Selasa, 09 September 2025

Kemaslahatan dan Kemudharatan Pajak (5)

Indonesia lagi kena cobaan di sektor moneter dan fiskal kayak orang main sirkus jalan di tali tipis—salah langkah dikit bisa kepleset. Dari sisi moneter, Bank Indonesia pusing mikirin gimana caranya biar rupiah gak makin letoy gara-gara The Fed di Amerika suka naikin atau nurunin bunga sesuka hati. Begitu mereka geser dikit aja, duit asing bisa kabur, cadangan devisa terpaksa kepake, terus BI jadi galau antara naikin bunga biar rupiah kuat atau bikin bunga rendah biar ekonomi rakyat tetep ngebut. Inflasi sih lumayan terkendali, tapi harga cabai sama BBM tetep bikin kening berkerut.
Dari sisi fiskal, pemerintah masih sibuk nutupin lubang pandemi kemarin. Utang makin naik, sementara pajak yang masuk ke kas negara masih cupu dibanding negara lain. Mau naikin pajak takut rakyat ngamuk, tapi kalau kagak, duit negara makin seret. Subsidi BBM dan listrik masih jadi anak emas, padahal ngisep duitnya kayak knalpot racing—keras dan boros. Di sisi lain, duit yang dikirim ke daerah kadang gak nyambung ama kebutuhan real, jadinya ada daerah yang kebanjiran proyek, ada juga yang ditinggal kayak mantan.
Pemerintah dan Bank Indonesia sekarang lagi kayak jaga keseimbangan: kalau moneter terlalu ketat, rakyat bisa megap-megap, tapi kalau fiskal terlalu longgar, negara bisa kejebak utang. Jalan tengahnya kudu pinter-pinter, biar investor tetep percaya tapi ekonomi rakyat gak mati gaya.

Akhir-akhir ini yang paling kelihatan ya rupiah makin keder lawan dolar. Begitu dolar di Amerika naik daun, investor langsung kabur kayak fans yang pindah fandom, dan Bank Indonesia buru-buru turun tangan: intervensi gede-gedean plus naikin bunga. Rupiah jadi agak stabil, tapi efek sampingnya, rakyat jadi susah ngutang buat usaha atau beli rumah, investasi juga jadi loyo. Ujung-ujungnya, harga barang impor—dari minyak goreng sampai bahan baku pabrik—jadi makin bikin dompet tipis.
Di sisi fiskal, bahan bakar minyak (BBM) masih jadi drama utama. Pemerintah berkali-kali bilang mau ngurangin subsidi, tapi tiap mau disentuh, langsung heboh kayak konser boyband batal. Pas harga minyak dunia naik, APBN langsung megap-megap karena harus nombokin selisih harga biar rakyat tetep bayar murah di SPBU. Akhirnya, duit negara kepake buat bensin, sementara proyek infrastruktur yang dijanjikan jadi keteteran, bahkan ada yang molor kayak serial sinetron. Pajak juga nggak sebanding sama pengeluaran; mau dinaikin rakyat protes, kalau nggak dinaikin negara tekor.
Indonesia sekarang kayak orang yang lagi main game level susah: kalau tekan tombol moneter terlalu keras, ekonomi bisa nge-freeze; tapi kalau ngebut di fiskal, debt bar bisa merah semua. Tinggal tunggu apakah pemerintah bisa jadi “pro player” atau malah kalah di tengah jalan.

Kalau dibandingin sama tetangga, Indonesia kayak anak tongkrongan yang masalahnya ada aja dan nggak bisa niru gaya temen-temennya. Malaysia misalnya, walaupun ringgitnya juga sering ngos-ngosan lawan dolar, mereka masih punya duit tambahan dari ekspor minyak dan gas. Jadi kalau subsidi BBM bikin bolong, mereka bisa tambal pakai duit migas. Indonesia? Migas udah nggak sekaya dulu, jadi mau nggak mau kudu gali utang atau pajak.
Thailand beda lagi, ekonominya agak lemot karena ngandelin turis. Tapi inflasi mereka lumayan adem, jadi bank sentralnya nggak se-galau Indonesia. Vietnam malah lagi naik daun: jadi bintang baru manufaktur dunia, kebagian rezeki dari relokasi supply chain global. Tapi ya, risiko inflasi dan ekonomi kepanasan tetep ada.
Indonesia? Nah, posisinya di tengah-tengah: gak bisa jual minyak kayak Malaysia, gak bisa full turis kayak Thailand, enggak bisa pulak jadi pabrik dunia kayak Vietnam. Yang ada malah harus jaga pasar domestik yang gede banget, sambil ngurus subsidi, infrastruktur, sama pajak yang masih cupu. Jadi ibaratnya, Indonesia lagi main game MMO tapi kudu bikin strategi sendiri, gak bisa copy build karakter orang lain. Kalau salah build, efeknya langsung kena ke ratusan juta player alias rakyatnya sendiri.

