[Bagian 9]Reshuffle kabinet 8 September 2025 yang ngegantiin Sri Mulyani dan Budi Arie sebenernya nggak bisa dilihat cuma sebagai “jurus dadakan presiden”, tapi lebih pas disebut jawaban atas desakan publik yang udah lama teriak-teriak minta pembaruan. Sri Mulyani sering dianggap terlalu teknokratik dan bikin rakyat kecil ngos-ngosan, sementara Budi Arie udah lama kena gesekan soal judol. Jadi kalau dua-duanya akhirnya turun, ya nggak kaget-kaget amat buat mereka yang ngikutin gosip politik dari awal.Media asing hebohnya lain: buat mereka, hilangnya Sri Mulyani kayak cabut “pagar” yang selama ini bikin pasar tenang. Investor kaget, rupiah goyah, saham loyo—intinya dunia luar ngerasa kita kehilangan simbol disiplin fiskal. Tapi di dalam negeri, reaksinya lebih rame: pada seneng karena ngerasa ini penyegaran yang ditunggu-tunggu.Secara politik, reshuffle ini memperkuat posisi presiden dan tim intinya. Gaya gerak cepat ini nunjukkin bahwa pemerintah bisa merespons tuntutan publik sekaligus ngatur ulang dinamika koalisi dengan tegas. Di sisi lain, kursi yang kosong ngasih ruang buat aktor baru—jadi kayak “reorganisasi” yang bikin pemerintah tetep solid sambil ngejaga keseimbangan kekuatan. Jadi bukan sekadar soal copot-pasang, tapi juga strategi menata ulang.Secara ekonomi, pasar langsung waswas. Rupiah dan IHSG sempet melemah, tapi enggak heboh-heboh amat.Soal urusan protokol, presiden sebenernya udah main sesuai aturan konstitusi—ganti atau copot menteri cukup lewat Keppres sama sumpah jabatan, beres. Tapi yang bikin orang pada ngelirik adalah waktunya yang super mepet. Secara hukum sih sah, tapi dari sisi kesantunan birokrasi, ya keliatan agak kurang etis. Nah, boleh jadi ada juga kemungkinan lain: justru waktunya sengaja dipendekin biar gak ada bocoran duluan, apalagi peluang pihak luar ikutan "cawe-cawe".Now, back to our topic.
Dalam catatan sejarah dunia, lahir banyak banget aliran politik dan ekonomi selain Sosialisme dan Komunisme, masing-masing sok ngaku punya resep jitu buat bikin dunia adil, rukun, atau makmur. Misalnya, Liberalisme yang muncul pas zaman Pencerahan, bawa jargon hak individu, pasar bebas, sama negara jangan terlalu ikut campur. Sebaliknya, Konservatisme nongol sebagai reaksi anti-kebebasan liar, lebih pilih jagain tradisi, wibawa, dan stabilitas biar masyarakat nggak bubar jalan. Terus ada Nasionalisme di abad ke-19 yang main pakai kartu “bangsa dan tanah air” buat nyatuin orang berdasarkan budaya, bahasa, atau sejarah, tapi kadang malah bikin ribut tetangga.Di abad ke-20, Fascisme datang dengan gaya otoriter penuh nasionalisme lebay, negara diglorifikasi, dan demokrasi liberal dicap banci. Versi ekstrimnya, Nazisme, nambahin racikan rasis yang bikin tragedi paling gelap sepanjang sejarah. Di sisi lain, Kapitalisme makin jadi primadona modern, andalannya kepemilikan pribadi, persaingan, dan cari untung segede-gedenya—meskipun tiap krisis langsung dihajar kritik “regulasi dong, bos!”