Kamis, 11 September 2025

Bahaya Komunisme bagi Demokrasi Indonesia (10)

Neoliberalisme itu ngerusak ekonomi bukan cuma gara-gara teori abal-abal, tapi emang proyek politik yang dirancang biar ekonominya jadi alat penguasa. Dari akhir 1970-an, ekonomi yang dulu rame-rame ngomongin peran negara dan kesejahteraan bareng, berubah haluan ke mantra sakti “biarkan pasar atur semuanya.” Akhirnya lahir deregulasi finansial, privatisasi aset negara, dan PHK massal buruh, semua dijustifikasi sama para ekonom yang ngaku “netral” padahal udah jadi tukang stempel ideologi. Philip Mirowski di bukunya Never Let a Serious Crisis Go to Waste (2013, Verso) ngegas banget, katanya neoliberalisme malah makin kuat setelah krisis 2008, karena berhasil nyalahin rakyat dan pemerintah, sementara bank global aman sentosa. David Harvey juga di A Brief History of Neoliberalism (2005, Oxford University Press) nunjukin kalau neoliberalisme bukan soal “membebaskan pasar,” tapi ya ujung-ujungnya ngasih karpet merah buat elit kaya raya. Jadinya, ekonomi yang tadinya buat ngurus manusia malah downgrade jadi kayak agama pasar: bikin ketimpangan dianggap normal, nyuruh rakyat hidup prihatin, tapi elit bisnis makin tajir. Jadi kalau ada yang bilang neoliberalisme bikin ekonomi rusak, ya bener banget—ekonomi sekarang lebih mirip budak kapital global ketimbang ilmu buat bikin hidup orang lebih adil.

Kerusakan neoliberalisme makin kelihatan kalau kita lihat drama nyata di lapangan. Di Inggris, privatisasi kereta api tahun 1990-an awalnya dijual sebagai obat mujarab: katanya bikin lebih efisien, lebih murah, dan banyak pilihan. Nyatanya? Tarif makin mahal, sistemnya acak-acakan, dan malah butuh subsidi negara yang lebih gede daripada zaman masih dikelola publik. Christian Wolmar di bukunya On the Wrong Line: How Ideology and Incompetence Wrecked Britain’s Railways (2005, Aurum Press) nyindir habis, bilang kalau ini contoh ideologi neolib ngalahin logika sehat—akhirnya yang diuntungkan cuma pemegang saham, sementara rakyat cuman jadi korban.
Di Amerika Latin tahun 1980–1990-an, krisis utang jadi ajang eksperimen neoliberalisme versi IMF dan Bank Dunia. Negara kayak Meksiko, Brasil, sampai Argentina dipaksa ngurangin anggaran sosial, ngejual BUMN, dan buka pasar buat investor asing kalau mau dapet pinjaman. Hasilnya? Jurang ketimpangan makin lebar, rakyat makin miskin, tapi kreditor luar negeri malah happy. Joseph Stiglitz di Globalization and Its Discontents (2002, W. W. Norton) cerita detail gimana resep ini nginjak kedaulatan negara dan ngerusak ekonomi lokal.
Tragedi paling dramatis ada di Amerika Serikat tahun 2008. Bank-bank gede yang bikin krisis gara-gara spekulasi ngawur malah diselamatkan pakai duit pajak rakyat, sementara jutaan orang biasa kehilangan rumah dan kerjaan. Alesannya? “Too big to fail.” Jadi makin jelas kalau neoliberalisme udah nyulap ekonomi jadi tukang pembela konglomerat finansial, bukan penjaga kepentingan publik.
Kalo dirangkum, kasus-kasus ini nunjukin neoliberalisme bukan cuma rusak di teori, tapi juga bikin kehidupan nyata berantakan. Ekonomi yang seharusnya mikirin orang malah downgrade jadi alat legalisasi ketimpangan dan eksploitasi.