Kalo pemerintah dan Bank Indonesia gak bisa sinkron, kita bisa kebayang beberapa akhir cerita yang agak suram. Pertama, kalau ada kehebohan politik atau pasar yang bikin investor panik, rupiah bisa anjlok lagi—BI bakal ngeluarin amunisi cadangan devisa atau naikin suku bunga. Nanti suku bunga naik, kredit susah, orang ogah ngutang buat usaha atau beli rumah, investasi mandek, dan pertumbuhan bisa ngedrop.
Kedua, kalau pemasukan pajak masih cupu sementara pengeluaran, khususnya buat subsidi energi dan BBM, tetep boros, negara bakal keburu ngutang lebih banyak. Utang naik = bunga utang naik = duit buat bangun jalan, sekolah, dan fasilitas publik makin kekecilan karena kebanyakan dipakai buat bayar bunga. Kalau pasar mulai ragu, rating negara bisa kena dampak. 
Ketiga, kalau BI nekat ketat biar rupiah aman sementara pemerintah ngebut belanja buat ngebutin ekonomi, hasilnya bakal nggak enak: uang rakyat tercekik karena bunga tinggi, tapi kalau pemerintah cuma tambah utang buat belanja, APBN makin bocor dan percaya investor buyar. IMF sama OECD udah ngasih catatan kalau outlook Indonesia sensitif banget kalau kebijakan bolak-balik.
Keempat, buat rakyat biasa, efeknya kerasa di harga barang impor dan BBM yang akhirnya nembus ke harga kebutuhan sehari-hari. Kalau pemerintah cuma ngeluarin kebijakan populis buat nutup masalah sementara (misal: tambah subsidi tanpa sumber dana), itu ibarat tambal ban pakai lakban — kelihatan beres, tapi sebentar lagi bocor lagi. 
Kesimpulannya, pilihan sekarang menentukan nasib ekonomi ke depan: kalau pemerintah dan BI kerja bareng jaga kredibilitas, reformasi subsidi bertahap, dan serius ningkatin penerimaan pajak, peluang buat stabil dan tumbuh tetap ada. Kalau nggak, kita bisa masuk skenario yang bikin biaya hidup mahal, utang melambung, dan pembangunan jadi melambat—bukan cerita yang asyik buat ditonton. 

Ada beberapa jurus praktis biar Indonesia kagak kepleset. Pertama, Bank Indonesia harus tetep jadi wasit yang independen, ngomong ke pasar dengan jelas, dan pakai strategi pinter—jangan tiap kali ada masalah langsung gebrak suku bunga, soalnya bisa bikin rakyat susah ngutang. Kedua, subsidi energi yang boros kayak kebiasaan jajan impulsif harus pelan-pelan dikurangin. Tapi jangan lupa, rakyat kecil tetep dikasih bantalan berupa bantuan tunai biar gak kebanting harga. Ketiga, pajak harus lebih pinter dikumpulin, bukan asal dinaikin. Sistem digital bisa bikin wajib pajak lari-lari dikejar AI, bukan lagi bisa ngumpet di balik celah birokrasi.
Keempat, utang negara harus dikelola kayak cicilan KPR: dicari sumber yang variatif, tenor panjang, dan jangan terlalu banyak dalam dolar biar nggak kebawa arus kalau kurs goyang. Kelima, pemerintah dan BI kudu kayak duo band yang harmonis, bukan saling off-beat. Kalau dua-duanya sinkron, pasar jadi percaya, rakyat juga ngerasa aman.

Oke, mari kita bikin skenario dramatis ala “worst case vs best case” biar jelas bayangan masa depan Indonesia kalau langkah tadi diambil atau diabaikan.

