“Perkawinan itu, ikatan yang dipersatukan oleh hak dan tanggungjawab bersama bagi masing-masing dari pasangan suami-isteri—pria dan wanita. Kemitraan di antara mereka inilah, dan mereka berdua, dituntut berperan aktif dalam kemitraan tersebut. Kaum pria diangkat sebagai pemimpin rumah tangga, dan kaum wanita sebagai pendukung yang menolong, yang keahliannya di banyak bidang, tak dapat ditangani oleh pria. Baik suami maupun istri, punya hak dan kewajiban tertentu. Pernikahan yang bahagia dan sukses akan terjamin jika keduanya memenuhi kewajibannya, dan saling menjaga hak masing-masing. Melanggar hak-hak tersebut, merupakan jalan yang niscaya menuju kenestapaan dan kegagalan," sang Purnama menyampaikan topik setelah mengucapkan Basmalah dan Salam.
“Dalam perspektif Islam,” sambungnya, “beberapa tanggung jawab dan kewajiban, sama-sama berlaku bagi pria dan wanita. Misalnya, kewajiban beriman kepada Allah, Subhanahu wa Ta'ala, dan mengikuti perintah-Nya, identik bagi keduanya. Demikian pula, keduanya sama-sama bertanggungjawab dan mempertanggungjawabkan perbuatannya, keduanya sama-sama dituntut belajar agama yang benar, beribadah kepada Allah, dan menyeru kepada jalan-Nya dalam hal berurusan dengan manusia lain. Pria dan wanita, bakal beroleh pahala yang sama bagi ketaatan kepada Allah, dan hukuman yang sama atas ketidaktaatan atau perbuatan-dosa.
Dalam mempersandingkan antara wanita dan pria, kita hendaknya menyadari bahwa Islam tak menyamakan mereka yang secara inheren berbeda. Ada hal-hal dimana pria lebih diprioritaskan daripada perempuan, dan sebaliknya. Preferensi ini, berasal dari perbedaan kemampuan mereka melaksanakan berbagai tugas. Oleh karenanya, daripada menyamakan mereka yang takkan pernah bisa dipersamakan, perhatian kita seyogyanya diarahkan pada keadilan dalam memperlakukan keduanya. Allah Subhanahu wa Ta'ala, berfirman,
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا
"Janganlah kamu berangan-angan (iri-hati) terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." [QS. An-Nisa' (4):32]
Dari uraian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa hukum Islam tentang manusia, sama-sama berlaku bagi pria dan wanita. Namun bukan berarti bahwa pria dan wanita, identik dalam segala hal. Ada aturan-aturan tertentu, yang secara ketat diterapkan pada wanita, oleh sifat femininnya, dan ada pula yang secara ketat, diterapkan pada pria, lantaran sifatnya yang maskulin.
Nah, ada sebuah hadits, yang merupakan hasil dari percakapan yang terjadi antara Rasulullah (ﷺ) dan istri beliau—Ummahatul Mukminin—'A'isyah, radhiyallahu 'anha. Contoh inilah yang baik dari percakapan pribadi yang terjadi antara seorang pria dan istrinya. Menceritakan tentang sebelas wanita yang berkumpul, masing-masing secara singkat menggambarkan karakter suaminya kepada wanita lain.
Sebagian besar riwayat hadits ini, menyajikan kisah sebelas wanita yang diriwayatkan oleh 'A'isyah dan bukan oleh Rasulullah (ﷺ). Namun, beberapa riwayat secara eksplisit menunjukkan bahwa Rasulullah (ﷺ) yang menceritakannya. Pula, beberapa ulama berpendapat bahwa keseluruhan ceritanya, fiktif dan disebutkan demi pelajaran yang dibawanya. Yang lain berpendapat lebih tepat bahwa kisah tersebut, nyata yang terjadi di masa Jahiliyyah. Dalam Adab dan Etika Islam, sesungguhnya, istri yang bijak, tak dianjurkan mengumbar masalah rumah-tangganya kepada orang lain.
'A'isyah, radhiyallahu 'anha, meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) berkata kepadanya, 'Duhai 'A'isyah! Aku bagimu seperti Abu Zar' bagi Ummi Zar.' Ia, radhiyallahu 'anha, bertanya, 'Dan siapakah Umm Zar', ya Rasulullah?' Beliau (ﷺ) menjawab, 'Sebelas wanita berkumpul di masa Jahiliyyah. Mereka berjanji saling mengatakan yang sebenarnya, dan tak menyembunyikan apapun tentang suami mereka.'