. Ada juga Anarkisme, yang malah maunya negara dibubarin aja, diganti sistem kerjasama sukarela ala komune indie.Nggak ketinggalan, ada ideologi campuran kayak Sosial Demokrasi yang berusaha kawin-mawin Kapitalisme dengan kebijakan sosial biar rakyat nggak sengsara, atau Libertarianisme yang ngegas habis-habisan di urusan kebebasan, pokoknya negara cuma numpang lewat. Semua ideologi ini udah keliling dunia, kadang bikin revolusi, kadang bikin reformasi, dan kadang bikin perang gede. Intinya, semuanya bukan cuma teori politik di buku, tapi juga visi bersaing soal gimana sih cara hidup bareng-bareng dengan bermartabat.Di dunia modern, tiap negara suka pasang label ideologi, walau praktiknya sih sering campur-campur dan nggak murni. Amerika Serikat misalnya, selalu dikaitkan ama demokrasi liberal plus kapitalisme, dimana pasar bebas dan hak individu dijunjung tinggi, tapi kalau krisis negara juga ikut nimbrung nolongin. China ngaku masih negara sosialis di bawah Partai Komunis, tapi kenyataannya udah kawin-mawin ama kapitalisme dengan gaya “negara pegang kendali, pasar tetep ngebut”. Rusia yang dulunya pusat komunisme, sekarang condong ke nasionalisme otoriter yang dibungkus kapitalisme oligarki.Di Eropa, Swedia, Norwegia, dan Denmark terkenal dengan sosial demokrasi, alias kapitalisme tapi rakyat tetep dijagain lewat jaminan sosial. Jerman punya model “ekonomi pasar sosial” yang nyoba ngeblend produktivitas kapitalis dengan perlindungan sosial. Prancis masih kapitalis juga, tapi negaranya doyan banget ikut campur dalam urusan ekonomi dan budaya. Sementara Inggris, yang dulu jadi jantung kapitalisme liberal, sekarang lagi pusing mikirin idealisme pasar bebas versus drama populisme pasca-Brexit.Di tempat lain, Iran berdiri sebagai republik teokratis dengan ideologi Islam, ngegabungin otoritas agama sama institusi republik. Arab Saudi jadi monarki absolut berbasis Islam (ada yang mengatakan paham Wahabi, dikaitkan dengan Muḥammad bin ʿAbdul Wahhāb at-Tamimi, tapi kalo loe baca buku-bukunya Shaikh Abdul Wahhāb sih, kurang tepat membunyikan ada paham Islam Wahabi yang dikaitkan dengan beliau) walau belakangan doyan buka diri ke modernisasi terbatas. India ngaku demokrasi terbesar di dunia, tapi nasionalisme makin nyolot belakangan ini. Kuba masih setia sama komunisme, sementara Korea Utara jalan pakai doktrin unik “Juche”, semacam swasembada ekstrim ala rezim otoriter. Di benua Afrika, banyak negara kayak Afrika Selatan sampai Nigeria masih jungkir balik antara mimpi demokrasi, teriak nasionalisme, dan usaha ngebangun negara lewat gaya developmental state.Di Asia, spektrum ideologi bisa dibilang paling rame. China masih ngaku-ngaku negara sosialis di bawah Partai Komunis, tapi ekonominya udah kayak kapitalisme turbo dengan stempel negara. Korea Utara masih ngeyel pakai Juche alias swasembada super lebay, padahal aslinya sih rezim diktator sentralisasi full. India sih ngaku republik demokratis, tapi belakangan politiknya makin kental nuansa nasionalisme Hindu. Jepang adem ayem aja, monarki konstitusional dengan demokrasi parlementer, setia sama kapitalisme liberal. Sementara Vietnam, meski masih one-party ala komunis, ekonominya udah kebuka lebar ke pasar.Di Eropa, panggung sosial demokrasi ada di Skandinavia. Swedia, Norwegia, sama Denmark jadi contoh paling oke gimana kapitalisme bisa dipelihara tapi rakyat tetep dijagain dengan welfare system yang royal. Jerman terkenal banget dengan model “ekonomi pasar sosial”, bisnis jalan