Senin, 29 Agustus 2022

Goro-goro

“Kata bijak bukanlah milik pribadi siapapun. Kata-kata bijak tak semata diucapkan oleh orang bijak atau mereka yang punya gelar di depan atau di belakang namanya. Setiap manusia, punya cara dan gayanya sendiri dalam mengeskpresikan rasa. Ada yang mengungkapkannya secara langsung, ada pula yang menggunakan perumpamaan-perumpamaan guna menyampaikan argumen atau pesan mereka secara efektif dan dengan cara yang lebih baik kepada pendengarnya," sang Purnama membuka sebuah kasus sesaat usai menyampaikan Basmalah dan Salam.

"Jagad Pewayangan, paling sering mempergunakan perumpamaan. Tak mengherankan, sebab citra mengenai wayang, sangat membumi dan khas, menarik bagi para penyimaknya.
Nah, pernah diceritakan, seisi dunia mengalami gelap-gulita, lautan berkarau, gelombang setinggi gunung, naik menerjang daratan. Lautan jadi kering sehingga semua ikan dan segala penghuni samudera, tersengat oleh panas sang mentari; tak kuasa menahan derita, merasa kehilangan tempat berlindung. Gempa yang maha dahsyat, tujuh kali sehari, tiada henti, gunung meletus, memuntahkan lahar, menimbulkan tanah longsor, laksana bumi pecah seketika itu juga, lantaran dahsyat dan hebatnya gempa.
Air laut menembus daratan seakan hendak menenggelamkan seluruh permukaan bumi. Gelombang samudera menghantam pantai, bergulung-gulung menelan apa yang dijumpainya, meluluhlantakkan apa yang terdapat di daratan. Bencana dan malapetaka mengamuk, sehingga, baik segala bangsa unggas di angkasa maupun satwa di daratan, semuanya merasa sangat menderita karena sulitnya mencari makanan. Mati, lumat, lebur, kering, gersang, tandus, punahlah segala flora. Lahan menjadi tandus, bahkan menganga menjadi tempat persembunyian satwa berbisa. Hewan buas penghuni hutan, lari tunggang-langgang dan pontang-panting masuk ke pedesaan, sehingga penduduk-desa menjadi cemas dan sedih, tercekam oleh ketakutan yang tak terperikan.

Para resi tak berdaya, tak mampu mengucap mantra, tak sanggup lakukan samadi, semua terkena bencana, bahkan pikiran menjadi kusut, serbah-serbih, mereka berseru, 'Inilah pertanda akan adanya perubahan zaman, inilah perubahan dari pathet 6 menjadi pathet 9, inilah suatu akibat dari suatu sebab, inilah Goro-goro!'
Merekapun mencari perlindungan pada raja, namun sang raja sendiri, sangat prihatin oleh musibah dan bencana yang menimpa negeri. Wabah penyakit merajalela, hama tanaman menyerang lebih ganas, hampir tiada tanaman yang hidup, sehingga ada bahaya kelaparan lantaran kekurangan pangan. Sang raja telah putus asa, ia segera meminta bantuan para dewa agar segera membebaskan dunia dari kerusuhan dan sedia melenyapkan Goro-goro.

Para dewa pun makin baper dan galau. Walau maut tak kuasa menggapai ubun-ubun mereka, namun rasa bingung menghimpit dada, mereka cuma bisa mengurutnya, 'Napaseh ini terjadi?' Maka, dengan masygul dan iba, mereka turun ke dunia, mencoba menolong para umat yang jujur dan berbudi-luhur. Namun Goro-goro menolak lupa, bahkan jadi rese banget. Saking hebat dan dahsyatnya, malapetaka merajalela, sehingga mampu menjangkau dan menghancurkan Kahyangan Suralaya. Terguncanglah Balai Marcukunda, tanduk lembu Andini jadi retak. Ekor Naga Anantaboga mengibas tiada henti.
Gapura Selamatangkep runtuh, jebol dan roboh karenanya. Kawah Candradimuka teraduk, mendidih, meluapkan lava, banjir lahar-panas bercampur lumpur-pekat, menghantam dan menerjang Kahyangan sehingga seluruhnya porak-poranda. Para widadara dan widadari, dewa-dewi, geger mencari perlindungan, mengungsi kepada Sang Hyang Rudrapati.

Namun sesuatu yang aneh terjadi. Ditengah huruhara dan malapetaka itu, terdapat dua bocah katai, sedang asyik bermain tanpa memperdulikan adanya hiruk-pikuk yang terjadi. Yang seorang membawa tempurung-kelapa berlobang tiga, sebagai tempat makanan, dan dengan juteknya, ia bersikap seolah ia berani dan mampu mengeringkan air samudera. Yang seorang lagi, memegang sebatang sapu lidi, dan dengan ketus pula, ia bersikap seakan sanggup dan mampu menggiring angin dan menyapu bersih seisi dunia. Sesaat dikala keduanya berhadapan, mereka saling berebut kebenaran, masing-masing mencari pembenarannya sendiri, sedemikian rupa hingga menambah dahsyatnya Goro-goro.
Setelah memuncak, Goro-goro mereda. Lalu, muncullah seberkas lembayung kemerahan, yang megah nan sakral. Paralel dengan lenyapnya sinar tersebut, maka di ufuk Timur, muncullah Insan kamil, dewa manusia. Ia berdiri laksana tugu batu, duduk laksana bukit pasir di tepi laut. Ia diam tak bergerak sedikitpun. Duhai, siapakah dirinya? Ia yang tampak bagaikan nyiru, bulat memancarkan cahaya laksana bulan purnama? Ia serba maya. Tak dapat disebut lelaki lantaran berpayudara montok seperti seorang wanita. Tak pula ia dapat dikatakan sebagai seorang wanita, sebab rambutnya berkuncung seperti oppa Korea, namun ia bukanlah non-biner. Teramatlah sulit melukiskannya. Itulah Kyai Lurah Badranaya alias sang Hyang Asmarasanta alias Kyai Semar alias sang Hyang Ismaya. Kemunculannya demi menebas Kebatilan dan menegakkan Keadilan.

Batara Guru menetapkan bahwa di Bumi, ada suatu kejadian yang ekstra-ordineri. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Dari berkas-berkas laporan dan gugatan, terinformasi bahwa ada seorang wanita muda yang sedang bertapa olah-rasa di tengah laut. Oleh karena itu, dengan mengendarai Lembu Andini, Batara Guru turun ke tekapeh guna merekonstrukksi kejadian sebenarnya. Di atas laut, ia melihat Dewi Uma yang molek, sedang bersemadi dengan khusyuknya, sehingga membuat sang Batara, salting; apalagi saat ngelirik betis-mulus sang dewi yang tokcer, begitu menggoda, tapi selanjutnya, terserah Anda. Naah, disinilah asal-muasal terjadinya, 'Kama Salah,' benih malapetaka, dan lahirnya sang Kala yang bangpak."

Sang Purnama memutahirkan perumpamaannya dengan berkata, "Sejak saat itulah, dunia tercekam oleh gonjang-ganjing: ’rasa takut, rasa resah, rasa tak pasti, rasa ragu' atau apa yang disebut 'Kolotidho' atau Zaman Keraguan. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Ir. Sri Mulyono, Wayang dan Filsafat Nusantara, CV Haji Masagung

Jumat, 26 Agustus 2022

Sebelas Wanita

“Perkawinan itu, ikatan yang dipersatukan oleh hak dan tanggungjawab bersama bagi masing-masing dari pasangan suami-isteri—pria dan wanita. Kemitraan di antara mereka inilah, dan mereka berdua, dituntut berperan aktif dalam kemitraan tersebut. Kaum pria diangkat sebagai pemimpin rumah tangga, dan kaum wanita sebagai pendukung yang menolong, yang keahliannya di banyak bidang, tak dapat ditangani oleh pria.
Baik suami maupun istri, punya hak dan kewajiban tertentu. Pernikahan yang bahagia dan sukses akan terjamin jika keduanya memenuhi kewajibannya, dan saling menjaga hak masing-masing. Melanggar hak-hak tersebut, merupakan jalan yang niscaya menuju kenestapaan dan kegagalan," sang Purnama menyampaikan topik setelah mengucapkan Basmalah dan Salam.

“Dalam perspektif Islam,” sambungnya, “beberapa tanggung jawab dan kewajiban, sama-sama berlaku bagi pria dan wanita. Misalnya, kewajiban beriman kepada Allah, Subhanahu wa Ta'ala, dan mengikuti perintah-Nya, identik bagi keduanya. Demikian pula, keduanya sama-sama bertanggungjawab dan mempertanggungjawabkan perbuatannya, keduanya sama-sama dituntut belajar agama yang benar, beribadah kepada Allah, dan menyeru kepada jalan-Nya dalam hal berurusan dengan manusia lain. Pria dan wanita, bakal beroleh pahala yang sama bagi ketaatan kepada Allah, dan hukuman yang sama atas ketidaktaatan atau perbuatan-dosa.
Dalam mempersandingkan antara wanita dan pria, kita hendaknya menyadari bahwa Islam tak menyamakan mereka yang secara inheren berbeda. Ada hal-hal dimana pria lebih diprioritaskan daripada perempuan, dan sebaliknya. Preferensi ini, berasal dari perbedaan kemampuan mereka melaksanakan berbagai tugas. Oleh karenanya, daripada menyamakan mereka yang takkan pernah bisa dipersamakan, perhatian kita seyogyanya diarahkan pada keadilan dalam memperlakukan keduanya. Allah Subhanahu wa Ta'ala, berfirman,
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا
"Janganlah kamu berangan-angan (iri-hati) terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." [QS. An-Nisa' (4):32]
Dari uraian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa hukum Islam tentang manusia, sama-sama berlaku bagi pria dan wanita. Namun bukan berarti bahwa pria dan wanita, identik dalam segala hal. Ada aturan-aturan tertentu, yang secara ketat diterapkan pada wanita, oleh sifat femininnya, dan ada pula yang secara ketat, diterapkan pada pria, lantaran sifatnya yang maskulin.

Nah, ada sebuah hadits, yang merupakan hasil dari percakapan yang terjadi antara Rasulullah (ﷺ) dan istri beliau—Ummahatul Mukminin—'A'isyah, radhiyallahu 'anha. Contoh inilah yang baik dari percakapan pribadi yang terjadi antara seorang pria dan istrinya. Menceritakan tentang sebelas wanita yang berkumpul, masing-masing secara singkat menggambarkan karakter suaminya kepada wanita lain.
Sebagian besar riwayat hadits ini, menyajikan kisah sebelas wanita yang diriwayatkan oleh 'A'isyah dan bukan oleh Rasulullah (ﷺ). Namun, beberapa riwayat secara eksplisit menunjukkan bahwa Rasulullah (ﷺ) yang menceritakannya. Pula, beberapa ulama berpendapat bahwa keseluruhan ceritanya, fiktif dan disebutkan demi pelajaran yang dibawanya. Yang lain berpendapat lebih tepat bahwa kisah tersebut, nyata yang terjadi di masa Jahiliyyah. Dalam Adab dan Etika Islam, sesungguhnya, istri yang bijak, tak dianjurkan mengumbar masalah rumah-tangganya kepada orang lain.
'A'isyah, radhiyallahu 'anha, meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) berkata kepadanya, 'Duhai 'A'isyah! Aku bagimu seperti Abu Zar' bagi Ummi Zar.' Ia, radhiyallahu 'anha, bertanya, 'Dan siapakah Umm Zar', ya Rasulullah?' Beliau (ﷺ) menjawab, 'Sebelas wanita berkumpul di masa Jahiliyyah. Mereka berjanji saling mengatakan yang sebenarnya, dan tak menyembunyikan apapun tentang suami mereka.'
Nampak bahwa para wanita tersebut, hidup di zaman Jahiliyyah, dan oleh karenanya, tak mengherankan jika mereka menyimpang dari beberapa ajaran Islam yang masyhur, semisal berghibah tentang suami-suami mereka. Namun, perbincangan mereka, mengungkap banyak kualitas, yang disukai atau tak disukai wanita, dalam diri para suaminya.