Jadi, setelah ekonomi porak-poranda gara-gara neoliberalisme, pertanyaannya: kemana kita harus melangkah? Jawabannya jelas—ekonomi harus balik lagi ke akarnya sebagai ilmu sosial yang mikirin manusia, bukan sekadar rumus-rumus abstrak dan doa sakti “pasar pasti bisa.” Dari kasus privatisasi, krisis utang, sampai drama bailout, kita udah lihat pasar kalau dibiarin liar cuma bikin jurang kaya-miskin makin gede dan demokrasi makin rapuh. Mariana Mazzucato di The Value of Everything (2018, Allen Lane) ngajak kita bedain mana penciptaan nilai beneran dan mana cuma “ngeruk duit,” sambil ngasih reminder kalau negara itu bukan figuran, tapi bisa jadi aktor utama buat inovasi dan kesejahteraan. Kate Raworth lewat Doughnut Economics (2017, Chelsea Green Publishing) juga ngeramein dengan ide keren: ekonomi harus main di “donat”—cukup buat manusia, tapi nggak ngerusak bumi. Jadi kalau neoliberalisme beneran tamat, penggantinya bukan sekadar update software ekonomi lama, tapi bikin ulang sistem yang tujuannya bukan bikin segelintir orang super kaya, melainkan bikin semua orang bisa hidup layak.

Sosialisme (tapi bukan komunisme) bisa jadi “antivirus” buat neoliberalisme karena nggak maksain semua orang hidup tanpa hak milik pribadi atau di bawah kontrol negara total. Bedanya dengan komunisme, sosialisme versi demokratis lebih fleksibel: pasar tetep ada, bisnis swasta jalan terus, tapi semua dibungkus aturan yang bikin adil buat rakyat banyak, bukan cuma buat elit. Contoh paling gampang? Negara-negara Nordik. Di sana, negara ikut campur lewat welfare state, proteksi buruh, dan BUMN strategis, tapi tetep ada ruang buat startup keren dan bisnis swasta tumbuh. Jadi jelas banget: negara kagak harus mundur kayak yang diajarin neolib; justru negara bisa bikin aturan main biar pasar nggak liar dan ketimpangan bisa ditekan.
Secara teori, sosialisme demokratis itu kayak narik ekonomi balik ke tujuan awalnya: teruntuk manusia, bukan manusia buat ekonomi. Karl Polanyi di The Great Transformation (1944, Farrar & Rinehart) udah ngewanti-wanti kalau pasar dilepas liar bakal ngerusak masyarakat, dan neoliberalisme membuktikan itu. Thomas Piketty di Capital in the Twenty-First Century (2014, Harvard University Press) nambahin, solusi buat jurang kaya-miskin adalah pajak progresif dan distribusi kekayaan. Jadi sosialisme bukan musuh pasar, tapi “civilising force” yang bikin pasar main sesuai aturan kemanusiaan, demokrasi, dan keberlanjutan lingkungan.
Kalau diterjemahin ke dalam kebijakan nyata, itu bisa berarti sektor vital kayak kereta, listrik, dan kesehatan balik lagi ke tangan publik biar rakyat aman, sementara bisnis swasta tetep punya ruang buat inovasi. Serikat buruh diperkuat, layanan publik diperluas, dan pajak diarahkan ke orang-orang super kaya yang selama ini cuma ngeruk. Neoliberalisme ngajarin kalau hidup itu kompetisi kejam—yang kalah biarin aja. Sosialisme ngejawab: hidup itu solidaritas, dan kemakmuran sejati tercapai kalau semua orang dapet bagian, bukan cuma segelintir yang jadi pemenang.

