Jumat, 05 September 2025

Bahaya Komunisme bagi Demokrasi Indonesia (5)

Kalau dilihat dari kacamata publik, polisi jadi bulan-bulanan kritik gara-gara cara mereka ngadepin demo dan aktivis. Bukan cuma sekali dua kali brutal, tapi kayak udah jadi pola: gas air mata kebablasan, tangkap orang sembarangan, SOP yang mestinya jadi panduan malah dilanggar sendiri. Alhasil, citra polisi bukannya jadi pengawal rakyat, tapi lebih kayak begal. Parahnya lagi, komandan atau oknum yang main kasar seringkali lolos dari jerat hukum, bikin kesan “kebal hukum” makin tebal. Jadi wajar kalau banyak yang ngerasa aparat bukan lagi pelindung demokrasi, tapi justru jadi mesin represi yang bikin jurang ketidakpercayaan sama masyarakat makin dalam.
Kalau dilihat dari lapangan, banyak kasus yang bikin publik gregetan. Aktivis HAM yang teriak soal tanah adat, buruh yang protes upah, sampai mahasiswa yang ngegas soal lingkungan—seringnya malah ditangkep atau dikriminalisasi. Dan makin ngenes lagi, ada orang-orang yang cuma bikin status pedes di Instagram atau Twitter, eh malah bisa diciduk. Jadi seakan-akan polisi bukan lagi ngamanin jalanan pas demo, tapi udah masuk ke ranah ngontrol pikiran dan opini rakyat. Kritik keras pun muncul karena tindakan kayak gini jelas bikin orang takut ngomong, takut kritik, takut jujur. Ujung-ujungnya demokrasi jadi kerdil, dan polisi dipandang bukan pelindung masyarakat, tapi jadi kepanjangan tangan politik yang siap ngegas ke siapa aja yang beda suara.

Banyak orang mungkin ngerasa kasus-kasus kayak gitu cuma urusan internal Indonesia. Tapi ternyata dunia luar juga mantau ketat. Amnesty sama Human Rights Watch udah bolak-balik bikin laporan soal polisi yang nangkep orang sembarangan, main kekerasan pas demo, sampai bikin jurnalis dan aktivis bungkam. Tahun 2020, pas demo Omnibus Law rame banget, PBB lewat OHCHR bahkan langsung desak pemerintah supaya hormati hak demo damai dan stop kriminalisasi. Lebih parah lagi, soal orang ditangkep gara-gara status medsos, PBB ngingetin kalau itu jelas nabrak standar HAM internasional, karena Indonesia udah janji patuh sama Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Jadi jelas, masalah ini bukan cuma soal polisi yang “kebablasan,” tapi udah nyeret nama Indonesia di mata dunia. Intinya, kalau polisi sibuk ngegas buat bungkam suara rakyat, demokrasi kita makin rapuh dan reputasi kita di luar negeri ikut jeblok.

Tahun 2020, pas demo Omnibus Law lagi panas-panasnya, Amnesty Indonesia ngamuk abis. Mereka bilang polisi kayak lagi perang lawan rakyat sendiri, bukannya ngamanin demo. Data mereka nunjukin lebih dari 6.000 orang diciduk di seluruh Indonesia, banyak yang masih mahasiswa. Usman Hamid, bos Amnesty Indo, langsung nyentil keras: orang-orang ditangkap sembarangan, dipukul, dibikin kapok, padahal yang harusnya diperiksa itu justru oknum polisi yang brutal.
Nggak cuma Amnesty, PBB lewat OHCHR juga ikutan ngegas. Mereka ingetin pemerintah Indonesia buat segera ngelepasin orang-orang yang ditahan cuma gara-gara demo damai atau ngepost kritis di medsos. PBB bilang, itu jelas-jelas nabrak Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang Indonesia udah teken. Intinya, kalau tiap kritik malah dijawab dengan borgol, demokrasi jadi banci tampil: cakep di atas kertas, tapi di lapangan babak belur.

