Minggu, 31 Desember 2023

Cerita Bunga Matahari: Lucy (3)

"Saat itu, jelang akhir tahun, bang Jon singgah di kota kecil, tapi, semua kamar hotel telah terisi.
'Tolong cariin kamar dimana aja mas,' doi memohon kepada manajer hotel terakhir yang dicarinya, 'Pokoknya, asalkan tempat tidur, dimana aja, gak apa-apa. Gua cape banget nih mas.'
'Baik bang, sebenernya sih, kami ada kamar dobel dengan satu penghuni,' sang manajer ngaku, 'dan sa' yakin, orangnya mau kok sharing biaya kamar hotelnya. Tapi jujurly, doi ngoroknya kenceng banget, orang-orang di kamar sebelahnya, pada ngeluh. Sa' gak yakin, bakal bermanfaat buat abang.'
'Gak masyalah,' sang satria berkelana yang lelah itu, yakin. 'Gua oke ajah.'
Keesokan paginya, si abang turun sarapan pagi dengan anteng dan kelihatan ganteng. Sang manajer bertanya padanya, gimana caranya doi bisa bertahan.
'Beres Mas,' kata bang Jon.
Sang manajer terkesan. 'Jadi, gak masyalah ya kalo orangnya ngorok?'
'Enggak. Gua bikin doi bungkam seketika.'
'Oh, gimana caranya bang?'
'Sewaktu gua masuk kamar, doi udah tidur, ngorok, kwenceng bingits,' kata si abang. 'Gua deketin, trus gua ngomong gini, 'Selamat malam cantik', hasilnya, doi duduk meluk bantal di pojok tempat tidur, rada-rada cemas gitu, ngawasin gua sepanjang malam.'''

“Why do there exist Social movements?” bunga matahari melanjutkan sambil memperhatikan persiapan di Balai RW untuk acara tahun-baruan. Lalu ia berkata, "Menurut Hank Johnston, gerakan-gerakan sosial merupakan kekuatan kunci perubahan sosial di dunia modern. Walau tak semua perubahan sosial disebabkan olehnya–inovasi teknologi, perubahan iklim, bencana alam, dan perang, juga merupakan pengantaranya–gerakan sosial bersifat unik, karena dipandu secara sengaja dan strategis oleh mereka yang turut-serta dalam gerakan tersebut. Karakteristik utama lainnya, ia memobilisasi dan menjalankan kegiatannya, sebagian besar di luar jalur politik dan institusi yang telah mapan. Hal ini menjadikan pertanyaan mengenai asal-usul dan pertumbuhannya, sangat menarik bagi para ilmuwan sosial. Beberapa gerakan sosial mewakili upaya warga negara, secara kolektif memunculkan dunia yang lebih adil dan setara. Gerakan-gerakan lain, dimotivasi oleh keluhan-keluhan yang memaksa para pengikutnya, keluar dari rutinitas sehari-hari. Gerakan-gerakan sosial, biasanya ditentang oleh kekuatan-kekuatan yang mendukung status quo, yang menimbulkan perdebatan mendasar dalam aktivitas gerakan. Namun ciri khas dari semua gerakan itu, besar dan kecil, ialah bahwa gerakan tersebut, menggerakkan sejarah, terkadang dengan cara-cara yang amat berarti.

Kelompok dan organisasi gerakan, tak berdiri sendiri, melainkan terhubung dalam struktur jaringan melalui keanggotaan yang tumpang tindih, keterkaitan antar anggota, dan kontak antar pemimpin. Gerakan umum dicirikan oleh ketekunan yang melebihi keyakinan satu kelompok saja.
Ide-ide yang menjadi bahan bakar, panduan, dan kohesi sebuah gerakan, mencakup gagasan ideologi, tujuan, nilai, dan kepentingan yang telah teruji dan dipelajari secara luas. Konsep identitas kolektif sebagai elemen ideasional kunci yang merekatkan individu dan kelompok dalam suatu gerakan. Sama seperti bentuk-bentuk perilaku sosial lainnya, performa gerakan itu, pada umumnya–protes jalanan, demonstrasi, pemogokan, pawai, dan sebagainya–sangat bersifat simbolis dalam artian bahwa mereka membuat pernyataan lebih dari sekedar isi lagu, nyanyian, plakat, dan pidato. Selain itu, mereka selalu punya audiens: yang menyaksikan penampilannya, menafsirkan apa yang mereka lihat, bertindak berdasarkan interpretasi mereka, dan kehadiran mereka, mempengaruhi bagaimana peragaannya berlangsung. Saat ini, peragaan pawai, demonstrasi, dan protes merupakan bagian dari budaya politik –yaitu, bagaimana melakukan politik di luar jalur institusional yang diterima.
Gerakan sosial terdiri dari kelompok dan organisasi, besar dan kecil, penuh perdebatan dan jinak, yang mengintegrasikan anggota individu dalam berbagai tingkat partisipasi dan memobilisasi mereka agar bertindak. Boleh dikata, bahwa hal-hal tersebut merupakan unit dasar dari struktur gerakan, namun ada juga kelompok terkait yang relevan: kelompok advokasi, kelompok kepentingan, dan LSM.
Kesalahan yang umum terjadi dalam hal memaknai organisasi sebuah gerakan ialah kekeliruan mengartikan organisasi suatu gerakan dengan gerakan itu sendiri. Dalam gerakan masalah lingkungan hidup, Greenpeace, Friends of the Earth, atau Earth Liberation Front, merupakan organisasi gerakan sosial, atau SMO (Social Movement Organization). Kelompok-kelompok ini, memiliki ukuran, kompleksitas, dan struktur formal yang berbeda-beda, yang diorganisir oleh warga negara guna menyampaikan tuntutan mereka, disaat para politisi tak tanggap atau ketika isu-isu tertentu, tampak sangat mendesak. Terkadang SMO sangat formal dan tumbuh cukup besar, menguasai sumber daya yang sangat besar, seperti Greenpeace atau Nature Conservancy. Selain para pelaku SMO yang besar dan penting, gerakan sosial juga mencakup kelompok-kelompok kecil, beberapa di antaranya bersifat informal, yang boleh jadi, berdedikasi pada tujuan-tujuan yang agak berbeda, namun, secara keseluruhan, dipandu oleh, semisal, etos lingkungan. Contohnya, kelompok teman dan kenalan yang membuat taman di perkotaan, atau mendorong penggunaan sepeda dibandingkan mobil dan truk yang boros bahan bakar. Gerakan sosial, secara umum, merupakan kumpulan berliku-liku dari berbagai kelompok dan individu.
Istilah seperti organisasi non-pemerintah dan organisasi advokasi seringkali diterapkan pada kelompok formal yang mengejar tujuan berbasis nilai dan berorientasi pada perubahan pada isu-isu spesifik seperti hak asasi manusia, isu perdamaian, ranjau darat, atau perdagangan manusia. Amnesty International (AI) merupakan organisasi internasional besar, yang melakukan berbagai inisiatif terkait hak asasi manusia, seperti melakukan advokasi terhadap tahanan politik, mempublikasikan penganiayaan terhadap aktivis oposisi, dan memantau penyiksaan dan penghilangan aktivis politik. Namun jika analis mundur untuk membingkai 'gerakan hak asasi manusia', maka di sana, AI tentu saja menempati posisi penting sebagai SMO (atau TSMO, untuk cakupan transnasional) yang sangat profesional dan efektif. Namun organisasi ini, merupakan pula Internasional Nongovernmental Organization (INGO), atau, dari sudut pandang lain, dapat dilihat sebagai bagian dari jaringan Transnasional Advocacy Network (TAN) bagi hak asasi manusia.

Pada abad kedua puluh satu, laju perubahan sosial akan terjadi dengan cepat. Salah satu pendorong utama perubahan ialah, revolusi digital dalam teknologi informasi dan komunikasi. Dimulai dengan internet dan email pada pertengahan tahun 1980an, dan kemudian menjamurnya ponsel pintar, tablet, media sosial, dan belakangan bluetooth, teknologi ini, mengubah cara kita hidup dan saling bertautan. Diperkirakan 2,5 triliun bit data dibuat setiap hari, dan 90 persen data yang ada di dunia saat ini, dibuat dalam dua tahun terakhir. Di tangan para aktivis gerakan sosial, teknologi digital baru, dapat mendorong dan memfasilitasi mobilisasi, membantu memperluas skala protes melampaui batas-batas geografi dan budaya, dan mempersingkat waktu yang dibutuhkan guna mengkoordinasikan taktik protes–seperti dalam 'flash mob', aksi kolektif instan yang dikerjakan melalui pesan teks dan ngetweet di X.
Teknologi digital berpotensi yang besar terhadap dampak hubungan negara dengan gerakan sosial. Secara historis, gerakan kerakyatan telah memainkan peran penting dalam mendorong daya tanggap para elit politik dan melawan kecenderungan otokratis. Gerakan-gerakan di masa lalu, telah memenangkan suara kelompok minoritas yang terpinggirkan. Memang benar, tanpa protes rakyat, wajar jika kita mempertanyakan apakah negara modern akan mencerminkan tingkat partisipasi demokratis seperti yang terjadi saat ini. Di negara-negara non-demokratis, dimana lembaga-lembaga politik sering kali kaku, korup, dan tak mampu memberikan layanan dan perlindungan dasar, gerakan sosial merupakan sarana utama yang dapat digunakan untuk mengekspresikan seruan masyarakat guna melakukan perubahan. Rezim negara dan gerakan sosial, selalu berada dalam hubungan yang dinamis. Berdasarkan mobilisasi massa belakangan ini, terdapat bukti kuat bahwa revolusi digital telah meningkatkan keterpautan ini, semisal berkomunikasi dengan 'Abah' Anies yang lembut dan penuh senyum, atau 'eppa' Mahfud dengan pengetahuan praktik hukumnya, di Live TikTok—Indonesia memerlukan orang seperti mereka guna melahirkan budaya gerakan-gerakan sosial baru.