Worst Case Scenario (versi horor ekonomi):
Kalau pemerintah dan BI jalan masing-masing kayak pasangan yang udah nggak cocok, Indonesia bisa kejebak spiral bawah. Rupiah makin loyo, impor makin mahal, inflasi naik kayak tiket konser internasional. BI panik, naikin bunga, rakyat jadi susah ngutang buat usaha kecil atau cicilan rumah. Pemerintah? Duit APBN habis buat subsidi BBM kayak bayar langganan streaming yang nggak pernah dipake, sementara proyek infrastruktur dan pendidikan cuma jadi wacana. Utang makin numpuk, bunga utang makin mahal, investor mulai ilfeel, dan rakyat makin tertekan sama harga kebutuhan sehari-hari. Akhirnya, muncul kebijakan populis instan yang cuma jadi plester luka besar. Hasilnya? Ekonomi stagnan, kesenjangan makin lebar, dan Indonesia jadi gampang goyah kalau ada badai global lagi.

Best Case Scenario (versi happy ending):
Kalau reformasi dijalanin beneran, ceritanya beda jauh. Rupiah stabil, BI tetep kalem, ekonomi tetep jalan. Subsidi BBM dipangkas pelan-pelan tapi rakyat kecil dikasih bantuan langsung biar nggak kejedot harga. Duit APBN yang tadinya kebuang buat subsidi bisa dipakai buat bangun infrastruktur, energi hijau, sampai digitalisasi. Pajak dikumpulin pakai sistem canggih, jadi yang suka ngemplang pajak langsung ketahuan. Utang negara dikelola kayak gamer pro yang ngerti strategi: aman, terkendali, dan fleksibel kalau ada serangan mendadak. Rakyat? Harga stabil, lapangan kerja makin banyak, kesenjangan makin mengecil. Indonesia pun bisa tampil jadi pemain tangguh di Asia Tenggara, bukan sekadar penonton.

Kontributor utama pendapatan negara Indonesia adalah pajak. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023, penerimaan pajak menyumbang sekitar 80,32% dari total pendapatan negara, sementara Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berkontribusi sekitar 19,56%, dan hibah hanya sebesar 0,12%—jumlah yang sangat kecil.

Rincian proyeksi tahun 2024 menunjukkan bahwa total pendapatan negara diperkirakan mencapai sekitar Rp 2.781,3 triliun, dengan penerimaan pajak sebesar Rp 2.307,9 triliun, PNBP sebesar Rp 473,0 triliun, dan hibah hanya Rp 0,4 triliun.

Dengan demikian, sebagian besar pendapatan Indonesia berasal dari pajak, khususnya pajak korporasi dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sementara pendapatan bukan pajak tetap memainkan peran yang lebih kecil namun tetap signifikan.

Kategori Pengeluaran Pemerintah Terbesar

Melihat alokasi anggaran memberikan gambaran tentang ke mana dana negara diarahkan:
APBN 2023:
  • Pendidikan menerima alokasi terbesar sebesar Rp 612,2 triliun.
  • Perlindungan sosial menyusul dengan Rp 476 triliun.
  • Subsidi energi dan kompensasi terkait mencapai Rp 341,3 triliun.
  • Infrastruktur dialokasikan sebesar Rp 392,1 triliun.
  • Kesehatan menerima Rp 178,7 triliun.
Proyeksi APBN 2024:
  • Pendidikan sekitar 20% dari total anggaran.
  • Kesehatan sekitar 5,6%.
  • Perlindungan sosial mendekati 18%.
Rencana APBN 2025:
  • Pendidikan tetap menjadi prioritas utama dengan alokasi Rp 722,6 triliun.
  • Perlindungan sosial menyusul dengan Rp 504,7 triliun.
  • Kesehatan dialokasikan Rp 197,8 triliun (sekitar 5,5% dari total belanja).
Sumber utama pendapatan Indonesia adalah pajak, yang mencakup sekitar 80% dari total pendapatan pemerintah. Sementara itu, pendapatan bukan pajak—yang berasal dari BUMN, royalti sumber daya alam, dan lainnya—mengisi sisanya.

Di sisi pengeluaran, alokasi terbesar secara konsisten diarahkan untuk:
  • Pendidikan (porsi terbesar),
  • Program perlindungan sosial,
  • Subsidi—terutama untuk energi dan bahan bakar,
  • Infrastruktur, serta
  • Layanan kesehatan.