Dari tanggal 25–31 Agustus 2025, polisi menangkap lebih dari 3.000 orang saat demo anti-DPR, termasuk banyak anak muda dan pelajar—nangkap aja begitu tanpa alasan jelas. LSM HAM bilang, gas air mata dipake seenaknya, peluru karet ditembakkan asal-asalan, dan yang paling tragis: ada minimal delapan orang tewas, termasuk abang ojol yang ditebas sama mobil Brimob, plus puluhan luka-luka. PBB dan Amnesty ngotot: ini bukan sekadar main gas air mata, tapi udah nyerempet soal pelanggaran HAM berat; mereka minta investigasi transparan dan pelaku ditindak tegas.

Kenapa polisi masuk dalam daftar utama 17+8? Itu jelas bukan kebetulan, tapi hasil akumulasi sakit hati bertahun-tahun terutama satu dekade belakangan. Buat massa aksi, ditangkep sewenang-wenang, mahasiswa dipukulin, aktivis dibungkam, sampai netizen dijadiin target cuma gara-gara status Instagram—semua itu bukan insiden terpisah, tapi tanda kalau ada penyakit struktural di tubuh kepolisian. Makanya mereka nuntut: bebaskan tahanan demo, stop kekerasan, tegakkan SOP bener-bener, dan adili aparat brutal. Pesannya jelas: ini bukan soal oknum nakal, tapi soal sistem yang ngebiarin bahkan kadang nyokong impunitas. Dengan naruh polisi sebagai poin penting, 17+8 lagi bilang kalau reformasi aparat itu bukan urusan teknis, tapi soal hidup matinya demokrasi. Karena kalau polisi aja udah nggak bisa dipercaya, reformasi yang lain bakal terasa cuma omong kosong belaka.
Dengan naruh isu polisi di jantung tuntutan 17+8, para aktivis sebenarnya lagi nyambungin perjuangan mereka sama obrolan global soal HAM dan kekerasan negara. Dari Hong Kong sampai Minneapolis, dunia juga ribut soal hal yang sama: gimana kalau aparat yang mestinya jagain rakyat malah jadi sumber ketakutan? Jadi di Indonesia, jeritan soal reformasi polisi itu bukan sekadar urusan lokal, tapi masuk ke paduan suara global yang nuntut stop impunitas dan tegakkan kebebasan dasar. PBB udah wanti-wanti, catatan HAM Indonesia lagi diawasi ketat, terutama soal kebebasan berekspresi dan berkumpul. Nah, dengan masukin poin ini ke dalam 17+8, masyarakat sipil nunjukin kalau mereka paham betul: dunia lagi ngeliat. Jadi tuntutannya bukan cuma keadilan nasional, tapi juga biar Indonesia nggak keliatan munafik—demokrasi di dalam negeri harus nyambung sama janji manis kita di panggung internasional.

Presiden Prabowo dijadwalin bakal pidato di Sidang Umum PBB ke-80, tepatnya pada 23 September 2025. Beliau bakalan naik podium sebagai pembicara ketiga di hari pembukaan, setelah Presiden Brasil dan Presiden AS.
Kalau Presiden Prabowo naik podium di PBB bulan ini, jangan sampai pidatonya ketutupan sama gosip jelek soal polisi di dalam negeri. Soalnya, audiens dunia sekarang udah makin melek: mereka bukan cuma denger apa yang presiden bilang, tapi juga ngintip kondisi di rumahnya. Nah, kalau polisi masih suka ciduk demonstran, nendang mahasiswa, atau nyekek netizen cuma gara-gara status, itu bisa jadi “backfire” buat citra Indonesia. Triknya, bukannya pura-pura nggak ada masalah, tapi justru nunjukin kalau pemerintah sadar dan lagi beresin. Kalau Presiden Prabowo bisa sounding soal reformasi polisi, akuntabilitas, dan komitmen jaga kebebasan sipil, maka kesannya berubah: dari pemerintah yang defensif, jadi pemerintah yang tanggungjawab. Dengan begitu, citra internasionalnya aman, rakyat dalam negeri juga ngerasa diperhatiin, dan ulah polisi nggak bakal nutupin panggung diplomasi besar beliau.