Pada saat tertentu, sebuah gerakan sosial terdiri dari algoritma dimana termasuk pagelaran-pagelaran besar dan kecil. Hal-hal yang besar mungkin sangat penting dalam penentuan gerakan tersebut (dan terutama dalam penetapannya bagi pihak luar), namun hal-hal yang lebih kecil merupakan landasan yang sangat banyak bagi struktur dan ide-ide gerakan. Melalui peragaan-peragaan ini, baik besar maupun kecil, gerakan ini menjadi apa adanya bagi para partisipannya, bagi lawan-lawannya, dan para audiensnya. Di sinilah budaya gerakan, tercipta dan terkukuhkan.

Berbincang tentang budaya—tanpa menyinggung gerakan sosial—mari kita bicara tentang budaya Indonesia. Drakeley memaparkan bahwa setiap kelompok etnis di Indonesia, mengekspresikan identitas budayanya melalui tarian, pakaian, musik, ukiran, dan bentuk seni lainnya, serta melalui hukum, adat istiadat, dan etiket. Meski terdapat banyak bahasa, sebagian besar penduduknya juga berbicara dalam bahasa nasional, Bahasa Indonesia, bahasa sekolah dan kantor, serta bahasa jalanan. Terlebih lagi, di wilayah paling terpencil di negara ini (dimana pun yang dapat dijangkau oleh televisi, sekolah atau layanan pemerintah), masyarakat Indonesia berpartisipasi dalam kebudayaan nasional. Kelompok etnis terbesar adalah suku Jawa, yang jumlahnya sedikit di bawah 42 persen populasi. Orang Jawa terkonsentrasi di Jawa Timur dan Tengah, kendati terdapat juga populasi Jawa yang cukup menonjol di beberapa bagian Sumatera dan tempat lain. Selain suku Jawa, suku asli pulau Jawa lainnya antara lain suku Sunda di Jawa Barat, suku Banten di Banten, dan suku Betawi di Jakarta. Dan selama bertahun-tahun Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur, telah menjadi tempat menetap bagi sejumlah besar orang Madura, yang menyebar dari seberang, Pulau Madura.

Di Asia Tenggara, masyarakat dan budayanya cukup beragam. Realitas sejarah, budaya, dan politik yang berbeda telah membentuk masyarakat yang kaya dan unik di seluruh kawasan. Namun demikian, Asia Tenggara dipersatukan oleh lingkungan yang sama, serangkaian peristiwa sejarah yang sama, dan oleh solusi serupa, yang diterapkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda terhadap permasalahan yang sama.
Solusi umum di antara berbagai budaya di Asia Tenggara mencakup beberapa proses musik mendasar, yang secara organik terkait dengan bahan baku lingkungan dan budaya. Lapisan organisasi musik juga mencerminkan lapisan budaya manusia di wilayah tersebut. Musisi Asia Tenggara mengadopsi dan mengadaptasi instrumen impor agar sesuai dengan ansambel mereka. Selama berbulan-bulan, bertahun-tahun, dan berabad-abad, gaya dan genre musik memperoleh makna tersendiri. Menurut Henry Spiller, tradisi musik istana, yang proses musiknya dapat dipandang sebagai perwujudan kerajaan dan kesenjangan sosial, dapat menjadi simbol demokrasi dan nasionalisme. Di Asia Tenggara, aktivitas estetika seperti musik, membentuk dan memperkuat nilai-nilai budaya, seperti proses musik yang menjadi modelnya, ditentukan oleh respons terhadap lingkungan dan politik.
Seperti banyak perbatasan politik modern di Asia Tenggara, perbatasan Indonesia merupakan artefak kolonialisme Eropa: kendali Belanda pada abad kesembilan belas dan kedua puluh. Salah satu latarbelakang mengapa Belanda menjadi negara kaya adalah karena mereka mengeksploitasi sumber daya alam dan potensi pertanian di koloni 'Hindia Timur', kata Spiller, dan meraup keuntungan besar dengan memanfaatkan tenaga kerja murah yang disediakan penduduk asli. Terlepas dari afiliasi etnisnya, setiap orang Indonesia mempunyai warisan eksploitasi dan pemerintahan kolonial Belanda yang telah berlangsung selama berabad-abad.

Menurut Jill Forshee, masyarakat di Indonesia, mencerminkan keanekaragaman alam dan kemegahan lintasan, lahan, dan pedalaman di antara ribuan daratan yang dibatasi lautan, yang membentuk kepulauan ini. Kendati secara historis saling berhubungan melalui politik, perdagangan, perang, kolonialisme, dan pembentukan Republik Indonesia, setiap pulau tetap memiliki ciri khas. Selain itu, perbedaan sosial, agama, atau geografis yang mencolok, muncul di pulau-pulau sebesar pulau Sumatra atau pulau sekecil pulau Sabu atau Sawu [sebuah pulau yang terletak di sebelah Selatan perairan Laut Sawu di sebelah timur Pulau Sumba dan sebelah barat Pulau Rote].
Dengan keragaman tersebut, Indonesia tak dapat melakukan kategorisasi sederhana. Misalnya, pulau-pulau di Indonesia bagian Timur, secara logis dapat masuk dalam kategori Polinesia Barat seperti halnya di Asia Tenggara, dalam hal lokasi, tanah, iklim, serta budaya pengayauan dan kepala suku. Indonesia Bagian Barat, punya hubungan yang lebih historis dengan daratan Asia Tenggara, bercirikan iklim dan geografis yang serupa, dan mengembangkan budaya istana yang lembut, dengan menggabungkan pengaruh India.

Sebutan 'Java' mungkin amat dikenal di Barat bukan lantaran nama pulau di Indonesia, melainkan sebagai nama bahasa pemrograman komputer dan sebagai kata slang untuk kopi. Ketiga penggunaan tersebut punya keterkaitan yang samar-samar—bahasa pemrogramannya diberi nama 'java' [bersimbolkan secangkir kopi hangat] guna menunjukkan bahwa program tersebut cepat, ibarat seseorang yang banyak minum kopi. Dan orang mulai menggunakan kata 'java' yang bermakna 'kopi' lantaran banyak kopi yang diekspor ke Barat dari kepulauan Indonesia melalui pulau Jawa.
Jawa dan Bali punya banyak kesamaan dengan wilayah Asia Tenggara lainnya, dalam hal teknologi musik. Alat musik Jawa dan Bali banyak yang terbuat dari berbagai bahan yang tersedia, seperti bambu dan kayu. Namun instrumen yang paling bergengsi terbuat dari logam, biasanya perunggu. Kumpulan alat musik perunggu disebut gamelan.
Sejarah selanjutnya di Jawa dan Bali, menunjukkan gelombang demi gelombang invasi asing; namun, para pendatang yang terakhir, tak menggusur keturunan Austronesia sebagaimana mereka telah menggusur pendahulunya. Sebaliknya, mereka berasimilasi dengan suku Jawa Austronesia. Beberapa dari pendatang awal ini, mungkin dari Vietnam Utara, membawa benda-benda dan teknologi perunggu sekitar tahun 300 SM. Di antara artefak yang terkait dengan gelombang ini, terdapat benda-benda yang oleh para arkeolog sebut 'drum perunggu' karena sepertinya merupakan alat penghasil suara, dan mungkin pula sebagai pemanggil hujan. Pada tahun 300 M, para pengrajin logam di Jawa telah mengembangkan teknologi impor dalam pengecoran dan penempaan perunggu serta memunculkan jenis artefak baru, termasuk gong perunggu dengan bonggol atau tonjolan di tengahnya.

Ansambel perkusi perunggu telah memainkan peran penting dalam budaya Jawa dan Bali selama ribuan tahun. Di kerajaan-kerajaan di seluruh dunia, benda-benda ritual merupakan simbol penting dari 'hak ilahi' untuk memerintah (mirip dengan mahkota permata di Inggris). Kerajaan Hindu-Jawa pada abad pertengahan, juga mempunyai mahkota pusaka dan permata. Koleksi benda-benda ritual mereka yang melambangkan legitimasi kekuasaan mencakup ansambel musik yang sebagian besar terdiri dari instrumen perkusi logam—gamelan. Istilah 'gamelan' diperkirakan berasal dari kata Jawa gamel, yang bermakna 'menangani', dalam arti mengatur atau menyajikan sesuatu; Dengan kata lain, istilah 'gamelan' mungkin merujuk pada proses pembuatan musik gamelan, yang melibatkan pengolahan atau penanganan ide dasar musik. Kata 'gamel' juga merujuk pada sejenis palu.