Rasulullah (ﷺ) melanjutkan kisahnya,
'Wanita pertama berkata,' Suamiku bagaikan unta kurus, yang berada diatas puncak gunung yang terjal, yang landai pun didaki dan yang gemuk pun ditunggangi.'
Wanita pertama menggambarkan suaminya sebagai orang yang tak berharga, pelit, dan angkuh. Dengan demikian, ia sama tak berharga dan kikirnya seperti unta kurus dengan daging yang teramat sedikit, karenanya, hampir tak punya nilai-nilai. Selain itu, ia angkuh, tak ramah, dan tak dapat didekati, seakan ia berada di puncak gunung yang terjal. Tiada yang bakal tertarik menemuinya, atau membawakannya keuntungan apapun.

Kemudian Rasulullah (ﷺ) melanjutkan kisahnya,
Wanita kedua berkata, 'Adapun suamiku, aku tak bisa mengungkapkan rahasianya [sebab takut diceraikan]. [Jika aku mulai membicarakan tentang dirinya] Aku khawatir, kutakkan bisa berhenti [sebab banyak kekurangannya]. Dan andai aku berbicara tentang dirinya, aku bakalan menyebutkan urat lehernya yang menonjol [yaitu, keangkuhan, ketidakramahan, dan cacat nyata lainnya] dan tonjolan di perut dan pusarnya [yakni, banyak cacat yang tersembunyi].'
Wanita kedua menunjukkan bahwa suaminya, punya banyak kekurangan—baik masalah yang tampak maupun yang tersembunyi. Selain banyak kekurangannya, sang suami tak suka dikritik, dan siap menceraikan istrinya jika ia mengatakan apapun tentang masalah dirinya.

Rasulullah (ﷺ) lalu melanjutkan kisahnya,
'Wanita ketiga berkata, 'Suamiku, orangnya ketinggian amaat [maksudnya, nggak keren]. Bila aku mengucapkan sepatah kata [tentang cacatnya, dan ia mengetahuinya], aku pasti bakal diceraikan. Dan jika aku tetap diam, aku pun akan dibiarkannya [maksudnya ia tak memperlakukanku seperti seorang isteri atau seorang yang telah diceraikan, muallaqah].'
Wanita ketiga mencitrakan suaminya sebagai orang yang 'nggak keren banget', di luar proporsi dalam kualitas [tubuh, moral, atau keduanya], singkatnya, semuanya tentang berlebih-lebihan dan tak mengesankan.

Rasulullah (ﷺ) melanjutkan,
'Wanita keempat berkata, 'Adapun suamiku, manakala ia makan, ia merengkuh semuanya [maksudnya, melahap segalanya]; kala ia minum, ia bahkan menghabiskan tetes terakhir; dan bila ia tidur, ia bergelung sendiri dalam selimut [maksudnya, tak peduli padaku].Ia tak mengulurkan tangannya agar mengetahui kenestapaan ini [maksudnya, ia tak pernah mengkhawatirkan tentang keadaan sakit, kesedihan, dan sebagainya].'
Wanita keempat melukiskan suaminya sebagai orang yang sangat rakus. Ia makan dan minum, hingga yang penghabisan, segala apa yang ada di hadapannya. Ia tidur bagaikan kayu gelondongan, tanpa peduli pada sang isteri, memenuhi kewajiban perkawinannya terhadapnya, atau kepoin keadaannya dan memeriksa kesehatannya. Pokoknya, semua menyangkut tentang keegoisan, keserakahan dan kelalaian.

Kemudian Rasulullah (ﷺ) melanjutkan kisahnya,
'Wanita kelima berkata, 'Suamiku sangat tak berdaya [maksudnya, letoy dan impoten] dan bloon. Ia mudah terserang penyakit. Ia akan memenggal kepalamu, mematahkan salah satu anggota tubuhmu, atau melakukan keduanya padamu (yaitu, ia memukul wanita tanpa ampun).'
Suami wanita kelima tak memiliki semua kualitas penting, yang akan membuat seorang wanita mengagumi suaminya. Ia tak berdaya dalam menjalankan urusannya dan keluarganya, impoten dan tak sanggup menyenangkan istrinya, dan tolol pula. Segala cacat-manusia, bergabung di dalam dirinya. Dan, seolah itu tak cukup, ia sangat kasar terhadap istrinya. Ia memukulnya tanpa ampun, mematahkan tulangnya atau melukai kepalanya. Intinya, semuanya tentang ketidakberdayaan, kebodohan, dan pelecehan.

Lima wanita pertama, bercerita tentang hal-hal yang menunjukkan ketidakpuasan mereka terhadap para suaminya, atau tentang sifat-sifat suami yang tak mereka sukai. Lima wanita berikutnya [wanita ke enam hingga ke sepuluh], menyampaikan hal-hal yang baik—atau sifat terpuji—tentang suami mereka.

Rasulullah (ﷺ) melanjutkan kisahnya,
'Wanita keenam berkata, 'Adapun suamiku, ia bagaikan malam di Tihamah [Mekah dan sekitarnya]—tak panas dan tak dingin. [Bila bersamanya] tiada ketakutan atau kebosanan.'
Suami wanita keenam, ibarat angin malam yang sejuk. Ia baik dan berimbang dalam berperilaku, dan kebersamannya tak membawa ketakutan atau kebosanan. Sebaliknya, ia memberi perasaan aman dan guyub. Jadi, hal ini tentang keramahan, keamanan, dan kepedulian.

Kemudian Rasulullah (ﷺ) melanjutkan kisahnya,
'Wanita ketujuh berkata, 'Adapun suamiku, tatkala ia masuk, ia bertingkah bagai macan tutul (yang mengantuk); dan saat ia pergi, ia bertingkah seperti singa. Ia tak bertanya lagi tentang apa yang telah ia percayakan.'
Suami wanita ketujuh, santun dan penuh kasih-sayang di dalam rumahnya, dan sangar dan kuat di luar rumahnya. Di dalam rumah, ia ibarat macan tutul: pendiam, mengantuk (yaitu pemaaf), dan penyayang. Dalam menghadapi masyarakat luar, ia bagaikan singa: pemberani, tangguh, dan dihormati. Ketika ia mempercayakan istrinya (atau orang lain) dengan sesuatu, ia tak meminta pertanggungjawabannya secara teliti; sebaliknya, ia murah-hati dan mau mengabaikan kesalahan. Jadi, ini semua tentang cinta, kemurahan-hati, dan keberanian.

Rasulullah (ﷺ) lalu melanjutkan kisahnya,
'Wanita kedelapan berkata, 'Adapun suamiku, sentuhannya bak kelinci, dan aromanya seperti zarnab (tanaman aromatik). Aku menaklukkannya, namun ia menaklukkan orang lain.'
Suami wanita kedelapan, sangat baik padanya. Pada saat yang sama, ia kuat dan tegas dengan orang lain. Dengan istrinya, ia punya sentuhan kelinci yang lembut dan baik, dan ia beraroma sangat menyenangkan. Dengan orang lain, ia bereputasi yang baik (makna lain dari aroma yang harum), dan kebaikan dan sikapnya yang baik terhadap istrinya, tak menghalanginya, menjadi kuat dan menang dengan orang lain. Jadi, ini semua tentang reputasi yang baik, rasa-hormat dan syafakat.

Rasulullah (ﷺ) melanjutkan,
'Wanita kesembilan berkata, 'Adapun suamiku, ia memiliki pilar rumah yang tinggi, gantungan pedang panjang, dan abu dalam jumlah besar. Rumahnya dekat gedung perkumpulan.'
Suami wanita kesembilan, berasal dari keluarga bangsawan dan kaya. Ia pejuang yang kuat dan tuan rumah yang murah hati. Tiang rumah yang tinggi, merupakan indikasi dari keturunan dan kekayaannya yang mulia. Gantungan pedang panjang, menunjukkan bahwa ia berperawakan besar dan mempesona, serta bahwa ia, petarung yang hebat. Abunya merupakan indikasi kemurahan hatinya dan banyaknya tamu yang ia beri makan. Berada di sekitar gedung perkumpulan, menunjukkan bahwa ia berada di dekat pusat kota tempat orang-orang penting biasanya tinggal dan bertemu. Singkatnya, ini semua tentang harta, keberanian, kemurahan-hati, dan status.

Kemudian Rasulullah (ﷺ) melanjutkan kisahnya,
'Wanita kesepuluh berkata, 'Suamiku itu, Malik [sang pemilik]. Dan apa yang engkau ketahui tentang Malik? Malik lebih baik dari itu [yang telah kujelaskan]. Ia memiliki unta yang banyak, yang selalu menderum, dan jarang digembalakan di padang rumput. Saat mereka mendengar suara kecapi, mereka akan merasa yakin bahwa sebentar lagi, mereka bakal disembelih.'
Suami wanita kesepuluh, punya banyak kualitas luar biasa yang tak terlukiskan. Maknanya, bahwa ia tak pernah bisa memberikan pujian yang benar-benar layak bagi suaminya. Unta-untanya, meskipun jumlahnya banyak, tak boleh merumput jauh dari tempat tinggalnya, sebab ia ingin agar unta-unta tersebut, selalu siap untuk para tamunya. Ia sering mengadakan jamuan makan dimana ia menghibur tamunya dengan kecapi dan memberi mereka makan daging unta. Jadi, ini semua tentang kekayaan, kemurahan-hati, dan kualitas istimewa lainnya.

Wanita terakhir yang berbicara, bernama Ummu Zar. Ia memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang dua suaminya: Abu Zar' dan pria yang dinikahinya setelah Abu Zar' menceraikannya. Kedua suaminya, sangat baik padanya, namun ia lebih bahagia dengan yang pertama, dan memberikan deskripsi yang lebih rinci tentangnya, dan anggota keluarganya.

Rasulullah (ﷺ) melanjutkan,
'Yang kesebelas berkata, 'Suamiku adalah Abu Zar' [yaitu, yang memiliki tumbuh-tumbuhan]—dan ketahuilah tentang Abu Zar! Ia menjadikan telingaku berat dengan perhiasan, memadati lengan atasku dengan daging [yaitu, memberiku makan dengan baik setelah keadaan laparku sebelumnya], dan menghormatiku sampai jiwaku terpuaskan. Ia mengambilku dari antara orang-orang dengan domba sangat sedikit dan hidup prihatin, dan menempatkanku di antara orang-orang yang memiliki kuda, unta, sapi [yang menginjak biji-bijian untuk mengupasnya], dan saringan [untuk menyaring biji-bijian]. Di rumahnya, aku tak dicela bila berbicara, tidur lelap hingga pagi, dan minum sepuasnya.'
Abu Zar mendapati Ummu Zar dari kehidupan yang miskin dan kerja keras menuju kehidupan yang kaya dan bersenang-senang. Rasulullah (ﷺ) terus menceritakan apa yang Ummu Zar ucapkan,
'[Ia melanjutkan], 'Ibunda Abu Zar—dan ketahuilah tentang ibu Abu Zar! Brankasnya [makanan dan pakaian] berlimpah, dan rumahnya luas.'