PNBP alias “pemasukan non-pajak” itu ibarat side hustle negara. Yang paling gede jelas masih dari tambang, migas, sama hasil bumi lain—kayak nungguin bonus tiap harga batubara atau minyak lagi naik. Tapi ya itu, kalau harga dunia lagi jeblok, duitnya juga langsung kempes. Jadi ini lebih mirip income musiman, kadang tajir, kadang pas-pasan.
Sumber lain yang lumayan stabil datang dari BUMN. Mereka tiap tahun setor dividen ke negara, kayak anak kos yang rajin transfer ke orang tua biar kelihatan berbakti. Sektor energi, telekomunikasi, sampai perbankan biasanya jadi penyumbang utama. Selain itu, ada juga duit recehan tapi tetap dihitung, misalnya dari izin, biaya administrasi, atau pemanfaatan aset negara—tapi porsinya kecil banget dibanding duit tambang.
Kalau dibandingin antar sektor, tambang dan migas masih jadi “raja” PNBP, tapi perannya mulai turun karena pemerintah pengen nggak terlalu ketergantungan. Dividen BUMN makin naik pamornya, sementara PNBP dari sektor lain kayak pariwisata, bandara, atau spektrum digital masih kayak pemain cadangan yang jarang diturunin. Jadi PR besar Indonesia adalah gimana caranya bikin PNBP non-tambang makin gede, biar nggak terus-terusan hidup dari harga komoditas yang mood-nya gampang berubah kayak netizen.

Bayangin, ekonomi global sekarang itu kayak cuaca super unpredictable di series scifi: kadang cerah, kadang badai. Permainan tarif dan perang dagang AS–China bikin ekspor Indonesia kayak jadi korban cast shippable yang tiba-tiba dibatalin—permintaannya turun, ekspornya rada nge-drop. IMF sama OECD sampai revisi proyeksinya turun, jadi jalan naiknya nggak mulus. Mata uang rupiah juga kena imbas, lemah karena Fed AS masih garang di suku bunga tinggi—kayak investor kabur ke drama yang lebih stabil.
Tapi, Indonesia ini kayak karakter utama yang tahan banting—makroekonominya strong: inflasi low, cadangan devisa tebel, disiplin fiskal solid. Jadi meski momen bikin pusing, tetap bisa bertahan dari gempuran dunia luar. Yang bikin APBN pasang-surut ya karena harga komoditas suka nge-plot twist—kadang untung gede, kadang minus karena harga anjlok—ini bikin dana masuk negara gak stabil 

Trus, kenapa No Tax Hikes alias no kenaikan pajak?

Jadi gini ceritanya, negara lagi punya target pemasukan yang naik buat 2026, tapi mereka punya prinsip, “Dompet rakyat nggak boleh terlalu ketekuk.” Jadi bukan mau nambahin "tax rate" baru atau naikin tarif pajak—ini kayak minta orang nggak usah capek-capek ngantri bayar pajak lebih banyak, tapi lebih ke nge-push buat yang udah bayar biar lebih rajin dan disiplin lewat enforcement yang dikegas, admin pajak yang dipermudah, plus digitalisasi yang bikin jadi makin gampang, bukan makin ribet. Ibaratnya, daripada terus maksa beli combo paket baru, mending yang combo lama dijualannya aja ditingkatin performanya biar laris manis. Realitanya, pemerintah lebih milih makeover daripada ganti baju. Jadi, selama ini aset pajak masih sama, tapi dijalanin dengan lebih ciamik supaya hasilnya maksimal—tanpa bikin rakyat kesakitan.

Kalau kita ngelihat di “atelier” APBN 2025, pemerintah emang sengaja buka kran utang lebih awal. Angka defisitnya sekitar 2,53 persen dari PDB, dan buat nutupin itu, mereka siapkan Rp 775,9 triliun dari hasil utang dan pinjaman. Nah, sini menariknya: hampir setengah dari duit itu udah “dipreteli” di semester pertama—makanya bantuan sosial, pembangunan jalan, semua tetap jalan. Strateginya disebut “front-loading”—kayak mau beli tiket konser murah sekarang sebelum harganya naik.
Selain itu, daring global lagi crazy: perang dagang sana-sini, harga komoditas roller-coaster, bikin ngeramal pemasukan negara kayak baca ramalan cuaca ekstrem. Jadi pemerintah bilang, mendingan amanin duit dulu, biar kalau nanti kondisi makin susah, mereka masih bisa ngegas proyek penting—seperti rumah rakyat, kesehatan, dan sekolah.
Tentu saja, utang itu punya resiko juga. Kalau pajak nggak tumbuh, tapi utang makin banyak, bisa jadi “gali lubang tutup lubang”—alias utang dipakai buat bayar bunga utang. Tapi sejauh ini, porsi utang masih tergolong sehat kok—masih jauh di bawah batas aman 60 persen dari PDB. Jadi, bukan utang sembarangan, tapi utang yang “dijaga agar tetep stylish”.

