Di dua panggung berbeda—Kathmandu dan Jakarta—anak-anak Gen Z lagi-lagi jadi bintang utama. Bukan di TikTok, tapi di jalanan. Mereka turun bukan buat joget, tapi buat protes. Isunya mirip: korupsi, nepotisme, ekonomi yang bikin dompet nangis, dan para elite politik yang hidupnya kayak sinetron anak penggede.Di Nepal, trigger-nya cukup dramatis: pemerintah nge-ban medsos kayak Instagram dan TikTok. Gen Z langsung bilang, “Wait, what?!” dan turun ke jalan. Dianggap kayak episode Black Mirror, larangan itu dinilai nyerang kebebasan berekspresi. Di Indonesia, vibes-nya mirip, tapi lebih fokus ke reformasi politik, keadilan sosial, dan transparansi. Pokoknya, kalau bisa ngexpose “Nepo Kids” ala selebgram, kenapa nggak ngexpose elite politik juga?Medsos jadi senjata utama. Dari thread Twitter sampai IG story, semua dipakai buat ngumpulin massa, nyebar keresahan, dan bikin meme-meme pedas yang lebih tajem dari debat Capres.Tapi beda negara, beda level dramanya. Nepal langsung masuk mode chaos: gedung parlemen kebakar, PM K.P. Sharma Oli mohon pareng alias pamit, dan korban jiwa pun jatuh. Militer turun tangan, jam malam diberlakukan, dan suasana jadi kayak film dystopia.Indonesia? Meski protesnya rame dan penuh semangat, belum sampai level “game over” buat pemerintah. Fokusnya lebih ke isu-isu spesifik: hak buruh, skandal korupsi, dan kebijakan yang bikin rakyat garuk-garuk kepala. Para pejabatnya kadang ngomong pedes, polisinya ngeselin dan suka nyari kambing hitam, tapi itu belum menjadikannya sampai ke titik “gulingkan rezim”.Di dua negara beda vibe—Nepal dan Indonesia—urusan cari kerja tuh kayak main game level hard. Sama-sama punya tantangan, tapi strategi dan konteksnya beda. Ibarat dua pemain Mobile Legends, satu pakai hero support, satu nge-push tower pakai marksman.Di Nepal, pengangguran itu bukan sekadar statistik, tapi realita harian. Banyak anak muda kerja serabutan, freelance tanpa jaminan, atau malah nganggur sambil scroll TikTok. Pemerintah pun pasang target ambisius: 2025–2035 jadi Dekade Ketenagakerjaan Lokal. Tujuannya? Bikin kerjaan dalam negeri lewat kolaborasi bareng sektor swasta, fokus ke skill dan wirausaha. Tapi ekonomi Nepal masih nyangkut di sektor lama: pertanian, pariwisata, dan kiriman uang dari saudara yang kerja di luar negeri. Sektor baru kayak IT dan energi hijau mulai muncul, tapi belum bisa jadi penyelamat utama. Apalagi di desa, skill mismatch dan minimnya peluang bikin anak muda cuma bisa bilang: “Kerja di mana, Kak?”Sementara itu, Indonesia lagi siap-siap panen kerjaan. Tahun 2025 diprediksi bakal ada 67.000+ lowongan baru, thanks to relokasi pabrik tekstil global ke daerah-daerah yang dulu cuma jadi latar sinetron: Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pemerintah ngegas pembangunan merata, biar tenaga kerja yang makin banyak nggak cuma numpuk di kota. Ekonomi Indonesia lebih berwarna: ada manufaktur, jasa, digital—semuanya ikut nyumbang lapangan kerja. Tapi jangan lupa, PHK di sektor lain tetep jadi ancaman. Jadi, ini bukan cerita happily ever after, tapi lebih ke “kerja keras dulu, baru healing.”Nepal punya Gini Index konsumsi yang stabil di angka 0,33. Kedengarannya oke, tapi kalau dilihat lebih dalam, ketimpangan pendapatan dari kerja dan modal makin kelihatan, apalagi di desa. Di Indonesia, ketimpangan lebih kentara. Ada gap besar antara daerah dan sektor. Makanya, pemerintah dorong kerjaan di daerah tertinggal biar pembangunan nggak cuma numpuk di Jakarta dan sekitarnya.Nepal dan Indonesia sama-sama punya PR besar: pengangguran muda dan