tapi rakyat nggak dibiarin nyungsep. Prancis doyan banget bikin negara ikut campur di ekonomi dan budaya, sementara Inggris yang dulu jagoan kapitalisme liberal, sekarang jadi campuran pasar bebas dan drama populis pasca-Brexit. Di Eropa Timur kayak Polandia dan Hungaria, kelihatan geser ke nasionalisme konservatif, meski tetep pakai topeng demokrasi.Di Afrika, ideologi kayak lagi di-lab eksperimental. Afrika Selatan ngaku republik demokratis, tapi tarik-ulur antara cita-cita liberal sama warisan sosialis bikin politiknya selalu panas. Nigeria katanya demokrasi, tapi kenyataannya dirusak korupsi dan politik patronase. Ethiopia lama-lama main dengan gaya “developmental state”, sementara banyak negara kecil Afrika masih jungkir balik antara loyalitas suku, nasionalisme, dan demokrasi rapuh.Di Timur Tengah, agama dan monarki jadi bintang utama. Iran jalan dengan gaya Republik Islam: campuran ulama pegang kuasa plus sistem republik formalitas. Sekali lagi, Arab Saudi jelas-jelas monarki absolut berbasis Islam yang katanya, walaupun kurang pas, Wahhabi, walau belakangan rada open-minded ke "modernisasi" (atau Westernisasi?). Israel tampil beda dengan demokrasi parlementer yang diwarnai ideologi Zionisme. Turki yang dulu simbol republik sekuler, sekarang makin condong ke campuran nasionalisme, Islamisme, dan otoritarianisme. Intinya, wilayah ini nunjukin gimana iman, identitas, dan kekuasaan jadi perekat negara.Di benua Amerika, Amerika Serikat masih jadi ikon demokrasi liberal plus kapitalisme, tapi di bawah permukaan ada arus deras populisme dan drama culture wars. Kanada mirip Eropa, kapitalisme tapi welfare lebih tebal. Amerika Latin kayak mosaik ideologi: Kuba masih kukuh dengan komunismenya, Venezuela ngotot dengan “sosialisme abad ke-21” meski ekonominya rontok, sementara Brasil, Argentina, dan Meksiko bolak-balik antara nasionalisme populis dan demokrasi liberal sesuai siklus politiknya.Sebelum kita lanjut membahas soal Komunisme dengan membuka-buka bukunya Karl Marx "Das Kapital", coba kita perhatikan dulu narasi sejarah ideologi dunia berdasarkan timeline per abad, biar kelihatan perkembangan dari zaman Enlightenment sampai era sekarang.
Di abad ke-18, zaman Pencerahan bikin Liberalisme lahir sebagai ide keren, ngotot soal hak individu, pemerintahan konstitusi, dan pasar bebas. Nggak semua orang seneng, makanya Konservatisme muncul sebagai “juragan penetral”, ngajak balik ke tradisi, stabilitas, dan hormat pada otoritas. Di saat yang sama, benih Nasionalisme mulai nongol, bikin orang mikir diri mereka sebagai bangsa yang nyatu, bukan cuma rakyat bawahan raja.Masuk abad ke-19, Sosialisme tampil jadi jawaban atas ketimpangan kapitalisme industri, bawa gagasan kepemilikan kolektif dan hak-hak buruh. Komunisme, lewat Marx dan Engels, lebih ngebut lagi: mimpiin masyarakat tanpa kelas setelah kapitalisme dijungkirin. Ada juga Anarkisme, yang rada “punk” dengan ngerjain slogan anti-negara, maunya semua berbasis kerjasama sukarela. Sementara itu, Nasionalisme makin kuat, bikin Jerman dan Italia bersatu, juga nyulut gerakan kemerdekaan di berbagai belahan dunia.Abad ke-20 jadi era ideologi keras kepala. Fasisme muncul di Italia, ngagungin negara, militer, dan