Kebudayaan Indonesia secara jelas mencerminkan adaptasi terhadap daratan, iklim, dan lautan; keanekaragaman bahasa dan masyarakat di seluruh kepulauan nusantara berkembang melalui pulau-pulau yang terpencil (beberapa lebih banyak dibandingkan yang lain) serta banyaknya masuknya masyarakat dan pengaruh terhadap pulau-pulau tersebut. Masyarakat di beberapa daerah, hidup dalam isolasi yang relatif, sementara yang lain, merupakan bagian dari jaringan perdagangan atau pelayaran yang besar. Pengaruh luar terus-menerus datang di masa lalu dan meskipun paling jelas terlihat di komunitas pelabuhan multi-etnis, mereka akhirnya mencapai daerah pedalaman melalui perdagangan. Selain beberapa suku pegunungan pedalaman, seperti suku Dani di Papua Barat (dulunya Irian Jaya), hanya sedikit orang di Indonesia yang hidup terisolasi dalam jangka waktu yang lama.
Salah seorang pakar berpendapat bahwa manusia pertama di Indonesia berasal dari kelompok etnis luas yang sekarang kita sebut Australo-Melanesia dan merekalah nenek moyang orang Melanesia di New Guinea, Aborigin Australia, dan komunitas kecil Negrito di Semenanjung Malaya dan Filipina.
Spekulasi arkeologi menunjukkan bahwa karena terbentangnya Paparan Sunda (antara Semenanjung Malaya dan kepulauan Indonesia bagian barat antara lain Jawa, Sumatra, Madura, Bali, Kalimantan dan pulau-pulau kecil di sekitarnya), banyak orang yang berbeda, bermigrasi dan bercampur pada zaman prasejarah. Penjelasan ini juga menelusuri kepulauan Indonesia dan sekitarnya secara linguistik, dengan dimulainya migrasi kelompok bahasa Austonesian dari Taiwan sekitar 5.000 tahun yang lalu—yang meluas seiring dengan banyaknya divisi yang bermigrasi ke berbagai wilayah kepulauan. Beberapa kata yang berasal dari bahasa Austronesia tetap mirip dari Indonesia hingga Hawaii. Orang Austronesia berkelana hingga Madagaskar, lepas pantai timur Afrika, dan Pulau Paskah di Pasifik timur. Mereka secara dramatis, membedakan pulau-pulau besar antara Afrika dan Pasifik timur sebagai lengkungan megalitik. Tempat-tempat pemukiman orang Austronesia biasanya menampilkan monumen batu berukuran besar. Kepala Pulau Paskah yang sangat besar merupakan contoh yang amat dikenal.
Masyarakat yang tinggal di wilayah barat Indonesia—termasuk Pulau Sumatera, Jawa, dan Bali—umumnya mirip dengan masyarakat Semenanjung Malaya (kini bagian dari negara Malaysia), dengan rambut hitam lurus, mata bulat, dan corak kulit gelap. Di wilayah timur Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara Timur) dan kepulauan Maluku, ciri-ciri Papua atau Melanesia menjadi ciri khas populasinya. Rambut keriting rapat dan warna kulit lebih gelap membedakan orang-orang kepulauan seperti Flores, Timor, Ambon, atau Papua. Sebelum Zaman Es terakhir, pulau ini secara politik terbagi menjadi Papua Nugini dan Irian Jaya (Papua Barat) terhubung melalui darat ke Australia. Masyarakat adat di pulau Papua secara fisik mirip dengan masyarakat Aborigin Australia.
Orang-orang Chinese berdagang dengan Indonesia jauh sebelum orang-orang Eropa mengetahui keberadaannya dan beberapa orang menetap sejak awal. Orang Chinese menjadi pedagang dan perantara mapan di kota-kota pelabuhan, dan jumlahnya semakin bertambah setelah kedatangan orang Eropa pada abad keenam belas. Dengan demikian, kelas pedagang yang kuat, berkembang menjadi mahir dalam manajemen bisnis dan akumulasi kekayaan. Banyak orang Chinese menjadi pebisnis paling kaya di Indonesia modern, berkat dukungan rezim nasional sebagai imbalan atas dukungan politik mereka. Hal ini menimbulkan kebencian di kalangan masyarakat umum Indonesia, yang biasanya tak menerapkan kecerdasan bisnis dan etos kerja Chinese. Orang Chinese mendominasi perdagangan dan mendirikan toko serta perusahaan di pulau-pulau terluar.
Jalur perairan Indonesia membawa para pedagang India, Arab, Persia, Tiongkok, dan daratan Asia Tenggara pada zaman prasejarah, kemudian disusul oleh orang-orang Eropa. Melalui jalur laut, India telah menjalin perdagangan dengan Jawa sekitar abad pertama Masehi dan pulau-pulau terluar di India menerima barang dari Tiongkok dan India berabad-abad yang lalu.
Selama paruh terakhir abad ketujuh, wilayah sekitar kota Palembang di Tenggara Sumatera menjadi pusat Imperium Sriwijaya, dan bukanlah sekedar kerajaan biasa. Palembang saat itu, menguasai perdagangan dan pelayaran melalui Selat Melaka—rute komersial penting bagi banyak negara Asia dan kemudian Eropa. Penguasaan maritim ini, menghasilkan kekayaan yang sangat besar bagi Imperium Sriwijaya, yang mengirimkan kapal ke Tiongkok dan Sri Lanka.

Imperium Majapahit yang besar di Jawa, sekali lagi, bukan cuma kerajaan kaleng-kaleng, walaupun bangkit dengan 'rice plain polity' [politik padi atau masyarakat beras, bukan yang dilakukan pada masa penjajahan Jepang atau di era Orde Baru, melainkan dapat ditemukan pada simbol-simbol yang terukir pada candi-candi Borobudur dan Prambanan]. Mulai berkuasa pada akhir abad ketigabelas, Majapahit memperoleh kekuasaan politik atas Jawa Tengah dan Pulau Madura. Majapahit mencapai puncak kekuasaannya di bawah Rajasanagara pada abad keempatbelas melalui visi cemerlang dan keterampilan diplomasi menterinya, Gajah Mada. Masyarakat pesisir di Jawa akhirnya berhasil mengalahkan Majapahit dan mendirikan kerajaan baru, Mataram, pada abad keenambelas. Para pemimpinnya adalah Muslim Jawa, kemungkinan besar berpindah agama karena pengaruh Islam di kota-kota pelabuhan. Setelah itu, Islam menyebar ke seluruh Jawa. Agama Buddha dan Hindu tak pernah menguasai pulau-pulau di wilayah timur seperti Sumba, Timor, dan Flores. Pada abad kelimabelas, Islam telah menyebar ke seluruh Indonesia dan sejumlah kesultanan didirikan di seluruh kepulauan, terutama di kota-kota pelabuhan. Di Sulawesi bagian selatan, kerajaan Muslim Makasar di Gowa tumbuh sangat kuat antara tahun 1550–1660 karena pelabuhannya yang dominan dan kepemimpinannya yang kuat. Bugis (juga Muslim) adalah saingan pelayaran dari Makasar.

Penting bagi para pemimpin kerajaan Islam baru, membangun legitimasi untuk memerintah dengan cara yang dapat dipahami oleh rakyatnya. Salah satu caranya ialah dengan menggunakan simbol-simbol guna memerintah, termasuk ansambel gamelan. Legenda, yang sampai batas tertentu didukung oleh dokumentasi sejarah, menyatakan bahwa sekelompok kecil individu Jawa yang karismatik, biasanya disebut Wali Songo (sembilan orang suci, walaupun konon, tak semata sembilan orang), menyebarkan Islam di Jawa. 'The Nine Saints' ini, juga mendirikan negara-negara Islam kuat, yang berbasis di sepanjang pantai utara Jawa dan menjadikan Islam sebagai agama mayoritas di Jawa. Para penguasa negara-negara ini akhirnya mengambil gelar kerajaan Islam seperti sultan. Raja Demak yang beragama Islamlah, yang memulai tradisi memainkan gamelan pusaka pada perayaan hari lahir Nabiyullah (ﷺ). Gamelan pusaka tersebut sekarang dikenal dengan nama gamelan sekaten atau gamelan sekati dan perayaannya disebut sekaten.

Indonesia merupakan konglomerasi pulau, masyarakat, dan budaya; bentuknya yang modern merupakan hasil sejarah yang tak semata melibatkan tumpah-darah dan rakyat Indonesia, namun pula, wilayah sekitarnya. Gamelan ini, hanyalah salah satu dari sekian banyak budaya Indonesia. Namun, batas-batas Indonesia modern tak berhimpitan dengan pembagian budaya atau bahasa tertentu; ia merupakan artefak kendali Belanda. Motto Nasional Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika (bahasa Jawi yang bermakna 'unity in diversity') merangkum strategi bangsa Indonesia modern dalam menanamkan rasa patriotisme 'bersama' dalam konglomerasi budaya yang awalnya terjadi oleh penjajahan Belanda. Inti dari sebuah budaya pan-Indonesia ialah bahasa nasional (yang oleh penutur Ingglisy sebut 'Indonesian', tapi orang Indonesia menyebutnya 'bahasa Indonesia'). Hampir semua orang Indonesia berbicara dalam bahasa nasional ini, yang digunakan di sekolah, kantor pemerintah, dan media massa. Inilah salah satu perwujudan yang teramat penting bagi 'persatuan', bagian dari motto tersebut.
Ansambel yang disebut gamelan, paling sering dikaitkan dengan pulau Jawa dan Bali di Indonesia, namun ansambel serupa, menjadi ciri tradisi musik di seluruh wilayah ini. Selain gamelan dan musik tradisi lainnya, bila berbincang tentang Indonesia, aspek budaya, mungkin dapat menjadi 'starting point for long jump'.

Bincang tentang Indonesia ini, akan kita teruskan pada episode berikutnya. Bi 'idznillah.

