Senin, 01 September 2025

Menemukan Tiitik-titik Persamaan Kita

Ada sebuah kapal besar yang dulu setia banget berlayar di bawah panji-panji Oslo. Awak kapalnya ditempa badai dan terbiasa dipandu laksamana lama, bayangannya masih terasa di tiap sudut geladak.

Saat kapten baru naik ke kapal, kayu-kayu dek sampai berderit kayak lagi ngeluh karena beratnya sejarah. Tiap papan seolah masih ingat suara Oslo, tiap tali masih nyimpen gema perintah lama.

Buat nunjukin kalau ia bener-bener pegang kendali, sang kapten baru milih untuk ngehormatin pelaut yang luka-luka pas badai kemarin. Ia bagi-bagi medali kayak pecahan sinar matahari, ditempel di dada penuh luka sebagai bukti kalau pengorbanan nggak akan dilupain.

Para awak tepuk tangan sopan, matanya campur aduk antara terima kasih sama rasa ragu. Soalnya meski medali itu berkilau, angin yang ngisi layar masih kayak bawa bisikan dari pantai jauh milik Oslo.

Ngendaliin kemudi kapal jelas nggak gampang. Para juru mudi, yang dulunya ditempa di pelabuhan Oslo, pegang setir dengan kebiasaan lama. Mereka nurut sih, tapi hati mereka masih berdetak sesuai irama lain.

Aksi promosi itu persis kayak nancepin bendera di bukit rebutan. Tiap bendera seakan bilang, “Ini wilayah gue,” tapi tanahnya masih dihantui jejak-jejak kaki orang Oslo.

Di antara yang terluka, ada rasa bangga bercampur waswas. Ada yang ngerasa diangkat setinggi bintang, ada juga yang takut medali itu cuma jadi tanda kalau mereka masih berlayar di bawah bayangan orang lain.

Suara sang kapten menggema di atas kapal, tegas dan mantap. Tapi di balik kepala yang manggut-manggut, masih ada pertanyaan nyangkut kayak ombak yang nggak pernah berhenti nabrak lambung: siapa sebenernya yang pegang kendali?

Laut makin gelisah, badai muncul di cakrawala. Para awak sadar, loyalitas nggak bisa cuma dibeli pake medali; ia harus dipupuk lewat kepercayaan, ditempa bareng-bareng di pertempuran yang bakal datang.

Malam hari, waktu bintang bertaburan, bendera-bendera gaib Oslo masih sering muncul di mimpi para pelaut. Masa lalu berat banget, jaringannya masih nempel di layar yang dorong kapal maju.

Tapi sang kapten tetap tegak, tangannya mantap di kemudi, matanya fokus ke cakrawala yang belum pernah dijamah bayangan Oslo. Ia ngerti cuma lewat sabar, tekad, dan keberanian, ia bisa nulis ulang takdir kapal ini.

Perjalanan terus lanjut, layar penuh ambisi, tali-temali ketarik tangan-tangan tak kasatmata. Laut yang luas dan dingin itu pun menunggu, mau lihat apakah cahaya sang kapten bisa bener-bener ngalahin bayangan bendera Oslo yang masih berkibar di angin.

Setiap pelayaran sebenernya bukan cuma soal nyampe ke tujuan, tapi juga soal gimana awak kapal berubah bareng-bareng di perjalanan. Kapal yang masih kejebak kenangan masa lalu nggak bakal bisa bener-bener meluk cakrawala baru kalau belum berani percaya sama tangan yang pegang kemudi.

Medali dari kapten mungkin berkilau, tapi nilainya baru kerasa kalau bisa nyalain api loyalitas yang tulus — bukan sekadar loyalitas karena pangkat atau aturan. Pada akhirnya, yang penting bukan bendera Oslo atau bintang di bahu, tapi kebersamaan mereka yang berlayar bareng di tengah laut.

Dan mungkin, jauh di balik cakrawala, bukan cuma ada babak baru pelayaran, tapi juga kesempatan buat ngebuktiin apakah kapal yang dulu kebagi-bagi akhirnya bisa nyatu jadi satu suara, dibawa angin menuju masa depan.