Ibu Abu Zar, seorang wanita kaya dengan perbekalan yang cukup dan banyak pelayan. Hal ini membawa pujian tambahan bagi putranya, sebab ia memastikan bahwa kebutuhan ibunya terpenuhi dengan baik, dan hidupnya tak kurang dari miliknya.
Rasulullah (ﷺ) terus menceritakan apa yang Ummu Zar ucapkan,
'[Ia melanjutkan], “Putra Abu Zar—dan ketahuilah tentang putra Abu Zar! Tidurnya (lelap) seperti batang palem runcing [yaitu, selalu waspada], dan cukup lengan kambing betina memuaskan rasa laparnya [yaitu, ia tak gemuk atau serakah].'
Terlepas dari kekayaan ayahnya, putra Abu Zar bukanlah pemuda yang manja. Sebaliknya, tubuhnya tak bergelambir lemak, puas, makan secukupnya, dan selalu waspada, bahkan saat tidur.
Lalu Rasulullah (ﷺ) melanjutkan apa yang Ummu Zar ucapkan,
'[Ia melanjutkan], “Putri Abu Zar—dan ketahuilah tentang putri Abu Zar! Ia patuh pada ayahnya dan patuh pada ibunya. Pakaiannya terisi penuh [tubuhnya sintal]. Ia menyebabkan pakaian atasnya melengkung [tubuhnya proporsional]. Ia anugerah keluarganya, dan penyebab kecemburuan bagi rekan istrinya.'
Putri Abu Zar, seorang wanita muda yang sempurna, patuh kepada kedua orang tuanya, cantik, dan menarik. Ia menghiasi keluarganya, dan membawa rasa-iri pada para tetangganya.

Rasulullah (ﷺ) melanjutkan apa yang Ummu Zar ucapkan,
'[Ia melanjutkan], 'Hamba perempuan Abu Zar—dan ketahuilah tentang sahaya perempuan Abu Zar! Ia tak mengungkapkan rahasia kami, atau membagi-bagikan makanan kami [maksudnya, ia dapat dipercaya], atau membiarkan rumah kami penuh dengan kotoran seperti sarang burung [maksudnya, ia bersih].'
Bahkan asisten-rumah-tanggapun, berperan dalam melukiskan gambaran yang mengesankan tentang martabat dan pujian bagi Abu Zar'! Ia dapat dipercaya, bersifat melindungi, dan bersih.'

Setelah menghabiskan bertahun-tahun bersamanya, Suatu hari, Abu Zar' memutuskan mengganti istrinya, Ummu Zar, dengan seorang wanita muda yang telah memiliki dua anak lelaki. Rasulullah (ﷺ) lanjut menceritakan apa yang Ummu Zar' ucapkan,
'[Ia melanjutkan], 'Abu Zar melakukan perjalanan pada saat botol susu dikocok guna mengekstrak krim [yaitu, di musim semi saat ada banyak susu]. Ia bertemu dengan seorang wanita dengan dua putra kecil yang [aktif seperti] dua anak macan tutul. Mereka [melompat] di bawah pinggangnya dan bermain dengan dua buah delima [maksudnya, ia masih muda dan berpayudara kecil]. Ia menceraikanku dan menikahinya.'
Rasulullah (ﷺ) lanjut menceritakan apa yang Ummu Zar' ucapkan,
'[Ia melanjutkan], 'Setelahnya, aku menikah dengan seorang pria yang bangsawan. Ia mengendarai kuda yang cepat dan memegang tombak [ia seorang pelaga]. Di malam hari, ia membawakanku [setelah pertempurannya] ternak mahal, dan memberiku sepasang dari setiap jenisnya. Ia berkata kepadaku, 'Makanlah, duhai Ummu Zar, dan berikan juga kepada kerabatmu.' Namun, seandainya aku mengumpulkan semua barang yang ia berikan kepadaku, semuanya takkan mengisi wadah terkecil dari Abu Zar.'
Suami kedua Ummu Zar, juga kaya dan sangat baik padanya. Namun hatinya tetap bersama suami pertamanya. Rasulullah (ﷺ) mengakhirinya dengan menyatakan kepada 'A'isyah bahwa beliau (ﷺ) baginya bagaikan Abu Zar bagi Ummu Zar, 'Duhai 'A'isyah! Aku bagimu bagaikan Abu Zar' terhadap Ummu Zar'—kecuali bahwa Abu Zar' menceraikannya, dan aku takkan menceraikanmu.'
Hal ini bermakna bahwa beliau (ﷺ) dermawan terhadapnya seperti Abu Zar' terhadap Ummu Zar'. Namun, nikmat Rasulullah (ﷺ) pada 'A'isyah (atau Muslim lainnya) tak terukur, dan semuanya meluas sampai kepada kebahagiaan akhirat yang baik dan abadi. Itulah sebabnya 'A'isyah, radhiyallahu 'anha, menjawab, 'Duhai Rasulullah! Engkau lebih baik bagiku dibanding Abu Zar' bagi Umm Zar.' [Diriwayatkan oleh at-Tabarani; terdapat pula dalam Sahih Al-Bukhari]

Sang Purnama mengakhiri kisahnya dengan bersenandung,

Dengan kasihmu ya Robbi
Berkahi hidup ini
Dengan cintamu ya Robbi
Damaikan mati ini

Saat salahku melangkah
Gelap hati penuh dosa
Beriku jalan berarah
Temuimu di surga

Terima sembah sujudku
Terimalah doaku
Terima sembah sujudku
Izinkan ku bertaubat

Maulana ya Maulana
Ya sami' duana *)

Sebelum cahayanya meredup, sang Purnama berkata, "Bagian dari tanggungjawab besar baik pria maupun wanita, ialah memperagakan dan bertindak dengan adab dan akhlak yang mulia. Adab dan etika yang baik, merupakan ciri khas agama Islam. Singkatnya, itulah latarbelakang di balik perutusan Rasulullah (ﷺ). Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Muhammad Mustafa al-Jibaly, The Fragile Vessels, Al-Kitaab & as-Sunnah Publishing
*) "Ya Maulana" karya Achmad Fairus

Rabu, 24 Agustus 2022

Kuliah Sang Rektor (2)

"Sang Rektor menyambung, 'Korupsi dapat berdampak negatif pada sistem politik—semisal demokrasi atau otokrasi—dan rezim—tim yang menjalankan sistem—dalam berbagai cara. Misalnya, korupsi dapat secara tak adil meningkatkan kekuasaan dan pengaruh masing-masing legislator yang bersedia memberikan hak istimewa kepada siapapun, yang bersedia membayar suap atau meningkatkan prospek mereka dalam pemilu mendatang. Yang terakhir ini, terlihat di seluruh dunia dalam bentuk Pork-Barrelling—pemanfaatan dana pemerintah untuk proyek-proyek yang dirancang menyenangkan pemilih atau legislator dan memenangkan suara, dimana legislator secara tak tepat mengalokasikan atau menjanjikan dana kepada konstituen tertentu, demi meningkatkan dukungan pemilih.
Namun, poin tentang pilih-kasih yang tak pantas ini, membawa kita ke area abu-abu dalam masalah korupsi, masalah Lobi. Di negara-negara seperti Amerika Serikat, Lobi itu, legal dan terorganisir secara formal. Akan tetapi, ada orang yang memandang Lobi sebagai bentuk korupsi, dan berpendapat bahwa itu, pada dasarnya setara fungsional di negara-negara kaya dari upaya korupsi yang lebih jelas untuk mempengaruhi politisi di negara-negara miskin. Namun, dalam memutuskan apakah Lobi merupakan suatu bentuk korupsi atau tidak, perlu mencermati sifat yang tepat dari kasus-kasus tertentu; generalisasi bisa menyesatkan.
Banyak organisasi melobi demi tujuan yang kebanyakan orang anggap sah, seperti World Wildlife Fund atau organisasi amal lainnya, dan Lobi semacam itu, hendaknya dibedakan dari yang berkaitan dengan kepentingan pribadi yang lebih jelas. Selain itu, jika pendanaan Lobi berasal dari lembaga yang terdaftar secara resmi dan bukan untuk membayar suap, dan jika—dan ini merupakan peringatan penting—rincian keuangan lembaga semacam itu, sepenuhnya transparan, maka tak pantas menyebutnya, korupsi. Melobi oleh beberapa jenis organisasi, mungkin tampak tidak fair, memberi mereka yang memiliki sumber daya yang cukup, peluang yang lebih baik daripada yang tersedia bagi kebanyakan orang untuk mencoba mempengaruhi pembuat keputusan politik, tetapi itu hanyalah aspek lain dari ketidaksetaraan politik yang ada, bahkan di negara yang paling demokratis sekalipun. Dengan demikian, masalah bagi para teoretisi demokrasi sama besarnya dengan para analis korupsi.