Kalau dibayangin lewat layar drama serial ekonomi, sepertinya utang Indonesia bakal lebih mirip genre “slow burn”, bukan “fade to black.” Artinya, utangnya sih masih naik di angka nominal, tapi yang seru adalah berapa persen dari “PDB drama” sih utangnya—itu yang mulai bisa diredam sedikit demi sedikit.
Di episodenya tahun 2026 sampai 2028, pemerintah bilang: “Kita ambil defisitnya ke 2,48% dari PDB, dan semoga tahun 2027–2028 udah “zero deficit,” alias seimbang,” sambil ngegas target penerimaan pajak naik hampir 10%. OECD bilang, kalau pendapatan pemerintah terus ditingkatkan secara berkelanjutan dari 2026, ratio utang terhadap PDB bisa diturunkan secara perlahan.
Tapi realitanya, menurut S&P Global, utang bersih negara bisa tetep nambah sekitar 2,7% dari PDB per tahun sampai 2028—jadi jumlahnya lumayan naik, cuma porsinya di PDB tetep bisa dikit meredup kalau ekonomi juga jalan cepat.
Jadi intinya begini: utang gak langsung hilang, tapi dengan proper economic “plot twist”—seperti growth yang stabil dan penerimaan pajak yang meningkat—beban utang relatif terhadap ekonomi bisa pelan-pelan menyusut. Ibaratnya, meski utangnya masih nambah—kaya episode kelanjutan—tapi rating-nya terhadap keseluruhan cerita ekonomi kita bisa makin sehat.

Bisa gak sih APBN itu surplus?
Secara teori, iya banget: APBN bisa aja jadi surplus—alias pemasukan negara lebih gede daripada pengeluaran. Tapi dalam realita, itu kayak adegan cameo di film: ada, tapi jarang banget nongol.
Caranya?
  • Naikin pendapatan negara: pajak makin rapih, yang ngemplang pajak digebuk, sistem digital jalan, plus pemasukan non-pajak kayak dividen BUMN, royalti tambang, sampai bea cukai.
  • Ngirit belanja: subsidi diarahin lebih tepat, proyek-proyek yang cuma buat pencitraan dipangkas, dan fokus ke investasi produktif kayak infrastruktur, pendidikan, sama kesehatan.

Sekarang pemerintah lagi ngegas: defisit 2026 ditargetin 2,48% dari PDB, terus 2027–2028 katanya mau nol alias balance. Kalau pendapatan negara ngebut lebih kenceng dari target, ya siapa tau bisa nyenggol surplus tipis-tipis.
Tapi, ada twist-nya: surplus juga belum tentu manis. Kadang malah berarti negara kurang belanja buat rakyat, alias terlalu pelit investasi. Jadi lebih penting itu fiskal sehat dan stabil, ketimbang sekadar gaya-gayaan bilang “kita surplus, loh!”.

“Fiskal sehat dan stabil” itu ibarat keuangan keluarga yang nggak cuma cukup buat sehari-hari, tapi juga kuat kalau tiba-tiba ada musibah. Jadi bukan berarti selalu nabung gede tiap bulan (surplus), tapi lebih ke: kalau belanja ya masih dalam batas wajar, kalau ngutang ya nggak bikin kepala pusing tujuh keliling, dan kalau keluar duit, itu dipakai buat hal yang bikin masa depan lebih cerah, bukan buat foya-foya.
Indikatornya kira-kira gini:
  • Defisit jangan kebablasan: boleh minus, tapi kecil dan jelas dipakai buat investasi, bukan buat jajan sembako politik.
  • Utang masih terukur: rasio utang dibanding PDB nggak naik liar kayak harga tiket konser K-pop, tetap bisa dikontrol.
  • Belanja fokus ke hal produktif: sekolah, rumah sakit, jalan tol, listrik, internet—bukan proyek mercusuar yang cuma cakep di Instagram pejabat.
  • Pendapatan stabil dan beragam: pajak lancar, BUMN setor dividen, tambang nyumbang, plus sumber baru kayak digital economy. Jadi negara nggak kayak freelancer yang nunggu “orderan” naik-turun harga komoditas.

