[Bagian 5]Ada yang menarik dalam Tuntutan 17+8, yaitu kepada DPR, agar membatalkan manfaat atau fasilitas baru, termasuk pensiun. Intinya soal pensiun anggota DPR dalam tuntutan 17+8 itu tegas banget: di tuntutan jangka pendek, rakyat nuntut kalau ada kenaikan gaji atau fasilitas baru—termasuk pensiun seumur hidup—langsung dibekukan dan dibatalin. Lanjut di jangka panjang, mereka pengen reformasi total DPR dan ngilangin fasilitas eksklusif kayak pensiun seumur hidup, kendaraan khusus, dan berbagai keistimewaan biar DPR gak makan duit rakyat seenaknya.Tuntutan buat ngehapus pensiun seumur hidup anggota DPR itu nyentil banget ke jantung privilese lama yang udah mendarah daging. Dari sisi duit, jelas bikin berat anggaran negara. Bayangin aja, tiap mantan anggota DPR, meski udah nggak kerja lagi, tetep disubsidi rakyat seumur hidup. Padahal banyak orang masih gaji UMR pas-pasan, BPJS ngadat, atau kerja kontrak tanpa jaminan. Jadi wajar kalau fasilitas itu keliatan kayak beban plus parasit di punggung rakyat. Kalau sistem itu dihapus, bukan cuma meringankan APBN, tapi juga jadi sinyal moral: jadi wakil rakyat itu panggilan, bukan jalur pensiun mewah.
Gini lho, kalau DPR itu ibarat seleb reality show yang cuma tampil satu season tapi dapet royalti seumur hidup, ya jelas publik bakal ngamuk. Bayangin, kerja lima tahun, terus tiap bulan dapet Rp 2,5–3 juta sampai ajal menjemput. Dan itu bukan cuma satu orang—ada 575 anggota per periode. Kalau dihitung-hitung, satu angkatan aja bisa nguras Rp 19 miliar per tahun. Masukin dua-tiga angkatan, negara bisa tekor Rp 57 miliar setahun cuma buat pensiun orang-orang yang udah nggak kerja.Ini sih bukan pensiun, tapi warisan politik. Padahal banyak pensiunan buruh dan guru yang harus ngirit buat beli obat atau bayar listrik. Sementara mantan anggota DPR, yang kadang punya bisnis dan koneksi politik, malah dapet jaminan hidup nyaman. Nggak adil, kan?Tuntutan buat ngehapus pensiun seumur hidup itu bukan nyinyir, tapi bentuk perlawanan terhadap privilese yang nggak masuk akal. Kalau jabatan publik dianggep sebagai ladang cuan, bukan amanah, ya demokrasi kita cuma jadi panggung sandiwara. Saatnya pensiun politik nggak lagi jadi tiket VIP. Yang mau jadi wakil rakyat, harus siap kerja keras—bukan cari pensiun.Kalau di Indonesia anggota DPR bisa dapet pensiun seumur hidup full pay, itu sih beda banget sama di luar negeri. Di Amerika, anggota Kongres cuma bisa dapat pensiun kalau udah layak—kayak umur 62 atau udah lama ngantor—dan jumlahnya nggak lebih dari 80% dari gaji terakhir mereka. Di Kanada, misalnya di Nova Scotia, MLA-nya bisa dapet pensiun gede banget—sampe miliaran setiap tahun—tapi tetep nggak full kayak di Indonesia. Terus di negara kayak Italia atau Kongo, ada sistem “senator seumur hidup” buat mantan presiden atau orang punya jasa besar, tapi umumnya itu soal posisi dan hak istimewa, bukan soal gaji bulanan penuh.