Nampak bahwa para wanita tersebut, hidup di zaman Jahiliyyah, dan oleh karenanya, tak mengherankan jika mereka menyimpang dari beberapa ajaran Islam yang masyhur, semisal berghibah tentang suami-suami mereka. Namun, perbincangan mereka, mengungkap banyak kualitas, yang disukai atau tak disukai wanita, dalam diri para suaminya.
Rasulullah (ﷺ) melanjutkan kisahnya,
'Wanita pertama berkata,' Suamiku bagaikan unta kurus, yang berada diatas puncak gunung yang terjal, yang landai pun didaki dan yang gemuk pun ditunggangi.'
Wanita pertama menggambarkan suaminya sebagai orang yang tak berharga, pelit, dan angkuh. Dengan demikian, ia sama tak berharga dan kikirnya seperti unta kurus dengan daging yang teramat sedikit, karenanya, hampir tak punya nilai-nilai. Selain itu, ia angkuh, tak ramah, dan tak dapat didekati, seakan ia berada di puncak gunung yang terjal. Tiada yang bakal tertarik menemuinya, atau membawakannya keuntungan apapun.
Kemudian Rasulullah (ﷺ) melanjutkan kisahnya,
Wanita kedua berkata, 'Adapun suamiku, aku tak bisa mengungkapkan rahasianya [sebab takut diceraikan]. [Jika aku mulai membicarakan tentang dirinya] Aku khawatir, kutakkan bisa berhenti [sebab banyak kekurangannya]. Dan andai aku berbicara tentang dirinya, aku bakalan menyebutkan urat lehernya yang menonjol [yaitu, keangkuhan, ketidakramahan, dan cacat nyata lainnya] dan tonjolan di perut dan pusarnya [yakni, banyak cacat yang tersembunyi].'
Wanita kedua menunjukkan bahwa suaminya, punya banyak kekurangan—baik masalah yang tampak maupun yang tersembunyi. Selain banyak kekurangannya, sang suami tak suka dikritik, dan siap menceraikan istrinya jika ia mengatakan apapun tentang masalah dirinya.
Rasulullah (ﷺ) lalu melanjutkan kisahnya,
'Wanita ketiga berkata, 'Suamiku, orangnya ketinggian amaat [maksudnya, nggak keren]. Bila aku mengucapkan sepatah kata [tentang cacatnya, dan ia mengetahuinya], aku pasti bakal diceraikan. Dan jika aku tetap diam, aku pun akan dibiarkannya [maksudnya ia tak memperlakukanku seperti seorang isteri atau seorang yang telah diceraikan, muallaqah].'
Wanita ketiga mencitrakan suaminya sebagai orang yang 'nggak keren banget', di luar proporsi dalam kualitas [tubuh, moral, atau keduanya], singkatnya, semuanya tentang berlebih-lebihan dan tak mengesankan.
Rasulullah (ﷺ) melanjutkan,
'Wanita keempat berkata, 'Adapun suamiku, manakala ia makan, ia merengkuh semuanya [maksudnya, melahap segalanya]; kala ia minum, ia bahkan menghabiskan tetes terakhir; dan bila ia tidur, ia bergelung sendiri dalam selimut [maksudnya, tak peduli padaku].Ia tak mengulurkan tangannya agar mengetahui kenestapaan ini [maksudnya, ia tak pernah mengkhawatirkan tentang keadaan sakit, kesedihan, dan sebagainya].'
Wanita keempat melukiskan suaminya sebagai orang yang sangat rakus. Ia makan dan minum, hingga yang penghabisan, segala apa yang ada di hadapannya. Ia tidur bagaikan kayu gelondongan, tanpa peduli pada sang isteri, memenuhi kewajiban perkawinannya terhadapnya, atau kepoin keadaannya dan memeriksa kesehatannya. Pokoknya, semua menyangkut tentang keegoisan, keserakahan dan kelalaian.
Kemudian Rasulullah (ﷺ) melanjutkan kisahnya,
'Wanita kelima berkata, 'Suamiku sangat tak berdaya [maksudnya, letoy dan impoten] dan bloon. Ia mudah terserang penyakit. Ia akan memenggal kepalamu, mematahkan salah satu anggota tubuhmu, atau melakukan keduanya padamu (yaitu, ia memukul wanita tanpa ampun).'