Stabil di sini artinya kalau dunia lagi gonjang-ganjing—harga minyak anjlok, dolar ngambek, atau krisis global melanda—Indonesia masih bisa jalan terus tanpa drama bangkrut. Investor pun lebih percaya, rakyat lebih tenang, dan pemerintah nggak perlu jadi tukang cetak uang yang bikin inflasi meroket.

Mari kita lihat contoh negara yang berhasil menjaga fiskal sehat dan stabil, lalu kita bandingin sama yang gagal.

Contoh negara yang sukses:
  • Swedia itu kayak orang yang pernah bangkrut gara-gara gaya hidup, terus insaf, bikin aturan ketat soal belanja, rajin nabung, dan akhirnya bisa hidup mapan lagi. Pajaknya tinggi, iya, tapi duitnya balik ke rakyat lewat sekolah, kesehatan, dan jaminan sosial. Jadi kalau ada krisis global, Swedia bisa bilang: “Santuy, masih ada tabungan kok.”
  • Singapura lebih ekstrim lagi. Mereka punya aturan konstitusi yang bilang: “Bro, jangan sampai ngutang kebablasan.” Jadi APBN-nya harus balance dalam jangka lima tahun. Ibaratnya Singapura itu tetangga super rajin yang selalu catat pengeluaran di Excel, plus punya investasi dari BUMN kelas dunia yang setor dividen gede.

Contoh negara yang gagal:
  • Argentina mirip orang yang tiap bulan ngutang buat gaya hidup, terus pas jatuh tempo bingung bayar, akhirnya gali lubang tutup lubang. Pemerintahnya sering janji mau beresin ekonomi, tapi ujung-ujungnya tetap kebanyakan subsidi populis, pajaknya lemah, dan hasilnya ya krisis datang lagi kayak sinetron yang nggak ada ending.
  • Yunani sebelum 2010 juga begitu. Utang gede, belanja negara jor-joran buat sektor publik, pajak banyak bocor. Pas investor global bilang “udah nggak percaya lagi”, Yunani langsung megap-megap, terpaksa minta bailout, dan rakyatnya kena imbas: gaji dipotong, fasilitas publik dihemat, ekonomi ambruk bertahun-tahun.

Pelajaran pentingnya: fiskal sehat itu bukan soal pamer nggak pernah minus, tapi soal disiplin, transparansi, dan mikir panjang. Negara yang rapi kayak Swedia dan Singapura bisa tahan banting, sementara yang ugal-ugalan kayak Argentina dan Yunani ujungnya jadi drama tragedi ekonomi.

Kalau Indonesia kita bandingin, posisinya tuh lagi di tengah-tengah: belum seketat Swedia atau Singapura yang super disiplin, tapi juga nggak amburadul kayak Argentina atau Yunani yang gampang ambruk.

Sisi positifnya:

  • Utang Indonesia masih relatif aman, sekitar 39% dari PDB (2024). Itu jauh lebih rendah dibanding negara maju yang bisa 80–100% ke atas.
  • Ada aturan “rem tangan darurat”: defisit APBN maksimal 3% dari PDB dan utang maksimal 60%. Aturan ini lahir gara-gara trauma krisis 1998, jadi kayak alarm biar pejabat nggak jor-joran belanja.
  • Lagian, utang Indonesia banyak juga yang ditopang dari dalam negeri lewat surat utang, jadi nggak 100% tergantung asing. Investor pun masih lumayan percaya.

Tapi ada PR gede:

  • Pemasukan negara masih ketergantungan banget sama komoditas kayak batubara sama sawit. Jadi kalau harga dunia lagi jatuh, keuangan negara langsung kembang-kempis.
  • Pajak masih cupu: cuma sekitar 10–11% dari PDB, padahal standar negara maju bisa dua kali lipatnya.
  • Belanja makin berat: subsidi, infrastruktur, bansos—all you can spend. Kalau bunga global tetep tinggi dan harga komoditas jeblok, defisit bisa jebol, cicilan utang juga makin nyesek.

Kesimpulannya: Indonesia nggak bakal tiba-tiba ambruk kek ala Argentina atau Yunani, tapi juga belum bisa santuy kayak Swedia atau Singapura. Masa depannya tergantung: kalau pajak dibenerin, belanja lebih bijak, dan ketergantungan komoditas dikurangi, Indonesia bisa naik kelas ke “fiskal aman sentosa”. Tapi kalau ngelantur, ya siap-siap global shock bisa bikin pusing tujuh keliling lagi.