Masalah rumit lainnya bagi para ahli teori dan praktisi demokrasi, ialah cara terbaik mendanai partai politik—khususnya, apakah ini dapat dilakukan dengan cara yang anti korupsi atau tidak. Pada tahun 1999, Jerman menyaksikan munculnya apa yang disebut skandal Kohlgate, dimana ketua kehormatan Christian Democratic Union (CDU) Helmut Kohl dituduh terlibat dalam korupsi penerimaan dan distribusi dana gelap bagi partainya selama masa jabatannya sebagai Kanselir (perdana menteri) Jerman (1982–98). CDU akhirnya dinyatakan bersalah melakukan korupsi, dan Presiden majelis rendah parlemen berusaha mendenda partai tersebut dengan total di bawah 50 juta mark (sekitar 25 juta Euro). Meskipun hukuman ini akhirnya dibatalkan, aturan pendanaan partai Jerman secara substansial diubah—diberikan lebih transparan dan tak terlalu bergantung pada kontribusi bisnis—sebagai akibat langsung dari perselingkuhan Kohlgate. Signifikansi khusus dari kasus ini, bukanlah fakta bahwa seorang politisi Barat terkemuka telah dituduh melakukan korupsi—Jacques Chirac dari Prancis dan Silvio Berlusconi dari Italia, juga menghadapi tuduhan korupsi dalam beberapa tahun terakhir—tetapi hal itu terjadi di negara yang terkenal memiliki salah satu sistem pembiayaan pesta terbaik di dunia.
Korupsi dapat merusak persaingan elektoral, meningkatkan ketidaksetaraan antar partai politik, dan menurunkan daya saing partai. Kecurangan dan ketidakwajaran pemilu, punya banyak bentuk; dua dari yang paling umum ialah kecurangan surat suara dan pembelian suara. Ada banyak kasus yang keduanya diduga dan terbukti di sebagian besar dunia dalam beberapa tahun terakhir. Tetapi, seperti halnya banyak bentuk korupsi, keduanya bukanlah fenomena baru atau unik bagi negara berkembang dan transisi: contoh awal pembelian suara ialah 'pemilihan barang bekas' tahun 1768 di Northamptonshire (Inggris).
Keputusasaan warga dapat meningkatkan daya-tarik pemilih politisi ekstremis, baik kiri maupun kanan, yang berjanji memberantas korupsi. Penelitian empiris menunjukkan bahwa para ekstremis tersebut, pada umumnya terbukti tak efektif dalam mengurangi korupsi jika terpilih; namun ada kepercayaan luas di beberapa negara, bahwa mereka punya peluru ajaib.
Tuduhan korupsi oleh salah satu partai atau politisi dapat mengundang kontra-tuduhan. Hal ini, dapat mengakibatkan meningkatnya ketidakpuasan di kalangan pemilih, dengan berbagai hasil yang tak diinginkan. Salah satunya, bahwa warga menjadi sinis, dan karenanya, terasing dari sistem politik, meskipun secara pasif. Yang lain, bahwa mereka jadi naik-pitam, yang mengarah pada kerusuhan massa aktif yang mendelegitimasi dan mengacaukan sistem, dan dapat menyebabkan penggulingan rezim, atau bahkan sistem itu sendiri. Dalam analisis korupsi 2012, Frank Vogl berfokus pada apa yang disebut Musim Semi Arab 2011, dan melihat kemarahan publik pada korupsi sebagai faktor utama runtuhnya rezim dan sistem di Mesir dan Tunisia.
Dengan demikian, korupsi dapat merusak legitimasi sistem—hak yang dirasakan para penguasa untuk memerintah. Terlalu banyak korupsi dan pemberitaannya, dapat mengakibatkan orang kehilangan kepercayaan pada pasar, demokrasi, dan supremasi hukum. Sementara hal ini cenderung lebih tak stabil di negara-negara transisi, poin ini, berlaku bahkan untuk negara-negara Barat yang maju. Pada Januari 2013, Sekretaris Jenderal Dewan Eropa berpendapat bahwa ‘Korupsi itu, satu-satunya ancaman terbesar bagi demokrasi di Eropa saat ini. Semakin banyak orang di benua kita, yang kehilangan kepercayaan pada supremasi hukum.’
Jika orang kehilangan kepercayaan pada supremasi hukum di negara-negara yang sebelumnya telah ada, kemungkinan penyalahgunaan kebebasan sipil dan hak asasi manusia secara sewenang-wenang, meningkat. Sementara masalah ini pada awalnya mempengaruhi warga biasa, kesewenang-wenangan yang berlebihan, dapat berbahaya pula bagi elit politik, sebab kekuasaan mereka terancam oleh kerusuhan massa. Seperti banyak aspek korupsi lainnya, bahaya ini, bukanlah hal baru; dalam konsep tradisional Asia Timur tentang 'mandat langit', masyarakat berhak mencopot seorang kaisar yang tak kompeten, tiran, atau korup.

Agar negara dapat menjalankan fungsi pertahanan, penegakan hukum, dan kesejahteraannya dengan baik, diperlukan pendanaan yang memadai; jika korupsi mengurangi pendapatan pemerintah, hal ini berefek merugikan pada keseluruhan kapasitas negara demi melindungi rakyat. Ada korelasi kuat antara negara yang lemah dan tingkat korupsi yang tinggi.
Selama tahun 1990-an, tatkala keamanan di pangkalan militer di banyak negara penerus Soviet, sangat lemah, berbagai laporan pemerintah Barat dan analisis akademis mengklaim bahwa pejabat korup di Rusia dan Ukraina, secara ilegal menjual bahan nuklir kepada siapapun yang mau membayarnya. Sementara banyak bukti tak langsung tentang hal ini, ada bukti tak terbantahkan bahwa pejabat korup di negara-negara lemah, telah menjual berbagai jenis senjata kepada geng kejahatan terorganisir dan teroris.
Namun poin ini, dapat pula diterapkan pada demokrasi yang matang. Pada bulan Maret 2014, sebagai akibat dari operasi penangkapan FBI, seorang senator negara bagian California, ditangkap dan didakwa berkolusi dengan kejahatan terorganisir China yang berbasis di AS dalam perdagangan senjata ke kelompok pemberontak Islam yang berbasis di Filipina: bayaran senator, menurut ke FBI, sumbangan untuk kampanye politiknya. Ia diduga berencana memperluas operasi perdagangannya ke Afrika, dan tak peduli dengan bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh perdagangannya; kasus ini terus berlangsung.
Poin terakhir tentang demokrasi yang matang dan perdagangan senjata, bahwa sejumlah perusahaan Barat telah dituduh membayar suap besar kepada pejabat pemerintah di luar negeri agar mengamankan kontrak pembelian peralatan militer; sehingga bukan hanya individu dan geng yang terlibat korupsi dalam bisnis yang berpotensi mematikan ini.

Beberapa dampak korupsi di satu negara terhadap negara lain, lebih menjengkelkan ketimbang bahaya nyata. Misalnya, premi asuransi mobil di Jerman meningkat pada 1990-an sebagian karena begitu banyak mobil yang dicuri di sana dan diselundupkan ke negara-negara Eropa Tengah dan Timur; raket ini, sering melibatkan geng yang menyuap petugas bea cukai agar menoleh ke arah lain saat mobil sedang dalam perjalanan.
Namun banyak konsekuensi internasional korupsi jauh lebih serius. Misalnya, organisasi kriminal yang terlibat dalam perdagangan internasional—termasuk narkoba, senjata, manusia, dan bagian tubuh manusia—akan jauh kurang efektif jika bukan karena fakta bahwa mereka sering kali dapat menyuap petugas bea cukai, petugas polisi, dan pejabat lain agar menutup mata terhadap kegiatan mereka, atau untuk memperingatkan mereka sebelum penggerebekan yang akan datang (misalnya rumah bordil ilegal dimana terdapat orang-orang yang diperdagangkan secara transnasional).
Sayangnya, pragmatisme sering mendominasi prinsip dalam hubungan internasional, dan negara-negara yang tampaknya memiliki tingkat korupsi yang relatif rendah, mungkin secara de facto menoleransi tingkat korupsi yang tinggi di negara yang punya senjata nuklir atau komoditas (semisal minyak), dimana negara-negara yang tak terlalu korup, bergantung pada yang tingkat korupsinya, tinggi. Akan tetapi, kadang-kadang, korupsi di negara lain menjadi sangat tak dapat ditoleransi, sehingga negara lain memutuskan berbuat sesuatu. Contoh, Undang-Undang Magnitsky 2012 AS, yang dirancang untuk menghukum (melalui larangan visa dan pembekuan rekening bank) pejabat Rusia yang dianggap berperan dalam kematian auditor Sergei Magnitsky. Relevansinya dengan korupsi, bahwa Magnitsky telah menyelidiki penipuan di antara pejabat pajak dan petugas polisi Rusia, dan kemudian ditangkap karena dugaan kolusi dengan perusahaan penasihat investasi yang telah melaporkan dugaan korupsi kepada otoritas Rusia dan pada gilirannya, dituduh oleh otoritas penghindaran pajak. Kematian Magnitsky dalam tahanan, sangat mencurigakan. Tak disangka, tindakan itu, memperburuk hubungan antara Moskow dan Washington; Rusia segera membuat daftar orang Amerika yang takkan diberikan visa, dan melarang keluarga AS mengadopsi anak-anak Rusia.
Banyak pembaca yang lebih menyukai definisi korupsi yang luas akan mengetahui tuduhan yang dibuat terhadap berbagai badan olahraga internasional, termasuk organisasi sepak bola terkemuka, FIFA. Pada awal 2014, contoh yang paling banyak diberitakan terkait proses tender Piala Dunia 2022. Terbukti atau tidak tuduhan tersebut, melemahkan legitimasi internasional dari badan-badan tersebut, serta negara-negara yang dituduh terlibat dalam praktik korupsi.

Korupsi itu, apa yang oleh para ilmuwan sosial sebut sebagai masalah 'durjana', yang bermakna bahwa korupsi sangat kompleks, sehingga hanya dapat diselesaikan sebagian; ia dapat dikendalikan, namun tak pernah sepenuhnya diberantas.  Negara hanyalah salah satu dari banyak aktor yang berperan dalam pengendalian korupsi.
Aku akan menyimpulkan kuliah ini dengan satu kalimat saja, 'Bahwa salah satu penyebab Radikalisme—atau di-Radikal-kan—itu, KO-RUP-SI!"

Para hadirin bertepuk-tangan, dan semuanya tarik-suara,

Kisah usang tikus-tikus kantor
Yang suka berenang di sungai yang kotor
Kisah usang tikus-tikus berdasi
Yang suka ingkar janji lalu sembunyi
Di balik meja teman sekerja
Di dalam lemari dari baja *)

Sebelum pergi, Laluna berkata, “Banyak analis berpendapat bahwa keberhasilan akhir—atau sebaliknya—dari tindakan anti-korupsi, bergantung pada kemauan politik. Kepemimpinan politik, tak semata berkomitmen, yaitu berkemauan politik memerangi korupsi, melainkan pula, seyogyanya punya kapasitas melaksanakan kemauannya.
Banyak budaya dan bahasa punya ungkapan 'IKAN MEMBUSUK DARI KEPALA', maknanya, korupsi akan lebih memburuk bilamana elit politik memberi teladan yang buruk. Dalam pengertian ini, mungkin tampak bahwa kemauan kepemimpinan itulah yang terpenting. Namun yang sangat penting, bukanlah semata kemauan. Sebuah kepemimpinan, mungkin benar-benar berkomitmen memerangi korupsi, namun tak punya kontrol yang memadai atas birokrasinya sendiri, guna mewujudkan komitmen ini, jadi kenyataan. Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan:
- Leslie Holmes, Corruption: A Very Short Introduction, Oxford University Press
*) "Tikus-tikus Kantor" karya Iwan Fals

Selasa, 23 Agustus 2022

Kuliah Sang Rektor (1)

"Mengapa korupsi itu, problemo?" Laluna menyampaikan sebuah topik setelah membaca Basmalah dan Salam. “Korupsi berdampak pada individu, kelompok, dan organisasi—termasuk negara—dalam banyak hal,” lanjutnya, “Meskipun banyak efek negatifnya yang terlihat, ada pula yang tak begitu kelihatan. Di dunia nyata, dampak tindakan korupsi tertentu, seringkali berimplikasi pada beberapa bidang secara simultan, antara lain: masyarakat, lingkungan, ekonomi, politik-hukum, keamanan, dan internasional.”