otoritarianisme. Nazisme di Jerman lebih ekstrim, nambahin bumbu rasisme, dan hasilnya perang dunia plus tragedi kemanusiaan. Di sisi lain, demokrasi liberal dan kapitalisme makin nyebar jadi standar dunia Barat pasca Perang Dunia II. Perang Dingin bikin dunia pecah dua kubu: Amerika kapitalis lawan Uni Soviet komunis. Eropa malah milih jalan tengah lewat Sosial Demokrasi, yang kawin-mawin kapitalisme dengan jaminan sosial.Abad ke-21 bikin ideologi makin cair dan campur aduk. Globalisasi ngegas kapitalisme sebagai mesin ekonomi dunia, tapi populisme dan nasionalisme balik ngerem. Lingkungan hidup jadi bintang baru, dengan gerakan lingkungan ngegas isu perubahan iklim dan keberlanjutan. Libertarianisme digital juga rame, nuntut kebebasan total di dunia maya. Sementara itu, “kapitalisme otoriter” ala China dan Rusia bikin liberal demokrasi ketar-ketir. Belum lagi politik identitas, yang bikin isu budaya, ras, gender, dan agama jadi pusat ribut-ribut global.Kalau kita intip 50–100 tahun ke depan, peta ideologi dunia udah nggak mungkin balik ke model “blok” ala Perang Dingin. Yang ada justru kayak peta game open world: medan berubah terus, ada kapitalisme, teknologi, identitas, dan survival ekologis campur aduk nggak karuan. Kapitalisme masih jadi raja, tapi bentuknya makin variatif. Ada yang ngegas ke “kapitalisme hijau” alias pasar plus keberlanjutan, ada juga yang pilih “kapitalisme otoriter” dimana negara jadi sutradara pasar buat ngejar kekuasaan, bukan kebebasan.Sosialisme kemungkinan comeback, tapi pakai outfit baru. Bukan lagi soal buruh pabrik, tapi “sosialisme digital.” Di era AI dan robotik, tenaga kerja bakal diganti mesin, bikin orang makin kenceng teriak soal pendapatan dasar universal (UBI) dan kepemilikan kolektif atas data atau platform digital. Jadi, ide-ide sosialis bisa naik lagi ke panggung utama global.Nasionalisme nggak bakal lenyap, malah bisa makin ngeri gara-gara krisis iklim bikin migrasi massal dan rebutan sumber daya. Politisi bakal jualan narasi “batas negara, budaya, kedaulatan” biar bisa ngegas kekuasaan. Tapi di sisi lain, bisa muncul gerakan globalis baru yang fokus ke kolaborasi iklim dan pemerintahan planet. Jadi bakal ada drama tarik-ulur: politik bikin tembok lawan politik demi bertahan hidup.Lingkungan hidup bisa menjadi ideologi paling gede di paruh kedua abad ke-21. Beda sama kapitalisme atau komunisme yang sok jadi grand narrative, environmentalism muncul dari kebutuhan nyata: krisis iklim nggak bisa nunggu pemilu. Kalau bumi makin ambyar, politik bisa dipaksa muter total ke arah keberlanjutan sebagai nilai tunggal yang nyatuin manusia.Dan jangan lupa, politik identitas plus libertarianisme digital bakal ngeganti cara orang ngeliat diri mereka. Dunia maya bisa jadi lebih “nyata” daripada negara, bikin orang loyal ke jaringan, platform, atau tribe digital ketimbang paspor resmi. Bisa aja kita masuk era “post-national ideology,” dimana kedaulatan bukan lagi punya negara, tapi sistem desentralisasi yang bikin orang merasa belong. Jadi masa depan gak bakal dikuasai satu ideologi tunggal, tapi lebih ke arena cair tempat kapitalisme, sosialisme, nasionalisme, environmentalism, dan tribe digital saling gebuk, kawin silang, dan berevolusi.Sosialisme