Sekarang balik lagi ke topik Sosialisme kita.

Dalam bukunya Communism and Socialism,  terbit di New York tahun 1932 oleh American League for Democratic Socialism, Karl Kautsky tampil sebagai “juru bicara akal sehat” dalam dunia ideologi. Doski jelasin kalau istilah sosialisme dan komunisme itu sering dicampuradukkan, padahal beda kelas. Sosialisme, kata doi, itu proyek serius: mengatur kepemilikan produksi secara kolektif, pakai jalur demokratis dan hukum, demi tercapai kesetaraan sosial. Sementara komunisme lebih nekat—main revolusi instan, hapus properti pribadi, dan cenderung otoriter.
Bagi Kautsky, nyampurin sosialisme dengan komunisme itu kayak nyampurin kopi tubruk dengan soda—sama-sama pahit kalau salah resep. Sosialisme adalah gerakan nyata yang tumbuh dari industri dan perjuangan kelas, sedangkan komunisme lebih mirip utopia penuh emosi yang gampang nyasar ke otoritarianisme. Doski juga nyontek contoh sejarah, dari komunitas Kristen awal sampai Komune Paris, buat nunjukin berbagai eksperimen hidup kolektif.
Intinya, buku ini jadi pembelaan sosialisme biar nggak ketularan citra ekstrem komunisme. Kautsky pengen bilang, “Sosialisme itu bukan mimpi kosong, tapi gerakan demokratis yang bisa jalan pelan-pelan tapi pasti.” Dengan begitu, doi tetep muncul sebagai salah satu teoretikus Marxist yang paling vokal, selalu menekankan logika, progres bertahap, dan legitimasi demokrasi.

Bagian pembuka buku ini ibarat intro lagu: Kautsky langsung bilang kalau istilah komunisme dan sosialisme sering dipakai asal comot. Katanya, sebelum debat politik dimulai, harus jelas dulu bedanya dua konsep ini. Kautsky di sini kayak dosen yang kesel sama mahasiswa salah nyebut istilah—bikin debat jadi ngaco, “Salah banget kalau nganggep komunisme dan sosialisme itu sama. Sejarahnya beda, metodenya beda, tujuannya pun beda.”
Kautsky jelas banget bedain antara komunisme dan sosialisme, dan dia juga kupas maksud, fungsi, dan tujuan masing-masing. Menurutnya, komunisme dari dulu identik sama eksperimen radikal hidup bareng-bareng: entah komunitas agama, utopia kecil, atau revolusi instan. Maksudnya sih mulia—hapus kepemilikan pribadi langsung, biar semua orang bisa hidup setara tanpa pasar. Fungsinya lebih kayak simbol perlawanan ketimbang sistem yang jalan lama, karena biasanya cepat ambruk. Tujuannya ya utopis: mau ubah dunia seketika, tapi tanpa pondasi ekonomi dan institusi yang kuat, akhirnya mentok juga, atau malah jadi diktator.
Sedangkan sosialisme versi Kautsky lahir langsung dari rahim kapitalisme industri modern dan perjuangan kelas pekerja. Maksudnya adalah bikin kepemilikan produksi jadi kolektif, tapi jalannya lewat demokrasi, hukum, dan proses politik. Fungsinya buat ngorganisir buruh, bangun institusi politik, dan pelan-pelan geser kapitalisme ke arah kesetaraan sosial. Tujuannya realistis: bukan bikin surga semalam, tapi bikin struktur masyarakat lebih adil, rasional, dan aman buat semua orang.
Buat Kautsky, nyampurin sosialisme dengan komunisme itu bukan sekadar salah sebut, tapi berbahaya. Kalau sosialisme disamain dengan komunisme, jadinya orang nganggep sosialisme itu ngawur, utopis, atau diktator. Makanya doi getol banget ngejelasin bahwa sosialisme itu jalan demokratis yang bisa jalan nyata, sementara komunisme lebih kayak utopia yang kalau dipaksain bisa jadi rezim otoriter.