“Dan suatu malam,” kata Laluna, “cahayaku terfokus pada sebuah kampus yang terletak di bagian paling selatan Swarnabumi. Semua mata tertuju pada seorang Rektor yang sedang memberikan kuliahnya. Ia berkata, 'Ada banyak cara korupsi dapat berdampak negatif bagi masyarakat. Korupsi cenderung memperlebar rasa 'kita' dan 'mereka' dalam masyarakat, baik secara vertikal maupun horizontal. Kesenjangan antara elit dan publik, seringkali lebih lebar dari yang diperlukan lantaran pejabat yang korup dianggap memeras harta-kekayaan negara dengan mengorbankan warga negara biasa—yaitu. kesenjangan vertikal. Pada saat yang sama, korupsi dapat meningkatkan perpecahan di antara warga negara itu sendiri—kesenjangan horizontal, sebab mereka yang tak mau atau tak mampu membayar suap guna mendapatkan apa yang mereka butuhkan, merasa sakit-hati pada mereka yang bisa dan yang melakukannya.
Fakta terkaitnya, bahwa korupsi dapat meningkatkan ketimpangan atau ketidaksetaraan. Walau banyak warga negara masih bisa mentolerir tingkat ketidaksetaraan yang cukup tinggi bila tampak didasarkan pada merit, mereka akan sakit-hati jika lebih didasarkan pada hubungan pribadi dan penyuapan demi mendapatkan pekerjaan dan promosi yang bergengsi. Masalahnya bertambah parah bila ketimpangan yang meningkat, disertai dengan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi, yang kerap terjadi.
Jika korupsi berarti meningkatnya ketidakpercayaan terhadap negara dan para pejabatnya, dapat terjadi 'kembali kepada keluarga' yang meluas dan keterikatan pada kekerabatan yang meningkat. Efek yang berpotensi negatif ini, bahwa peningkatan identifikasi dengan 'saudara dan kekerabatan' [nepotisme] dapat mengakibatkan berkurangnya modal-sosial dan meningkatnya kerenggangan antar kelompok dalam masyarakat, yang dapat menyebabkan konflik etnis.
Tingginya tingkat korupsi dan rendahnya tingkat kepercayaan pada negara, dapat meningkatkan rasa tak aman masyarakat. Misalnya, jika warga tak mempercayai aparat penegak hukum, karena korupsi yang belakangan terjadi, mereka akan kurang bersedia melaporkan kejahatan dan bekerjasama dengan pihak berwenang tersebut; hal ini biasanya mengarah pada tingkat kejahatan yang lebih tinggi, dan karenanya, terjadi rasa tak aman yang lebih besar di kalangan masyarakat umum.
Para pejabat bisa merasa lebih tak aman oleh korupsi. Jika elit politik memutuskan memberantas korupsi secara keras, bahkan pejabat yang jujur ​​pun, mungkin khawatir bahwa tindakan yang saat ini, tak dianggap korup, di masa depan, dapat diklasifikasikan seperti itu, dengan hukuman yang menyertainya; hal ini dapat menyebabkan mereka ragu-ragu dalam memenuhi kewajiban mereka yang normal dan layak, atau bahkan menolak sama sekali melaksanakannya. Dalam negara hukum yang ideal, dimana tiada undang-undang yang berlaku surut, masalah ini takkan muncul; namun cuma sedikit negara saat ini, bahkan di Barat, yang berpegang teguh pada gagasan tentang tiada hukum yang berlaku surut.
Korupsi juga dapat membahayakan nyawa. Hal ini dapat dianggap dalam beragam bentuk, salah satunya berkaitan dengan banjir. Di antara banyak keuntungan yang dimiliki pohon, dapat mengikat tanah; namun di beberapa negara, pejabat korup terkadang menutup mata terhadap penebangan pohon di sepanjang tepi sungai dengan imbalan suap. Hal ini terkadang mengakibatkan bantaran sungai runtuh setelah hujan lebat, dengan penghancuran ribuan properti yang dibangun di tepi sungai, dan banyak nyawa diterjang banjir.
Pemberitaan tentang korupsi, dapat pula berdampak negatif bagi masyarakat, sebab dapat menambah rasa-kecewa, bahkan putus-asa secara umum. Namun, menemukan jumlah dan jenis pelaporan yang optimal itu, sulit; mengutip sebuah kebenaran, bagi media 'khabar buruk itu, berita baik', dan sedikit saja yang dapat menahan diri tak memberitakan sebanyak mungkin skandal, terlepas dari telah diselidikikah tuduhannya secara menyeluruh atau tidak. Pemberitaan korupsi yang tak bertanggungjawab, dapat membuat orang curiga terhadap peran 'watchdog' media, yang berimplikasi negatif terhadap perkembangan masyarakat sipil.

Bisa dibilang, masalah jangka panjang terbesar yang dihadapi umat manusia, ialah masalah lingkungan. Sayangnya, korupsi, umumnya memperumit masalah yang sudah ada di bidang ini. Menurut the United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), korupsi terkait lingkungan mencakup, 'Praktik (seperti) penggelapan selama pelaksanaan program lingkungan, korupsi besar di penerbitan izin dan izin eksploitasi sumber daya alam, dan suap kecil-kecilan kepada penegak hukum.' UNODC telah pula mengidentifikasi sektor-sektor yang paling berisiko: termasuk kehutanan, eksploitasi minyak, perdagangan spesies yang terancam punah, dan pengelolaan limbah berbahaya.

Aspek dampak korupsi yang paling banyak diteliti dan dilaporkan, ialah aspek ekonomi. Dalam analisis yang sering dikutip yang diterbitkan pada pertengahan 1990-an, ekonom Paolo Mauro menentang mereka yang pada 1960-an mengklaim korupsi—misalnya, dalam bentuk uang pelicin atau 'uang cepat' kepada birokrat negara untuk mempercepat penerbitan izin—sebenarnya dapat meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan sejumlah besar data, ia membandingkan tingkat pertumbuhan dengan penilaian subjektif dari tingkat korupsi di berbagai negara, dan menyimpulkan bahwa korupsi menghambat investasi, yang pada gilirannya menurunkan tingkat pertumbuhan. Sementara beberapa orang menentang argumen ini, mayoritas memandang bahwa Mauro pada dasarnya benar. Misalnya, dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada tahun 2000, Shang-Jin Wei berpendapat bahwa investasi asing langsung (Foreign Direct Investment-FDI) lebih rendah di negara-negara dengan tingkat korupsi yang lebih tinggi, karena calon investor terhalang olehnya.
Persepsi tingkat korupsi yang tinggi di suatu negara tertentu, dapat membuat negara tersebut sulit atau tak mungkin diterima di 'klub' internasional—khususnya UE—yang diharapkan untuk bergabung justru karena melihat potensi manfaat ekonomi yang substansial dalam keanggotaan tersebut. . Bahkan sekali dalam pengelompokan supra-nasional seperti itu, tingkat korupsi yang dianggap tinggi, dapat berdampak ekonomi yang serius: Bulgaria, Rumania, dan Ceko, tiga anggota Uni Eropa yang relatif baru (dua yang pertama sejak 2007, yang ketiga sejak 2004) yang telah menderita kerugian besar. pemotongan dana dari Uni Eropa sejak bergabung, justru karena kekhawatiran yang terakhir tentang tingkat korupsi mereka. Selain itu, baik Bulgaria dan Rumania, diblokir dalam upaya mereka bergabung dengan zona Schengen (wilayah yang terdiri dari dua puluh enam negara Eropa, di antaranya tak ada kontrol perbatasan) sebab beberapa negara anggota UE Eropa Barat—terutama Jerman dan Belanda— khawatir bahwa negara-negara Eropa Tenggara ini, memiliki perbatasan yang terlalu keropos dengan tetangga non-UE mereka, sebagian besar oleh tingginya tingkat korupsi di antara penjaga perbatasan dan petugas bea cukai.
Masalah ekonomi serius yang dialami UE sendiri sebagian disebabkan oleh korupsi. Sebuah laporan TI 2012 berjudul Money, Politics, Power—Corruption Risks in Europe mengidentifikasi korupsi di beberapa negara Uni Eropa (dengan Yunani dipandang sebagai penyebab utama) sebagai faktor signifikan dalam munculnya krisis zona euro yang meletus pada 2010.
Korupsi menyebabkan penurunan pendapatan negara, karena pejabat yang korup membebaskan warga negara dan perusahaan dari denda, pajak, dll. dengan imbalan suap. Dalam laporan anti-korupsi pertama Uni Eropa, yang diterbitkan pada Februari 2014, diklaim bahwa korupsi merugikan negara-negara Uni Eropa secara kolektif sekitar 120 miliar Euro per tahun. Jumlah ini agak mirip dengan jumlah (US$150 miliar) yang diperkirakan Uni Afrika pada tahun 2002 hilang setiap tahun karena korupsi di antara lima puluh tiga negara anggotanya—meskipun angka UE, meskipun substansial, tak mencakup sekitar seperempat dari total PDB wilayah seperti yang dilakukan oleh Afrika sub-Sahara.
Beberapa negara, kebanyakan negara transisi, dalam beberapa tahun terakhir memperkenalkan sistem pendapatan tetap dan pajak perusahaan, seringkali justru untuk mengurangi risiko hilangnya pendapatan negara. Alasannya, bahwa sistem pajak progresif melibatkan pengambilan keputusan yang lebih bebas oleh pejabat pajak, dan karenanya, memberikan lebih banyak peluang korupsi, daripada sistem tarif tetap; baik individu maupun perusahaan, dapat menyatakan pendapatan yang lebih rendah dalam sistem pajak progresif daripada yang sebenarnya mereka terima, sehingga dapat dikenakan pajak dalam kelompok pajak yang lebih rendah (yaitu suatu bentuk penghindaran pajak). Sayangnya, sistem tarif tetap juga tidak kedap air, sebab individu dan perusahaan, masih dapat berkolusi dengan pejabat korup untuk melaporkan pendapatan kena pajak yang lebih rendah dari yang seharusnya, sehingga menghilangkan pendapatan negara yang sah.
Korupsi dapat mengakibatkan berkurangnya persaingan ekonomi, lantaran pejabat yang korup, menyukai perusahaan yang memberi mereka suap—misalnya, memberi mereka perlakuan istimewa yang tak adil dalam mengakuisisi pabrik yang diprivatisasi oleh negara, atau mendapatkan kontrak dari negara. Berkurangnya persaingan, biasanya menyebabkan harga dan biaya yang lebih tinggi, serta pilihan yang lebih sedikit, yang semuanya merugikan konsumen dan negara itu sendiri.
Faktor dengan konsekuensi ekonomi negatif yang berpotensi serius bagi pembangunan dan kesejahteraan suatu negara, ialah bahwa korupsi sosial (nepotisme, kroniisme, dll.) dapat menjadikan orang-orang jujur ​​dan berkualifikasi tinggi, merasa putus asa, yang menjadi frustrasi karena tak mendapatkan posisi yang baik atau dipromosika. Ada yang kemudian berhenti bekerja keras dan menggunakan inisiatif mereka, sementara yang lain beremigrasi ke negara yang tak terlalu korup dan lebih meritokratis. Korupsi, dengan demikian, dapat menguras otak, merampas masyarakat dari orang-orang yang paling pantas menjalankan negara dan ekonominya. Fenomena ini, terkadang disebut pelarian modal manusia, telah menjadi masalah yang sangat akut bagi negara-negara seperti Iran.
Namun pelarian modal konvensional merupakan pula masalah terkait korupsi. Tak lama setelah menjadi Presiden Rusia untuk pertama kalinya, pada Juli 2000, Vladimir Putin mengadakan pertemuan dengan banyak individu terkaya Rusia, yang disebut Oligarki, dimana ia menyampaikan kepada mereka bahwa ia takkan meneliti asal-usul kekayaan mereka, asalkan mereka mematuhi empat aturan; salah satunya, mereka memulangkan sejumlah besar uang yang telah mereka transfer ke luar negeri. Meskipun masih diperdebatkan, apakah sebagian besar oligarki harus dicap korup atau tidak, pertemuan tersebut patut dicatat, karena secara jelas mengungkapkan kekhawatiran para pemimpin senior tentang pelarian modal. Hal ini telah menjadi masalah bagi banyak negara lain dalam beberapa tahun terakhir, dan pejabat korup di segala lini, termasuk yang tertinggi, merupakan sumber utama masalah.
Tak semata masyarakat dan negara yang secara ekonomi bisa menderita akibat korupsi. Korporasi yang menyuap pejabat guna mendapatkan kontrak terkadang terekspos, dengan konsekuensi negatif yang serius. Pada tahun 2013, the Independent Commission Against Corruption (ICAC) di negara bagian New South Wales (NSW) Australia, menganggap izin pertambangan tertentu di Hunter Valley, telah diperoleh secara korup. Mengingat hal ini, pemerintah NSW mengumumkan pada Januari 2014, bahwa lisensi tersebut dicabut.
[Bagian 2]

Senin, 22 Agustus 2022

Roh Zaman

"Dalam perspektif Islam, akan selalu ada penekanan pada Hikmah—dan oleh karenanya, Kebijaksanaan—lantaran Hikmah itu, datangnya dari masa-depan. Lalu, engkau akan menyanggah, 'Itu kan tampaknya dari sudut pandang mistis, tapi, adakah gagasan filosofis yang mendukungmya?'" Laluna membuka sebuah tema usai mengucapkan Basmalah dan Salam.