Neoliberalisme itu lahir di pertengahan abad ke-20, basically buat ngejawab dua hal: pertama, bosen sama liberalisme klasik ala “pasar bebas biarin aja aka laissez-faire” yang bikin kacau; kedua, muak sama intervensi negara model Keynes yang dianggep kebanyakan cawe-cawe. Ceritanya dimulai tahun 1938 di Paris, ada acara diskusi namanya Colloque Walter Lippmann, tempat para intelektual Eropa dan Amerika ngumpul buat mikir, “Gimana caranya liberalisme bisa comeback tanpa kejebak jadi sosialis atau fasis?” Dari situ idenya ngumpul, dan makin solid waktu 1947 Friedrich Hayek, Milton Friedman, plus geng ekonom lainnya bikin klub elit rahasia bernama Mont Pelerin Society. Misi mereka simpel tapi ambisius: selamatkan pasar kompetitif, hak milik pribadi, dan bikin negara jangan kebanyakan ikut campur.
Awalnya ini bukan cuma teori ekonomi, tapi proyek politik buat nyusupin logika pasar ke semua sisi hidup manusia. Puncaknya datang tahun 1970-an akhir sampai 1980-an, ketika Margaret Thatcher di Inggris dan Ronald Reagan di AS ngegas habis-habisan pakai neoliberalisme: deregulasi, privatisasi, dan ngecilin negara kesejahteraan. Katanya sih buat ngejaga kebebasan individu biar negara kagak jadi Big Brother, tapi realitanya? Ya kapital gede makin tajir melintir, rakyat kecil makin keok, dan jaring pengaman sosial yang susah payah dibangun setelah Perang Dunia malah digerogoti pelan-pelan.

Neoliberalisme masuk ke dunia berkembang lewat jalur “utang plus syarat” dari IMF dan Bank Dunia. Ceritanya dimulai setelah krisis minyak 1970-an dan krisis utang 1980-an, banyak negara di Amerika Latin, Afrika, dan Asia megap-megap bayar cicilan utang luar negeri. Nah, IMF dan Bank Dunia datang bawa “paket penyelamatan” kayak superhero, tapi syaratnya keras banget. Mereka maksa negara-negara itu jalankan Structural Adjustment Programmes (SAPs): buka pasar seluas-luasnya, jual BUMN, pangkas anggaran sosial, dan longgarkan aturan biar investor asing gampang masuk.
Tapi hasilnya? Rakyat kecil yang jadi korban. Layanan publik kayak kesehatan, sekolah, dan perumahan dipotong habis, bikin hidup makin susah. BUMN yang dijual malah sering jatuh ke tangan elit lokal atau korporasi asing, jadi kedaulatan negara makin tipis. Negara-negara kayak Meksiko, Argentina, dan Brasil jadi “laboratorium neolib,” kadang sempat ada pertumbuhan sebentar, tapi jangka panjangnya ketimpangan makin brutal. Joseph Stiglitz di Globalization and Its Discontents (2002, W. W. Norton) ngeritik pedas, katanya resep ini lebih mikirin kreditor dan investor ketimbang rakyat, bikin negara-negara berkembang kayak terjebak di drama utang dan hidup prihatin abadi. Singkatnya, neoliberalisme yang dikemas manis sebagai “modernisasi” ternyata lebih mirip franchise global buat bikin dunia tunduk ke logika pasar.

Bisa dibilang neoliberalisme itu anak kandung sekaligus upgrade kontroversial dari kapitalisme. Kapitalisme klasik abad ke-19 dulu mainannya masih simpel: hak milik pribadi dijaga, pasar bebas biar berkompetisi, dan negara nggak usah terlalu banyak ikut campur. Tapi setelah Depresi Besar 1930-an dan Perang Dunia II, gaya “pasar liar” itu dianggap gagal. Muncullah era Keynesian: negara aktif ngatur ekonomi, kasih subsidi, bikin jaring pengaman sosial.
Neoliberalisme lahir buat ngegas balik kapitalisme ke jalur “pasar bebas total.” Tokoh-tokoh kayak Friedrich Hayek dan Milton Friedman ngerasa campur tangan negara itu bikin boros, bikin orang manja, dan ngerusak kebebasan individu. Jadi neolib bukannya anti-kapitalis, malah sebaliknya: nge-rebrand kapitalisme biar lebih agresif. Bedanya, kalau dulu kapitalisme masih ada sentuhan negara, neolib maunya pasar jadi bos dalam segala aspek kehidupan, dari urusan ekonomi sampai sosial.
Makanya neoliberalisme sering disebut versi “hardcore” dari kapitalisme: lebih global, lebih finansialis, dan lebih tega. David Harvey di A Brief History of Neoliberalism (2005, Oxford University Press) bilang neoliberalisme itu bukan keluar dari kapitalisme, tapi cara kapitalisme nge-repackage diri biar makin dominan di era globalisasi. Ibaratnya, kapitalisme yang dulu masih ada rem, begitu masuk era neolib malah jadi mode “turbo”–kencang, licin, tapi bikin banyak orang terlempar dari kursi pengaman.

