Rabu, 03 September 2025

Bahaya Komunisme bagi Demokrasi Indonesia (2)

Yang namanya tuntutan 17+8 warna pink itu sebenernya kumpulan aspirasi politik dan sosial yang sengaja dibuat agak ngegas tapi tetep penuh simbol. Angka tujuh belas biasanya nyambung ke pasal-pasal konstitusi atau idealisme besar soal keadilan, kesetaraan, dan keterbukaan, sementara tambahan delapan itu lebih pada kebutuhan sehari-hari kayak jaminan ekonomi, perbaikan pendidikan, dan perlindungan hak sipil. Kalau digabung, “17+8” jadi semacam manifesto yang nyatuin antara visi jangka panjang sama realitas rakyat di jalanan. Nah, yang bikin ngejreng bukan cuma isi tuntutannya, tapi pilihan warnanya. Kenapa pink? Bukan asal-asalan, tapi strategi sadar buat nge-prank simbol politik yang biasanya maskulin dan garang. Pink yang biasanya dikira lembut atau main-main malah diputer balik jadi tanda keberanian, kebersamaan, dan perlawanan. Pesannya jelas: mereka nggak perlu warna sangar kayak hitam, merah, atau hijau tentara buat nunjukin ketegasan. Dengan pink, mereka justru nunjukin ironi, kreativitas, sekaligus inklusivitas—jadilah tuntutan yang kelihatan unik, eye-catching, dan susah diabaikan cuma sebagai teriakan demo biasa.
Dalam sejarah modern, warna pink udah sering nongol sebagai lambang perlawanan, ironi, dan identitas kolektif. Di awal 2000-an, ada kelompok aktivis Amerika bernama Code Pink yang sengaja milih warna ini buat ngeledek budaya militer di Washington. Mereka bukannya pakai warna gelap, malah demo anti perang Irak dengan kostum pink mencolok—hal yang tadinya dianggep remeh malah jadi simbol serius. Di Amerika Latin, pink juga dipakai dalam aksi-aksi perempuan buat ngehantam kemunafikan pemerintah yang ngaku pro-keluarga tapi abai sama keadilan sosial. Di Eropa, segitiga pink awalnya dipakai Nazi buat ngecap tahanan homoseksual, tapi kemudian direbut balik sama gerakan LGBTQ+ jadi simbol kebanggaan, ketahanan, dan martabat. Contoh-contoh ini nunjukin kalau pink itu kayak senjata budaya bermata dua: yang tadinya dipakai buat ngelecehkan justru bisa diputer jadi pernyataan kekuatan, solidaritas, dan penolakan tunduk pada narasi penguasa. Jadi pas kita lihat tuntutan 17+8 warna pink, itu bukan hal random, tapi bagian dari tradisi perlawanan global di mana warna sendiri berubah jadi bahasa politik.

Dalam konteks Indonesia, pink itu punya beban ganda—di satu sisi kelihatan main-main, feminin, atau agak norak, tapi di sisi lain justru bisa jadi senjata sindiran. Contohnya di Jakarta, ada kursi pink di busway yang niat awalnya buat lindungi perempuan, tapi diam-diam juga jadi kritik kalau solusi yang dipilih negara lebih ke pemisahan, bukan bener-bener bikin transportasi aman. Di politik, warna pink kadang dipakai buat ngebikin citra calon lebih ramah dan merakyat, supaya nggak kelihatan kaku atau elitis. Belakangan ini, anak-anak muda justru ngerebut pink buat aksi-aksi jalanan: dari spanduk, grafiti, sampai kostum performa, pink dipakai buat ngegugat dominasi warna-warna “serius” kayak merah, putih, atau hitam. Hasilnya, pink nggak lagi identik sama kelembutan doang, tapi jadi tanda perlawanan kreatif—baik soal kesetaraan gender, lawan korupsi, kritik kerusakan lingkungan, sampai jeritan soal ketimpangan. Jadi pas tuntutan 17+8 dikemas dengan pink, gerakannya bukan cuma nyindir politik resmi yang kaku, tapi juga ngebawa energi ceria, kreatif, sekaligus bandel khas budaya protes Indonesia.