Kalau ngomong “benerin pajak,” itu bukan berarti langsung naikin tarif biar duit masuk banyak. Yang bener justru: sistemnya dibikin lebih adil, lebih rapih, dan lebih dipercaya rakyat.
Masalah utamanya ada di sini:

  • Basis pajak sempit: yang kaya raya dan korporasi gede sering punya seribu cara buat ngumpet dari pajak, sementara rakyat biasa sama UMKM yang nggak bisa ngeles malah jadi tulang punggung. Jadi pembenahan pertama harusnya: kejar yang punya kapasitas bayar, jangan cuma nyari gampang dari rakyat kecil.
  • Kepatuhan dan pengawasan lemah: masih ada kebocoran, korupsi, data yang nggak nyambung, plus sistem yang ketinggalan zaman. Jadi yang perlu dibenahin dulu ya institusinya—Direktorat Pajak harus makin digital, makin transparan, dan integritas pegawainya makin kuat.
  • Aturan ribet: makin ribet, makin banyak celah buat ngeles. Kalau sistemnya disederhanain, rakyat juga lebih gampang ngerti, perusahaan juga nggak pusing, negara pun nggak gampang kecolongan.
  • Masalah trust: rakyat sering ngerasa, “Lah, duit pajak gue kemana? Jalan bolong, yaa masih bolong, pelayanan publik gitu-gitu aja.” Nah, ini kudu diubah. Kalau rakyat lihat duit pajak beneran balik dalam bentuk sekolah bagus, rumah sakit oke, jalan lancar, orang jadi lebih rela bayar pajak.

Jadi kuncinya bukan “peras rakyat” tapi bikin pajak terasa adil: yang mampu bayar lebih, sistemnya transparan, dan duitnya jelas manfaatnya. Kalau itu beres, pajak naik pun rakyat bisa lebih legowo.
Contoh sukses paling hits: negara-negara Nordik (Swedia, Denmark, Norwegia). Pajaknya bisa tembus 40–50% dari gaji, tapi rakyatnya adem-ayem aja. Kok bisa? Karena mereka yakin duit pajak balik ke mereka dalam bentuk layanan keren: rumah sakit gratis dan top, sekolah sampai kuliah berkualitas, transportasi umum nyaman, sampai jaminan sosial kalau lagi susah. Jadi rakyat mikir, “Ya udah lah, pajak gue balik jadi fasilitas keren, fair kok.”
Jerman juga gitu. Sistem pajaknya ribet tapi progresif: makin kaya, makin tinggi pajak loe. Tapi rakyatnya nggak terlalu ngedumel karena mereka ngelihat hasilnya: jalan tol mulus, sekolah vokasi canggih, infrastruktur kelas wahid. Jadi ada rasa: “Pajak gue buat masa depan anak cucu, bukan hilang ke kantong gelap.”
Singapura beda gaya: pajaknya nggak setinggi Eropa, tapi compliance tinggi banget. Kenapa? Karena sistemnya rapih, birokratnya profesional, korupsi minim, dan hasilnya nyata: MRT super efisien, rumah subsidi rapi, layanan kesehatan oke. Jadi rakyat mikir: “Gue bayar, gue dapet balik. Fair deal.”
Nah, Indonesia? Di sini masalahnya trust. Banyak orang ngerasa pajak nggak adil: yang kaya bisa kabur pake loophole, rakyat kecil nggak bisa ngeles. Terus, duit pajak yang masuk sering nggak keliatan baliknya. Jalan masih bolong, layanan publik biasa aja, dan ada kesan bocor ke sana-sini. Akhirnya rakyat mikir, “Ngapain bayar pajak kalau manfaatnya nggak kerasa?”
Jadi kuncinya simpel: kalau rakyat percaya duit pajak beneran balik ke mereka, mereka bakal lebih rela bayar. Trust dulu yang dibangun, baru tarif bisa dinaikin pelan-pelan tanpa bikin rakyat megap-megap.