Kapitalisme dan neoliberalisme itu ibarat kakak-adik beda gaya. Sama-sama cinta pasar, duit, dan kompetisi, tapi cara mainnya nggak persis sama. Keduanya percaya kalau pasar itu mesin paling jago buat bagi-bagi sumber daya, dan sama-sama alergi sama paham kolektif kayak sosialisme atau komunisme. Di dua-duanya juga, individu dipuja sebagai motor ekonomi dan simbol kebebasan.

Bedanya, kapitalisme klasik masih bisa kompromi. Negara boleh ikutan main, ngatur dikit, bikin proteksi, bahkan bangun welfare state. Neoliberalisme? Doi maunya pasar jadi raja absolut. Slogan keramatnya: deregulasi, privatisasi, liberalisasi, dan austerity. Kalau kapitalisme dulu bisa jalan bareng subsidi atau jaminan sosial, neolib justru lahir buat ngebantai itu semua. Negara cuma boleh jadi satpam: jagain hak milik, bikin kontrak sah, sama pastikan pasar mulus.
Soal tema, kapitalisme biasanya jualan mimpi “kemajuan, inovasi, dan kemakmuran lewat kerja keras.” Neoliberalisme lebih licin: doi ngusung jargon “kebebasan, efisiensi, dan daya saing global.” Masalahnya, neolib gak cuma ngatur ekonomi, tapi juga nyeret logika pasar ke semua aspek hidup: sekolah, rumah sakit, bahkan politik. Wendy Brown di Undoing the Demos (2015, Zone Books) nyinyir banget, katanya neolib bikin warga negara berubah jadi kayak “pemain pasar,” dan demokrasi dipersempit jadi hitung-hitungan ekonomi.
Kalau kapitalisme dulu aktornya para raja industri: Andrew Carnegie, Rockefeller, Henry Ford–orang-orang yang bikin pabrik, baja, mobil. Neoliberalisme beda: aktornya lebih ke intelektual, politisi, dan institusi global. Ada Hayek dan Friedman dari Chicago School yang bikin teorinya, lalu Thatcher di Inggris sama Reagan di Amerika yang ngegas praktiknya, plus IMF, Bank Dunia, WTO yang jadi “franchise master” bawa resep neolib ke negara-negara berkembang. Jadi kalau kapitalisme identik sama “pengusaha pionir,” neoliberalisme identik sama “politisi reformis plus lembaga global” yang maksain pasar jadi penguasa tunggal.

Kapitalisme klasik itu sebenarnya nggak punya “manual book” buat negara. Doi lebih kayak sistem ekonomi murni: ada pasar, ada untung, ada persaingan, sudah jalan. Negara memang sering ikutan nge-backup, misalnya jagain kepentingan pedagang atau pengusaha, tapi kapitalisme nggak ngatur detail negara harus bikin UU atau ngurus rakyat model apa. Makanya kapitalisme bisa cocok di mana aja: monarki, republik, demokrasi, bahkan kekaisaran, asal hak milik pribadi dan pasar tetep aman.
Neoliberalisme beda jauh. Dari awal, doi bukan cuma teori ekonomi tapi juga proyek politik. Targetnya jelas: ubah negara biar jadi pelayan pasar. Thatcher di Inggris sampai bilang, “Ekonomi itu cuma metode; tujuan aslinya adalah mengubah jiwa.” Makanya reformasi neolib masuk langsung ke jantung kebijakan: potong jaminan sosial, ubah pajak biar untungkan pemilik modal, hapus tarif dagang, lemahkan serikat buruh. Jamie Peck di Constructions of Neoliberal Reason (2010, Oxford University Press) nyebut neolib itu bukan sekadar filsafat ekonomi, tapi strategi politik buat nge-cetak ulang negara sesuai logika pasar.
Jadi bedanya jelas: kapitalisme ngaruh ke negara lewat kepentingan ekonomi, tapi lebih pasif. Neoliberalisme masuk dengan agenda terang-terangan: negara harus dikondisikan jadi mesin pasar. Karena itu neolib jauh lebih agresif, invasif, dan ambisius dibanding kapitalisme biasa yang lebih longgar.