Berikut isi lengkap Tuntutan Rakyat 17+8:

17 Tuntutan Jangka Pendek (yang harus dipenuhi paling lambat 5 September 2025)
Tindakan segera ini ditujukan kepada berbagai cabang pemerintahan dan institusi:

  • Kepada Presiden:
    • Tarik kembali keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari penegakan hukum sipil dan pastikan tidak ada kriminalisasi terhadap para demonstran.
    • Bentuk komisi investigasi independen dengan mandat yang jelas dan transparan untuk menyelidiki kasus Affan Kurniawan, Umar Amarudin, dan korban kekerasan aparat lainnya selama aksi protes 28–30 Agustus.
  • Kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR):
    • Bekukan kenaikan gaji dan tunjangan anggota parlemen; batalkan manfaat-manfaat baru, termasuk pensiun.
    • Publikasikan secara transparan rincian anggaran, gaji, tunjangan perumahan, dan dana lainnya.
    • Dorong Badan Kehormatan DPR untuk menyelidiki anggota yang tidak etis atau terlibat skandal.
  • Kepada Partai Politik:
    • Pecat atau beri sanksi kepada wakil rakyat yang tidak etis dan menjadi sumber kemarahan publik.
    • Nyatakan secara terbuka bahwa partai mendukung rakyat dalam masa krisis.
    • Libatkan kader partai dalam dialog publik bersama mahasiswa dan masyarakat sipil.
  • Kepada Kepolisian:
    • Bebaskan semua demonstran yang ditahan.
    • Hentikan kekerasan oleh aparat dan tegakkan Prosedur Operasional Standar (SOP) dalam pengamanan aksi.
    • Tangkap dan adili petugas serta komandan yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia.
  • Kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI):
    • Kembali sepenuhnya ke barak dan hentikan keterlibatan dalam urusan sipil.
    • Tegakkan disiplin internal; pastikan TNI tidak mencampuri fungsi kepolisian.
    • Nyatakan komitmen secara terbuka untuk tidak memasuki ruang sipil selama krisis demokrasi.
  • Kepada Kementerian Ekonomi / Otoritas Ketenagakerjaan:
    • Jamin upah yang adil bagi seluruh pekerja di Indonesia.
    • Terapkan langkah darurat untuk mencegah PHK massal dan lindungi pekerja kontrak.
    • Buka dialog dengan serikat buruh terkait upah minimum dan praktik outsourcing.

8 Tuntutan Jangka Panjang (yang harus dicapai paling lambat 31 Agustus 2026)

Berikut reformasi sistemik yang ditujukan untuk perubahan struktural:

  1. Pembersihan dan reformasi DPR. Lakukan audit independen, publikasikan hasilnya, tingkatkan standar keanggotaan (misalnya: bebas dari riwayat korupsi), terapkan indikator kinerja (KPI), dan hapuskan hak istimewa seperti pensiun seumur hidup atau fasilitas transportasi khusus.
  2. Reformasi partai politik dan pengawasan eksekutif yang lebih baik. Partai politik wajib mempublikasikan laporan keuangan dalam satu tahun, dan DPR harus memastikan fungsi oposisi berjalan sebagaimana mestinya.
  3. Reformasi pajak yang lebih adil. Seimbangkan transfer anggaran ke pemerintah daerah dan hindari kenaikan pajak yang membebani rakyat.
  4. Pengesahan dan penegakan Undang-Undang Perampasan Aset. Perkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan undang-undang terkait (misalnya: legislasi anti-korupsi).
  5. Reformasi institusi kepolisian. Jadikan kepolisian lebih profesional dan manusiawi; desentralisasi fungsi penegakan hukum publik dan pengaturan lalu lintas.
  6. Pengembalian TNI sepenuhnya ke peran non-sipil. Cabut mandat militer dalam proyek-proyek sipil seperti lumbung pangan; reformasi Undang-Undang TNI.
  7. Penguatan lembaga hak asasi manusia dan pengawasan. Revisi Undang-Undang Komnas HAM untuk memperluas mandat, serta berikan kewenangan lebih kepada Ombudsman dan Kompolnas.
  8. Peninjauan kebijakan ekonomi dan ketenagakerjaan. Tinjau ulang proyek strategis nasional (PSN), lindungi komunitas adat dan lingkungan, evaluasi kembali Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law), dan audit tatakelola BUMN.

Mengapa Warna Pink dan Hijau?