"Para filsuf menghabiskan banyak waktu dalam refleksi," lanjutnya, "dan mereka menghasilkan gagasan, terkadang ide-ide nyeleneh. Namun seiring waktu, ide-ide para filsuf telah mengubah jalannya peristiwa manusia di seluruh planet ini: Filsafat sepenuhnya identik dengan zamannya. Jadi, jika filsafat identik dengan zamannya, adakah perasaan dimana para filsuf revolusioner membawa semangat zamannya sendiri sejauh datang dari masa depan? Mungkinkah itu, topos pengasingan dari apa yang kebanyakan milik kita, bagi zaman kita; yang jauh di kedalaman dan di kedalaman yang jauh. Jika pemikir revolusioner memang datang dari jauh, kedatangannya, hendaklah menjadi ukuran jarak kita sendiri dari masa-depan.
Plato, sangat mungkin, sebuah contoh paradigma filsuf revolusioner dalam pengertian kita, tentang filsuf yang datang dari masa-depan. Menurut Georg Wilhelm Friedrich Hegel, seorang filsuf Jerman, gagasan tentang polis [konsepsi negara-kota], yang dirumuskan Plato dalam The Republic, yang paling masuk akal secara filosofis pada masa Plato. Meskipun cita-cita Plato sangat jauh dari keadaan yang diberikan saat itu, sehingga tampaknya, hampir tak dapat dikenali oleh orang-orang sezamannya, tetap saja, di luar pemikirannya, Plato mampu memahami momen rasional yang tertanam dalam polis-sofis tempatnya tinggal. Setelah mengelaborasi kota idealnya, sebuah kota yang cukup kuat menampung para filsuf, Plato kemudian berada dalam posisi menyeberangi jurang antara yang ideal dan yang nyata guna mengunjungi kembali dan sekali lagi, merangkul kotanya sendiri secara keseluruhan. Pemikirannya menunjukkan kota Athena menjadi bagian dari dunia yang dapat dipikirkan dan dengan melakukannya, ia menyatukan tubuh kota yang terbatas, yang selalu berubah dengan ide abadinya.
Karena alasan inilah, kota yang menghukum mati sang filsuf, tetap dapat dianggap sebagai bagian dari makhluk berkelanjutan, yang mengarahkannya ke masa-depan. Bagi Plato, masa-depan ini, direnungkan dalam kerangka polis keadilan dimana Plato sang filsuf, berdiam secara konseptual dan darimana ia datang, meskipun tak terlihat, disambut oleh mereka yang siap berpikir dalam rangkulan pemikirannya. Setelah tiba dari jauh dengan cara yang memungkinkannya pula tinggal di dunia dengan cara imanen yang radikal, Plato tak kehilangan dirinya, seperti seorang turis, di antara pernak-pernik mengkilap dan hal-hal sepele dari kehidupan pasar. Ia juga tak meninggalkan dirinya pada kearifan lokal yang dangkal. jangankan sebagai pembawa cita-cita dan sejauh ia menemukan kekuatan menahan perpecahan tak terbatas antara yang nyata dan yang ideal, pemikirannya sepenuhnya merangkul momen historis dunianya, dan dengan demikian, memungkinkan 'semangat zaman' memanifestasikan dirinya. dengan pikirannya. Di sinilah letak tekad pemikiran Plato sebagai filsafat revolusioner, yang datang dari masa-depan, pada saat yang tepat.
Dalam hal ini, Plato sang filsuf, datang memberikan efek pada kekuatan transformatif konseptual dari praktik revolusioner pada masanya, dengan cara yang, sebelumnya, tak dapat dipahami oleh Socrates. Pemikiran Plato tumbuh dari kegagalan Socrates meyakinkan Athena, memerankan kembali dirinya sendiri sesuai dengan prinsip pengetahuan diri yang radikal. Meskipun kita dapat mengatakan dalam kapasitasnya sebagai seorang revolusioner, Socrates, juga datang dari masa depan, hanya saja, sang filsuf berhasil memikirkan apa yang diumumkan oleh praktik revolusioner, namun tak sangguo mencapainya. Maka, pemikiran filsuf terjadi dalam kemunduran masa-depan yang dicanangkan oleh praktik revolusioner, yang gagal. Inilah nasib pemikiran filosofis pada masa Plato.

Lantas, bagaimana dengan pandangan Hegel sendiri? Hegel menganggap serius sejarah. Berbeda dengan Kant, yang menganggap ia dapat mengatakan dengan dasar filosofis murni, apa itu sifat manusia, dan selalu, Hegel menerima saran Schiller bahwa dasar-dasar kondisi manusia, dapat berubah dari satu era sejarah ke era sejarah lainnya. Gagasan tentang perubahan ini, tentang perkembangan sepanjang sejarah, fundamental bagi pandangan Hegel tentang dunia.
Filsafat Sejarah Hegel berisi banyak informasi sejarah. Di dalamnya dapat ditemukan semacam garis besar sejarah dunia, dari peradaban awal Cina, India, dan Persia, melalui Yunani kuno ke zaman Romawi, dan kemudian menelusuri jalan sejarah Eropa dari feodalisme ke Reformasi dan ke Pencerahan, serta Revolusi Perancis.
Hegel menerima pandangan bahwa Revolusi Prancis itu, hasil dari kritik terhadap tatanan yang ada, yang dibuat oleh para filsuf Prancis. Prancis sebelum Revolusi, memiliki bangsawan tanpa kekuatan nyata, namun dengan hak-hak istimewa massa yang membingungkan, yang tak punya dasar rasional. Terhadap keadaan yang sama sekali tak rasional ini, konsepsi para filsuf tentang Hak Asasi Manusia, menegaskan dirinya sendiri, dan menang.
Namun, akibat langsung dari 'fajar mental yang mulia' ini, Teror Revolusioner, suatu bentuk tirani yang menjalankan kekuasaannya, tanpa formalitas hukum dan menjatuhkan hukuman mati cepat, dengan guillotine sebagai hukumannya. Apa yang keliru? Kekeliruannya, berusaha mempraktekkan prinsip-prinsip filosofis yang murni abstrak, tanpa memperhatikan watak orang. Upaya ini, didasarkan pada kesalahpahaman tentang peran akal, yang tak boleh diterapkan secara terpisah dari komunitas yang ada dan orang-orang yang membentuknya.
Revolusi Prancis sendiri, dengan demikian, gagal. Bagaimanapun, signifikansi sejarah dunianya, terletak pada prinsip-prinsip yang diteruskannya kepada orang lain dan khususnya terhadap Jerman. Kemenangan-kemenangan singkat Napoleon cukup untuk mewujudkan di Jerman suatu hak kode, membangun kemerdekaan seseorang dan kebebasan hak kepemilikan, membuka kantor-kantor negara bagi warga negara yang paling berbakat dan menghapus kewajiban feodal. Raja tetap sebagai puncak pemerintahan dan keputusan pribadinya bersifat final; namun karena hukum yang mapan dan organisasi negara yang mapan, apa yang tersisa pada keputusan pribadi raja, menurut Hegel, 'dalam hal substansi, bukanlah masalah besar'.
Namun Hegel jelas tak menganggap Filsafat Sejarahnya, semata sebagai garis besar sejarah. Hegel sendiri mengatakan bahwa 'filsafat sejarah tak bermakna apa-apa kecuali pertimbangan yang matang tentangnya'. Meskipun ini mungkin definisinya sendiri, bagaimanapun juga, hal tersebut menyampaikan gagasan yang kurang memadai tentang apa yang Hegel lakukan dalam Filsafat Sejarahnya. Apa yang ditinggalkan oleh definisi Hegel ialah, niatnya bahwa 'pertimbangan yang bijak' dari sejarah, seyogyanya berusaha menyajikan bahan mentahnya sebagai bagian dari proses perkembangan yang rasional, dengan demikian mengungkapkan makna dan signifikansi sejarah dunia.

Hegel mengatakan bahwa seluruh objek Filsafat Sejarah itu, berkenalan dengan Geist—semangat individu atau kelompok—dalam peran pemandunya dalam sejarah. Tanpa pengetahuan tentang ide ini, oleh karenanya, seseorang hanya dapat memahami sebagian tentang pandangan Hegel tentang sejarah. Juga, dalam Filsafat Hak, konsep Geist tak pernah jauh. Hegel mengacu pada negara, misalnya, sebagai 'Geist yang diobjektifikasi'.
Dalam bahasa Jerman kata 'Geist' cukup umum, namun punya dua makna yang berbeda, meskipun terkait. Kata standar inilah yang digunakan untuk mengartikan 'pikiran', dalam arti dimana pikiran kita berbeda dari tubuh kita. Misalnya, 'penyakit mental' adalah Geisteskrankheit secara harfiah, 'penyakit pikiran'. Geist dapat pula bermakna 'roh'. Jadi 'roh zaman' adalah der Zeitgeist.

Para filsuf ditantang untuk mengalami filsafat seperti yang terjadi pada Zeitgeist. Melalui kemunculannya, Zeitgeist telah secara eksplisit menjadi zaman konsep-konsep kunci Hegelian yang dipahami, bukan sebagai tema, melainkan sebagai kejadian pemikiran itu sendiri, baik tentang sejarah, masa depan, manifestasi, keterasingan, pengakuan, keberbedaan, rekonsiliasi atau filsafat. Zeitgeist adalah agen atau kekuatan tak terlihat yang mendominasi karakteristik zaman tertentu dalam sejarah dunia. Zeitgeist dapat dimaknai sebagai suasana yang ada atau muncul dalam setiap masyarakat, yang seolah-olah merupakan konsensus yang 'misterius', yang dicirikan mampu berubah secara relatif cepat atau dinamis, tak statis, yang menjadi ciri suatu kurun waktu historis tertentu, secara menyeluruh, dalam segala bidang kehidupan.

Lalu, apa implikasi Zeitgeist? Sejak tahun 2001, Google telah menerbitkan Google Zeitgeist tahunan. Google Zeitgeist adalah kumpulan pembicaraan oleh orang-orang yang mengubah dunia. Berdasarkan analisis statistik dari kueri penelusurannya, perusahaan menyediakan sejumlah grafik interaktif yang menggambarkan apa yang paling diminati orang selama setahun terakhir. Dalam catatan penjelasan, para pengembang menulis bagaimana dalam pandangan mereka, zeitgeist—menjadi 'iklim intelektual, moral, dan budaya umum suatu era—menjadi terlihat 'melalui kumpulan jutaan kueri penelusuran yang diterima Google setiap hari.