Pertanyaannya sekarang, posisi Indonesia semestinya ada dimana sih? Komunis kah? Liberalisme kah, Kapitalis kah atau Neolib?  Para Founding Parents Indonesia tuh kayak punya cita-cita yang santai tapi cerdas, bro. Mereka nggak mau bener-bener kayak kapitalis Barat yang mikirin untung doang, tapi juga kagak mau kayak komunis ala Marx yang ngehapusin hak milik semua orang. Mereka pilih jalur tengah, campur-campur tapi smart: ada perhatian buat kesejahteraan rakyat, tapi tetep ngasih ruang buat usaha pribadi, semua dikontrol biar nggak bikin chaos. Pokoknya, gaya mereka lebih ke sosialis demokratis gitu, bukan kapitalis murni atau komunis murni.
Jadi, Sosialis Demokratis versi Indonesia tuh kayak paket lengkap gitu, bro. Pemerintah tetep ngasih ruang buat usaha pribadi, tapi juga enggak lupa ngurusin rakyatnya biar kagak ada yang kelaparan atau ketinggalan. Semua kebijakan ekonomi dan politik ditata biar adil, nggak cuma mikirin untung doang. Koperasi jadi contoh nyata—usaha bareng-bareng tapi tetep ada kontrol supaya nggak kacau. Intinya, demokrasi jalan terus, rakyat ikut bersuara, tapi kesejahteraan bareng-bareng tetep nomor satu. Ini tuh kayak sosialisme versi lokal—diracik sesuai selera Indonesia. Bukan yang kaku ala buku teks luar negeri, tapi lebih ke rasa gotong royong, etika kampung, dan solidaritas ala warung kopi. Dengan kata lain, Sosialismenya Sosialisme rasa sambal terasi: bukan impor ideologi mentah dari barat, tapi racikan lokal yang beraroma moral, guyub, dan anti-elit.

Sebelum kita terusin dengan pembicaraan mengenai Sosialisme dalam perspektif Indonesia, kita lakukan tinjauan sebentar topik tentang Karl Marx.
Kalau kita ambil kesimpulan bahwa hasil otoritarian di Uni Soviet itu lahir dari kombinasi ide, institusi, dan krisis, maka jawabannya agak campur rasa. Di satu sisi, ajaran Marx-Lenin bukan kayak resep instan yang otomatis bikin diktator. Faktor perang sipil, invasi asing, dan ekonomi ambruk juga super menentukan. Tapi di sisi lain, bahasa dan konsep yang dipakai Marx dan Lenin emang nyediain celah yang bisa (dan ternyata dipakai) buat melegitimasi represi.
Jadi wajar aja kalau kritikus bilang ajaran ini berbahaya. Bahayanya bukan karena pasti melahirkan teror, tapi karena di dalamnya ada istilah-istilah kayak “revolusi paksa,” “diktator proletariat,” dan “partai pelopor” yang otomatis nyempitin ruang demokrasi. Begitu ada krisis, konsep ini gampang banget dipelintir jadi justifikasi otoritarian.
So, ajaran Marx-Lenin memang nggak jamin 100% diktator lahir, tapi doi bikin pagar pengaman demokrasi jadi lebih tipis. Dan sejarah nunjukin: begitu ada api krisis, pagar tipis itu gampang kebakar. Itu sebabnya banyak akademisi bilang ide-ide ini “berisiko tinggi,” alias berbahaya kalau dilepas tanpa kontrol yang kuat.