  • “Warna Brave Pink”: Warna pink terinspirasi dari foto seorang perempuan berhijab merah muda yang dengan gagah berani berdiri di garis depan menghadapi aparat kepolisian saat aksi protes pada 28 Agustus. Warna ini kemudian menjadi simbol keberanian yang lahir dari kasih sayang, mengubah warna yang secara tradisional dianggap “lembut” menjadi lambang kekuatan yang menantang.
  • “Warna Hero Green”: Warna hijau merujuk pada jaket yang dikenakan oleh pengemudi ojek, Affan Kurniawan, yang secara tragis meninggal dunia setelah ditabrak kendaraan polisi saat demonstrasi. Warna ini berkembang menjadi simbol harapan, empati, serta dorongan bagi keadilan dan reformasi.

Tuntutan 17+8 dari Rakyat terdiri dari tujuh belas tuntutan jangka pendek dan delapan tuntutan jangka panjang yang lahir dari gelombang demonstrasi di seluruh Indonesia pada Agustus 2025. Tuntutan jangka pendek menyoroti kebutuhan mendesak—seperti penghapusan peran militer dalam penegakan hukum sipil, investigasi atas kasus kekerasan aparat, penghentian kenaikan gaji anggota dewan, dan perlindungan hak-hak buruh. Sementara tuntutan jangka panjang menuntut reformasi demokratis yang lebih dalam—meliputi pembenahan parlemen, partai politik, kepolisian, lembaga hak asasi manusia, dan kerangka kebijakan ekonomi.

Simbolisme pink dalam tuntutan 17+8 hanya bisa dipahami kalau kita lihat dari kacamata global dan lokal sekaligus. Di level dunia, pink udah berubah dari cap remeh atau stigma jadi lencana ketahanan, ironi, dan kekuatan kolektif—entah di demo anti-perang, gerakan feminis, atau perjuangan LGBTQ+. Di Indonesia sendiri, pink jadi satire terhadap otoritas sekaligus cara rebut panggung politik, bikin sesuatu yang tadinya dianggap sepele malah bikin elite status quo keringetan. Warna ini jadi jembatan lintas dunia: dari kursi pink busway di Jakarta nyambung ke jalanan Amerika Latin, dari spanduk mahasiswa Indonesia sampai karya seni protes di Eropa. Jadi kalau ada yang nyebut pink itu cuma “imut”, jelas kelewat dangkal—karena pink udah menjelma jadi bahasa baru perlawanan. Dengan begitu, tuntutan 17+8 warna pink bukan sekadar daftar uneg-uneg, tapi pernyataan budaya: bahwa perlawanan bisa ceria, inklusif, dan usil, tapi tetap serius menghantam jantung masalah.

Ngomongin komunisme di Indonesia itu kayak buka kotak pandora—penuh trauma, ingatan, sekaligus manipulasi. Sejak 1965, kata “komunis” dipakai bukan buat analisis, tapi buat nakut-nakutin. Buruh yang nuntut upah layak, petani yang minta tanah, mahasiswa yang demo, sering banget langsung dicap komunis. Padahal jelas-jelas isunya nggak ada hubungannya. Makanya, munculnya 17+8 bikin obrolan ini balik lagi: apa setiap dorongan reformasi struktural otomatis harus dicap “merah”? Atau justru ini kelanjutan alami dari aspirasi demokrasi yang selama ini ditekan di bawah bayang-bayang paranoia Perang Dingin?
Di zaman Orde Baru, rezim bener-bener jadi “pemilik tunggal” narasi. Kata “komunis” dipakai kayak palu besar buat mukul siapa aja yang berani beda suara. Tapi pasca-Reformasi, apalagi di era Jokowi, arah anginnya kebalik. Negara udah nggak lagi punya monopoli penuh atas cerita itu, dan label “komunis” udah nggak setajam dulu. Justru yang muncul adalah strategi sebaliknya: eks PKI dan simpatisannya berbalik, narasi mereka dipoles jadi kisah korban. Dengan bawa jargon HAM, mereka minta diakui secara moral, bahkan ada yang dorong sampai kompensasi materi. Jadi, istilah penderitaan yang dulu bikin mereka bungkam, sekarang dipakai lagi buat nuntut legitimasi. Hasilnya, politik ingatan di Indonesia tetap jadi arena rebutan, siapa yang bisa kuasai memori, bisa ngeklaim posisi paling benar.