Kalau DPR Indonesia itu kayak pemain sinetron yang cuma muncul di satu episode tapi langsung dapet royalti seumur hidup, negara lain tuh lebih kayak idol K-pop—harus latihan bertahun-tahun dulu baru bisa dapet kontrak jangka panjang.Di Inggris, anggota parlemen harus nyetor dulu ke dana pensiun, dan jumlah yang mereka terima tergantung berapa lama mereka kerja dan berapa gaji mereka. Nggak ada tuh yang baru kerja lima tahun langsung dapet pensiun selamanya. Di Amerika, anggota Kongres baru bisa dapet pensiun kalau udah kerja minimal lima tahun, dan itu pun dihitung berdasarkan umur dan masa kerja. Jadi bukan sistem “kerja sebentar, santai selamanya.”Singapura? Lebih galak lagi. Kagak ada pensiun seumur hidup buat anggota parlemen. Mereka cuma dapet tunjangan tahunan, dan kalau mau pensiun, ya ikut skema pegawai negeri biasa.Nah, Indonesia beda sendiri. Baru kerja lima tahun, langsung dapet pensiun bulanan sampai ajal. Ini bukan pensiun, ini kayak hadiah farewell party yang nggak pernah selesai. Sementara rakyat biasa harus kerja puluhan tahun buat dapet pensiun yang kadang nggak cukup buat beli obat.Kalau negara lain udah kayak konser world tour—kerja keras dulu baru dapet reward—Indonesia masih kayak panggung talent show yang kasih hadiah utama ke peserta yang baru nyanyi satu lagu. Saatnya ubah skrip. Pensiun politik harusnya bukan episode bonus, tapi hasil kerja nyata.Bayangin gini: di Burundi, gaji anggota parlemen cuma Rp11 jutaan setahun. Itu kayak gaji figuran sinetron yang cuma nongol di adegan warung kopi. Nggak ada tuh pensiun mewah. Di India, pensiun buat anggota parlemen ada, tapi harus kerja full satu periode dulu. Dan itu pun nggak langsung jadi ATM seumur hidup.Di Filipina dan Peru, pensiun itu kayak hadiah lomba—harus penuhi syarat dulu, dan nilainya nggak seberapa dibanding harga sembako. Di Afrika Selatan, pensiun ada tapi dihitung dari berapa lama kerja. Dan sekarang pun sistemnya lagi dirombak karena anggaran negara udah mulai ngos-ngosan.Nah, negara maju lebih ketat lagi. Jerman dan Prancis punya skema pensiun, tapi harus nyetor dulu dan kerja lama. Di Kanada, minimal kerja enam tahun baru bisa dapet pensiun. Australia dulu royal, tapi sejak 2004 udah ganti sistem—sekarang anggota parlemen harus ikut skema pensiun kayak pegawai swasta.Jepang? Gaji tinggi, tapi pensiun nggak bisa asal ambil. Harus kerja beberapa periode dulu. Belanda dan Swedia malah gabungin pensiun politisi ke sistem jaminan sosial nasional. Jadi nggak ada tuh perlakuan spesial buat mantan pejabat.Indonesia tuh outlier. Di saat negara lain bilang “jadi pejabat itu tugas, bukan tiket pensiun,” kita malah kasih golden ticket ke siapa pun yang duduk lima tahun di Senayan. Reformasi bukan berarti kita aneh—justru itu cara kita balik ke jalur yang waras dan adil.Di banyak negara, era “pensiun basah seumur hidup” buat politisi itu makin dipersempit. Inggris ubah skema DPR-nya jadi career-average sejak 2015, jadi nggak lagi final salary yang super royal. Umur cairnya juga digeser ke usia pensiun negara, biar nyambung sama pegawai publik lain dan nggak jebol APBN mereka.Di Amerika, mitos “gaji full seumur hidup” buat senator itu nggak benar. Mereka ikut FERS, kudu menuhin syarat masa kerja, ada aturan umur, dan ada batas 80% dari gaji terakhir. Debatnya lebih ke citra: kok politisi aman sentosa pakai skema negara, sementara rakyat kebanyakan nabung di pasar keuangan yang naik-turun.Kanada tahun 2012 ngegas: iuran pensiun anggota parlemen naik tajam sampai kira-kira setengah biaya ditanggung anggota, plus usia pensiun dinaikin. Pesannya: adil dan tahan-banting buat kas negara.Australia nutup skema pensiun politisi yang super royal mulai 2004 buat anggota baru—sekarang mereka ikut superannuation biasa. Tapi yang masuk parlemen sebelum 2004 masih nikmatin pensiun lama yang gede banget; tiap kali kasusnya nongol, publik kebakaran jenggot lagi.Prancis jadi contoh kelas berat soal drama reform: tahun 2023, umur pensiun naik dari 62 ke 64—disahkan pakai jalur konstitusi di tengah demo besar. Dampaknya, apa pun privilese pensiun untuk politisi langsung kelihatan nyolok kalau rakyatnya disuruh kerja lebih lama.Italia juga panas-dingin: reform 2012 nyikat banyak skema spesial dan ngetatin indeksasi, tapi urusan vitalizi (pensiun istimewa) masih bolak-balik disenggol pengadilan—antara hemat anggaran dan aturan hukum.Jadi “resep globalnya” kurang lebih sama: tutup skema lama yang royal, naikin usia pensiun, pakai career-average, pasang plafon manfaat, besar-besar iurannya, dan samakan aturan politisi dengan pegawai publik di bawah pengawas independen. Di panggung politik, dua narasi saling sikut: kubu reform bilang ini soal adil dan berkelanjutan, sedangkan kubu status quo bilang kalau dibuat terlalu kering, nanti parlemen malah ditinggal talenta dan politisi buru-buru lompat ke sektor swasta. Arah anginnya, bagaimanapun, jelas menjauh dari pensiun seumur hidup yang wah menuju skema kontributif, transparan, dan lebih “rakyat jelata friendly.”