Suara petasan terdengar dan disusul vokalis band para pemuda-pemudi Rukun Warga, 'The Sometimes'—sometimes bunyi, sometimes kagak—yang melantunkan tembangnya Vina Panduwinata,

Peluk diriku, peluk-peluk diriku
Cium pipiku, cium-cium pipiku
Bila kau cinta padaku
katakan cinta *)
Kutipan & Rujukan:
- Hank Johnston, What is a Social Movement?, 2014, Polity Press
- Jill Forshee, Culture and Customs of Indonesia, 2006, Greenwood Press
- Henry Spiller, Gamelan: The Traditional Sounds of Indonesia, 2004, ABC Clio
*) "Cium Pipiku" karya Adjie Soetama

Selasa, 26 Desember 2023

Cerita Bunga Matahari: Lucy (2)

“Seorang presiden, yang konon berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya, lantaran pernah dikacangin ama presiden Joe Biden, selalu mengangkat dua jarinya saat ngomong dan gak pernah mau membuka satu atau tiga jemarinya, entah bagaimana, bersama seorang menteri dan wakilnya, tertangkap oleh pasukan asing yang menyusup ke negaranya.
Para penculik, terlebih dahulu menyeret wakil menteri untuk diinterogasi. Mereka mengikat tangannya ke belakang kursi dan menyiksanya selama dua jam sebelum sang wakil menteri 'ngomong'. Para penculik melemparkannya kembali ke sel dan mengeret sang menteri guna diinterogasi. Seperti sebelumnya, mereka mengikat tangannya ke belakang kursi, kemudian dipermak. Menteri tersebut, juga menolak selama dua jam sebelum nyerah. Para penculik mencampakkannya balik ke tangsi, lalu menggelandang sang presiden. Mereka kembali mengikat tangannya ke belakang kursi dan mulai memaksanya. Empat jam berlalu, lima, tujuh, lalu tiga belas, bahkan hampir sehari semalam, sang presiden belum pulak ngomong. Karena frustrasi, mereka mendepaknya kembali mendekam ke petak lokap.
Terkesan oleh keogahan sang panglima tertinggi, kedua tangan-kanannya itu, bertanya, “Bagaimana bapak bisa bertahan cukup lama?” Sang presiden menjawab, 'Oh, sebenernya sih, sa' dah mo ngomong. Cuman, tanganku keiket!'"

"Why do we write?" ucap bunga matahari sambil memegang pulpen lalu menuliskan sesuatu pada secarik kertas. “Kapan pun orang harus mencatat dan merawat peristiwa-peristiwa sejarah, kebutuhan menulis bakal terasa. Georges Jean menuturkan bahwa hampir dua puluh dua ribu tahun yang lalu, pada lukisan gua di Lascaux dan di lokasi lain, manusia menghasilkan gambar pertama. Butuh waktu tujuh belas ribu tahun lagi sebelum pencapaian umat manusia yang paling istimewa, yakni seni menulis, muncul. Kita mungkin membayangkan bahwa orang-orang pertama kali membuat petanda tertulis, guna memelihara kisah-kisah tradisi mereka. Selama puluhan ribu tahun, terdapat banyak cara menyampaikan pesan sederhana dengan menggunakan coretan, petanda, atau gambar. Namun, menulis dalam makna sejatinya, tak dapat disebut ada, hingga terdapat kumpulan petanda atau simbol formal yang disepakati, yang dapat digunakan mereproduksi dengan jelas, pikiran dan perasaan yang hendak diungkapkan oleh penulisnya.
Sistem seperti ini, tak muncul dalam semalam, dan sejarah penulisannya merupakan proses yang panjang, lambat, dan rumit. Sejauh yang kita ketahui, proses tersebut berawal di Mesopotamia kuno, wilayah antara sungai Tigris dan Efrat (Irak modern). Daerah ini, sekitar milenium ke-3 SM, terbagi menjadi Sumeria di Selatan dan Akkad di Utara. Meskipun bangsa Sumeria dan Akkadia hidup harmonis di wilayah geografis yang sama, mereka menggunakan dua bahasa yang masing-masing amat berbeda, bila diibaratkan antara Ingglisy dan Chinese. Kedua masyarakat yang sangat beradab ini, hidup dalam komunitas kecil yang berkumpul di sekitar kota-kota besar, seperti Babilonia, yang dikendalikan oleh penguasa dan dilindungi oleh dewa-dewa mereka..
Prasasti tertulis pertama, digunakan untuk menghitung hasil pertanian. Lainnya berisi informasi tentang struktur sosial bangsa Sumeria. 'Tulisan' semacam ini, sebenarnya lebih merupakan garis besar, terdiri dari goresan-goresan sederhana yang digunakan membuat representasi objek yang bercorak.
Dari satu penjuru ke lain penjuru dunia, masyarakat kemudian memandang tulisan sebagai anugerah ilahi, mencatat masa lalunya di atas batu, tanah-liat, dan papirus—alang-alang air, di zaman baheula digunakan sebagai bahan kertas. Hieroglif Mesir sejak awal merupakan bentuk tulisan yang sebenarnya, karena hampir dapat sepenuhnya merekam bahasa lisan dan dapat menata hal-hal abstrak serta tulisan-tulisan entitas konkrit yang ada, dan menuliskan dengan baik teks-teks mengenai pertanian, kedokteran, hukum dan pendidikan, doa-doa keagamaan, cerita-cerita tradisi dan, tentu saja, sastra dalam segala bentuknya. Jadi, lima ribu tahun yang lalu, para juru-tulis, telah menggunakan kertas, pena, dan tinta. Di Mesir, seperti di Mesopotamia, kemampuan membaca dan menulis merupakan tanda hak istimewa sekaligus sumber kekuatan.
Seperti orang Mesir, masyarakat zaman Tiongkok mengaitkan asal muasal tulisan legendaris, tiga kaisar berperan dalam lahirnya tulisan di China. Secara khusus, Kaisar Huang Che, yang hidup pada abad ke-26 SM, diperkirakan menemukan bakat menulis usai mempelajari benda-benda langit dan benda-benda di alam, terutama jejak kaki unggas dan satwa. Dalam lukisan Chinese dan Jepang, kaligrafi karakter merupakan elemen semantik yang terpisah: gaya penulisan, warna tinta, dan intensitas setiap goresan semuanya dapat berkontribusi pada makna keseluruhan. Tulisan Chinese mengikuti serangkaian aturan ringan, yang menjadikannya bentuk seni yang benar-benar puitis.

Orang Yunani pada milenium ke-2 SM, punya sistem penulisan yang tak lagi digunakan sekitar tahun 1100 SM, ketika peradabannya dikuasai oleh invasi Dorian. Tiga atau empat abad kemudian, sistem penulisan Fenisia mencapai Yunani. Alfabet pertama ini, hanya berisi konsonan. Sekitar tahun 800 SM, di kota-kota Suriah modern (saat itu disebut Aram), alfabet lain dikembangkan, yang dalam banyak aspek mirip dengan alfabet Fenisia, yaitu Aram.
Sekitar tahun 800 SM, di kota-kota Suriah modern (saat itu disebut Aram), alfabet lain dikembangkan, yang dalam banyak aspek, mirip dengan alfabet Fenisia—Aram. Bahasa Aram dan Ibrani, yang digunakan dalam menyalin Perjanjian Lama, lahir. Sejarah penulisan jelas merupakan sejarah keluarga, tulisan Arab, seperti bahasa Ibrani, berasal dari alfabet Fenisia. Bangsa Nabatean sudah menggunakan aksara yang bukan dari bahasa Fenisia maupun Arab. Sepertinya, telah menjadi fakta yang pasti bahwa prasasti pertama yang benar-benar berbahasa Arab berasal dari tahun 512-3 M. Menurut Jean, ketika umat Kristiani berbicara tentang 'Teks-teks Keramat' atau 'Scriptures' (yang secara harafiah bermakna 'tulisan'), tentu saja yang mereka maksud ialah kitab suci mereka. Demikian pula, bahkan tulisan Al-Qur'an pun merupakan tulisan Allah. Keduanya sama seperti hieroglif Mesir yang dipandang sebagai 'tulisan para dewa'.
Selama lebih dari seribu tahun, keterampilan menulis, sebenarnya merupakan monopoli para biarawan. Sangat sedikit orang awam yang menguasai seni menulis. Charlemagne, orang paling berkuasa di Eropa Barat pada saat itu, buta huruf. Ia menandatangani surat perintah kerajaan dengan sebuah salib, yang dimasukkan ke dalam lingkaran tanda tangan yang telah disiapkan untuknya, oleh seorang juru tulis. Berbeda dengan para juru tulis Mesopotamia dan Mesir, para biarawan yang dilatih sebagai penyalin di Eropa pada Abad Pertengahan, bukanlah penulis kreatif atau orang yang berkuasa; mereka menulis, tetapi mereka tak menggubah atau mengkomposisikan tulisan. Aspek kreatif karya mereka, terletak pada bidang yang berbeda, yaitu kaligrafi.
Para ahli Taurat awal, yaitu mereka yang menyalin teks-teks bible, menulis pada gulungan papirus, yang dalam bahasa Latin disebut volumen. Namun, volume ini jauh dari ideal; papirus mahal dan rapuh, dan hanya satu sisi lembarannya yang dapat digunakan. Pengenalan media baru, perkamen, mengubah seni menulis sepenuhnya. Perkamen biasanya dibuat dari kulit domba, kulit anak sapi, atau kulit kambing, meskipun kulit kijang, antelop, dan bahkan burung unta diketahui pernah digunakan. Vellum merupakan perkamen berkualitas tinggi, yang dibuat dengan menggunakan kulit anak sapi yang masih sangat muda atau bahkan kulit hewan yang lahir mati. Skriptorium, tempat naskah disalin, dihias, dan dijilid, biasanya terletak di dekat perpustakaan. Para penulis naskah, demikian sebutan mereka, menulis menggunakan pena bulu angsa, yang dipotong menjadi berbagai bentuk tergantung gaya tulisan yang akan dihasilkan.
Menjelang akhir abad ke-12, monopoli gereja atas pengajaran mulai melemah, dan para ahli Taurat sekuler, yang bekerja sama dengan para biarawan, mulai mengorganisir diri mereka menjadi serikat-serikat dan bengkel-bengkel. Mereka menyusun dokumen resmi untuk pedagang borjuis baru, dan juga menulis buku.