Dari sudut pandang narasi publik di Indonesia, istilah “Komunisme” dipelintir dua kali—pertama oleh negara, dan kemudian oleh mereka yang dulu dipinggirkan setelah Reformasi. Di masa Orde Baru, stempel "komunis" digunakan negara seperti palu godam buat nunjuk siapa musuh, siapa bisa ditumpas. Tapi pas era Jokowi, rezim udah nggak terlalu peduli lagi sama narasi itu, kayak lepas kendali pasar. Nah, di situlah eks PKI dan simpatisannya maju ke depan, pakai jargon HAM untuk ngeklaim mereka juga “korban”—bahkan sampai minta ganti rugi. 

Grace Tjandra Leksana, dalam bukunya Memory Culture of the Anti-Leftist Violence in Indonesia (2023, Amsterdam University Press), mengambil posisi yang cukup jelas: ia menilai bahwa kekerasan pasca-G30S 1965 bukan semata peristiwa politik untuk menggulung PKI, melainkan sebuah tragedi kemanusiaan yang meninggalkan trauma panjang. Ia gak nulis dari sudut pandang ideologi komunis sebagai doktrin, melainkan lebih menyoroti bagaimana label “komunis” dipakai untuk membenarkan kekerasan, diskriminasi, dan stigmatisasi yang berlangsung puluhan tahun. Tentang G30S-PKI, penulis tak membela aksi kudeta itu sendiri, tetapi ia menilai bahwa narasi resmi negara—yang menekankan kekejaman PKI—telah menutup ruang bagi cerita dari pihak yang distigma. Baginya, banyak orang yang tak terlibat langsung dengan PKI ikut tersapu dalam kekerasan 1965–66, dan ketika mereka atau keturunannya mencoba berbicara tentang penderitaan itu, mereka kerap ditolak karena narasi sejarah resmi hanya mengenal satu kebenaran: PKI sebagai pelaku tunggal kejahatan. Dengan kata lain, penilaian Grace Leksana tentang komunisme dan G30S-PKI lebih berangkat dari pendekatan memory studies dan human rights. Ia gak menjustifikasi komunisme, tetapi menyoroti bagaimana “komunisme” dijadikan stempel untuk membungkam dan melanggengkan kekerasan. Fokus utamanya ada pada bagaimana memori kolektif dibentuk, dipelintir, dan diperebutkan dalam wacana publik Indonesia hingga sekarang. 

Grace Tjandra Leksana juga menggambarkan perbedaan yang cukup tajam antara rezim pasca-1965 (Orde Baru) dan era setelah Reformasi. Bagi Orde Baru, memori tentang G30S-PKI dikelola secara ketat oleh negara. Rezim Suharto membangun sebuah “memori resmi” yang digelorakan lewat kurikulum sekolah, film propaganda seperti Pengkhianatan G30S/PKI, monumen, hingga perayaan tahunan. Semua diarahkan pada satu narasi: PKI adalah pengkhianat bangsa, biang kerusuhan, dan musuh abadi yang pantas dihancurkan. Narasi tunggal ini tak semata menghapus ruang bagi cerita lain, tetapi juga menstigma siapa pun yang bahkan sekadar bersimpati pada korban sebagai ancaman. Pasca-Reformasi, situasinya berbalik. Runtuhnya rezim membuat memori resmi negara kehilangan kendali, dan justru muncul upaya dari kelompok korban atau simpatisan eks-PKI untuk menegaskan kisah mereka. Grace menilai, di era inilah muncul perebutan memori: negara gak lagi dominan, sementara masyarakat sipil, LSM, akademisi, dan komunitas korban berusaha memulihkan narasi yang selama ini terpinggirkan. Dalam konteks inilah, istilah “rekonsiliasi” muncul sebagai wacana, tetapi sekaligus menimbulkan gesekan—karena banyak pihak masih menolak memberi ruang bagi narasi korban dengan alasan takut “menghidupkan kembali komunisme.” 
Dengan demikian, Grace Tjandra Leksana menunjukkan bahwa Orde Baru merepresi memori dengan cara mengunci narasi tunggal, sedangkan era Reformasi justru membuka arena pertarungan memori yang lebih cair, dimana klaim tentang kebenaran sejarah dan legitimasi moral saling berhadap-hadapan.