Kautsky bilang, maksud komunisme itu jelas: semua rata, properti pribadi dihapus instan. Tapi fungsinya? Ya lebih banyak bikin orang semangat, bukan bikin sistem jalan lama. “Komunisme berarti penghapusan kepemilikan pribadi secara langsung dan bikin komunitas dimana semua orang dapat bagian sama rata. Ia memikat imajinasi, tapi belum pernah jadi fondasi stabil bagi masyarakat.”
Ia berpendapat, “Sosialisme bukan berarti ngehancurin properti secara mendadak. Sosialisme berarti kepemilikan sosial atas alat produksi, diwujudkan lewat hukum dan demokrasi, supaya kerja semua orang bisa jadi manfaat untuk semua.” Di sini Kautsky ngasih garis tebal: sosialisme itu proyek hukum dan demokrasi, bukan kudeta properti ala komunis.
Menurut Kautsky, komunisme itu kayak konser musik—bikin orang terbakar semangat tapi cepat bubar. Sosialisme lebih kayak bangun gedung—pelan, ribet, tapi tahan lama, “Fungsi komunisme selama ini hanya membangkitkan antusiasme dan menginspirasi pengorbanan, tapi gak pernah bisa mengorganisir masyarakat. Fungsi sosialisme justru untuk mengorganisir kelas pekerja dan membangun institusi yang tahan lama.”
“Tujuan sosialisme bukanlah menciptakan surga dalam sehari, melainkan mengganti eksploitasi dengan keadilan, ketidakamanan dengan keamanan, dan privilese dengan kesetaraan.” Nah ini punchline Kautsky: sosialisme itu realistis, tujuannya bikin hidup lebih adil, aman, dan setara—nggak jualan mimpi instan.

Bagian kedua dari bukunya, Kautsky ngajak kita bernostalgia ke “komunisme primitif”, dari komunitas Kristen awal sampai sekte kecil abad pertengahan. Menurut Kautsky, mereka ini keren secara moral tapi gagal total secara ekonomi—lebih digerakkan semangat ketimbang kebutuhan struktural: "Eksperimen komunis masa lalu, entah di Kristen awal atau sekte Abad Pertengahan, dibangun dari semangat doang, tapi nggak punya fondasi ekonomi yang tahan lama.” Menurutnya, idealis sih iya, tapi hasilnya kayak startup tanpa modal: semangat gede, tapi cepat kolaps.

Bagian ketiga pindah ke Era Pencerahan dan Revolusi Prancis. Di sini, ide-ide komunis bangkit lagi dengan semangat membara. Tapi buat Kautsky, semua itu masih sebatas mimpi utopia yang nggak nyambung dengan realitas industri modern.

Bagian keempat fokus ke Komune Paris 1871. Kautsky kasih salut sama keberanian para Komunis Paris, tapi ujung-ujungnya mereka kalah karena nggak punya institusi yang kuat. Bagi doi, ini bukti bahwa komunisme lebih gampang tumbang daripada bertahan.

Bagian kelima masuk ke era sosialisme ala Marx. Kautsky menekankan kalau sosialisme itu beda kelas dengan komunisme: lahir dari kapitalisme dan kerja industri, dan dibangun lewat demokrasi serta reformasi bertahap.

Bagian keenam jadi sesi “diss track” untuk Bolshevik. Doi nuduh Lenin dan gengnya sengaja bikin kabur batas antara sosialisme dan komunisme, dan hasilnya adalah diktator atas nama buruh. Buat Kautsky, itu jelas pengkhianatan terhadap prinsip sosialis sejati.

Penutupnya dramatis: Kautsky tegaskan kalau sosialisme adalah pewaris sah dari perkembangan industri dan aspirasi demokratis, sementara komunisme cuma jalan pintas utopia yang berujung otoriter. Pesan terakhirnya jelas: jangan sampai semangat revolusi bikin gerakan buruh kehilangan arah dan nyungsep.