Hegel meyakini bahwa budaya dan seni mencerminkan zamannya. Fesyen telah menjadi apa yang diinginkan seni: Zeitgeist mengekspresikan dirinya dalam bentuk yang terlihat. Panggungnya bukan lagi salon aristokrat atau pertemuan masyarakat terpilih di teater, opera, atau arena pacuan kuda. Mode sekarang dibuat, dipakai dan ditampilkan, bukan oleh kaum borjuis atau aristokrat, melainkan di jalanan. Kota-kota besar–London, Berlin, New York, Paris, Tokyo, Roma–merupakan theatrum mundi yang menjadi pintu masuknya. Pejalan kaki Baudelaire yang sangat menarik, dibawakan oleh orang banyak, dengan kerutan dan jumbai, melewati para penonton, wanita pengemis yang berambut merah, yang mendambakan perhiasan imitasi murah, merupakan gejala awal dari perubahan suasana ini. Mereka menunjukkan hubungan baru antara keindahan dan ideal, yang terus memberikan efek laten hingga akhir abad berikutnya.

Pada Juni 2020, hampir enam bulan sejak pandemi dimulai, dunia berada di tempat yang berbeda. Dalam jangka waktu yang singkat ini, COVID-19 telah memicu perubahan penting dan memperbesar garis patahan yang telah menimpa ekonomi dan masyarakat kita. Meningkatnya ketidaksetaraan, rasa ketidakadilan yang meluas, kesenjangan geopolitik yang semakin dalam, polarisasi politik, meningkatnya defisit publik dan tingkat utang yang tinggi, tata kelola global yang tak efektif atau tak ada, finansialisasi yang berlebihan, degradasi lingkungan: semua ini, tantangan utama yang ada sebelum pandemi. Krisis korona telah memperburuk semuanya. Mungkinkah bencana COVID-19 menjadi petir sebelum guntur? Mungkinkah ia berkekuatan memicu serangkaian perubahan besar? Kita tak dapat mengetahui seperti apa dunia dalam waktu 10 bulan, apalagi 10 tahun dari sekarang, namun apa yang kita ketahui ialah, kita berbuat sesuatu, guna mengatur-ulang dunia."

Rembulan menutup pembahasannya dengan bersenandung, 
Roda jaman menggilas kita
Terseret tertatih-tatih
Sungguh hidup terus diburu
Berpacu dengan waktu

Tak ada yang dapat menolong
Selain Yang di sana
Tak ada yang dapat membantu
Selain Yang di sana *)
Kemudian ia berkata, "Zaman terus bergulir di luar kekuasaan manusia. Sungguh, setiap orang, seyogyanya mempergunakan qalbu dan pikirannya agar dapat membaca, minimal meraba, panggilan zaman—Zeitgeist, bila tidak, ia akan tergilas oleh roda zaman. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Georg Wilhelm Friedrich Hegel, The Phenomenology of Spirit, Cambridge University Press
- Paul Ashton, Toula Nicolacopoulos and George Vassilacopoulos (Ed.), The Spirit of the Age, re.press
- Alexandre Kojeve, Introduction to the Reading of Hegel, Cornell University Press
- Peter Singer, Hegel - A Very Short Intoduction, Oxford University Press
- Barbara Vinken, Fashion Zeitgeist, Translated by Mark Hewson, Berg
*) "Menjaring Matahari" karya Ebiet G. Ade

Minggu, 21 Agustus 2022

Sang Suami dan Isterinya yang Hamil

"Perkataan 'Bulan terbuat dari keju-hijau,' merujuk pada kepercayaan khayali, bahwa sang Bulan, terbuat dari keju," Laluna mengawali wacana, ketika sebelumnya ia mengucapkan Basmalah dan Salam. "Vera Nazarian bilang begini, 'Dulu, orang percaya bahwa dunia itu, datar, dan bulan, terbuat dari keju-hijau. Masih ada yang mempercayainya, sampai sekarang. Orang-orang di bulan, melihat ke bawah dan tertawa.'
Namun, tak pernah ada keyakinan historis populer yang sesungguhnya bahwa, sang Purnama terbuat dari keju hijau. Dalam formulasi aslinya, sebagai pepatah dan metafora dalam hal-hal yang mudah dipercaya, yang berakar dari dongeng, hal ini mengacu pada persepsi orang-orang yang mudah terperdaya, yang melihat pantulan Rembulan dari dalam air, dan menganggapnya sebagai roda keju bundar. Versi umum frasa 'keju hijau' dalam ungkapan ini [kerapkali digunakan bergantian dengan frasa 'keju krim'], barangkali merujuk pada keju muda yang belum matang atau keju yang warnanya kehijauan.

John Maynard Keynes, menulis dalam 'The General Theory',
'Pengangguran berkembang, dengan kata lain, lantaran manusia menginginkan Rembulan;—manusia tak dapat dipekerjakan, tatkala objek keinginan (yaitu uang), menjadi sesuatu, yang tak dapat diproduksi, dan permintaan, yang tak dapat langsung dihentikan. Tiada jalan keluar selain meyakinkan publik bahwa keju hijau, secara praktis, hal yang sama dan punya pabrik keju hijau (yaitu bank sentral), di bawah kendali publik.
Menarik diperhatikan bahwa, karakteristik yang secara tradisional dianggap menghasilkan emas, cocok digunakan terutama sebagai standar nilai, yaitu, inelasticity of supply, yang ternyata, justru merupakan karakteristik yang ada di akar masalah.'
Hampir secara universal, diyakini bahwa Keynes menulis magnum opusnya, The General Theory, untuk menyelamatkan kapitalisme dari kekuatan sosialis, komunis, dan fasis yang bangkit selama era Depresi Besar. Keynes berpendapat bahwa pemerintah hendaknya memecahkan masalah dalam jangka pendek ketimbang menunggu kekuatan pasar memperbaiki keadaan dalam jangka panjang, sebab, sebagaimana tulisannya dalam 'A Tract on Monetary Reform',
'... Namun jangka panjang ini, panduan menyesatkan untuk urusan saat ini. Dalam jangka panjang, kita semua mati. Para ekonom mengatur diri mereka terlalu mudah, sangat tak bergunalah tugas jika di musim yang menggelora, mereka hanya dapat memberitahu kita bahwa, ketika badai telah lama berlalu, lautan akan kembali datar.'
Teori Keynes, yang dikenal sebagai ekonomi Keynesian, berpusat pada gagasan bahwa pemerintah hendaknya memainkan peran aktif dalam ekonomi negara mereka, bukan semata membiarkan pasar bebas berkuasa. Wawasan mendasar Keynes, ialah bahwa kita tak tahu—tak dapat mengkalkulasi—apa yang bakal terjadi di masa depan. Di dunia seperti itu, uang menawarkan keamanan psikologis terhadap ketidakpastian. Ketika penabung merasa pesimis tentang prospek masa depan, mereka dapat memutuskan, menimbun tabungan mereka ketimbang menginvestasikannya dalam bisnis. Dengan demikian, tiada jaminan bahwa seluruh pendapatan yang diperoleh, bakal dibelanjakan. Sama dengan mengatakan bahwa tiada kecenderungan alami bagi semua sumber daya yang tersedia, dipekerjakan."

Rembulan diam sebentar, lalu berkata, "Aku takkan membawamu ke alam keju-hijau ataupun ke dalam dunia Keynesian, melainkan aku akan mengajakmu mencermati seorang lelaki, calon ayah baru yang sedang menantikan kelahiran anak pertamanya, seorang yang baru memulai usahanya, dan pula, seorang mahasiswa pasca-sarjana. Suatu malam, cahayaku menyorot padanya, ia sedang menyimak kuliah dari salah seorang dosennya, dalam sebuah kuliah jarak-jauh. Sang dosen berkata, ''Dimana ada hak, di situ ada obat' merupakan pepatah hukum klasik. Individu menikmati hak, dalam makna legal sebagai lawan dari pengertian moral, hanya jika kesalahan yang mereka derita, secara adil dan dapat diprediksi, diperbaiki oleh pemerintah mereka. Poin sederhana ini, sangat membantu dalam mengungkapkan ketidakcukupan perbedaan hak negatif/hak positif. Apa yang ditunjukkannya ialah bahwa semua hak yang ditegakkan secara hukum, tentu merupakan hak positif.
Hak itu, mahal, sebab pengobatannya, mahal. Penyelenggaran itu, mahal, terutama penyelenggaraan yang seragam dan adil; dan hak-hak legal itu, hampa selagi ia tetap tak ditegakkan.
Diformulasikan secara berbeda, hampir setiap hak menyiratkan kewajiban korelatif, dan kewajiban dianggap serius hanya ketika kelalaian dihukum oleh penarikan kekuasaan publik di dompet publik. Tiada hak yang dapat dipaksakan secara hukum tanpa adanya kewajiban yang dapat dipaksakan secara hukum, oleh karena itu, hukum dapat menjadi permisif hanya dengan menjadi wajib secara bersamaan. Artinya, kebebasan pribadi tak dapat dijamin semata dengan membatasi campur tangan pemerintah terhadap kebebasan bertindak dan berserikat. Tiada hak semata hak yang dibiarkan begitu saja oleh pejabat publik. Semua hak itu, klaim atas tanggapan afirmatif pemerintah. Semua hak, secara deskriptif, sama dengan hak yang didefinisikan dan dilindungi oleh hukum. Perintah cease-and-desist yang dijatuhkan oleh seorang hakim yang perintahnya dipatuhi secara teratur, adalah contoh yang baik dari 'intrusi' pemerintah demi kebebasan individu. Akan tetapi, pemerintah terlibat pada tingkat yang bahkan lebih mendasar ketika badan legislatif dan pengadilan menentukan hak-hak yang dilindungi oleh hakim-hakim tersebut. Setiap perintah larangan, kepada siapa pun itu ditujukan, menyiratkan baik pemberian afirmatif hak oleh negara dan permintaan bantuan yang sah, yang ditujukan kepada agen negara.
Jika hak hanyalah kekebalan dari campur tangan publik, kebajikan tertinggi pemerintah (sejauh menyangkut pelaksanaan hak) merupakan kelumpuhan atau kecacatan. Namun negara penyandang disabilitas, tak dapat melindungi kebebasan pribadi, bahkan kebebasan yang tampak sepenuhnya “negatif”, seperti hak agar tak dianiaya oleh petugas polisi dan penjaga penjara. Sebuah negara yang tak dapat mengatur kunjungan yng mendesak ke penjara dan penjara oleh dokter yang digaji pembayar pajak, yang siap menyerahkan bukti kredibel di pengadilan, tak dapat secara efektif melindungi narapidana dari penyiksaan dan pemukulan. Semua hak mahal, lantaran semua hak mengandaikan pendanaan wajib pajak dari mesin pengawasan yang efektif, untuk pemantauan dan penegakan.