ketimpangan ekonomi. Nepal masih ngandelin kolaborasi pemerintah-industri di tengah ekonomi yang jalannya pelan. Indonesia lebih agresif, pakai investasi asing dan relokasi industri buat ngegas penciptaan kerja. Tapi intinya sama: kalau lapangan kerja nggak dibuka lebar, stabilitas sosial bisa goyah. Dan anak muda? Mereka nggak cuma butuh kerjaan, tapi juga sistem yang adil dan masa depan yang nggak cuma jadi quote motivasi.Di Nepal, rakyat bukan cuma capek sama harga bahan pokok, tapi juga muak lihat anak pejabat pamer mobil mewah, kuliah luar negeri, dan pesta yang lebih heboh dari konser K-pop. Padahal, budaya Nepal itu chill banget: sederhana, sabar, komunal. Hidup bareng, bukan saling pamer. Nilai-nilai kayak kerendahan hati dan kebersamaan itu bukan sekadar quotes di dinding rumah, tapi napas sehari-hari.Orang Nepal tumbuh dengan ajaran Buddha dan Hindu yang ngajarin hidup selaras, bukan berlomba jadi sultan. Jadi waktu elit politik mulai “flexing” gaya hidup ala Crazy Rich Nepali, publik langsung bilang: “Ini bukan cuma norak, ini nginjek-nginjek nilai-nilai kami.”Pamer kekayaan di tengah rakyat yang lagi berjuang itu bukan sekadar soal selera. Itu jadi simbol: korupsi yang udah mendarah daging, ketimpangan yang makin lebar, dan elit yang makin jauh dari realitas rakyat. Bagi warga Nepal, pemimpin itu harusnya melayani, bukan jadi influencer.Makanya, kemarahan rakyat bukan cuma soal iri. Ini soal pelanggaran kepercayaan sosial. Ketika elit gagal menunjukkan empati dan malah sibuk flexing, itu dianggap sebagai penghinaan terhadap solidaritas komunal. Di Nepal, kerendahan hati bukan kelemahan—melainkan fondasi. Dan kalau fondasi itu diguncang, jangan heran kalau rakyat bangkit.Di Indonesia, kalau pejabat atau anaknya mulai pamer mobil mewah, outfit branded, atau gaya hidup ala sultan, reaksi publik biasanya: “Bro, baca ruangan!” Sama kayak di Nepal, masyarakat kita punya nilai-nilai yang nggak bisa ditawar: rendah hati, saling hormat, dan hidup rukun. Tapi karena Indonesia itu negara seribu pulau dan sejuta adat, ekspresinya bisa beda-beda—walau satu suara soal anti-sombong.Budaya Indonesia itu campuran antara ajaran Islam, adat lokal, dan etika komunal. Dari Aceh sampai Papua, nilai “sederhana tapi berkelas” itu bukan sekadar gaya hidup, tapi tuntutan moral. Pemimpin itu kudu jadi teladan, bukan jadi selebgram. Jadi waktu ada pejabat flexing kekayaan, publik langsung nyalain mode “detective”: ini korupsi? ini nepotisme? ini disconnect dari realita rakyat?Di tengah rakyat yang masih mikirin harga beras dan cicilan motor, gaya hidup mewah pejabat jadi simbol keterputusan. Bukan cuma soal uang, tapi soal etika. Publik makin sadar bahwa kemewahan elit kerap datang dari sistem yang timpang—dan itu bikin geram.Berbeda dari Nepal yang lebih homogen, Indonesia itu plural banget. Ada yang nilai pemimpin dari keshalihan, ada yang dari kepedulian komunitas, ada juga yang dari gaya komunikasi. Tapi satu benang merahnya: “sopan santun” itu bukan basa-basi. Itu standar moral. Dan kalau pejabat kagak bisa memenuhin itu, publik nggak segan buat bilang: “Out of touch, Pak.”Baik di Nepal maupun Indonesia, anak muda jadi motor utama. Mereka nggak cuma bikin meme “Nepo Baby” atau “Anak Pejabat Pamer,” tapi juga nuntut transparansi dan keadilan. Bedanya, Nepal udah masuk mode krisis: larangan medsos, kerusuhan, PM mundur. Indonesia masih di fase “politik panas tapi belum meledak.” Tapi jangan salah, suara Gen Z makin lantang, dan tuntutan reformasi makin nyata.Dari jalanan Kathmandu sampai timeline Twitter