Akan tetapi, di panggung politik, responnya ribet. Banyak anggota DPR otomatis pasang kuda-kuda nolak, soalnya langsung nyerempet kenyamanan pribadi mereka. Partai juga cenderung main aman, ngomong normatif soal “teknis anggaran” biar nggak keliatan munafik. Masalahnya, tuntutan 17+8 ini udah keburu jadi simbol kemarahan publik. Kalau DPR kelihatan terlalu ngotot ngelindungi pensiunnya, gampang banget dicap jauh dari realita rakyat. Jadi tarik-menariknya sekarang antara insting DPR buat jaga privilese dengan gelombang moral rakyat yang makin lantang.
Balik ke topik kita.Dalam bukunya To the Finland Station (1940, Doubleday), Edmund Wilson ngasih gambaran tentang latar intelektual dimana sosialisme pertama kali nongol sebagai ide sekaligus gerakan. Doi mulai dengan nunjukin kalau jauh sebelum Marx dan Engels, cara orang mikir tentang sejarah udah berubah pelan-pelan. Dulu sejarah dilihat kayak naskah takdir Tuhan atau hasil intrik raja dan jenderal, tapi abad ke-18 dan ke-19 bikin orang mulai sadar kalau sejarah itu buatan manusia. Dari situ, sejarah gak lagi cuma soal siapa yang perang lawan siapa, tapi juga soal kehidupan sosial dan ekonomi rakyat jelata. Nah, pergeseran cara pandang inilah yang jadi lahan subur buat ide-ide revolusioner tumbuh.Wilson ngasih sorotan khusus ke tokoh-tokoh kayak Giambattista Vico, yang bilang kalau sejarah punya pola yang bisa dilacak dan dibentuk masyarakat itu sendiri, sama Jules Michelet, yang nulis sejarah dengan semangat Romantisisme, bikin rakyat kecil punya suara, dan ngegambarin Revolusi Prancis kayak wahyu sekuler. Walaupun beda gaya dan karakter, mereka punya keyakinan sama: sejarah itu bisa dipahami, punya makna, dan rakyat biasa jadi aktor utamanya. Menurut Wilson, karya-karya mereka bikin mungkin buat ngebayangin sejarah sebagai proses yang digerakkan manusia, bukan sekadar takdir atau perintah Tuhan.Dengan ngasih paparan soal asal muasal ini, Wilson nunjukin kalau nulis sejarah bisa jadi aksi revolusioner juga: cara buat ngangkat lagi perjuangan yang terlupakan, nemuin pola dalam kemajuan manusia, dan nyulut gerakan perubahan baru. Jadi, doski gak ngegambarin sosialisme kayak meteor jatuh dari langit, tapi sebagai hasil dari proses panjang ratusan tahun orang mikir ulang: siapa yang nulis sejarah, buat siapa, dan demi apa. Peralihan dari Tuhan ke manusia, dari raja ke rakyat, dari takdir ke aksi inilah yang buka jalan lahirnya pemikiran sosialis.Di Book II dari bukunya, Edmund Wilson fokus total ke Karl Marx dan Friedrich Engels, nunjukin gimana cita-cita samar-samar sosialisme awal akhirnya berubah jadi doktrin revolusi yang sistematis. Wilson ngenalin Marx pertama kali sebagai intelektual muda Jerman yang lagi bergulat sama filsafat, kebanjiran dialektika Hegel tapi kesel ama sifatnya yang terlalu abstrak. Ia lalu ngikutin gimana Marx geser dari spekulasi metafisik ke kesadaran bahwa kekuatan utama sejarah sebenarnya ada di kondisi material kehidupan—cara orang bekerja, produksi, dan berjuang bertahan hidup. Dari situlah lahir fondasi materialisme sejarah: konflik kelas, yang muncul dari struktur ekonomi, jadi mesin penggerak perkembangan manusia.