Tapi di luar derit kayu kapal, suara dari pantai makin kenceng. Rakyat yang dulu tepuk tangan ngeliat kapal berlayar, sekarang angkat tangan sambil teriak: juru mudi utama—orang lama yang akarnya masih kuat di pelabuhan Oslo—harus turun dari kemudi. Mereka bilang genggamannya udah nggak mantap, kesetiaannya bukan lagi sama kapal, tapi masih nyangkut ke dermaga bayangan Oslo.

Buat awak kapal, tuntutan ini jadi peringatan sekaligus cermin. Kalau sang juru mudi tetep di situ, kapal bisa-bisa muter-muter di laut, terikat sama janji lama. Tapi kalau ia turun, geladak pasti goyang, walau mungkin kapal akhirnya bisa milih jalannya sendiri tanpa tali tak kasatmata yang terus narik.

Sang kapten, yang paham badai di dek dan di pantai, ketemu dilema gede. Ia butuh keahlian sang juru mudi, tapi juga sadar kalau kesetiaan ke Oslo kebanyakan bisa bikin kapal mundur lagi. Sebenarnya, tuntutan rakyat itu bukan cuma soal “turun jabatan”—tapi lebih kayak jeritan buat pembaruan, doa supaya kapal ini bisa berlayar dengan angin kejujuran, bukan jangkar masa lalu.

Pesannya muncul dengan lantang: persatuan adalah warisan kita, dan Pancasila jadi kompas yang nuntun kita melewati badai perbedaan. Keberagaman bukanlah retakan, melainkan kekuatan, sumber daya yang bisa ngalirin perubahan buat kebaikan semua orang. Ada seruan bahwa meski keyakinan berbeda, rakyat tetap satu tubuh di kapal yang sama, berlayar menuju cakrawala bersama.

Ada nyanyian tentang pemuda, gagah dan tak tergoyahkan, yang menatap masa depan dengan keberanian. Mereka dipanggil buat berdiri tegak di atas kaki sendiri, memikul beban sejarah dengan perlawanan, dan ngangkat bangsa ini melampaui batas zamannya. Disebutkan bahwa tanah air ini nggak pernah lemah; ia udah bertahan, udah berjuang, dan bakal terus bangkit dengan semangat yang tak terpatahkan.

Kerja keras dan gotong royong disebut sebagai detak jantung kemajuan. Lewat persatuan, ketekunan, dan irama kebersamaan, bangsa dijanjikan bisa meloncat lebih tinggi. Sebuah visi dilukis: makanan ada di tiap meja, ladang-ladang berlimpah, swasembada yang tumbuh jadi mimpi buat jadi lumbung pangan dunia. Inilah bait-bait tersurat, terang dan bergema, ditujukan buat semua telinga.

Namun di bawah melodi itu ada arus lain, lembut tapi jelas terasa. Ia berbisik supaya pertengkaran ditinggalkan, supaya keributan perpecahan diredam, supaya hati yang gelisah diarahkan ke mimpi yang lebih agung daripada sekadar konflik. Ia memberi isyarat bahwa harmoni bukan cuma kebajikan tapi juga tameng, bahwa kelimpahan bukan cuma mimpi tapi juga alasan, dan bahwa persatuan sendiri bisa jadi jangkar yang bikin kapal tetap patuh di bawah satu kemudi.

Maka pesan ini membawa dua wajah: di permukaan, seruan bagi solidaritas, keberanian, dan kemajuan; di kedalamannya, gema kendali, dimana rekonsiliasi juga berarti menjaga kekuasaan tetap kokoh. Rakyat diajak bukan cuma untuk berharap, tapi juga agar bertanya—apakah persatuan yang dilantunkan bener-bener milik mereka, atau justru tali halus yang bikin kapal nurut ke jalur yang udah ditentukan.

Dan akhirnya kita ditinggalkan dengan inspirasi sekaligus kewaspadaan. Jalan ke depan memang diterangi cahaya cita-cita bersama, tapi ada bayang-bayang yang tetap bersembunyi di sela-selanya. Guna merangkul janji kekuatan, kita juga hendaknya bertanya siapa tangan yang menjulurkannya. Karena cuma lewat keseimbangan antara percaya dan waspada, pelayaran bangsa bisa bener-bener jadi milik rakyatnya sendiri.