Jakarta, protes anak muda bukan cuma soal marah—tapi soal ngasih wake-up call ke pemerintah. Ini bukan demo asal demo, tapi sinyal keras: “Dengerin kami, atau siap-siap chaos.”Pelajaran pertamanya, para pejabat publik yang cuek sama keresahan rakyat, apalagi Gen Z yang udah melek data dan doyan debat, bakal kena batunya. Kalau kebebasan berekspresi, akses informasi, dan peluang ekonomi dianggap remeh, jangan kaget kalau jalanan berubah jadi panggung kemarahan.Kedua, medsos bukan cuma tempat flexing outfit atau share meme. Di era sekarang, itu alat mobilisasi. Larangan medsos kayak di Nepal? Efeknya kayak nyiram bensin ke api. Rakyat makin geram, makin solid, makin viral. Pemerintah yang overkontrol digital malah makin jauh dari rakyatnya. Meski ada yang bilang Gen Z otaknya kosong, tapi ternyata, mereka punya AI di kantong. Mau cari info soal pejabat? Tinggal klik, data langsung muncul. Kagak perlu jadi detektif, cukup jadi netizen aktif.Ketiga, anak muda kagak mau lagi cuma dijadiin penonton politik. Mereka mau duduk di meja, ikutan bikin keputusan. Korupsi, nepotisme, pengangguran? Nggak jamannya lagi, udah basi. Yang dibutuhin: reformasi atau perbaikan nyata, bukan janji manis. Kalau suara mereka terus dibungkam, jangan heran kalau protes makin kreatif dan keras.Keempat, protes bisa jadi awal perubahan, tapi juga bisa jadi awal kehancuran kalau nggak ditangani bijak. Dialog, reformasi, dan pemerintahan yang terbuka itu kunci. Tantangan Nepal dan Indonesia sekarang: gimana caranya ubah energi protes jadi gerakan pembaruan, bukan drama berkepanjangan atau gaya otoriter.Inti pelajarannya, demokrasinya perlu diupdate: hormati hak rakyat, jangan cuma pas pemilu; libatin anak muda, jangan cuma dijadiin buzzer; atur ruang digital dengan bijak, bukan represif; dan terakhir gali akar masalah, bukan nutup lubang dengan janji.
Nah, sekarang waktunya kita kepoin isi Das Kapital-nya Karl Marx. Tapi tenang, biar nggak pusing kayak baca skripsi, dan juga buat kehati-hatian, di sini cuma disajiin rangkuman per bab aja—diambil dari versi lengkap edisi kedua tahun 1872, cetakan Berlin 1932, yang diterbitkan Gustav Kiepenheuer Verlag, lengkap dengan pengantar dari Karl Korsch. Jadi, ini bukan Marx ala TikTok, tapi Marx yang serius dan mudah dicerna.Di Das Kapital, Marx tuh kayak dokter forensik yang lagi ngubek-ngubek mayat kapitalisme. Bukan cuma nyinyir, doi ngebedah satu-satu organ sistem ini—dari jantung komoditas, paru-paru relasi kerja, sampai ginjal laba yang rakus. Intinya? Kapitalisme itu sistem yang kelihatan rapi di luar, tapi dalemnya penuh modus. Buruh kerja keras, tapi hasilnya diembat bos-bos modal. Kayak kerja rodi tapi dibungkus startup vibes.Marx ngegambarin kapitalisme kayak vampir yang nyedot tenaga kerja buat hidup. Makin canggih sistemnya, makin buruhnya ngerasa kayak NPC dalam game ekonomi. Tapi anehnya, semua orang disugesti buat percaya ini normal. Padahal, kata Marx, kapitalisme itu kayak karakter antagonis yang bakal tumbang karena dosa-dosanya sendiri—overdosis ambisi dan kontradiksi internal.Marx buka buku ini kayak intro serial yang ngomong: “Santai, gue nggak lagi ngasih ceramah moral, gue cuma mau ngebongkar mesin kapitalisme dari dalam.”Bab 1: KomoditasBarang-barang itu kayak karakter utama. Ada dua wajah: bisa dipakai buat hidup, tapi juga bisa dijual buat duit. Dari sini semua drama kapitalisme lahir.Bab 2: Proses PertukaranBarang-barang dilepas ke pasar. Kayak keliatan simpel, tukar-menukar aja. Tapi sebenernya, hubungan antar manusia disulap jadi hubungan antar