Materialisme itu keyakinan bahwa dunia fisik—apa yang dimakan orang, gimana mereka bikin barang, gimana mereka kerja, dan gimana mereka ngatur cara bertahan hidup—adalah fondasi dari seluruh kehidupan manusia. Beda sama keyakinan lama yang ngira ide, agama, atau takdir ilahi jadi pusat perubahan sejarah, materialisme bilang bahwa kesadaran manusia sendiri dibentuk oleh kenyataan praktis hidup sehari-hari. Kita nggak hidup di sejarah sebagai pikiran murni, tapi sebagai tubuh yang harus kerja, berdagang, dan berjuang dalam kondisi sosial-ekonomi tertentu.Apa yang disebut Marx dan Engels sebagai materialisme sejarah adalah perluasan dari gagasan itu jadi teori perkembangan sejarah. Mereka ngejelasin bahwa struktur masyarakat—kelas sosial, institusi, bahkan politik—dibangun di atas basis ekonomi, yaitu cara produksi diatur. Kalau basis ini berubah, entah karena teknologi baru atau hubungan kerja baru, maka superstruktur—budaya, hukum, dan politik—juga ikut geser. Ini patahan besar dari filsafat idealis kayak Hegel, yang taruh ide di pusat sejarah. Buat Marx, manusia nggak bikin dunia baru dari mimpi, tapi dari tekanan dan konflik yang muncul dari kehidupan material.So, materialisme itu bukan sekadar omongan filosofi tapi juga ajakan revolusioner. Dengan nekenin bahwa sejarah digerakkan oleh konflik kelas dan tatanan ekonomi, materialisme bukan cuma ngasih penjelasan tentang masa lalu, tapi juga ngasih panduan buat aksi di masa kini. Kalau penindasan lahir dari susunan material masyarakat, maka pembebasan, kata Marx, cuma bisa datang dengan ngubah susunan itu sendiri. Jadi, materialisme itu sekaligus kaca mata buat ngerti dunia, sekaligus seruan buat ngerombaknya.“Materialisme” sama “materialistis” itu beda, kayak langit dan bumi, walau namanya mirip. “Materialisme” tuh paham filosofi kelas berat, isinya bilang kalau semua yang ada di dunia ini asalnya dari benda nyata—materi. Pikiran, budaya, bahkan sejarah, katanya gak bisa dijelasin cuma pakai ide-ide abstrak, tapi harus dilihat dari kondisi hidup yang nyata: kerja, produksi, dan hubungan antar kelas sosial. Itu sebabnya Marx sama Engels ngomong kalau penggerak utama sejarah bukan doa atau mimpi, tapi kenyataan di lapangan. Nah, kalau “materialistis”, itu udah beda jalur banget. Istilah ini biasanya dipakai buat nyebut orang yang hidupnya cuma mikirin harta, barang branded, dan gaya hidup mewah. Jadi, kalau materialisme itu ilmu serius buat memahami dunia, materialistis itu lebih ke gaya hidup cetek—cuma pamer dan numpuk barang biar keliatan keren, tapi sering kehilangan makna yang lebih dalam.Biar gampang kebayang, gini nih: bayangin ada filsuf abad ke-19 duduk di ruang kerja remang-remang sambil ngitung data pabrik dan kondisi buruh. Terus doi bilang, “Revolusi itu lahir bukan dari mimpi, tapi dari perut lapar, gaji kecil, dan penindasan.” Nah, itu namanya materialisme filosofis—ngeliat sejarah dari realita materi dulu, baru ngomongin ide-ide. Sekarang bandingin sama sosok lain: orang sultan yang kerjanya scroll e-commerce biar bisa beli tas branded terbaru atau mobil sport keluaran terbaru, bukan karena butuh, tapi biar gengsinya naik. Nah, itu baru materialistis—hidupnya cuma mikirin barang-barang buat pamer status. Jadi yang satu teori serius yang dipake Marx dan para pemikir buat ngejelasin dunia, yang satu lagi gaya hidup konsumtif ala flexing di medsos.Nah, yang ini, sering bikin orang salah kaprah. Banyak yang denger kata “materialisme” terus mikirnya cuma soal cinta uang, barang mewah, dan gaya hidup hedon. Padahal, materialisme itu serius banget, tentang gimana kondisi hidup—kerja, produksi, dan hubungan ekonomi—bentuk cara manusia mikir dan bertindak. Sementara “materialistis” itu cuma kritik sosial: orang yang hidupnya kebanyakan mikirin barang buat pamer, gengsi, dan status, bukan nilai-nilai atau etika.Kesalahpahaman