Johann Gutenberg dari Mainz adalah orang pertama yang melakukan mekanisasi pencetakan pada sekitar tahun 1440, dan Peter Schoeffer, teman Gutenberg, menemukan metode mencetak huruf, terutama yang berbentuk asimetris, dengan menggunakan paduan timbal dan antimon. Gutenberg sangat menyadari semua kelebihan kertas, bahan yang telah lama digunakan di China. Kemudian, pada abad ke-16 tumbuh percetakan yang memadukan bakat para pengukir, juru kastor, dan juru ketik. Mesin tik komersial pertama diperkenalkan pada tahun 1874. Pada akhir abad kesembilan belas, istilah 'mesin tik' juga diterapkan pada orang yang menggunakan alat tersebut.
Di dunia modern—khususnya di bawah pengaruh periklanan—huruf telah menjadi entitas tersendiri. Dihapus dari kata-kata massal, dipisahkan dari semua asosiasi semantik, ia telah menjadi pengalaman visual tersendiri. Dalam peradaban Barat, huruf berevolusi dari representasi abstrak kembali menjadi gambar visual. Lalu muncullah seni Typographer.
Selain merekam ucapan manusia, menulis juga mencakup notasi musik. Bentuk notasi musik paling awal dapat ditemukan pada tablet paku yang dibuat di Nippur, di Babilonia (sekarang Irak), sekitar tahun 1400 SM. Sarjana dan ahli teori musik Isidore dari Seville, ketika menulis pada awal abad ke-7, berpendapat bahwa 'kecuali suara disimpan dalam ingatan manusia, suara akan musnah, karena tak dapat dituliskan.' Namun, pada pertengahan abad ke-9, suatu bentuk notasi neumatik mulai berkembang di biara-biara di Eropa. Pendiri dari apa yang sekarang dianggap sebagai staf musik standar adalah Guido d'Arezzo, seorang biarawan Benediktin Italia yang hidup dari sekitar tahun 991 hingga setelah tahun 1033.
Berbeda dengan aspek penulisan lainnya, sulit untuk menentukan kapan tinta muncul dalam sejarah. Kronik Chinese memberikan awal yang legendaris, dengan menghubungkan penemuannya dengan Tian Zhen, yang hidup di bawah pemerintahan mitos Huang Di, Kaisar Kuning. Ia secara efektif menyembunyikan kebenaran asal muasal materi ini. Era Huang Di juga dikatakan sebagai masa pertama kali munculnya aksara China.

Nah, setelah mengetahui sedikit latar belakang tentang tulisan, kini kita akan cari tahu perspektif tentang apa sebenarnya menulis itu. Thomas S. Kane berpendapat bahwa menulis itu, kegiatan yang rasional dan berharga. Bila kita menyebutkan bahwa menulis itu rasional, bermakna tak lebih dari bahwa menulis itu, melatih otak, yang memerlukan penguasaan teknik, yang dapat dipelajari oleh siapa pun. Dikau tak perlu jadi seorang jenius agar dapat menulis dengan jelas. Dirimu hanya perlu memahami apa saja yang termasuk dalam menulis dan mengetahui cara menata kata, kalimat, dan paragraf. Itu bisa engkau pelajari. Jika sudah, dirimu dapat mewacanakan apa yang hendak dikau komunikasikan dengan kata-kata yang bisa dipahami orang lain.
Kane juga berpendapat bahwa menulis itu, layak dipelajari. Ia memberikan manfaat praktis langsung di hampir semua pekerjaan atau karier. Kendati mudah dipastikan bahwa banyak pekerjaan yang dapat engkau jalani, tanpa perlu bisa menulis dengan terang. Namun, jika dirimu tahu cara menulis, engkau akan menguasainya lebih cepat dan lebih jauh. Dan ada nilai lain yang lebih mendalam dari menulis. Kita mengkreasikan diri kita dalam wujud kata-kata. Sebelum kita menjadi pebisnis, atau pengacara, atau insinyur, atau guru, kita manusia. Pertumbuhan kita sebagai manusia, bergantung pada kemampuan kita memahami dan menggunakan bahasa. Menulis itu, cara untuk berkembang. Tak ada orang yang berpendapat bahwa bisa menulis, bakalan membuatmu lebih baik secara moral. Melainkan ia menjadikanmu lebih majemuk dan lebih menarik—dengan kata lain, lebih manusiawi.
Beragam pengaruh yang ingin diberikan seorang penulis kepada pembacanya—menginformasikan, membujuk, menghibur—menghasilkan berbagai jenis prosa. Yang paling umum ialah prosa yang menginformasikan, yang tergantung pada topiknya, disebut eksposisi, deskripsi, atau narasi. Eksposisi menjelaskan. Cara kerja sesuatu—mesin pembakaran. Ide—teori ekonomi, misalnya. Fakta kehidupan sehari-hari—berapa banyak orang yang bercerai. Sejarah—mengapa Kompeni menyerang Sunda Kalapa. Isu-isu kontroversial yang sarat dengan perasaan—aborsi, politik, agama. Namun apa pun subjeknya, eksposisi mengungkapkan apa yang dipikirkan, atau diketahui, atau diyakini, oleh pikiran tertentu. Eksposisi dibangun secara logis. Ia disusun berdasarkan: sebab/akibat, benar/salah, kurang/lebih, positif/negatif, umum/khusus, penegasan/penyangkalan. Pergerakannya ditandai dengan kata penghubung seperti: oleh karenanya, akan tetapi, dan sebagainya, selain itu, namun, tak hanya, yang lebih penting, pada kenyataannya, semisal.
Deskripsi berkaitan dengan persepsi—paling umum persepsi visual. Perhatian utamanya ialah menyusun apa yang kita lihat menjadi suatu pola yang bermakna. Berbeda dengan logika eksposisi, polanya bersifat spasial: atas/bawah, sebelum/belakang, kanan/kiri, dan seterusnya.
Subyek narasi adalah serangkaian peristiwa yang berkaitan—sebuah cerita. Atensinya ada dua: menyusun peristiwa-peristiwa dalam urutan waktu dan mengungkap makna pentingnya.
Persuasi berupaya mengubah cara pembaca berpikir atau berkeyakinan. Biasanya membahas topik kontroversial dan seringkali menggunakan dalil dalam bentuk argumen, menyediakan bukti atau keterangan logis. Bentuk persuasi lainnya adalah satire, yang mengguraukan kedunguan atau kejahatan, kadang halus, adakalanya kasar dan ofensif [namun tak disertai dengan kata-kata kotor]. Terakhir, persuasi bisa dalam bentuk kefasihan berbahasa, yang memberikan daya tarik terhadap sentimen keteladanan dan keluhuran-budi.
Tulisan yang mengedapankan sifat menghibur, meliputi fiksi, esai pribadi, sketsa. Prosa seperti ini, tentu saja penting, namun amat jauh dari kebutuhan sehari-hari dibanding eksposisi atau persuasi.

Salah satu tulisan tentang sejarah Indonesia, disajikan oleh Steven Drakeley (2005). Ia mengawali tulisannya dengan memaparkan bahwa Indonesia, negara kepulauan yang terdiri dari, tak kurang dari 17.508 pulau yang tersebar sepanjang 5.200 kilometer, terletak di garis khatulistiwa antara Australia dan daratan Asia.
Banyak pulau di Indonesia yang kecil dan tak berpenghuni [dapat berimplikasi negatif semisal diperjualbelikan atau dipersewakan secara diam-diam]. Pulau-pulau lainnya, seperti Pulau Sumatera dan Pulau New Guinea (Papua) di Indonesia dan Borneo (Kalimantan), berukuran sangat besar, masing-masing sebesar Spanyol, California, dan Perancis. Paradoksnya, Pulau Sumatera, Papua, dan Kalimantan berpopulasi relatif kecil, sementara beberapa pulau kecil berpenduduk padat, termasuk Jawa, yang berpenduduk 135 juta orang (termasuk kota Jakarta) dan Bali yang kecil dengan 3,3 juta orang [Drakeley menggunakan data tahun 2005]. Di satu sisi, jumlah penduduknya sangat sedikit. Kepadatan penduduk di Papua hanya 6 orang per kilometer persegi dibandingkan dengan 951 orang per kilometer persegi di Pulau Jawa pada tingkat ekstrim lainnya.
Alasan terjadinya perbedaan yang besar ini, sangat berkaitan dengan kondisi medan dan kualitas tanah. Pulau Jawa dan Bali, berlahan vulkanik yang subur dan curah hujan yang melimpah, sehingga cocok untuk menanam banyak tanaman, termasuk beras dalam jumlah besar, yang merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebagian besar Pulau Sumatera, sesuai untuk tanaman perkebunan, namun sebagian besar pulau ini, bergunung-gunung atau berawa dan tanahnya tidak subur. Hal yang sama, terjadi pula di Kalimantan dan Papua, sementara sebagian besar wilayah Indonesia bagian Timur, kering dan tanahnya relatif kurang subur.
Dengan Samudera Pasifik di sebelah Timur dan Samudera Hindia di sebelah Barat, lokasi Indonesia sangat strategis, sebuah hal yang penting karena menjadi negara terbesar di Asia Tenggara, baik dari segi luas daratan maupun jumlah penduduk. Dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa (pada tahun 2005; 270 juta berdasarkan sensus tahun 2020, dan pada kuartal II tahun 2023 diperkirakan berjumlah lebih dari 279 juta), Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia (setelah China, India, dan Amerika Serikat). Secara budaya dan politik, negara ini, juga merupakan salah satu negara yang paling ruwet di dunia, dengan lebih dari seribu kelompok etnis dan subetnis [1.300 kelompok etnis] yang berbicara dalam ratusan bahasa dan dialek [lebih dari 700 bahasa yang masih ada]. Baru belakangan ini, masyarakat Indonesia terkurung dalam sebuah kerangka politik, yang disatukan melalui pengembangan kerajaan kolonial Belanda, Hindia Belanda. Sepanjang sebagian besar sejarah, penduduk Indonesia terpecah secara politik dalam beragam cara [Ichsanuddin Noorsy mengekspresikannya lebih mendalam dengan karyanya 'Bangsa Terbelah' (2019)], lantaran selama berabad-abad, banyak kerajaan dan imperium yang bermunculan dan runtuh di wilayah tersebut. Memang, dulu, sebagian wilayah Indonesia bersatu dengan wilayah dan masyarakat yang kini termasuk dalam negara tetangga Malaysia dan Singapura. Oleh karenanya, salah satu dari banyak tantangan yang dihadapi Indonesia sejak kemerdekaan pada tahun 1945 adalah menyatukan pembangunan identitas nasional, mengingat kurangnya pengalaman sejarah bersama.