benda.Bab 3: UangUang muncul sebagai “aktor pendukung” tapi cepat naik kasta jadi pemeran utama. Dari sekadar alat tukar, berubah jadi bos yang ngatur segalanya.Bab 4: Rumus Umum KapitalMasuklah rumus legendaris M–C–M’: duit diputer lewat barang, balik lagi jadi duit yang lebih gede. Kapital itu kayak mesin self-expanding.Bab 5: Kontradiksi RumusTapi ada plot hole: kok bisa duit nambah sendiri? Marx bikin penonton mikir, “Ada yang janggal nih!”Bab 6: Tenaga Kerja DijualJawabannya: manusia itu sendiri jadi komoditas. Buruh jual tenaganya, dan di situlah bos dapet nilai lebih.Bab 7: Proses KerjaKerja biasa itu kreatif. Tapi di kapitalisme, kerja jadi mesin pencetak profit buat orang lain.Bab 8: Modal Tetap & VariabelModal mesin cuma nyumbang stabilitas. Modal tenaga kerja yang bikin nilai lebih lahir. Buruh = kunci cerita.Bab 9: Tingkat Nilai LebihEksploitasi buruh diterjemahin ke matematika. Marx bikin angka jadi bukti kekejaman.Bab 10: Hari KerjaDrama kelas pekerja vs kapitalis. Bos pengen jam kerja panjang, buruh teriak minta batasan. Kayak adegan puncak film thriller.Bab 11: Kerja SamaKalau buruh bareng-bareng, hasilnya gede. Tapi kapitalis ngambil semua kreditnya.Bab 12: Pembagian Kerja & ManufakturEfisiensi naik, tapi manusia jadi kayak part kecil dalam mesin. Diri mereka dicincang jadi “fungsi kerja.”Bab 13: Mesin & Industri ModernRevolusi Industri datang. Mesin keliatan keren, tapi sebenernya bikin buruh jadi budak baru.Bab 14: Nilai Lebih Absolut & RelatifBos punya dua jurus: tambah jam kerja atau bikin kerja lebih cepat. Dua-duanya ngerampas tenaga buruh.Bab 15: Perubahan Upah & Nilai LebihNaik-turun gaji cuma ngubah strategi bos. Sistemnya tetep sama: peras tenaga buruh.Bab 19: Misteri UpahUpah kelihatan kayak bayar kerja penuh, padahal cuma harga tenaga kerja. Sisanya? Gratis buat kapitalis.Bab 20: Upah WaktuDibayar per jam itu keliatan fair. Tapi bos bisa makin ngegas eksploitasinya.Bab 21: Upah BoronganDibayar per unit bikin buruh saling sikut. Kompetisi = kontrol.Bab 22: Upah Antar NegaraBeda gaji di tiap negara bukan soal budaya, tapi kapitalisme global yang nggak rata.Bab 23: Reproduksi SederhanaKapital muter terus, ngehisap buruh, dan bikin sistem eksis tanpa perlu ekspansi.Bab 24: Reproduksi DiperluasKalau laba di-reinvest, kapitalisme jadi makin gede dan makin invasif.Bab 25: Hukum Umum AkumulasiMakin gede kapital, makin banyak buruh nganggur cadangan. Bos butuh “army of the unemployed” buat nahan upah tetap rendah.Bab 26: Akumulasi PrimitifKapitalisme lahir dari darah, kolonialisme, perampasan tanah, dan kekerasan. Asal-usulnya horor, bukan dongeng indah.Bab 27: Teori Kolonisasi ModernKoloni jadi laboratorium kapitalisme. Semua kontradiksi ditelanjangi di sana.LampiranMarx ngasih bonus track: catatan studi, daftar tokoh, bibliografi, tabel, sampai kamus istilah. Kayak “extra feature” DVD edisi kolektor.Kritik buku Das Kapital ini macem-macem, bro: ada yang nyerang dari sisi teori ekonomi, ada yang ngulik logikanya, ada yang bilang ramalan Marx nggak kejadian, dan ada yang khawatir soal bahaya politiknya kalau ide-ide itu dipraktekin mentah-mentah.Dari sisi ekonomi, banyak yang ngeledek Das Kapital karena Marx ngukur nilai pakai jam kerja sosial —disebut labour theory of value—padahal setelah era marginalis ekonomi mainstream pakai teori nilai subjektif (preference/utility), jadi sebagian ekonom nganggep dasar ukur Marx udah ketinggalan zaman. Intinya: Marx pake ukuran “jam kerja” buat ngebongkar laba bos, tapi sekolah ekonomi modern nggak jalan pakai jam kerja itu lagi.Ada