ini bikin banyak orang keliru ngebaca sejarah atau teori. Contohnya, banyak yang nge-bully Marx bilang “doski kan cuma mikirin duit,” padahal inti materialisme sejarahnya adalah analisis kelas dan produksi, bukan obsesi barang. Wilson sendiri di To the Finland Station ngejelasin dengan teliti supaya orang ngerti: ide dan revolusi muncul dari perjuangan nyata manusia, bukan karena orang kepo atau cinta barang.Dalam filosofi secara umum, materialisme itu keyakinan bahwa materi adalah substansi paling dasar dari realitas, dan semua yang ada—termasuk pikiran, perasaan, sampai pengalaman spiritual—akhirnya lahir dari proses material. Para materialis filosofis bilang, gak perlu ada campur tangan gaib atau kekuatan supranatural buat jelasin dunia. Dari gerakan planet sampai otak yang nyetrum sinyal, semua bisa dipahami sebagai materi yang bergerak. Ini materialisme dalam makna umum: cara pandang dunia yang taruh dunia fisik di pusat segala penjelasan.Sementara itu, materialisme sejarah, yang diformulasi Marx dan Engels, merupakan penerapan khusus prinsip tadi ke studi masyarakat dan sejarah. Ia gak cuma bilang bahwa materi itu ada, tapi nekenin bahwa cara manusia memproduksi dan mereproduksi hidup material mereka adalah yang nentuin bentuk institusi sosial, politik, budaya, bahkan keyakinan. Kalau materialisme biasa bisa jelasin otak sebagai organ fisik, materialisme sejarah bisa jelasin agama, hukum, dan filsafat sebagai produk dari relasi ekonomi. Jadi bukan sekadar metafisika, tapi juga metode: cara baca sejarah lewat lensa konflik kelas, kerja, dan produksi.Bedanya, materialisme filosofis kasih tahu kita dunia ini terbuat dari apa, sementara materialisme sejarah kasih tahu gimana masyarakat bisa berubah dan berkembang. Yang satu sikap umum tentang semesta, yang satu lagi teori revolusioner tentang sejarah manusia. Dengan loncatan itu, Marx dan Engels ngubah materialisme dari sekadar deskripsi pasif tentang dunia jadi program aktif buat ngerombaknya.Wilson juga nekenin duet luar biasa Marx dan Engels. Engels digambarin sebagai rekan praktis sekaligus kolaborator penting yang bikin teori Marx punya pijakan empiris. Bareng-bareng, mereka nyampurin filsafat, ekonomi, dan aktivisme politik jadi satu visi padu: kapitalisme, kata mereka, bawa bibit kehancurannya sendiri, dan sosialisme bakal lahir bukan sebagai mimpi utopis, tapi sebagai konsekuensi sejarah yang nggak bisa dihindarin. Wilson garis bawahi kalau pencapaian terbesar mereka bukan cuma nganalisis masyarakat, tapi juga meyakinkan bahwa analisis kayak gitu harus diterjemahin jadi aksi. Teori, buat mereka, nggak bisa dipisahin dari revolusi.Dengan ngebahas Marx dan Engels, Wilson nunjukin kalau mereka bikin patahan radikal dari pemikir sebelumnya kayak Michelet dan Vico. Kalau kaum Romantis lihat sejarah sebagai drama jiwa manusia, Marx dan Engels ngebongkar mistisisme itu dan nunjukin dinamika nyata: kerja, eksploitasi, dan kekuasaan. Dengan begitu, mereka ngasih sosialisme kerangka ilmiah, rasa kepastian, dan urgensi revolusioner yang gak pernah ada sebelumnya. Jadi, Book II buknya Wilson pada intinya ceritain tentang gimana sosialisme berhenti jadi visi puitis keadilan, dan berubah jadi doktrin yang ditujukan buat ngegulingin tatanan yang ada.Di Book III: The Revolutionary Tradition dari To the Finland Station (1940), Wilson bawa cerita ide-ide sosialisme ke puncaknya dramatis bareng Lenin dan Revolusi Rusia. Di sini, Wilson ngikutin jalannya dari Marx dan Engels ke berbagai gerakan sosialisme di Eropa, nunjukin gimana ide konflik kelas, materialisme sejarah, dan aksi revolusioner diperdebatkan, diadaptasi, bahkan kadang disalahpahami oleh generasi aktivis berikutnya. Doski nekenin kalau Lenin gak muncul tiba-tiba; doi mewarisi tradisi intelektual dan praktis panjang, penuh teori sekaligus pelajaran dari perjuangan politik nyata.