Seperti hukum pada umumnya, hak itu, penemuan institusional dimana masyarakat bebas berusaha menciptakan dan memelihara prasyarat bagi pengembangan diri individu dan memecahkan masalah bersama, termasuk menyelesaikan konflik dan memfasilitasi tanggapan yang terkoordinasi secara cerdas terhadap tantangan, bencana, dan krisis bersama. Sebagai sarana pengorganisasian diri kolektif dan prasyarat untuk pengembangan diri pribadi, hak secara alami mahal untuk ditegakkan dan dilindungi. Karena layanan yang disediakan pemerintah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan individu dan kolektif, semua hak hukum, termasuk hak konstitusional, mengandaikan keputusan politik (yang bisa saja berbeda) tentang bagaimana menyalurkan sumber daya yang langka secara paling efektif, mengingat masalah dan peluang yang terus berubah.
Seluruh hak hukum kita—dalam hukum tata negara maupun hukum privat—awalnya muncul sebagai tanggapan praktis terhadap masalah-masalah konkret.Inilah salah satu alasan mengapa hal-hal tersebut, bervariasi dari waktu ke waktu dan lintas yurisdiksi. Sebagai instrumen yang ditempa untuk melayani kepentingan manusia dan pandangan moral yang berkembang, hak hukum berulang kali disusun kembali, atau ditentukan ulang, oleh undang-undang dan ajudikasi baru. Hak juga bermutasi karena hambatan terhadap kesejahteraan manusia—masalah yang dirancang untuk dikurangi atau diatasi oleh hak—berubah, bersama dengan teknologi, ekonomi, demografi, peran pekerjaan, gaya hidup, dan banyak faktor lainnya.

Biaya hak tak hanya menimbulkan pertanyaan tentang akuntabilitas dan transparansi demokratis dalam proses pengalokasian sumber daya; ia juga membawa kita secara tak terduga ke jantung teori moral, ke masalah pemerataan distribusi dan keadilan distributif. Untuk menggambarkan hak sebagai investasi publik, ialah dengan mendorong para ahli teori hak agar memperhatikan pertanyaan, apakah penegakan hak tak semata berharga dan bijaksana, melainkan juga, dialokasikan secara adil. Pertanyaannya di sini, apakah, seperti yang dirancang dan dilaksanakan saat ini, pencairan untuk perlindungan hak-hak bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan, atau setidaknya sebagian besar anggotanya, atau semata pada kelompok-kelompok dengan pengaruh politik khusus. Apakah prioritas nasional kita, di bidang penegakan hak, hanya mencerminkan pengaruh kelompok kuat, atau apakah mereka menggalakkan kesejahteraan umum? Mempelajari biaya bukan berarti memperpendek politik dan moralitas, melainkan memaksa pertimbangan atas pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Subjek ini sangat penting justru karena menarik perhatian pada hubungan antara hak di satu sisi dan demokrasi, kesetaraan, dan keadilan distributif, di sisi lain.

Oleh karena itu, pertimbangan publik hnedaknya difokuskan pada isu-isu berikut. (1) Berapa banyak yang ingin kita belanjakan untuk setiap hak? (2) Apa paket hak yang optimal, mengingat sumber daya yang digunakan untuk melindungi satu hak, tak lagi tersedia untuk melindungi hak yang lain? (3) Apa format terbaik untuk memberikan perlindungan hak maksimum dengan biaya terendah? (4) Apakah hak, sebagaimana didefinisikan dan ditegakkan saat ini, mendistribusikan kembali kekayaan dengan cara yang dapat dibenarkan secara publik? Pertanyaan-pertanyaan ini, berdimensi empiris yang penting, dan penting mengangkatnya ke permukaan. Tapi resolusinya tergantung pula pada pertimbangan nilai. Dimensi empiris hendaknya diidentifikasi seperti itu; pertimbangan nilai hendaknya dilakukan secara terbuka dan menjadi sasaran kritik, tinjauan, dan debat publik. Aku akan mengakhiri kuliah hari ini dengan menyimpulkan dengan kalimat pendek, 'HAK ITU, MAHAL.''

Beberapa malam berikutnya, setelah mengikuti pelajaran Lamaze—metode persalinan berfokus pada persalinan dan persalinan sebagai peristiwa alami, Leboyer—metode persalinan yang dirancang untuk mengurangi trauma pada bayi baru lahir terutama dengan menghindari penggunaan forsep dan lampu terang di ruang bersalin dan dengan memandikan bayi yang baru lahir dengan air hangat—dan La Leche—organisasi sukarela yang dibentuk pada tahun 1957 yang mendorong pemberian ASI dan menawarkan dukungan serta bimbingan kepada ibu menyusui—bersama istrinya yang hamil, sang calon ayah baru, tetap berada di samping tempat tidur istrinya selama proses melahirkan.

Perjuangan sang istri tak sia-sia, ia melahirkan bayi kembar, laki-laki dan perempuan. Karena ingin bersikap sesimpati mungkin, ia menggenggam tangan sang istri dan berkata dengan penuh emosi, 'Ceritain dong beb, bagaimana sih rasanya melahirkan?'
'Oke, sayang,' jawab sang istri. 'Tersenyum-lebarlah semampumu.'
Sambil tersenyum manis pada istri dan anaknya yang baru lahir, sang suami berkomentar, 'Rasanya, nggak susah juga sih.'
Sang istri melanjutkan, 'Sekarang tempelkan, satu jari di setiap sudut mulutmu.' Ia menurut, tersenyum lebar.
'Sekarang regangkan bibirmu selebar mungkin,' lanjutnya.
'Masih belum terasa juga tuh,' katanya.
'Iyaa,' sahut sang isteri. "Sekarang, tarik semuanya ke atas kepalamu.'
Mendengar hal ini, sang suami hanya bisa senyum-mesem, dan seraya menggendong kedua bayinya, iapun bersenandung,

Cepatlah besar, matahariku
Menangis yang keras, janganlah ragu
Tinjulah congkaknya dunia, buah hatiku
Doa kami di nadimu

Cepatlah besar, matahariku
Menangis yang keras, janganlah ragu
Hantamlah sombongnya dunia, buah hatiku
Doa kami di nadimu *)

Sebelum pergi, Laluna berkata, "Hak dan Kebebasan itu, tak ternilai harganya, lantaran itulah mengapa biaya penegakan dan pemeliharannya, mahal dan cenderung meningkat. Tiada kata 'murah' bagi Hak dan Kebebasan. Semoga para pengambil kebijakan menyadari hal ini, dan tak lagi mengeluhkan besarnya biaya subsidi energi yang telah mereka anggarkan dalam Belanja Pemerintah. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Stephen Holmes and Cass R. Sunstein, The Cost of Rights, W. W. Norton & Companies
- John Maynard Keynes, The General Theory of Employment, Interest and Money, Palgrave
- Professor Austin Robinson and Professor Donald Moggridge (Ed.), The Collected Writing of John Maynard Keynes, Cambridge University Press
*) "Galang Rambu Anarki" karya Iwan Fals

Sabtu, 20 Agustus 2022

Dokter Dukun

"Aelius Galenus atau Claudius Galenus—sering di-Inggris-kan sebagai Galen atau Galen of Pergamon—(129–c. AD 216), merupakan tabib paling berpengaruh di abad kedua, yang karyanya mempengaruhi teori dan praktik medis selama lebih dari 1.500 tahun. Ia seorang penulis yang produktif tentang anatomi, fisiologi, diagnosis dan prognosis, doktrin nadi, farmakologi, terapi dan teori kedokteran; akan tetapi, ia juga menulis secara ekstensif tentang topik filosofis, memberikan kontribusi orisinal pada logika dan filsafat sains, dan menguraikan epistemologi ilmiah yang mengawinkan penghormatan mendalam terhadap kecukupan empiris dengan komitmen pada eksposisi dan demonstrasi rasional yang teliti. Ia mengembangkan model jiwa tripartitnya sendiri mengikuti contoh Plato; beberapa cendekiawan menyebutnya sebagai seorang Platonis. Galen mengembangkan teori kepribadian berdasarkan pemahamannya tentang sirkulasi cairan pada manusia, dan ia percaya bahwa ada dasar fisiologis bagi gangguan mental. Galen menghubungkan banyak teorinya dengan pneuma dan ia menentang definisi Stoa mengenai pneuma dan penggunaannya.
Kaum Stoa, menurut Galen, tak berhasil memberikan jawaban yang kredibel untuk lokalisasi fungsi psyche, atau pikiran. Melalui penggunaan obat-obatan, ia yakin bahwa ia menemukan jawaban yang lebih baik, yakni otak. Kaum Stoa hanya mengakui jiwa memiliki satu bagian, yaitu jiwa rasional dan mereka mengklaim, itu akan ditemukan di dalam hati. Galen, mengikuti ide Plato, muncul dengan dua bagian lagi untuk jiwa. Galen menolak pula logika proposisional Stoik dan malah menganut silogistik hipotetis yang sangat dipengaruhi oleh Peripatetik dan berdasarkan elemen logika Aristotelian.
Ia juga seorang polemis yang kuat, berperan dalam perselisihan doktrinal di antara sekolah-sekolah kedokteran pada zamannya," Laluna membuka sebuah topik setelah mengucapkan Basmalah dan Salam.

"Nah, berbeda dengan Galen, ada seorang tabib yang—sayangnya—seorang Peramal, mengamati sifat kelahiran Colin pelayannya—seorang rekan muda yang lincah, segar, kuat, dan menurut skemanya, ditemukan dengan jelas, bahwa ia dan sobatnya itu, bakalan mati pada hari yang sama.
Ia menghitungnya ratusan kali, dan mempelajari catatan-catatan ilmiah, dan tetap saja, nasib mereka sama; ia hanya bertahan hidup satu jam setelah Colin. Sekarang menurut penilaianmu, bagaimana jika kesehatan Colin selalu dipantau oleh sang dokter. Maka ia selalu bersamanya, dan tak pernah membiarkannya bergeser selangkahpun dari pandangannya. Bagaimana kabarnu nak? Sejauh mana kesehatanmu? Semoga Langit memperpanjangnya untukmu. Tak seperti itu, ia memperhatikan makanannya, dan mengisikan gelas anggur untuknya, dan jika ia tidur karena sakit, ia pastikan memberinya anodyne clyster—minum teh biji rami, atau susu baru, dari setengahnya, satu liter menjadi tiga perempat liter, dan tambahkan 40 hingga 60 tetes laudanum—di pagi hari.

Dengan dosis yang jitu ini, sang dokter terpelajar, melakukan terlalu banyak hal pada Colin yang malang, sehingga sebagian lantaran diet, sebagian karena gangguan, kembang masa-muda dan kekuatannya, layu. Akhirnya. sang pemuda yang malang, diserang oleh kolik ringan, sang dokter membuka pembuluh darahnya, terjadi demam, lalu ia muntah; penyakitnya berlipat ganda secara tiba-tiba, dan ia menjadi pusing, dan karena perawatan yang berlebihan, Colin yang malang, berada di dalam makamnya.

Sang dokter gugup, darahnya membeku dalam nadinya, ia cuma punya satu jam lebih lama untuk bernafas, ia memanggil Pengacara dan membuat Surat wasiatnya; singkatnya, saat-saat kritis berlalu, sepanjang hari dan malam, bukan, seminggu penuh, dan sang dokter, masih hidup. Pengalaman, akhirnya, membuka matanya, dan ia menolak doktrin, baik Gerolamo Cardano—tabib yang gila Astrologi, prediksinya sangat sering menipu dirinya sendiri—dan Hippocrates dari Kos—sering disebut Pangeran para Tabib—yakin bahwa kedua kutub tersebut, didasarkan pada kesesatan dan kegoblokan."

Laluna pamit sambil berkata, "Beruntung sang dokter bisa sembuh sekaligus dari, baik praktek pengobatan pra-modern maupun perdukunan. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- R.J. Hankinson (Ed.), The Cambridge Companion to Galen, Cambridge University Press
- George Sarton, Galen of Pergamon, University of Kansas Press
- Sieur De La Motte, One Hundred New Court Fables, Peter-Nofter-Row