juga masalah teknis yang disebut “transformation problem” —kebayang nggak, Marx bilang nilai-barang berbasis tenaga kerja mesti bisa diubah jadi harga pasar, tapi matematikanya nggak rapi; sejak awal abad ke-20 sampai Sraffa dan teman-temannya, para ahli debat serius soal apakah transformasi itu bisa dilakukan tanpa kontradiksi. Jadi kalau loe suka hitung-hitungan ekonomi, bab ini bikin kepala berasap.Terus ada kritik praktikal: para ekonomi liberal (Mises, Hayek) bilang, “Oke, misalnya kalian sukses ambil alih alat produksi—tapi gimana kalian ngatur ekonomi tanpa harga pasar?” Mereka mengajukan argumen kalkulasi dan pengetahuan: tanpa harga yang hasil dari pasar, perhitungan alokasi sumber daya bakal amburadul. Itu alesannya kenapa banyak akademisi ngeraguin kelayakan perencanaan pusat ala Marx kalau dipraktekin di dunia nyata.Dari sisi empiris: Marx ngira kapitalisme bakal ambruk sendiri dan buruh bakal bangkit masal di negara industri maju. Faktanya? Kapitalisme adaptif banget—ada welfare, serikat pekerja, redistribusi, teknologi baru—sehingga revolusi proletariat di negara maju nggak terjadi seperti yang doski ramalin. Kritikus pake fakta ini buat bilang ramalan Marx terlalu deterministik.Nah, bagian paling «berbahaya» menurut kalangan akademis: ada titik-titik dalam teks Marx (dan Engels) yang terang-terangan nyebut “forcible overthrow” dan “dictatorship of the proletariat”; ini yang terdengar sebagai lampu hijau buat pemaksaan politik. Ketika Lenin dan selanjutnya pakai gagasan ini buat membenarkan kekuasaan satu partai dan represi, para kritikus bilang: lihat tuuh—retorika revolusioner itu bisa dengan gampang diubah jadi mesin otoritarian. Tapi pendukung Marx balik ngegas bahwa banyak kekejaman abad ke-20 adalah hasil penyimpangan dan kondisi historis tertentu, bukan implikasi matematis dari teori nilai Marx. Jadi perdebatan akademisnya tajam.Ungkapan “forcible overthrow” paling masyhur ada di Manifesto Komunis (1848), yang ditulis Marx bareng Engels. Di bagian penutup, mereka ngomong lantang:“Kaum komunis menyatakan secara terbuka bahwa tujuan mereka hanya bisa tercapai lewat penggulingan paksa seluruh tatanan masyarakat yang ada.”Kalau dibuka teks Jermannya:“Die Kommunisten erklären es offen, daß ihre Zwecke nur erreicht werden können durch den gewaltsamen Umsturz aller bisherigen Gesellschaftsordnung.”Frasa kuncinya adalah “gewaltsamen Umsturz”, yang bisa diterjemahin jadi “penggulingan paksa” atau “penggulingan dengan kekerasan.”Bedanya sama Das Kapital, kalau di situ Marx lebih fokus analisis ekonomi kapitalisme. Kalimat heroik “forcible overthrow” ini muncul di Manifesto, yang emang ditulis buat agitasi politik dan mobilisasi massa.Marx ngomong soal “dictatorship of the proletariat” kayak itu fase transisi—semacam lagi ngebersihin meja sejarah dari kelas penguasa supaya akhirnya negara bisa pudar. Intinya ideal dan sementara, bukan ajakan buat jadi diktator selamanya.Ungkapan asli yang dipakai Marx itu “Diktatur des Proletariats”—bahasa Jerman, artinya “diktator proletariat.” Tapi menariknya, Marx nggak pernah nulis kalimat itu di Das Kapital. Di buku itu doski sibuk ngulik soal komoditas, nilai lebih, dan akumulasi kapital. Istilah “diktator proletariat” nongolnya di tulisan politik lain, terutama di Kritik des Gothaer Programms (1875). Di situ doi make istilah lengkapnya: “revolutionäre Diktatur des Proletariats” alias “diktator revolusioner proletariat,” yang katanya jadi fase transisi dari kapitalisme menuju komunisme.Bahkan lebih awal lagi, tahun 1852, Marx udah bilang di