Pesan utama Kautsky di buku ini bisa dibilang simpel tapi nyentil: jangan nyampur aduk sosialisme ama komunisme. Katanya, itu bukan cuma salah kaprah teori, tapi juga bisa bahaya buat gerakan buruh.
Menurutnya, sosialisme itu proyek serius—lahir dari perkembangan kapitalisme industri dan perjuangan kelas pekerja. Jalannya lewat demokrasi dan hukum, targetnya bikin produksi jadi milik bersama, dan hasilnya dipakai buat kesetaraan, keadilan, dan keamanan sosial.
Sementara komunisme lebih kayak mimpi utopia—langsung ngehapus kepemilikan pribadi, bikin masyarakat tanpa kelas seketika. Masalahnya, Komunisme itu nggak punya fondasi ekonomi dan institusi, jadi cepet bubar. Kalau dipaksain kayak di Rusia Bolshevik, hasilnya malah rezim otoriter, yang justru ngerusak citra sosialisme itu sendiri.
Jadi, inti pesannya: buku inilah pembelaan sosialisme plus warning keras biar gerakan buruh nggak ketipu jargon revolusi instan. Kautsky pengen bilang, “Kalau mau bangun masyarakat adil yang tahan lama, ya lewat sosialisme yang demokratis dan bertahap—bukan lewat komunisme yang bikin mabok slogan tapi ujungnya otoriter.”

Kalau pesan Kautsky ditarik ke zaman now, contoh paling gampang ya China. Partai Komunis China suka bilang sistemnya itu “sosialisme dengan karakteristik Tiongkok,” tapi kalau dilihat dari kacamata Kautsky, ini justru pas banget sama peringatan doi. Bukan sosialisme yang demokratis dan reformis, tapi lebih kayak komunisme versi negara: kepemilikan kolektif dipaksain dari atas, dikawal rezim otoriter, dan dibungkus jargon revolusioner.
Ironinya, ekonomi China malah jalan karena pasar bebas, kapital swasta, dan kesenjangan kelas yang makin nyata. Jadi ada paradoks: ngomongnya sosialis, tapi praktiknya justru campuran antara kapitalisme brutal dan kontrol politik ketat. Kalau Kautsky masih hidup, doski mungkin bakal bilang, “Nah kaan! Gue udah bilang, kalau sosialisme disamain ama komunisme, hasilnya kek gini: demokrasi hilang, keadilan kabur, buruh malah disisihin.”
Intinya, China hari ini nunjukin betapa relevannya pesan Kautsky: sosialisme tanpa demokrasi dan legitimasi rakyat cuma jadi slogan kosong, sementara sistemnya berubah jadi kapitalisme otoriter yang pakai label “sosialisme” buat branding politik.

Bayangannya begini: sosialisme versi Kautsky itu kayak masakan rumahan yang dimasak penuh cinta. Butuh waktu, bahan-bahannya pas, dan tujuannya biar semua orang bisa kenyang dengan adil. Nah, komunisme itu kayak gaya instan—semua bahan dilempar ke microwave sekaligus, berharap keluar jadi hidangan sempurna. Hasilnya? Ada yang gosong, ada yang setengah mateng, dan ujung-ujungnya bikin kecewa.
Sekarang lihat China. Dari luar, mereka pasang neon besar “sosialisme dengan karakteristik Tiongkok.” Tapi begitu masuk, menunya malah kayak franchise fast-food global: ada sedikit kontrol negara, banyak bumbu kapitalisme, taburan jargon revolusi, plus topping otoritarianisme. Memang cepat bikin kenyang, hasilnya gede, dan jutaan orang makan di situ, tapi jelas bukan resep asli ala Kautsky. Buat doi, itu cuma produk KW—sekadar tiruan yang ngorbanin kualitas demi kecepatan, show off, dan kontrol politik.
Analogi ini bikin pesan Kautsky makin gampang ditelan: kalau mau rasa asli sosialisme, ya mesti sabar, lewat demokrasi, pakai bahan otentik. Fast-food komunisme, meskipun pakai label “sosialisme,” cuma bikin kenyang sesaat—tapi kagak pernah ngasih gizi sejati berupa keadilan, kesetaraan, dan kebebasan.