Suami wanita kelima tak memiliki semua kualitas penting, yang akan membuat seorang wanita mengagumi suaminya. Ia tak berdaya dalam menjalankan urusannya dan keluarganya, impoten dan tak sanggup menyenangkan istrinya, dan tolol pula. Segala cacat-manusia, bergabung di dalam dirinya. Dan, seolah itu tak cukup, ia sangat kasar terhadap istrinya. Ia memukulnya tanpa ampun, mematahkan tulangnya atau melukai kepalanya. Intinya, semuanya tentang ketidakberdayaan, kebodohan, dan pelecehan.
Lima wanita pertama, bercerita tentang hal-hal yang menunjukkan ketidakpuasan mereka terhadap para suaminya, atau tentang sifat-sifat suami yang tak mereka sukai. Lima wanita berikutnya [wanita ke enam hingga ke sepuluh], menyampaikan hal-hal yang baik—atau sifat terpuji—tentang suami mereka.
Rasulullah (ﷺ) melanjutkan kisahnya,
'Wanita keenam berkata, 'Adapun suamiku, ia bagaikan malam di Tihamah [Mekah dan sekitarnya]—tak panas dan tak dingin. [Bila bersamanya] tiada ketakutan atau kebosanan.'
Suami wanita keenam, ibarat angin malam yang sejuk. Ia baik dan berimbang dalam berperilaku, dan kebersamannya tak membawa ketakutan atau kebosanan. Sebaliknya, ia memberi perasaan aman dan guyub. Jadi, hal ini tentang keramahan, keamanan, dan kepedulian.
Kemudian Rasulullah (ﷺ) melanjutkan kisahnya,
'Wanita ketujuh berkata, 'Adapun suamiku, tatkala ia masuk, ia bertingkah bagai macan tutul (yang mengantuk); dan saat ia pergi, ia bertingkah seperti singa. Ia tak bertanya lagi tentang apa yang telah ia percayakan.'
Suami wanita ketujuh, santun dan penuh kasih-sayang di dalam rumahnya, dan sangar dan kuat di luar rumahnya. Di dalam rumah, ia ibarat macan tutul: pendiam, mengantuk (yaitu pemaaf), dan penyayang. Dalam menghadapi masyarakat luar, ia bagaikan singa: pemberani, tangguh, dan dihormati. Ketika ia mempercayakan istrinya (atau orang lain) dengan sesuatu, ia tak meminta pertanggungjawabannya secara teliti; sebaliknya, ia murah-hati dan mau mengabaikan kesalahan. Jadi, ini semua tentang cinta, kemurahan-hati, dan keberanian.
Rasulullah (ﷺ) lalu melanjutkan kisahnya,
'Wanita kedelapan berkata, 'Adapun suamiku, sentuhannya bak kelinci, dan aromanya seperti zarnab (tanaman aromatik). Aku menaklukkannya, namun ia menaklukkan orang lain.'
Suami wanita kedelapan, sangat baik padanya. Pada saat yang sama, ia kuat dan tegas dengan orang lain. Dengan istrinya, ia punya sentuhan kelinci yang lembut dan baik, dan ia beraroma sangat menyenangkan. Dengan orang lain, ia bereputasi yang baik (makna lain dari aroma yang harum), dan kebaikan dan sikapnya yang baik terhadap istrinya, tak menghalanginya, menjadi kuat dan menang dengan orang lain. Jadi, ini semua tentang reputasi yang baik, rasa-hormat dan syafakat.
Rasulullah (ﷺ) melanjutkan,
'Wanita kesembilan berkata, 'Adapun suamiku, ia memiliki pilar rumah yang tinggi, gantungan pedang panjang, dan abu dalam jumlah besar. Rumahnya dekat gedung perkumpulan.'
Suami wanita kesembilan, berasal dari keluarga bangsawan dan kaya. Ia pejuang yang kuat dan tuan rumah yang murah hati. Tiang rumah yang tinggi, merupakan indikasi dari keturunan dan kekayaannya yang mulia. Gantungan pedang panjang, menunjukkan bahwa ia berperawakan besar dan mempesona, serta bahwa ia, petarung yang hebat. Abunya merupakan indikasi kemurahan hatinya dan banyaknya tamu yang ia beri makan. Berada di sekitar gedung perkumpulan, menunjukkan bahwa ia berada di dekat pusat kota tempat orang-orang penting biasanya tinggal dan bertemu. Singkatnya, ini semua tentang harta, keberanian, kemurahan-hati, dan status.
