Jumat, 08 Maret 2019

Saat Seorang Mati Dihidupkan Kembali

Sang lelaki pemegang kitab berkata, "Wahai anak muda, Allah bisa menghidupkan orang mati, tetapi Dia telah menetapkan prinsip bagi bumi ini bahwa Dia takkan menghidupkan mereka sebelum Hari Kiamat. Namun, ada beberapa contoh dari orang yang telah mati, dihidupkan lagi atas permohonan seorang nabi atau orang shalih sehingga mereka yang masih hidup dapat mengambil pelajaran darinya, dan mengetahui bahwa Allah mampu melakukan segalanya. Di antaranya adalah kisah Hizqil, kisah Uzair, dan kisah sapi-betina Bani Israil. Kisah-kisah ini, tentang Bani Israil.
Al-Quran dan Sunnah Rasulullah (ﷺ) menyampaikan kepada kita kisah tentang Bani Israil yang tak biasa, sehingga kita dapat mengambil pelajaran darinya." Sang musafir muda bertanya, "Mengapa Bani Israil?" Sang lelaki berkata, "Karena merekalah orang yang sangat tak biasa. Mereka sangat berbeda dari kaum lain dalam kebiasaan dan kehidupan mereka. Dengan demikian, ada banyak kisah perilaku mereka yang penuh dengan pelajaran dan petunjuk bagi kita.

Tak ada keraguan sama sekali terhadap keshahihan riwayat orang-orang terdahulu bila sesuai dengan yang diriwayatkan oleh Al-Qur'an dan Hadits. Kita hendaknya mengambil pelajaran darinya. Namun, kita tak dapat mengatakan apapun secara pasti tentang riwayat yang diterima dari sumber selain dari Al-Qur'an dan Hadits.
Ada beberapa riwayat yang kita terima melalui orang-orang Yahudi atau Nasrani. Riwayatnya disebut Kisah Isra'iliyat (atau Kisah Yahudi atau Yudaisme) dan tak ada yang dapat kita katakan dengan pasti tentang keandalannya. Prinsip yang disepakati dalam hal ini, kisah Isra'iliyat manapun yang bertentangan dengan Al-Qur'an atau Hadis, harus langsung ditolak."