Secara resmi, China masih nyebut dirinya negara komunis di bawah Partai Komunis China (PKC). Tapi kalau lihat praktiknya, kebangkitan ekonomi mereka bukan karena komunisme murni, melainkan karena nyampurin elemen kapitalisme di bawah slogan “sosialisme dengan karakteristik Tiongkok.” Deng Xiaoping dulu sampai bilang, “Kagak penting kucing hitam atau putih, yang penting bisa nangkep tikus”—artinya ideologi bisa lentur asal bikin ekonomi jalan.
Soal apakah rakyat bener-bener sejahtera, jawabannya campur aduk. Di satu sisi, konon: lebih dari 800 juta orang keluar dari kemiskinan ekstrem—rekor dunia yang belum ada tandingannya. Infrastruktur maju, kota-kota modern, dan akses barang konsumsi makin gampang. 

Di lapangan, ceritanya nggak sesimpel angka. Pemerintah China pasang target pengentasan kemiskinan yang ketat banget, kayak deadline kejar tayang. Akibatnya, pejabat lokal jadi punya motivasi buat “make-up data”—misalnya, deklarasi desa udah bebas miskin, padahal warganya masih ngandelin mie instan dan air galon isi ulang.
Standar “kemiskinan ekstrem” ala Bank Dunia (US$1.90 PPP per hari) emang terdengar internasional banget, tapi kayak standar kecantikan Instagram: nggak selalu nyambung sama kenyataan. Bisa aja seseorang dinyatakan “nggak miskin ekstrem,” tapi tetep nggak bisa bayar BPJS, nyekolahin anak, atau punya rumah yang nggak bocor pas hujan.
Walaupun Bank Dunia ikut nimbrung, data mentahnya tetep dari lembaga resmi China. Transparansinya? Ya gitu deh—kayak nonton sinetron yang plot-nya lompat-lompat. Survei rumah tangga, data upah, dan kondisi desa sering susah diverifikasi. Banyak yang keluar dari label “miskin ekstrem,” tapi masuk kategori “rentan”—kalau ada krisis ekonomi, pandemi, atau PHK massal, bisa langsung jatuh miskin lagi. Jadi kemiskinan absolut berkurang, tapi kerentanan sosial masih kayak bom waktu.
Beberapa riset nunjukin akses ke kesehatan, pendidikan, dan perumahan masih timpang banget antara kota besar dan desa. Pendapatan naik, katanya, tapi kualitas hidup? Masih banyak yang hidup kayak karakter figuran di drama: ada, tapi kagak diperhatiin. Ada juga laporan bahwa orang bisa “naik kelas” dari garis kemiskinan cuma karena dapet subsidi tunai, bukan karena ekonomi mereka udah mandiri. Jadi kayak dapet nilai bagus karena nyontek, bukan karena belajar.

Lian Meng (2019) dan beberapa peneliti lain bilang, pejabat lokal punya insentif politik buat nunjukin keberhasilan. Jadi data kemiskinan rawan dimanipulasi. Ada desa yang dideklarasikan “bebas miskin,” padahal warganya masih hidup susah. Ini yang disebut cosmetic poverty alleviation—angka cantik di laporan, tapi realita di lapangan masih penuh drama.
Kesimpulannya, data dari China memang nunjukin kemajuan nyata. Tapi bukan berarti bebas dari bias. Angka 800 juta itu lebih cocok dilihat sebagai tren besar—kayak chart lagu hits—daripada gambaran sempurna tanpa cela.

Di sisi lain, ketimpangan makin besar: muncul kelas miliarder baru, desa-desa banyak yang ketinggalan, dan jutaan buruh kerja rodi dengan jam panjang, gaji pas-pasan, serta hak pekerja minim. Jadi kekayaan itu nggak rata, lebih numpuk di kota besar dan elit yang dekat dengan penguasa.
Nah, soal kebebasan, China jelas ketat banget. Kritik politik ditekan, sensor merajalela, dan rakyat diawasi ketat lewat teknologi. Warga boleh konsumtif, beli ini-itu, jalan-jalan, tapi jangan berharap bisa ngomong politik bebas kayak di negara demokratis. Singkatnya: kebangkitan China bukanlah hasil sosialisme klasik, tapi hasil campuran kontrol negara dan mekanisme pasar. Kesejahteraan memang ada, tapi nggak merata, dan dibayar dengan mahalnya harga kebebasan politik.