surat ke Joseph Weydemeyer bahwa kontribusi doi adalah “membuktikan perlunya diktator proletariat.”Marx ngomong soal “dictatorship of the proletariat” kayak itu fase transisi—semacam lagi bersihin meja sejarah dari kelas penguasa supaya akhirnya negara bisa pudar. Intinya ideal dan sementara, bukan ajakan buat jadi diktator selamanya.Lenin baca itu dan bilang: “Oke, kita nggak bisa nunggu manis—harus robohin negara lama, bangun kekuasaan buruh lewat partai yang disiplin, dan pakai represi ke musuh-musuh kelas kalau perlu.” Doi bikin gagasan itu jadi blueprint operasional: vanguard party, senjata buat rakyat, dan hukum keras buat yang dianggap kontra-revolusi.Praktik di lapangan? Nah, setelah revolusi, pilihan politik dan kondisi darurat (perang sipil, blokade, isolasi internasional) bikin kekuasaan ngumpul di tangan sedikit orang. Partai pegang monopoli politik, polisi rahasia jadi normal, lawan politik diciduk—dan itu membuka jalan buat pemimpinnya (halo, Stalin) buat ngegas kebijakan brutal: kolektivisasi paksa, industrialisasi instan, dan pembersihan massal (Great Terror). Hasilnya jauh dari “negara yang memudar”—malah negara makin beringas.Jadi apa yang “berbahaya” menurut akademisi? Beberapa poin: pertama, retorika Marx tentang “penindasan kelas” bisa disalahtafsirkan sebagai alasan moral buat represi kalau aktor politik milih jalur itu. Kedua, model Lenin tentang partai vanguard dan monopoli kekuasaan bikin mekanisme yang gampang berubah jadi satu-partai otoriter. Ketiga, klaim bertindak mewakili “mayoritas kelas” bikin pemimpin gampang nyebut kritik itu pengkhianatan, yang akhirnya melegitimasi tindakan keras. Semua itu bukan “otomatis”—bukan hukum alam—tapi jalurnya nyata dan historis.Tapi juga jangan simplifikasi: banyak sejarawan bilang nggak cukup nyalahin teks Marx doang. Ada perang, isolasi, amburadul ekonomi, perebutan birokrasi, dan ambisi personal yang ikut nentuin. Jadi diskusinya tetep sengit: seberapa besar ide-ide itu “menyebabkan” teror, atau justru kondisi dan aktor lah yang memanfaatkannya? Jawabannya: kombinasi keduanya — ide memberi peta, kondisi memberi bahan bakar, dan aktor memegang korek.Kesimpulan singkatnya: Das Kapital itu kayak alat mikroskop yang ngebongkar mesin kapitalisme—banyak yang kagum sama insight-nya—tapi kritiknya juga tebal; ada masalah teknis, prediksi yang gagal, dan potensi politik yang berbahaya kalau ide-ide revolusioner dipraktekin tanpa kontrol demokratis.
Inti ajaran Komunis Karl Marx paling nendang ada di Manifesto Komunis (Manifest der Kommunistischen Partei dalam bahasa Jerman), yang doski tulis bareng Friedrich Engels tahun 1848. Buku ini bukan buku teori ekonomi yang bikin ngantuk, tapi lebih kayak flyer konser underground yang ngajak buruh buat bangkit dan ngegas sistem. Marx buka-bukaan: sejarah itu isinya drama rebutan kekuasaan antara kelas atas (borjuis) dan kelas pekerja (proletar). Kapitalisme, yang dulu katanya keren dan progresif, sekarang cuma jadi sistem yang bikin buruh kerja rodi tapi hasilnya diambil bos-bos elite.Manifesto ini ngajak buat hapus kepemilikan pribadi, ubah sistem produksi jadi milik bersama, dan bubarin kasta sosial. Gaya bahasanya nggak pake basa-basi—bukan minta reformasi, tapi ngajak revolusi. Kalimat penutupnya yang legendaris, “Proletarier aller Länder, vereinigt euch! [Kaum buruh sedunia, bersatulah!]”, bukan sekadar tagline, tapi ajakan demo massal. Marx ngebayangin dunia dimana kekuatan ekonomi nggak lagi dikuasai segelintir orang, tapi dibagi rata buat semua.
[Bagian 10]
[Bagian 8]
[Bagian 8]