Kalau ngomongin Marx, doski emang tipe bener-bener duniawi. Semua analisisnya soal masyarakat dan sejarah gak pernah pakai kacamata gaib, apalagi ukhrawi. Buat doski, yang ngatur hidup manusia itu bukan Tuhan atau akhirat, tapi materi: siapa punya alat produksi, siapa kerja, siapa yang diperas.
Dari awal, Marx udah kritis banget sama agama. Tahun 1843 doski nulis esai dan ngejewer agama dengan kalimat yang melegenda: “agama adalah candu rakyat.” Maksudnya, agama memang bisa bikin orang terhibur di tengah penderitaan, tapi efek sampingnya bikin orang teler—gak sadar akar penderitaannya ada di dunia nyata: penindasan kelas.
Makanya, menurut Marx, kalau mau bener-bener merdeka, manusia harus mulai dari kritik agama, tapi bukan berhenti di situ. Kritik agama cuma pintu masuk buat ngebongkar struktur kekuasaan di dunia. Kalau nggak, agama malah jadi alesan buat nerima nasib dan nggak ngelawan.
Pas masuk karya matang kayak The German Ideology dan Das Kapital, Marx gaspol ke arah materialisme sejarah. Doski bilang: cara orang produksi dan bagi hasil itu yang nentuin kesadaran, bukan sebaliknya. Jadi agama, moral, bahkan filsafat, semua itu cuma “bangunan atas” yang tumbuh dari basis ekonomi.
Soal Tuhan? Marx ateis total. Doski nganggep Tuhan itu ilusi ciptaan manusia. Menurutnya, manusia harus berhenti naro esensinya di langit, karena sejatinya: “manusia adalah makhluk tertinggi bagi manusia.”
Jadi gampangnya: Marx selalu pilih dunia nyata ketimbang dunia akhirat, materi ketimbang spiritual. Doski nggak percaya Tuhan, nganggep agama itu bikin orang pasrah, dan yakin kebebasan sejati cuma bisa dicapai kalau manusia berjuang bareng-bareng ubah kondisi materi mereka—di bumi, bukan di surga.

Kalau Marx itu full duniawi, maka Kierkegaard sama para pemikir Islam ngeliatnya kayak: “Bro, hidup itu kagak sesempit perut ama dompet.”
Kierkegaard ngomong bahwa hidup sejati itu butuh “lompatan iman.” Buat doi, manusia baru bener-bener otentik kalau berani percaya sama Tuhan meski penuh ketidakpastian. Jadi kalau Marx ngomong agama itu candu, Kierkegaard bakal bilang: “Keliru bro, justru agama dan iman itu obat buat rasa hampa dan putus asa.”
Di dunia Islam, tokoh kayak Muhammad Iqbal nyorot hal serupa. Iqbal percaya Islam nyatuin materi + spiritual. Kalau manusia cuma ngejar materi (kayak Marx bilang), hasilnya bisa sombong, nggak adil, dan timpang. Sebaliknya, kalau cuma ibadah tanpa peduli dunia, ya jadi lari dari tanggungjawab sosial. Jadi, Islam ngajarin keseimbangan: berjuang di dunia, tapi tetep inget akhirat.
Ulama klasik juga udah ngasih pondasi. Al-Ghazali misalnya, bilang manusia itu kudu seimbang antara dunya dan akhirah. Ibnu Khaldun, lewat teori peradaban, nunjukin faktor ekonomi memang penting, tapi tetep ada nilai moral dan spiritual yang nggak bisa dihapus. Nah, Marx kebalikannya: doski bikin dunya jadi segalanya, akhirat dianggep kagak ada. Dari kacamata agama, ini bukan cuma reduktif, tapi juga berbahaya, karena bikin manusia hidup tanpa arah ke Tuhan.
Kesimpulannya: Marx cuma ngeliat horizontal (hubungan sosial, kelas, ekonomi). Sementara Kierkegaard, Iqbal, dan para ulama ngeliat vertikal juga: hubungan manusia ke Tuhan, keabadian, dan akhirat. Jadi clash-nya emang fundamental: Marx bilang kebebasan ada di bumi lewat revolusi materi, sedangkan agama bilang kebebasan sejati ada kalau jiwa juga merdeka di hadapan Tuhan.