Kalau Indonesia berhasil bikin rakyat percaya sama sistem pajaknya, dampaknya bisa gokil banget. Bayangin kalau orang ngerasa duit pajak beneran transparan dan dipakai buat hal produktif, mereka bakal lebih rela bayar tanpa harus dikejar-kejar. Hasilnya, rasio pajak terhadap PDB bisa naik dari 10–11% jadi 15% atau lebih, alias duit negara nambah ratusan triliun rupiah. Dengan duit segede itu, pemerintah bisa lebih leluasa bangun jalan tol, sekolah, rumah sakit, sampai bansos, tanpa mesti terus-terusan ngutang. Kalau siklus ini jalan—trust bikin orang patuh, patuh bikin penerimaan naik, penerimaan bikin layanan publik makin oke—Indonesia bisa keluar dari drama fiskal rapuh dan masuk ke jalur perkembangan yang lebih mantap.
Tapi kalau trust tetep rendah, ceritanya jadi beda. Rakyat bakal terus nganggep pajak itu beban, bukan investasi sosial. Trus, kalau mau ngutang, rakyat bakalan ngerasa, waah kita bakalan dipajekin lagi nih. Akhirnya banyak yang milih ngeles, ngumpet, atau underreporting, bikin basis pajak tetep sempit. Negara pun kejebak di siklus stagnan: pendapatan seret, defisit makin lebar, utang makin numpuk. Solusi daruratnya ya balik lagi ke jualan komoditas dan nambah utang, padahal dua-duanya gampang goyah kalau dunia lagi gonjang-ganjing. Ujung-ujungnya, pembangunan jangka panjang kayak kesehatan universal atau infrastruktur kelas dunia cuma jadi mimpi di powerpoint.
So, Indonesia lagi ada di persimpangan jalan: mau pilih jalur “trust bikin fiskal sehat” atau jalur “distrust bikin negara ngos-ngosan”. Dan lucunya, ini bukan soal tarif pajak tinggi atau rendah, tapi soal rakyat yakin atau nggak kalau duit mereka aman di tangan negara.

Kalau mau bikin rakyat rela bayar pajak dalam lima tahun ke depan, pemerintah mesti main cerdas—bukan ngejar angka doang, tapi bikin sistemnya enak, adil, dan kelihatan manfa’atnya. Pertama, urusan pajak kudu digital penuh: ngurus SPT, bayar, komplain, semua lewat satu aplikasi yang gampang dipakai. Kalau ngurus pajak kayak pesan ojek online, orang nggak akan kapok bayar. Kedua, aturan pajaknya disederhanain: buang celah yang dipakai pengemplang, tapi pertahankan prinsip progresif — yang mampu bayar lebih, yang kecil dapat perlakuan gampang.
Selain itu, aparat pajak harus bersih dan profesional. Perketat kode etik, awasi auditor, putar orang di posisi rawan korupsi, dan publikasikan hasil audit supaya publik lihat bahwa penindakan nggak pilih kasih. Transparansi soal pemakaian duit pajak juga wajib: buat dashboard gampang dimengerti yang nunjukin duitnya dipakai buat apa, kapan, dan hasilnya apa. Kalau warga bisa lihat sekolah baru atau puskesmas yang berdiri karena pajak mereka, kepercayaan naik.
Sisi pendapatan jangan dipaksa naikin tarif aja; perluasan basis pajak dan penertiban yang pintar lebih jitu. Sambungkan database antar-instansi (pajak, bea cukai, BUMN, tanah, laporan keuangan), tarik usaha informal ke skema pajak mikro yang sederhana, dan kalau perlu tawarkan program regulasi ulang yang dibatasi waktu supaya yang ngumpet mau ikut. Semua ini jangan lupa dibarengi reformasi pengeluaran: kurangi subsidi yang boros tapi kompensasi ke rakyat miskin dengan bantuan tepat sasaran, lalu alihkan duitnya ke proyek yang kelihatan: sekolah, kesehatan, pelatihan kerja.
Terakhir, ini urusan politik juga, bukan cuma teknis. Mulai dari pilot di beberapa provinsi yang gampang tunjuk hasil, lalu skala perlahan. Jalanin kampanye edukasi publik bareng pemerintah daerah dan LSM, dan laporkan kemajuan pakai KPI yang jelas. Kalau dalam dua tahun ada bukti nyata — misalnya jumlah murid sekolah naik atau layanan kesehatan lebih lancar—publik bakal mulai percaya dan compliance bisa ngikut.
Intinya, jangan paksain rakyat nangis dulu baru minta pajak lebih. Bikin sistemnya nyaman, belanjanya kelihatan manfaatnya, aparatnya bersih, dan komunikasinya jujur. Kalau itu beres, pajak yang naek nanti bukan karena dipaksa, tapi karena rakyat ngerasa “okeh, ini worth it.”