Kemudian Rasulullah (ﷺ) melanjutkan kisahnya, 'Wanita kesepuluh berkata, 'Suamiku itu, Malik [sang pemilik]. Dan apa yang engkau ketahui tentang Malik? Malik lebih baik dari itu [yang telah kujelaskan]. Ia memiliki unta yang banyak, yang selalu menderum, dan jarang digembalakan di padang rumput. Saat mereka mendengar suara kecapi, mereka akan merasa yakin bahwa sebentar lagi, mereka bakal disembelih.'
Suami wanita kesepuluh, punya banyak kualitas luar biasa yang tak terlukiskan. Maknanya, bahwa ia tak pernah bisa memberikan pujian yang benar-benar layak bagi suaminya. Unta-untanya, meskipun jumlahnya banyak, tak boleh merumput jauh dari tempat tinggalnya, sebab ia ingin agar unta-unta tersebut, selalu siap untuk para tamunya. Ia sering mengadakan jamuan makan dimana ia menghibur tamunya dengan kecapi dan memberi mereka makan daging unta. Jadi, ini semua tentang kekayaan, kemurahan-hati, dan kualitas istimewa lainnya.
Wanita terakhir yang berbicara, bernama Ummu Zar. Ia memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang dua suaminya: Abu Zar' dan pria yang dinikahinya setelah Abu Zar' menceraikannya. Kedua suaminya, sangat baik padanya, namun ia lebih bahagia dengan yang pertama, dan memberikan deskripsi yang lebih rinci tentangnya, dan anggota keluarganya.
Rasulullah (ﷺ) melanjutkan,
'Yang kesebelas berkata, 'Suamiku adalah Abu Zar' [yaitu, yang memiliki tumbuh-tumbuhan]—dan ketahuilah tentang Abu Zar! Ia menjadikan telingaku berat dengan perhiasan, memadati lengan atasku dengan daging [yaitu, memberiku makan dengan baik setelah keadaan laparku sebelumnya], dan menghormatiku sampai jiwaku terpuaskan. Ia mengambilku dari antara orang-orang dengan domba sangat sedikit dan hidup prihatin, dan menempatkanku di antara orang-orang yang memiliki kuda, unta, sapi [yang menginjak biji-bijian untuk mengupasnya], dan saringan [untuk menyaring biji-bijian]. Di rumahnya, aku tak dicela bila berbicara, tidur lelap hingga pagi, dan minum sepuasnya.'
Abu Zar mendapati Ummu Zar dari kehidupan yang miskin dan kerja keras menuju kehidupan yang kaya dan bersenang-senang. Rasulullah (ﷺ) terus menceritakan apa yang Ummu Zar ucapkan,
'[Ia melanjutkan], 'Ibunda Abu Zar—dan ketahuilah tentang ibu Abu Zar! Brankasnya [makanan dan pakaian] berlimpah, dan rumahnya luas.'
Ibu Abu Zar, seorang wanita kaya dengan perbekalan yang cukup dan banyak pelayan. Hal ini membawa pujian tambahan bagi putranya, sebab ia memastikan bahwa kebutuhan ibunya terpenuhi dengan baik, dan hidupnya tak kurang dari miliknya.
Rasulullah (ﷺ) terus menceritakan apa yang Ummu Zar ucapkan,
'[Ia melanjutkan], “Putra Abu Zar—dan ketahuilah tentang putra Abu Zar! Tidurnya (lelap) seperti batang palem runcing [yaitu, selalu waspada], dan cukup lengan kambing betina memuaskan rasa laparnya [yaitu, ia tak gemuk atau serakah].'
Terlepas dari kekayaan ayahnya, putra Abu Zar bukanlah pemuda yang manja. Sebaliknya, tubuhnya tak bergelambir lemak, puas, makan secukupnya, dan selalu waspada, bahkan saat tidur.
Lalu Rasulullah (ﷺ) melanjutkan apa yang Ummu Zar ucapkan,
'[Ia melanjutkan], “Putri Abu Zar—dan ketahuilah tentang putri Abu Zar! Ia patuh pada ayahnya dan patuh pada ibunya. Pakaiannya terisi penuh [tubuhnya sintal]. Ia menyebabkan pakaian atasnya melengkung [tubuhnya proporsional]. Ia anugerah keluarganya, dan penyebab kecemburuan bagi rekan istrinya.'