Wilson ngegambarin perjalanan Lenin ke “Finland Station” di Petrograd sebagai simbol: momen ini nunjukin gimana ide berabad-abad—kerangka teori Marx dan Engels, eksperimen revolusioner di Eropa, dan realitas perang serta penindasan—akhirnya menyatu jadi aksi nyata. Kembalinya Lenin dari pengasingan itu berarti datangnya pemikiran revolusioner ke arena sejarah secara konkret: dia turun dari kereta bukan cuma sebagai pemikir, tapi sebagai pemain dalam gerakan yang bisa ngambil alih kekuasaan negara. Wilson juga nekenin kalau “Tradisi Revolusioner” itu hasil interaksi kompleks antara pemikiran dan aksi; nggak cukup cuma ngerti tulisan Marx atau kagum sama mereka. Kita juga harus paham kondisi material dan politik di mana ide muncul, dan keputusan etis serta strategi yang nentuin sukses atau gagalnya revolusi.
Wilson nutup alur narasinya: dari sejarawan Romantis kayak Michelet yang merayakan semangat manusia, ke teoritikus sistematis kayak Marx dan Engels yang nemuin kekuatan material, dan akhirnya ke Lenin, yang nunjukin gimana ide, ketika digabung sama aksi disiplin, bisa ngerubah jalannya sejarah. “Finland Station” sendiri jadi metafora kuat, titik akhir simbolik dari perjalanan berabad-abad pikiran, perjuangan, dan aksi manusia yang akhirnya ketemu dengan kemungkinan nyata buat perubahan revolusioner.Dari Michelet yang romantis, ke Marx yang analitis, sampai Lenin yang eksekutif, Wilson ngegambarin sejarah sebagai kombinasi ide dan aksi, dimana manusia bareng-bareng bisa ngerombak dunia.Pesan utama Wilson? Sejarah itu buatan manusia, bukan takdir atau perintah Tuhan. Ide semata bermakna bila diuji dan dijalankan. Pikiran revolusioner abad ke-20 itu hasil dari tradisi panjang. Dan terakhir, ngerti sejarah itu berarti sadar kalau kita punya potensi—bahkan kewajiban—buat ikut ngebentuk masa depan.Sosialisme itu intinya simpel: harta, sumber daya, dan alat produksi jangan cuma jadi milik segelintir orang kaya doang, tapi harus diatur bareng-bareng buat kepentingan semua. Tujuannya biar hasil kerja keras dan industri bisa dinikmati merata, bukan numpuk di saku segelintir elit. Kalau kapitalisme mainnya saingan dan ngejar untung pribadi, sosialisme lebih condong ke kerjasama, keadilan sosial, dan keyakinan kalau harga diri manusia nggak boleh diukur dari isi dompet. Intinya sih, bikin masyarakat yang saling dukung, dimana yang kuat nggak nginjek yang lemah, dan ekonomi dipakai buat ngelayanin manusia—bukan manusia yang jadi budak ekonomi.
Komunisme sama sosialisme sering dianggep sepupu dekat, tapi sebenernya ada perbedaan tipis yang bikin arahnya nggak sama persis. Sosialisme nggak langsung ngegas hapusin kepemilikan pribadi, tapi lebih ke ngerem biar nggak jadi sumber ketimpangan parah. Caranya lewat aturan dan reformasi bertahap, biasanya lewat jalur demokrasi, biar harta bisa dibagi lebih adil. Nah, komunisme itu langkahnya lebih ekstrem: kepemilikan pribadi atas alat produksi dihapus total, diganti jadi milik bersama, sampai kelas sosial pun lenyap. Kalau sosialisme kayak usaha bikin lapangan main lebih rata, komunisme ngebayangin dunia dimana permainan saingan itu udah nggak ada sama sekali.
