradiksi kapitalisme, tapi mereka sengaja ninggalin semangat revolusi ala Marx. Di Jerman, Inggris, sampai Skandinavia, kaum sosialis bilang sosialisme bisa jalan bareng demokrasi parlementer, lewat reformasi kayak negara kesejahteraan, layanan kesehatan gratis, sama pendidikan umum. Buat mereka, sosialisme bukan fase sementara menuju komunisme, tapi sistem mapan yang lebih manusiawi dibanding kapitalisme buas.
Di sisi lain, di Uni Soviet, Lenin lalu Stalin lebih deket ke Marx dengan ngegas sosialisme sebagai tahap transisi menuju komunisme penuh. Versi ini artinya rebut kekuasaan negara, hapus kepemilikan pribadi, dan jalanin perencanaan ekonomi terpusat di bawah kediktatoran proletariat. Model kayak gini ngandelin disiplin ketat, otoritas revolusioner, dan kontrol negara yang total, dengan alasan semua itu cuma langkah sementara sebelum nanti negara “menghilang” di fase komunis yang lebih tinggi.
Hasilnya, abad ke-20 jadi panggung duel dua warisan sosialisme: di satu sisi Sosial Demokrat Barat yang reformis dan parlementer, nge-branding dirinya sebagai sosialisme “berwajah manusiawi”; di sisi lain Komunisme Soviet yang revolusioner dan otoriter, ngaku-ngaku dirinyalah perwujudan murni tahap transisi Marx. Bahkan Perang Dingin bisa dibilang nggak cuma soal nuklir dan ideologi, tapi juga soal siapa yang paling berhak ngaku sebagai pewaris sah sosialisme.

Warisan ganda Engels dan Marx soal sosialisme ternyata masih banget kerasa sampai hari sekarang. Di banyak negara Barat, partai kiri moderat—kayak partai buruh atau sosial demokrat—masih jalan di jalur Engels, ngeliat sosialisme sebagai reformasi buat “ngebikin kapitalisme lebih manusiawi” ketimbang ngehancurin sistemnya. Mereka kampanye soal pajak progresif, jaminan sosial, regulasi lingkungan, sampai perlindungan pekerja, dan semua itu dikemas sebagai langkah realistis, bukan revolusi besar-besaran. Versi ini kayak Engels yang dibikin soft: sosialisme dipoles jadi keadilan sosial, pemerintahan yang adil, dan manajemen kapitalisme biar nggak terlalu buas.
Tapi di sisi lain, gerakan kiri radikal—baik di Eropa, Amerika Latin, maupun tempat lain—masih nyuarain semangat Marx: sosialisme itu bukan tujuan akhir, tapi jembatan menuju sesuatu yang lebih gede. Mereka bilang reformasi dalam kapitalisme gak bakalan nyentuh akar masalahnya, dan nge-push agenda perubahan struktural, mulai dari ngilangin monopoli swasta sampai nyobain kepemilikan kolektif dan demokrasi partisipatif. Buat mereka, sosialisme gak boleh jadi kompromi permanen; harus tetep diposisiin sebagai jalan transisi ke fase sosial yang lebih tinggi.
Hasilnya, kubu kiri modern sering pecah dua: yang moderat pengen bikin kapitalisme “berwajah manusiawi”, sementara yang radikal pengen ngelewatin kapitalisme sama sekali. Ketegangan ini nunjukin kalau perdebatan Engels–Marx bukan sekadar drama sejarah abad ke-19, tapi retakan hidup yang masih nentuin arah dan batas-batas sosialisme di abad ke-21.