Akan kita teruskan eksposisi Drakeley ini, pada episode berikutnya, bi 'idznillah."

Lalu, bunga matahari pun bersenandung,

Please come with me, see what I see
[Plizz, ikutlah denganku, lihatlah apa yang kulihat]
Touch the stars for time will not flee
[Sentuhlah bintang-bintang karena waktu takkan berlalu]
Time will not flee, can't you see? *)
[Waktu takkan berlalu, tak bisakah dikau melihatnya?]
Kutipan & Rujukan:
- Georges Jean, Writing: The Story of Alphabets and Scripts, 1992, Harry N. Abrams
- Steven Drakeley, The History of Indonesia, 2005, Greenwood Press
*) "Ordinary Day" karya Vanessa Carlton
[Sesi 3]
[Sesi 1]

Senin, 25 Desember 2023

Cerita Bunga Matahari: Lucy (1)

“Seorang siswa bertanya kepada guru biologinya, 'Bagaimana cara Charles Darwin melamar istrinya?'
Sang mentor berpikir sejenak, lalu berkata, 'Dalam ilmu matematika, engkau dapat sampai pada jawaban 'the right answer', namun, tentang perilaku manusia, 'the right answer could be a myth'. Akan tetapi, engkau dapat menemukan 'the best answer' atau 'good judgement', usai membandingkan berbagai pernyataan dari beragam sudut pandang, yang tentunya, harus 'valid'.'
'Jadi, menurut Ibu, apa 'the best answer'-nya?' sang murid kepo.
'Darwin mengajukan lamaran dan mengungkapkan bahwa calon isterinya itu, terpilih oleh seleksi alam,' pungkas sang pengajar."

"Pernahkah dirimu menyaksikan film 'Lucy', sebuah gambar-hidup aksi fiksi ilmiah Prancis tahun 2014 yang ditulis dan disutradarai oleh Luc Besson, tentang seorang wanita, diperankan oleh Scarlett Johansson, yang secara tak sengaja bertransformasi jadi seorang johan tanpa ampun, yang berevolusi melampaui logika manusia?" ucap Bunga Matahari sambil menunggu Wulandari, sang Rembulan, yang belum juga tiba, usai menyapa dengan Basmalah dan Salam.
"Mengapa Lucy? Aku tak hendak mempercakapkan tentang seorang wanita yang aduhai, atau semlehoy, apalagi gemoy—kata nenek itu berbahaya, dan oleh Cak Imin diungkapkan dengan canda dalam kalimat interogatif—sehingga membuat kaum Adam tercelangap. Tidak, bukan itu.
Sebelum melanjutkan, perkenankan aku menyampaikan padamu bahwa Bunga Matahari, diriku dan sebangsaku, dikenal oleh kemampuan kami, disebut heliotropisme, melacak matahari sepanjang hari, mengikuti pergerakannya dari Timur ke Barat. Simbol realitas dari berlalunya waktu. Waktu merupakan konsep yang sulit dipahami dan telah memikat imajinasi manusia selama berabad-abad. Saat matahari terbenam dan terbit kembali, kami melacak pergerakannya, sebuah pengingat bahwa waktu terus berjalan. Selain itu, para bunga matahari telah digunakan sebagai simbol siklus hidup dan mati. Jadi, kamilah simbol terindah dan terkuat dari perjalanan waktu dan siklus kehidupan, menjadikan kami, pantas disertakan dalam setiap perbincangan tentang puspita, yang merepresentasikan waktu.
Aku teringat ketika menjelang Tahun Baru, para tetua memperhatikan kawula muda, dan mereka menggelengkan kepala sambil bergumam satu dengan yang lain, 'Betapa cepat waktu berlalu!'
Dan diriku bertanya-tanya, 'Ada apa sih dengan waktu? Adakah doi punya permulaan dan akankah berakhir?' Memang betul, doi bakalan baik-baik aja, tapi, H. James Birx ngomong bahwa pertanyaan mendalam inilah yang telah dipertanyakan oleh para pemikir khusyuk selama berabad-abad, mulai dari spekulasi awal di kalangan kaum Yunani kuno, hingga penemuan membagongkan dalam ilmu pengetahuan modern. Baik filsuf maupun teolog, kata Birx, telah menghaturkan pandangan dunia yang dinamis guna mengakomodasi fakta dan gagasan baru tentang waktu dan perubahan. Lantaran sifatnya yang sulit dipahami, waktu masih menjadi tantangan bagi individu yang berusaha memahami dan mengapresiasi perubahan realitas dan pengaruh waktu yang meluas terhadap semua objek dan peristiwa di dalamnya (termasuk spesies kita). Perspektif terhadap waktu berkisar dari partikel subatom hingga evolusi kosmik. Perubahan temporal mungkin hanya berlangsung beberapa detik atau miliaran tahun. Kemajuan luar biasa dalam teknologi, khususnya dalam bidang teleskop dan mikroskop, serta kemajuan pesat dalam bidang komputer, telah meningkatkan pengetahuan ilmiah kita tentang alam semesta secara umum dan planet kita pada khususnya. Sejarah kehidupan di Bumi dimulai sekitar 4 miliar tahun yang lalu, sedangkan kebudayaan manusia dimulai kurang dari 3 juta tahun yang lalu. Meski begitu, perluasan kosmos ini diperkirakan akan bertahan selama miliaran tahun ke depan. Dan, tak diragukan bahwa pandangan manusia tentang waktu, akan berubah selama berabad-abad mendatang, jika spesies kita bertahan.

Birx kemudian memaparkan bahwa bani Yunani kuno, merenungkan waktu dan perubahan. Yang terpenting ialah, gagasan Heraclitus bahwa kosmos ini, terus berubah, mewujudkan pola siklus yang berkelanjutan. Belakangan, Plato dan Aristoteles menafsirkan alam semesta ini, masing-masing dalam istilah geometri dan biologi. Perdebatan filosofis muncul mengenai apakah realitas itu berwujud statis, yang perubahannya merupakan ketidaksempurnaan atau ilusi, atau wujud kekal, yang kekekalannya semata ilusi. Sejak jaman dahulu, upaya cerdik telah dilakukan mensintesis perubahan dan ketetapan dalam pandangan dunia yang adil bagi keduanya. Upaya semacam ini, ditemukan dalam siklus kosmologi filosofi Ketimuran.
Dengan masuknya agama Kristen, kata Birx, para pemikir agama berusaha mendamaikan Tuhan yang berpribadi kekal dan sempurna, dengan alam semesta material yang sementara dan tak sempurna. Mengenai waktu, muncul keyakinan berbeda mengenai penciptaan ilahi atas kosmos yang terbatas ini, dan akhirnya, takdir. Santo Agustinus dari Hippo dan Santo Thomas Aquinas masing-masing menawarkan pandangan subjektif dan objektif tentang waktu. Bagi keduanya, asal usul alam semesta ini, dipandang sebagai peristiwa yang terjadi beberapa ribu tahun yang lalu. Kosmos yang diciptakan ini, menjadikan bumi sebagai pusatnya dan manusia menempati tempat khusus dalam alam yang statis. Akhir zaman diyakini akan terjadi dalam waktu dekat. Sebelum munculnya astronomi dan fisika modern, menurut pendapat Birx, orang-orang terdahulu yang meyakininya, tak pernah bisa membayangkan begitu panjangnya usia alam semesta ini, atau betapa rumitnya sejarah bentuk kehidupan di planet kita.