dan Komunisme sering banget disamain kayak duo kembar politik, padahal beda jalur banget kalau dilihat lebih dalam. Sosialisme itu ibarat upgrade sistem ekonomi-bisnis yang masih ngasih ruang buat kepemilikan pribadi dan demokrasi, tapi pengin ketidakadilan sosial dipangkas habis lewat reformasi, subsidi, sama pengelolaan kolektif sektor vital. Jadi, kelas sosial masih ada, pasar masih jalan, tapi lebih dikasih rem biar nggak ugal-ugalan. Komunisme beda lagi, doi mainnya all out: nggak ada lagi kepemilikan pribadi, nggak ada pasar, kelas sosial dilibas, bahkan negara pun dihapus. Seluruh alat produksi harus dimiliki bareng-bareng dan diatur bareng-bareng, biar dunia jadi “kelasless society” yang katanya adil total. Kalau Sosialisme masih realistis, kayak “jalan reformasi step by step,” Komunisme lebih kayak “YOLO revolusi besar-besaran, reset total sistem manusia.” Singkatnya, Sosialisme itu reformis, sementara Komunisme itu revolusioner habis-habisan.Sosialisme gaya Skandinavia—kayak di Swedia, Norwegia, sama Denmark—itu bentuknya lebih kayak “sosial demokrasi.” Kapitalisme masih ada, pasar masih jalan, tapi negara jadi wasit super ketat yang ngatur aturan main. Hasilnya? Rakyatnya dapat sekolah gratis, layanan kesehatan universal, sama jaring pengaman sosial yang bikin hidup lebih aman. Mereka nggak ngapus kepemilikan pribadi, tapi ngasih sistem pajak dan subsidi biar jurang kaya-miskin nggak kebangetan. Komunisme beda total. Contoh paling jelas ya Uni Soviet zaman Lenin-Stalin atau China zaman Mao. Di situ kepemilikan pribadi dihapus total, semua diatur negara lewat rencana lima tahunan, sampai makanan dan budaya pun ikut dikontrol. Janjinya sih kesetaraan, tapi realitanya sering berubah jadi rezim otoriter dan krisis pangan dimana-mana. Jadi kalau Sosialisme bisa nyatu sama demokrasi dan pasar (walau tetep ada minusnya), Komunisme malah sering berubah jadi “sistem keras kepala” yang bikin hidup rakyatnya lebih susah daripada janji brosurnya.Karl Marx nulis Das Kapital di abad ke-19, dan latar belakangnya penuh drama kayak dunia lagi diguncang revolusi gede-gedean. Waktu itu Eropa lagi dihantam Revolusi Industri. Pabrik-pabrik bermunculan di Inggris dan daratan Eropa, bikin banyak petani pindah ke kota buat kerja jadi buruh. Tapi hidup mereka jauh dari indah: kerja rodi belasan jam, gaji pas-pasan, rumah sempit, bahkan anak kecil pun dipaksa kerja. Sementara itu, bos pabrik dan bankir, tajir melintir alias jadi kaum sultan. Ketimpangan makin gila, bikin rakyat terjepit. Secara politik, Eropa juga panas: Revolusi 1848 gagal, tapi nunjukin gimana rakyat haus demokrasi sementara penguasa bisa bengis banget nindas mereka. Dari sisi budaya, warisan Pencerahan masih tersisa—percaya ama akal dan kemajuan—tapi muncul juga gerakan Romantisisme yang nyinyir ke modernitas industri. Nah, di tengah chaos itu, Marx ngeluarin jurus pamungkas: doski ngebedah kapitalisme habis-habisan, bilang kalau sistemnya dari sononya emang eksploitatif, buruh dijauhin dari hasil kerjanya, dan krisis bakal muncul terus kayak siklus. Das Kapital bukan sekadar buku ekonomi, tapi semacam “senjata ideologi” buat buka kedok kapitalisme dan bikin pondasi intelektual revolusi di masa depan.