Mao Zedong baca karya Karl Marx bukan kayak akademisi di perpustakaan, tapi kayak jenderal lagi nyari strategi perang. Doi kagum sama Das Kapital dan tulisan Marx–Engels, tapi jujur aja, doski pernah bilang buku itu “tebel dan susah dimengerti.” Bahkan doi ngaku harus baca berkali-kali baru nyantol. Tapi buat Mao, yang penting bukan detail rumus Marx, melainkan metodenya: materialisme sejarah dan analisis pertarungan kelas.
Bedanya sama Marx, Mao hidup di China yang isinya mayoritas petani, bukan buruh pabrik kayak di Eropa. Jadi doi bikin “remix” Marx: kalau di Eropa proletariat jadi motor revolusi, di China justru petani yang bisa jadi kekuatan utama. Ini jelas beda dari Marx ortodoks, tapi Mao bilang tetep sesuai dengan “semangat” metode Marx.
Buat Mao, komunisme itu bukan sekadar ambil alih negara terus beres. Doi percaya harus ada revolusi terus-menerus. Bahkan setelah partai berkuasa, bisa muncul “borjuis baru” di dalam partai sendiri. Makanya doski bikin kampanye kayak Revolusi Kebudayaan buat ngelawan “kapitalis jalan baru.” Jadi kalau Marx ngomong “diktator proletariat,” Mao ngegas lebih jauh: diktator plus mobilisasi massa tanpa henti.
Mao juga suka kasih bumbu lokal. Doski ngegabungin dialektika ala Marx sama filsafat China klasik soal “kontradiksi.” Esai terkenalnya, On Contradiction (1937), nunjukin doi percaya kunci memahami masyarakat ada di cara ngelola kontradiksi. Jadi Marxisme buat Mao bukan kitab suci, tapi alat tempur yang fleksibel.
Singkatnya: Mao hormat banget sama Marx, tapi doi percaya ajaran Marx harus di-upgrade biar relevan dengan China. Komunisme ala Mao itu revolusi abadi, motor utamanya petani, dijalanin lewat manajemen kontradiksi, dan dijaga ketat dari pengkhianat internal. Buat Mao, Marx bukan sekadar filsuf, tapi senjata ideologis buat perang kelas.

Kalau Marx itu mikir revolusi bakal pecah di negara industri maju pas buruh pabrik udah muak sama bos. Mao nge-remix total: di China yang mayoritas petani, justru petani lah motor utama revolusi. Jadi kalau Marx ngasih spotlight ke buruh pabrik, Mao geser kameranya ke sawah.
Buat Marx, revolusi itu kayak season finale: sekali rebut kekuasaan, terus masuk fase transisi diktator proletariat, lalu negara makin lama bakal “memudar” sendiri. Mao nggak setuju. Buat doi, revolusi itu series tanpa tamat, harus jalan terus bahkan setelah partai berkuasa. Kenapa? Karena bisa aja muncul “borjuis baru” dari dalam partai.
Soal negara, Marx percaya suatu saat bakal lenyap karena nggak ada lagi kelas yang harus ditindas. Mao sebaliknya: negara harus makin dikuatkan, jadi benteng permanen buat ngehajar siapa pun yang dianggap musuh. Alih-alih “negara memudar,” versi Mao malah “negara nge-gym biar makin berotot.”
Terakhir, soal dialektika. Marx pakai dialektika materialis buat analisis sejarah. Mao ngasih versi praktis + aktivis. Di esai On Contradiction dan On Practice, doi bikin dialektika kayak buku panduan buat kader desa: cara ngerti kontradiksi, cara bertindak, cara mobilisasi massa.
Kesimpulannya: Komunisme Marx itu teoritis banget, nyiapin model buat negara industri masa depan. Mao lebih pragmatis, ngoprek ajaran Marx biar cocok sama realitas China: petani jadi motor, revolusi tanpa henti, negara dipertahanin mati-matian, dan teori dialektika dibikin jadi manual aksi sehari-hari.

[Bagian 11]
[Bagian 9]