Selama Renaisans Italia, seniman jenius Leonardo da Vinci (1452–1519) merenungkan fosil laut yang ia temukan di lapisan batuan saat berjalan di Pegunungan Alpen Swiss. Doi beralasan bahwa fosil-fosil inilah sisa-sisa organisme yang pernah hidup di masa lalu; kekuatan alam telah mengangkat lapisan sedimen Laut Mediterania yang kaya akan fosil selama ribuan tahun. Faktanya, ketika konsensus umum menyatakan bahwa alam semesta ini diciptakan hanya beberapa ribu tahun yang lalu, pandangan dinamis Leonardo tentang sejarah bumi, menyatakan bahwa planet kita setidaknya berusia 200.000 tahun. Lebih jauh lagi, kosmologinya menganggap alam semesta abadi, tak terbatas, dan dipenuhi planet lain. Menanggapi perubahan dengan mendalam, Leonardo mengklaim waktu sebagai sesuatu yang jahat, yang merusak segalanya. Berspekulasi mengenai akhir bumi, ia meramalkan peristiwa bencana di masa depan, dimana api bakalan menghancurkan seluruh makhluk hidup di planet ini (termasuk spesies kita).
​Pada akhir Renaisans Italia, biarawan Giordano Bruno (1548–1600) menantang filosofi Aristotelian dan teologi Thomistik yang mendominasi pemikiran Barat. Dengan menggunakan kecerdasan kritis dan imajinasinya yang ekstraordineri, ia membayangkan alam semesta yang abadi dan tak terbatas dengan jumlah bintang dan planet yang tak ada habisnya. Kosmologinya mencakup pula dunia lainnya, yang dihuni oleh makhluk cerdas. Akibatnya, penafsiran nekat Bruno tentang alam semesta ini, membuka jalan bagi gagasan-gagasan baru tentang waktu dan perubahan. Dapat dikatakan bahwa ia mengantarkan kosmologi modern, yang bebas dari geosentrisme, antroposentrisme, dan langit-langit bintang yang tetap. Pandangan dunianya bahkan mengantisipasi kerangka relativitas dalam fisika modern.

Bersama Era Pencerahan, para filsuf alam menekankan nilai sains dan akal. Menolak keyakinan dan pendapat sebelumnya, mereka menekankan pemikiran kritis dan kajian terbuka. Bagi mereka, sejarah merupakan proses progresif, dan kemajuan sains menjanjikan bebas dari dogmatisme dan takhayul. Para pemikir tercerahkan ini, membangun suasana intelektual yang penting dalam membuka jalan bagi munculnya ilmu-ilmu sosial, termasuk antropologi dan psikologi. Ilmu-ilmu sosial baru, melengkapi ilmu-ilmu alam yang sudah ada. Dengan menghargai nilai individu, panggung akademis, kini disiapkan bagi para naturalis dan filsuf hebat agar memberikan kontribusi besar dalam memahami dan menghargai waktu kosmik dan sejarah bumi.
Pada akhir masa Pencerahan, jauh sebelum nanoteknologi dan rekayasa genetika, filsuf visioner Marquis de Condorcet (1743–1794) meramalkan kemajuan berkelanjutan dalam ilmu pengetahuan alam, yang mengakibatkan manusia di masa depan, menikmati masa hidup yang tak terbatas.

Pada awal abad ke-19, para naturalis mulai mempelajari batuan, fosil, dan artefak dengan serius. Penyelidikan mereka menantang gagasan tradisional mengenai usia bumi, ketetapan spesies, dan kemunculan hewan manusia di planet kita belakangan ini. Geologi sejarah, paleontologi komparatif, dan arkeologi prasejarah, menjadi ilmu-ilmu berbeda, yang bersama-sama menawarkan kerangka waktu yang sangat luas. Selama beberapa dekade, akumulasi bukti empiris dengan jelas menunjukkan betapa besarnya usia bumi kita, evolusi spesies selama ribuan tahun, dan betapa purbanya manusia dan satwa. Sepanjang masa geologis, catatan fosil bahkan mengungkapkan bahwa banyak spesies di masa lalu, telah punah. Alam tak lagi dianggap sebagai perwujudan rancangan ilahi yang telah ditetapkan sebelumnya; tatanan yang dianggap tetap di planet kita, kini digantikan oleh perubahan yang meluas dan berkelanjutan. Waktu bumi sekarang tercatat dalam jutaan tahun, dan asal-usul alam semesta ini, terjadi di masa lalu, yang hilang dalam besarnya waktu kosmik.

Pada abad ke-20, muncul konflik yang tak terelakkan antara para fundamentalis bible, yang berpegang teguh pada penafsiran yang ketat dan harafiah atas Penciptaan sebagaimana disajikan dalam Kitab Kejadian, berhadapan dengan para evolusionis ilmiah yang menerima kerangka waktu baru, yang secara jelas didukung oleh bukti empiris dalam geologi, paleontologi, dan biologi, serta hasil teknik penanggalan radiometrik. Faktanya, konflik antara agama tradisional dan sains modern, masih berlanjut hingga kini, dan tak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir di masa mendatang.
Thomas Dixon mengilustrasikan bahwa di Roma pada tanggal 22 Juni 1633, seorang pria lanjut usia dinyatakan bersalah oleh Inkuisisi Katolik karena mencurigai dirinya sebagai sesat, lantaran 'menganut dan mempercayai doktrin yang salah dan bertentangan dengan Keilahian dan Kitab Suci'. Doktrin yang dimaksud ialah 'matahari adalah pusat dunia dan tak bergerak dari timur ke barat, bahwa bumi bergerak dan bukan pusat dunia, dan bahwa pendapat setelahnya boleh membela dan mempertahankannya dapat dinyatakan dan ditentukan sebagai bertentangan dengan Teks-teks Keramat'. Orang yang bersalah itu, filsuf Florentine berusia 70 tahun, Galileo Galilei, yang dijatuhi hukuman penjara (hukuman yang kemudian diubah menjadi tahanan rumah) dan diperintahkan melafalkan tujuh Mazmur pertobatan seminggu sekali selama tiga tahun berikutnya sebagai ' penebusan dosa yang bermanfaat'. Galileo menerima hukumannya, bersumpah sepenuhnya taat kepada 'Gereja Katolik Suci dan Apostolik', dan menyatakan bahwa ia mengutuk dan membenci 'kesalahan dan ajaran sesat' yang telah ia reka-reka– yakni keyakinan pada kosmos yang berpusat pada matahari dan dalam pergerakan bumi.

Tak mengherankan bila aib terhadap pemikir ilmiah ternama pada zamannya oleh Inkuisisi Katolik atas dasar keyakinannya tentang astronomi dan kontradiksinya dengan Bible, seharusnya ditafsirkan oleh beberapa orang sebagai bukti konflik yang tak terhindarkan antara sains dan agama, Dixon lebih jauh mengimbuhkan. Pertemuan modern antara kaum evolusionis dan kreasionis, nampak pula mengungkap antagonisme yang sedang berlangsung, kendati kali ini sainslah yang lebih berkuasa, bukan church, kata Dixon.
Apakah itu bermakna bahwa konflik tersebut perlu dihapuskan sama sekali dari kisah-kisah kita? Gak perlu, kata Dixon. Satu-satunya hal yang seyogyanya dihindari adalah gagasan yang terlalu sempit tentang jenis konflik yang mungkin terjadi antara sains dan agama. Kisahnya tak selalu tentang seorang ilmuwan yang heroik dan berpikiran terbuka, yang berselisih dengan gereja, yang reaksioner dan fanatik. Fanatisme buta [dalam Islam dikenal sebagai Asabiah atau Taasub], dalam keterbukaan pikiran, terjadi di segala sisi– begitu pula pencarian pemahaman, kecintaan pada kebenaran, penggunaan retorika, dan keterikatan dengan kekuasaan negara. Individu, gagasan, dan institusi dapat dan telah mengalami konflik, atau dapat diselesaikan secara harmonis, dalam beragam kombinasi yang berbeda-beda.

Sains ilmiah didasarkan pada pengamatan terhadap alam. Namun mengamati alam bukanlah aktivitas yang sederhana atau hasil dari pemgucilan-diri. Ambil contoh Bulan. Saat dirimu melihat ke langit pada malam yang cerah, apa yang engkau lihat? Dikau melihat bulan dan bintang-bintang. Tapi apa yang sebenarnya engkau amati? Ada banyak lampu kecil terang dan kemudian benda melingkar besar berwarna keputihan. Bila engkau belum pernah mempelajari ilmu apa pun, menurutmu, benda berwarna putih itu, ape sih? Piringan datar, seperti aspirin raksasakah? Atau itu sebuah bolakah? Jika yang terakhir, mengapa kita selalu melihat sisi yang sama? Dan mengapa bentuknya berubah dari bulan sabit tipis menjadi cakram penuh dan kembali lagi? Mirip Bumikah benda itu? Jika ya, seberapa besar ukurannya? Dan seberapa dekat? Dan adakah orang yang tinggal di sana? Ataukah ia setara dengan matahari pada malam hari yang lebih kecil? Yang terakhir, mungkinkah itu seperti salah satu cahaya kecil yang terang tetapi lebih besar atau lebih dekat? Bagaimana dan mengapa ia bergerak melintasi langit seperti itu? Adakah hal lain yang mendorongnya? Melekatkah ia pada suatu mekanisme yang tak terlihat? Makhluk gaibkah itu?
Nah coba, sekarang, jika dirimu mengetahui sains modern dengan baik, dikau bakalan mengetahui bahwa Bulan itu, satelit berbatu, berbentuk bola besar yang mengorbit bumi sebulan sekali dan berputar satu kali pada porosnya, dalam waktu yang sama (yang menjelaskan mengapa kita selalu melihat sisi yang sama). Perubahan posisi relatif matahari, bumi, dan bulan, menjelaskan pula mengapa bulan menampilkan ‘fase’–yakni keseluruhan atau cuma sebagian kecil dari separuh bulan yang diterangi, terlihat pada waktu tertentu. Boleh jadi, engkau mengetahui pula bahwa seluruh benda fisik, saling tertarik oleh gaya gravitasi, yang sebanding dengan hasil kali massanya dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara keduanya, dan hal ini membantu menjelaskan pergerakan reguler bulan, mengelilingi bumi dan bumi mengelilingi matahari. Mungkin, engkau juga tahu bahwa cahaya kecil terang di langit malam itu, adalah bintang, mirip dengan matahari kita; bahwa objek yang terlihat dengan mata telanjang, berjarak ribuan tahun cahaya, dan objek yang dapat diamati melalui teleskop, berjarak jutaan atau bahkan miliaran tahun cahaya; sehingga menatap langit malam, bermakna, melihat ke masa lalu alam semesta kita. Namun seberapa banyak pun yang engkau ketahui, dikau tak menemukannya melalui observasi. Dikau beroleh ilmu. Bisa jadi, engkau mempelajarinya dari orangtuamu, atau guru sains, atau program televisi, atau ensiklopedia online. Bahkan para astronom profesional pun, umumnya tak dapat menilik kebenaran apa yang telah kusebutkan sebelumnya, melalui pengamatan empiris mereka sendiri. Argumennya bukan karena para astronom malas atau tak kompeten, melainkan karena mereka dapat mengandalkan pengamatan resmi dan pemikiran teoretis dari komunitas ilmiah yang, selama berabad-abad, telah menetapkan fakta-fakta ini, sebagai kebenaran fisika mendasar.