Kehidupan pribadi Karl Marx juga jadi bahan bakar penting dalam lahirnya Das Kapital. Setelah ikut terjun di politik revolusioner tahun 1840-an, Marx dipaksa kabur dari Jerman, pindah-pindah ke Prancis, Belgia, dan akhirnya mendarat di London tahun 1849. London ini jadi tempat perlindungan sekaligus “dapur panas” buat Marx. Hidupnya susah banget: doi miskin, sering nunggak bayar kontrakan, dan anak-anaknya banyak yang meninggal waktu masih kecil gara-gara gak mampu dapat perawatan layak. Semua penderitaan itu bikin rasa marahnya terhadap ketidakadilan makin mendidih. Tapi justru di tengah hidup serba kekurangan itu, Marx jadi rajin banget nongkrong di ruang baca British Museum. Doski tenggelam berjam-jam dalam laporan ekonomi, debat parlemen, dan data statistik, kayak gamer hardcore yang grinding level tanpa henti. Untungnya, doi punya sahabat setia, Friedrich Engels, yang terus ngebantuin secara finansial dan moral. Dari campuran hidup penuh kesusahan, riset super detail, dan amarah terhadap sistem, lahirlah Das Kapital. Jadi bisa dibilang buku itu bukan cuma hasil teori dingin, tapi juga potret nyata dari hidup Marx sendiri: keras, terbuang, tapi nggak pernah berhenti melawan.
Waktu Das Kapital pertama kali terbit tahun 1867, sambutannya agak adem-adem aja, bahkan bisa dibilang “niche market” banget. Di kalangan intelektual dan ekonom, bukunya dihargai karena serius dan tebal ilmunya, tapi banyak juga yang ngecapnya kelewat njelimet, ribet, dan terlalu teoritis buat dipraktikkan. Bahasa Marx yang penuh analisis dialektika bikin orang awam gampang pusing tujuh keliling. Tapi di sisi lain, gerakan buruh dan kelompok sosialis yang lagi tumbuh justru nganggep buku ini kayak pedang Excalibur: senjata buat nyayat ketidakadilan kapitalisme. Dari kubu elite dan media konservatif? Mayoritas cuek atau malah ngeledek, seolah-olah ide Marx nggak layak ditanggepin serius. Tapi makin lama, Das Kapital pelan-pelan jadi “kitab wajib” bagi serikat buruh, partai sosialis, sampai akhirnya partai komunis. Apalagi setelah Marx wafat dan Engels rajin ngedit serta nerbitin jilid berikutnya, buku ini makin melegenda. Jadi meskipun debutnya bukan langsung viral atau best-seller, dampak jangka panjangnya bikin dunia politik dan teori ekonomi goyang sampai abad ke-20.
Pengaruh Das Kapital terhadap gerakan buruh internasional dan revolusi besar abad ke-20 gede banget, sampai-sampai susah dilebih-lebihkan. Ide inti Marx—tentang perjuangan kelas, eksploitasi buruh, dan kepastian kapitalisme bakal krisis—jadi slogan pamungkas buat para pekerja di Eropa dan sekitarnya. Teori nilai lebih Marx, yang bilang keuntungan itu lahir dari kerja buruh yang nggak dibayar, jadi jawaban logis kenapa jurang kaya-miskin makin nganga. Konsep keterasingan juga ngena: buruh di pabrik merasa jauh dari hasil kerjanya, dari potensi kreatifnya sendiri, bahkan dari sesama manusia—dan itu semua sesuai banget sama realitas hidup mereka. Secara politik, ide Marx tentang revolusi proletar—kelas pekerja ngegulingin kelas borjuis lalu bikin masyarakat tanpa kelas—jadi inspirasi sekaligus pembenaran buat gerakan radikal.
Masuk abad ke-20, ide-ide ini bikin partai sosialis dan serikat buruh naik daun, nuntut gaji lebih layak, jam kerja lebih pendek, dan kondisi kerja yang aman. Tapi dampak paling heboh tentu Revolusi Rusia 1917, yang digerakin langsung dengan bendera Marxisme, meskipun Lenin ngoprek teorinya biar cocok sama kondisi Rusia. Lanjut ke China, Mao Zedong juga nyedot habis teori Marx, walau dimodifikasi biar nyambung sama masyarakat agraris, bukan industri. Di Kuba, Fidel Castro, sampai gerakan anti-kolonial di Afrika dan Asia, Marx jadi guru ideologi yang dipakai buat melawan kapitalisme dan imperialisme. Bahkan di negara yang nggak jadi komunis, pemerintah tetep terpaksa ngasih reformasi karena takut kalau buruh ngamuk. Intinya, Das Kapital jadi peta jalan dan bensin ideologi buat perjuangan buruh dan revolusi dunia sepanjang abad ke-20.