Kalau sosialisme dipakai dalam konsep bernegara, wujudnya kelihatan dari kebijakan dan sistem yang ngurusin kesejahteraan bareng-bareng. Pemerintah jadi pemain utama buat ngatur ekonomi, ngasih layanan kesehatan gratis, pendidikan buat semua, rumah layak, sampai jaminan sosial. Biasanya sektor vital kayak listrik, transportasi, dan sumber daya alam dikuasai negara atau minimal diawasi ketat biar nggak cuma jadi ladang cuan segelintir orang. Tujuannya bukan bikin orang kehilangan jati diri, tapi memastikan nggak ada rakyat yang ditinggal cuma karena miskin atau ketindas. Nah, kalau kapitalisme beda cerita: yang dipuja itu pasar bebas, kepemilikan pribadi, dan kompetisi. Pemerintah jarang campur tangan, biarin bisnis berkembang sebebas-bebasnya, dan orang kaya makin kaya karena sistem memang ngasih keleluasaan. Hasilnya? Kadang muncul inovasi keren dan gerak cepat, tapi jurang kaya-miskin juga makin dalam. Singkatnya, sosialisme berusaha bikin ekonomi lebih manusiawi lewat keadilan, sementara kapitalisme percaya ekonomi bakal otomatis ngarahin hidup manusia.
Dalam praktik nyata, negara-negara Skandinavia kayak Swedia, Norwegia, dan Denmark sering jadi contoh paling gampang buat nunjukin wajah sosialisme yang dipakai di negara demokratis. Mereka punya sistem kesejahteraan yang kuat: layanan kesehatan gratis, sekolah dan kuliah nyaris gratis, cuti melahirkan panjang, dan perlindungan kerja yang bikin pekerja nggak gampang diperas. Pajak emang tinggi, tapi duitnya balik lagi ke rakyat dalam bentuk layanan publik yang merata. Model kayak gini biasanya disebut “sosial demokrasi,” bukti kalau sosialisme bisa jalan bareng demokrasi dan pasar, tapi tetap utamakan keadilan.Amerika Serikat, sebaliknya, jadi contoh paling klasik dari kapitalisme. Di sana, kepemilikan pribadi dan persaingan pasar dianggap sakral, sementara urusan kesejahteraan lebih sering diserahkan ke individu. Rumah sakit dan sekolah kebanyakan dikuasai swasta, pajak relatif lebih rendah, dan jaring pengaman sosial gak segokil Skandinavia. Hasilnya, ekonomi AS memang super dinamis dan penuh inovasi, tapi ketimpangan juga parah: jutaan orang kesulitan bayar berobat dan biaya kuliah selangit. Jadi gampangnya, Skandinavia itu sosialisme yang berusaha bikin kapitalisme lebih manusiawi, sedangkan Amerika percaya kebebasan individu dan pasar bebas adalah kunci kemakmuran.Uni Soviet jadi contoh paling dikenal dari sosialisme negara yang gagal total. Beda sama sosial demokrasi Skandinavia yang nyambungin kesejahteraan dengan demokrasi, di Uni Soviet hampir semua aspek ekonomi dikuasai negara. Kepemilikan pribadi dihapus, oposisi politik dibungkam, dan semua urusan produksi sampai distribusi diatur lewat rencana pusat. Awalnya sih mereka sempat sukses—industri ngebut maju dan bisa ngalahin fasisme di Perang Dunia II. Tapi lama-lama sistemnya jebol sendiri karena nggak efisien, penuh korupsi, dan minim kebebasan. Tanpa kompetisi dan insentif pribadi, inovasi mandek. Akhirnya, di akhir 1980-an, rakyat makin kesal, ekonomi stagnan, barang langka, dan Uni Soviet pun ambruk.Kalau dibandingin, jelas banget spektrum sosialisme itu luas. Di satu ujung ada sosialisme demokratis ala Skandinavia, yang nunjukin keadilan bisa jalan bareng kemakmuran. Di ujung lain ada model otoriter Uni Soviet, yang terlalu ngegas kontrol sampai justru ngancurin masyarakat sendiri. Pelajarannya jelas: sosialisme bisa jalan kalau ditemenin demokrasi dan transparansi, tapi bisa gagal parah kalau dipaksain lewat tangan besi.
[Bagian 3]