Sang musafir muda bertanya, "Apa yang dimaksud kisah Isra'iliyat itu?" Sang lelaki berkata, "Ada diantara para Sahabat, radhiyallahu 'anhum, menganut agama Yahudi atau Nasrani sebelum mereka memeluk Islam. Ketika mereka menemukan referensi dalam Al-Qur'an dan Hadits tentang orang-orang dahulunya, mereka ingat apa yang telah mereka baca di dalam Kitab-kitab sebelumnya, dan mereka menuturkannya kepada umat Islam. Inilah yang disebut tafsir Isra'iliyat. Ibnu Katsir mengatakan bahwa ada tiga jenis kisah Isra'ilyat, pertama, riwayat-riwayat yang terbukti dibenarkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah, sebagai contoh, tafsir Isra'iliyat menceritakan bahwa Nabi Musa alaihissalam mengunjungi Gunung Tsur, atau bahwa Firaun tenggelam. Al-Qur'an membenarkan riwayat atau kisah ini.
Kedua, riwayat-riwayat yang terbukti bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Misalnya, riwayat Yahudi yang menyatakan bahwa Nabi Sulaiman, alaihissalam, menjadi murtad di hari-hari terakhirnya (na'udzubillah). Al-Qur'an menolaknya [QS.2: 102]. Riwayat Yahudi juga mengatakan (na'udzubillah) bahwa Nabi Dawud, alaihissalam, berzinah dengan istri prajuritnya, Auriya; ini juga kebohongan menurut semangat Al-Qur'an dan Sunnah. Karenanya, kita hendaknya mengasumsikan bahwa riwayat-riwayat tersebut tak dapat diterima.
Ketiga, riwayat-riwayat dimana Al-Qur'an atau Sunnah atau bukti Syariah lainnya, tak mengatakan apa-apa tentangnya. Misalnya, perintah dalam Taurat, dan sebagainya. Ajaran Rasulullah (ﷺ) memerintahkan kita agar tak mengatakan apa-apa tentangnya, kita juga tak diharuskan membenarkan atau menyangkalnya.
Jadi, perkenankan aku menyampaikan sebuah kejadian tentang Bani Israil. Kejadian yang akan kusampaikan ini, berasal dari Hadits dan benar terjadi, serta riwayatnya shahih. Peristiwa inilah contoh dari kekuatan Allah. Peristiwa ini, tentang kebangkitan orang mati yang dihidupkan kembali, agar mengesankan kita, bahwa Allah, Yang telah menghidupkan mereka, pasti akan menghidupkan kembali seluruh umat manusia pada Hari Kiamat. Dengan demikian, keberatan dari orang yang jahil itu, terbukti suatu kebodohan, karena menurut mereka, orang mati tak dapat hidup kembali, alasannya, tak hanya tubuh mereka, tetapi tulang-belulang mereka juga akan membusuk dan musnah." Sang musafir muda berkata, "Sampaikan padaku tentang kejadian itu!"
Sang lelaki berkata, "Jabir bin Abdullah, radiyallahu 'anhu, meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
"Sekelompok Bani Israil berangkat dalam sebuah perjalanan. Mereka sampai di sebuah pekuburan dalam perjalanan mereka dan berkata satu dengan yang lain, "Sebaiknya kita mengerjakan dua raka'at Shalat dan memohon kepada Allah Azza wa Jalla, mudah-mudahan Dia berkenan menghidupkan kembali salah seorang yang telah mati dan mengeluarkannya agar kita bisa bertanya padanya tentang kematian."
Mereka melaksanakan apa yang mereka rencanakan. Sementara itu, dari sebuah makam, seorang lelaki mengeluarkan kepalanya. Ia tampak berwarna kuning-gandum dan di antara matanya ada tanda sujud. Ia berbicara kepada orang-orang itu seraya berkata, 'Wahai engkau yang di sana! Apa yang engkau kehendaki dariku? (Mengapa engkau meminta agar aku dihidupkan kembali?) Aku telah mati selama seratus tahun dan gerahnya kematian belumlah mendingin pada diriku. Masih terasa sampai sekarang! Berdoalah kepada Allah Ta'ala, agar Dia memulihkanku seperti sedia-kala'." [HR Ahmad, Abu Syaibah, Al-Bazzat]
Telah menjadi sifat manusia berusaha mengetahui lebih banyak tentang kematian dan apa yang terjadi di alam kubur. Sekelompok Bani Israil sedang bepergian dan mereka kebetulan melewati sebuah kuburan. Tiba-tiba, ada pikiran terlintas dalam benak mereka bahwa jika salah seorang dari orang mati yang dimakamkan di sana, dihidupkan kembali, mereka akan mengetahui darinya, sifat kematian dan alam kubur. Mereka sepakat di antara mereka bahwa mereka hendaknya shalat dan memohon kepada Allah.
Karenanya, mereka mengerjakan Shalat dan memohon kepada Allah, Yang mengabulkan permohonan mereka, dan seorang lelaki shalih, yang telah mati, dihidupkan kembali. Begitu ia hidup, ia mengucapkan beberapa kalimat kepada orang-orang itu. Rasulullah (ﷺ) menggambarkannya sebagai lelaki yang berwarna kuning-gandum, yang memiliki tanda sujud di antara matanya. Ini menunjukkan bahwa lelaki ini telah terbiasa mengerjakan Shalat dan taat kepada Allah saat ia masih hidup. Saat ia dihidupkan kembali, hal pertama yang ia ucapkan kepada orang-orang itu adalah, menunjukkan ketidaknyamanannya karena mereka membuatnya hidup kembali. Ia mengungkapkan bahwa ia telah mati selama seratus tahun dan selama itu panasnya kematian belum mendingin. Ia meminta mereka agar berdoa kepada Allah, mengembalikannya kepada keadaannya semula, (yaitu, mati). Ini menunjukkan bahwa beratnya kematian berlangsung untuk jangka waktu yang lama."

Sang musafir muda berkata, "Apa pelajaran dan pesan dari peristiwa ini?" Sang lelaki berkata, "Hadits ini memberitahu kita bahwa sebelum melakukan sesuatu yang penting, kita hendaknya mengerjakan shalat dua raka'at dan bermohon kepada Allah. Hal ini sangat dianjurkan dan akan membawa rahmat dan berkah dari Allah pada apa yang kita lakukan. Berkah melalui Shalat memastikan kebaikan dalam segala urusan kita dan segalanya dapat diselesaikan dengan mudah. Itulah sebabnya mengapa Al-Qur'an memerintahkan orang-orang yang beriman agar mengikuti tatakrama seperti ini.
Hadits ini juga memberikan bukti bahwa orang yang beriman dan shalih, dikaruniai nikmat dengan kejadian ghaib dan luar biasa. Kita telah melihat bahwa Allah membangkitkan orang mati atas permohonan beberapa orang shalih. Terkadang, Allah mengabulkan permohonan beberapa hamba-Nya meskipun pada umumnya permohonan semacam itu tak dikabulkan dan bahkan mungkin bertentangan dengan Sunnatullah. Wallahu a'lam."

Kemudian sang lelaki berkata, "Wahai anak muda, semoga Allah melindungi seluruh orang beriman dari perihnya kematian dan penderitaan di saat-saat terakhir kehidupan! Semoga Allah memberi kita kebaikan di dunia ini dan di akhirat kelak, dan menjadikan alam-kubur kita bagai taman surga. Amin!"
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيدُ
"Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang dahulu hendak kamu hindari." - [QS.5:19]
English
Reference :
- Maulana Muhammad Zakaria Iqbal, Stories from the Hadith, Darul Isha'at