Putri Abu Zar, seorang wanita muda yang sempurna, patuh kepada kedua orang tuanya, cantik, dan menarik. Ia menghiasi keluarganya, dan membawa rasa-iri pada para tetangganya.
Rasulullah (ﷺ) melanjutkan apa yang Ummu Zar ucapkan,
'[Ia melanjutkan], 'Hamba perempuan Abu Zar—dan ketahuilah tentang sahaya perempuan Abu Zar! Ia tak mengungkapkan rahasia kami, atau membagi-bagikan makanan kami [maksudnya, ia dapat dipercaya], atau membiarkan rumah kami penuh dengan kotoran seperti sarang burung [maksudnya, ia bersih].'
Bahkan asisten-rumah-tanggapun, berperan dalam melukiskan gambaran yang mengesankan tentang martabat dan pujian bagi Abu Zar'! Ia dapat dipercaya, bersifat melindungi, dan bersih.'
Setelah menghabiskan bertahun-tahun bersamanya, Suatu hari, Abu Zar' memutuskan mengganti istrinya, Ummu Zar, dengan seorang wanita muda yang telah memiliki dua anak lelaki. Rasulullah (ﷺ) lanjut menceritakan apa yang Ummu Zar' ucapkan,
'[Ia melanjutkan], 'Abu Zar melakukan perjalanan pada saat botol susu dikocok guna mengekstrak krim [yaitu, di musim semi saat ada banyak susu]. Ia bertemu dengan seorang wanita dengan dua putra kecil yang [aktif seperti] dua anak macan tutul. Mereka [melompat] di bawah pinggangnya dan bermain dengan dua buah delima [maksudnya, ia masih muda dan berpayudara kecil]. Ia menceraikanku dan menikahinya.'
Rasulullah (ﷺ) lanjut menceritakan apa yang Ummu Zar' ucapkan,
'[Ia melanjutkan], 'Setelahnya, aku menikah dengan seorang pria yang bangsawan. Ia mengendarai kuda yang cepat dan memegang tombak [ia seorang pelaga]. Di malam hari, ia membawakanku [setelah pertempurannya] ternak mahal, dan memberiku sepasang dari setiap jenisnya. Ia berkata kepadaku, 'Makanlah, duhai Ummu Zar, dan berikan juga kepada kerabatmu.' Namun, seandainya aku mengumpulkan semua barang yang ia berikan kepadaku, semuanya takkan mengisi wadah terkecil dari Abu Zar.'
Suami kedua Ummu Zar, juga kaya dan sangat baik padanya. Namun hatinya tetap bersama suami pertamanya. Rasulullah (ﷺ) mengakhirinya dengan menyatakan kepada 'A'isyah bahwa beliau (ﷺ) baginya bagaikan Abu Zar bagi Ummu Zar, 'Duhai 'A'isyah! Aku bagimu bagaikan Abu Zar' terhadap Ummu Zar'—kecuali bahwa Abu Zar' menceraikannya, dan aku takkan menceraikanmu.'
Hal ini bermakna bahwa beliau (ﷺ) dermawan terhadapnya seperti Abu Zar' terhadap Ummu Zar'. Namun, nikmat Rasulullah (ﷺ) pada 'A'isyah (atau Muslim lainnya) tak terukur, dan semuanya meluas sampai kepada kebahagiaan akhirat yang baik dan abadi. Itulah sebabnya 'A'isyah, radhiyallahu 'anha, menjawab, 'Duhai Rasulullah! Engkau lebih baik bagiku dibanding Abu Zar' bagi Umm Zar.' [Diriwayatkan oleh at-Tabarani; terdapat pula dalam Sahih Al-Bukhari]
Sang Purnama mengakhiri kisahnya dengan bersenandung,
Dengan kasihmu ya Robbi
Berkahi hidup ini
Dengan cintamu ya Robbi
Damaikan mati ini
Saat salahku melangkah
Gelap hati penuh dosa
Beriku jalan berarah
Temuimu di surga
Terima sembah sujudku
Terimalah doaku
Terima sembah sujudku
Izinkan ku bertaubat
Maulana ya Maulana
Ya sami' duana *)
Sebelum cahayanya meredup, sang Purnama berkata, "Bagian dari tanggungjawab besar baik pria maupun wanita, ialah memperagakan dan bertindak dengan adab dan akhlak yang mulia. Adab dan etika yang baik, merupakan ciri khas agama Islam. Singkatnya, itulah latarbelakang di balik perutusan Rasulullah (ﷺ). Wallahu a'lam."