Di antara tumpukan teori yang super tebal dalam Das Kapital, ada beberapa ide Marx yang jadi bintang utama dan viral banget dipakai gerakan buruh internasional serta revolusi abad ke-20. Pertama, konsep perjuangan kelas, yang ngegas banget dengan bilang kalau sejarah itu digerakin oleh konflik abadi antara pemilik modal dan buruh yang cuma bisa jual tenaga. Nyambung ke situ, ada teori nilai lebih, yang ngebongkar rahasia kalau keuntungan itu muncul dari kerja buruh yang nggak dibayar penuh—jadi ketimpangan bukan sekadar kecelakaan, tapi DNA asli kapitalisme. Lalu ada analisis keterasingan, di mana buruh jadi asing sama hasil kerjanya sendiri, kehilangan sisi manusianya, bahkan makin jauh dari sesamanya—dan kondisi ini bikin banyak orang merasa relate sekaligus muak. Marx juga ngegas dengan klaim kalau kapitalisme itu pasti rajin bikin krisis, dari boom sampai bust, kayak roller coaster yang nggak pernah berhenti. Dan yang paling bikin darah muda meletup-letup: visinya soal revolusi proletar, saat buruh bersatu, ngegulingin borjuis, lalu bangun masyarakat tanpa kelas. Semua gagasan ini akhirnya jadi “tulang punggung ideologi” buat revolusi Rusia, China, Kuba, sampai gerakan buruh di berbagai belahan dunia.
Salah satu hal paling seru dari warisan intelektual Marx adalah gimana ide-ide yang awalnya ditulis dengan detail “ilmu pasti” dalam Das Kapital, justru sering dioprek, dipelintir, bahkan disalahgunakan oleh para pemimpin politik yang ngaku-ngaku muridnya. Contoh paling ngetop ya Vladimir Lenin. Marx ngebayangin buruh, setelah sadar kalau mereka dieksploitasi, bakal bangkit sendiri dan bikin revolusi massal. Tapi Lenin bilang, “Nggak bisa gitu, bro!” Menurutnya, buruh kudu dipimpin oleh partai pelopor yang disiplin, berisi intelektual dan aktivis hardcore. Hasilnya? Kekuasaan jadi super tersentral, jauh lebih top-down dibanding yang Marx tulis. Stalin lalu bawa ini ke level dewa. Marx dulu percaya negara pada akhirnya bakal “layu” dalam masyarakat tanpa kelas. Tapi Stalin malah bikin negara jadi mesin super kuat buat ngontrol hidup rakyat, lengkap dengan represi, pembersihan politik, dan kolektivisasi paksa.Di China, Mao Zedong bikin remix besar-besaran. Kalau Marx teorinya fokus ke buruh industri di kota, Mao malah ngegas kalau petanilah yang jadi motor revolusi. Marxismenya jadi “agraris edition,” cocok buat kondisi China, tapi keluar jalur dari teks aslinya. Di Kuba, Fidel Castro dan Che Guevara juga main adaptasi. Mereka gabungin ide Marx dengan nasionalisme plus strategi gerilya di gunung, bukan buruh pabrik kayak yang Marx bayangin. Jadi jelas banget, Marx kasih pondasi teoritis, tapi hasil akhirnya di abad ke-20 sering nggak mirip sama impian Marx tentang masyarakat bebas, setara, dan tanpa represi. Yang terjadi malah variasi politik lokal dengan rasa Marx “setengah jadi.”
[Bagian 7]