Kalau Kautsky ngintip Indonesia satu dekade belakangan ini, doi mungkin bakal bilang: “Ati-ati, jangan samain sosialisme ama komunisme, dan jangan juga jualan ‘sosialisme instan’ buat branding politik.” Di Indonesia, kata sosialisme sering dipakai buat jualan program pro-rakyat—mulai dari subsidi, bansos, sampai jargon “pemerataan.” Tapi praktiknya? Banyak yang nyelip ke arah kapitalisme kroni: BUMN dikuasai elit politik, bantuan jadi alat pencitraan, kesetaraan jadi slogan yang nutupin ketimpangan.
Versi Kautsky, ini namanya “sosialisme fast-food”: gampang dijual, bikin orang cepet ngerasa kenyang secara politik, tapi isinya kosong. Bukan demokrasi pekerja, bukan redistribusi nyata, cuma trik branding biar dapet suara. Alih-alih bangun institusi demokratis dan reformasi jangka panjang, yang jalan malah populisme instan plus kekuasaan terkonsentrasi di segelintir orang.
Jadi, pesan Kautsky masih relevan banget buat kita: kalau mau bener-bener adil, setara, dan sejahtera, jalannya bukan lewat slogan murahan atau jalur otoriter. Harus lewat demokrasi yang sehat, transparansi, dan institusi yang kuat. Kalau enggak, ya yang kita makan cuma “Sosialisme KW”—kenyang bentar, tapi bikin rakyat tetep kurang gizi keadilan dalam jangka panjang.

Coba deh lihat jargon “ekonomi kerakyatan” yang sering digembar-gemborin. Dari luar kedengarannya sosialis banget: pro rakyat, melawan ketimpangan. Tapi kenyataannya? Banyak BUMN malah jadi parkiran elit politik, komisarisnya diisi orang-orang deket kekuasaan. Alih-alih bikin buruh atau rakyat untung, malah jadi mesin patronase. Dari kacamata Kautsky, ini contoh jelas: sosialisme cuma jadi stiker, isinya bodong dari demokrasi sejati.
Hal yang sama juga keliatan di bansos. Katanya buat pemerataan, tapi sering dipakai buat pencitraan politik, apalagi menjelang pemilu. Buat Kautsky, ini bukan sosialisme, tapi “sosialisme fast-food”: bikin kenyang sesaat, bisa panen suara, tapi nggak bikin rakyat bener-bener naik kelas. Nggak ada institusi kuat, nggak ada perubahan struktural.
Terus ada juga koperasi yang digadang-gadang Bung Hatta sebagai sokoguru ekonomi. Secara konsep memang kental aroma sosialisme—kepemilikan bersama, saling bantu. Tapi di lapangan, banyak koperasi dikelola buruk, dipolitisasi, atau kalah saing sama konglomerat. Lagi-lagi, kata Kautsky: bentuknya sih sosialisme, tapi isinya, zonk.
Singkatnya, Kautsky bakal bilang: “Lihat tuh, bener kan kata gue!” Sosialisme kagak bisa hidup cuma sebagai jargon keren atau gaya populis ala kampanye TikTok. Kalo cuma modal slogan dan gaya heroik, ujung-ujungnya bakalan jadi sekadar branding kosong—kayak partai yang ganti logo tapi tetep jualan neolib.
Sosialisme itu kudu punya akar: lembaga yang kuat, demokrasi yang jalan, dan reformasi jangka panjang. Kalau enggak, ya bisa-bisa cuman jadi kapitalisme terselubung yang pakai baju merah tapi isinya tetep pasar bebas. Kayak sinetron politik: judulnya “Revolusi Rakyat,” tapi isinya rebutan kursi dan endorse produk.