Menurut Bernard Wood, usai runtuhnya Kekaisaran Romawi pada abad ke-5, gagasan Yunani-Romawi tentang penciptaan dunia dan umat manusia, digantikan dengan narasi yang dituangkan dalam Kejadian: penjelasan berdasarkan akal, tergantikan oleh penjelasan berdasarkan keyakinan atau keagamaan.
Dengan sedikit pengecualian, para filsuf Barat yang hidup pada, dan segera setelah Abad Kegelapan (abad ke-5 hingga ke-12) mendukung penjelasan bible tentang asal-usul manusia. Hal ini berubah dengan penemuan kembali dan pertumbuhan pesat falsafah alam yang kemudian disebut sains. Namun, secara paradoks, tak lama setelah metode ilmiah mulai diterapkan dalam studi asal-usul manusia pada abad ke-19 dan ke-20, beberapa kelompok agama menanggapi upaya para ilmuwan guna menafsirkan Bible secara kurang harafiah, dengan bersikap lebih ketat terhadap literalisme bible mereka. Reaksi inilah cikal bakal kreasionisme, yang secara keliru disebut sebagai ‘Ilmu Penciptaan’.

Selama Abad Kegelapan, sangat sedikit teks klasik Yunani yang bertahan di Eropa. Literatur yang cukup sedikit itu, yang masih bertahan, dibaca dan dihargai oleh para filsuf dan cendekiawan Muslim, dan beberapa di antaranya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, kata Wood. Ketika umat Islam terhalau dari Spanyol pada abad ke-12, beberapa cendekiawan Kristen abad pertengahan, cukup penasaran menerjemahkan naskah-naskah tersebut dari bahasa Arab ke bahasa Latin. Beberapa dari teks terjemahan ini berhubungan dengan alam, termasuk asal usul manusia. Misalnya, filsuf Kristen Italia abad ke-13, Thomas Aquinas, mengintegrasikan gagasan Yunani tentang alam dan manusia modern, dengan beberapa interpretasi Kristen berdasarkan Bible. Karya Thomas Aquinas dan orang-orang sezamannya meletakkan dasar-dasar Renaisans, ketika sains dan pembelajaran rasional diperkenalkan kembali ke Eropa.
Perpindahan dari ketergantungan pada dogma bible, kata Wood, terutama penting bagi mereka yang tertarik pada apa yang sekarang kita sebut ilmu-ilmu alam, seperti biologi dan ilmu bumi. Orang Inggris, Francis Bacon, berpengaruh besar terhadap perkembangan kajian ilmiah. Para teolog menggunakan metode deduktif: dimulai dengan suatu keyakinan, mereka lalu menyimpulkan konsekuensi dari keyakinan tersebut. Bacon menyarankan agar para ilmuwan bekerja dengan cara berbeda, yang disebutnya metode ‘induktif’. Induktif dimulai dengan observasi, disebut juga bukti atau ‘data’. Para ilmuwan menyusun penjelasan, yang disebut ‘hipotesis’, guna menjelaskan pengamatan tersebut. Kemudian mereka menguji hipotesisnya, dengan melakukan lebih banyak observasi, atau dalam sains semisal kimia, fisika dan biologi, dengan bereksperimen. Cara induktif dalam melakukan sesuatu merupakan cara kerja ilmu-ilmu yang terlibat dalam penelitian evolusi manusia.

Tiada yang tahu kapan manusia pertama kali muncul. Dalam sudut pandang para evolusionis, satu-satunya petunjuk bagi kita terletak pada fosil dan peralatan batu. Perjalanan ini dimulai sekitar enam mya (mya=million years ago; atau jtl=juta tahun yang lalu) di Afrika. Manusia diklasifikasikan sebagai primata, kelompok yang mencakup kera dan monyet. Kerabat terdekat kita yang masih hidup adalah simpanse, yang hampir 99 persen gennya sama dengan kita, namun perbedaan genetik yang sangat kecil inilah, yang membuat kita amat jauh berbeda dari kera. Menurut para evolusionis, salah satu nenek moyang manusia paling awal yang diketahui merupakan primata kecil yang hidup di hutan bernama Ardipithecus anamensis, yang tumbuh subur di Afar, Ethiopia, sekitar 4,5 juta tahun yang lalu. Ardipithecus mungkin nenek moyang Australopithecus—hominin yang sangat beragam yang muncul pertama kali satu juta tahun kemudian. Yang paling awal ditemukan, Australopithecus afarensis, dijuluki 'Lucy' oleh para arkeolog yang menemukannya pada tahun 1974. Kendati nampak bahwa hominin berkaki panjang ini, menghabiskan banyak waktu di pepohonan, beberapa jejak kaki yang terpelihara dengan baik, mengungkapkan bahwa spesies inilah, spesies bipedal (berjalan dengan dua kaki). Begitulah, 'Lucy' merupakan penghubung penting antara kita dan nenek moyang kita, yang tinggal di pohon.

Yang hendak kusampaikan padamu bukanlah tentang ada agama yang buruk, bukan, melainkan jika kita merenungkan tentang waktu, kita akan sampai pada pertanyaan tentang siapa diri kita dan darimana kita berasal. Socrates pernah diminta merangkum seluruh perintah filosofis, ia menjawab, 'Kenali dirimu.' Aristoteles berkata, 'Mengenal diri sendiri merupakan awal dari segala kebijaksanaan.' 'Kenali dirimu, duhai manusia, maka engkau akan mengenal Tuhanmu' ucap Ibnu Sina. Dan kita mulai menelaah Sejarah. Sejarah itu penting dan kita semua dapat belajar dari keberhasilan—dan kekeliruan—yang dilakukan nenek moyang kita, kata Adam Hart-Davis. Kita akan selalu tersadar oleh waktu. Pasang surut air-laut, erosi, fase bulan, gerhana matahari, kembalinya komet, pergantian musim, serta pergantian siang dan malam, memberikan gambaran kepada kita, bahwa alam semesta ini, selalu berubah. Kelahiran, perkembangan, dan kematian organisme, merupakan pengingat darurat akan keterbatasan bentuk kehidupan di planet kita. Dengan contoh-contoh waktu dan perubahan yang begitu menakjubkan sekaligus meresahkan, tak mengherankan, jika para pemikir besar berusaha memahami perubahan realitas. Bahkan mengukur waktu dan perubahan, hingga tingkat kepastian yang semakin besar, merupakan tantangan berkelanjutan bagi sains dan teknologi modern.

Ngomong-ngomong, sebagai orang Indonesia, tak hendakkah dikau tahu tentang mengapa dirimu disebut orang Indonesia? Tak ingin tahukah engkau segala tentang latarbelakang Keindonesiaanmu? Yuk kita cari tahu pada sesi berikutnya yaq, tentu dari perspektif 'bagaimana orang luar menilai Indonesia'. Bi 'idznillah."

Lalu, Kembang Matahari mengalunkan tembangnya Vanessa Carlton,

Take my hand, live while you can
[Peganglah tanganku, jalanilah hidup selagi bisa]
Don't you see your dreams
[Tidakkah dirimu melihat impianmu]
lie right in the palm of your hand?
[tergeletak tepat di telapak tanganmu?]
In the palm of your hand *)
[Di telapak tanganmu]
Kutipan & Rujukan:
- H. James Birx (Ed.), Encyclopedia of Time: Science, Philosophy, Theology, & Culture, 1-3, 2009, Sage
- Bernard Wood, Human Evolution: A Very Short Introduction, 2005, Oxford University Press
- Dorling Kindersley, History: The Definitive Visual Guide, 2007, DK Publishing
- Smithsonian, Timelines of Everything, 2018, DK Publishing
- Thomas Dixon, Science and Religion: A Very Short Introduction, 2008, Oxford University Press
*) "Ordinary Day" karya Vanessa Carlton
[Sesi 2]

Minggu, 24 Desember 2023

Cerita Sansevieria: Evolusi Pemikiran Politik (11)

"Seorang CEO yang masa baktinya akan berakhir esok, sedang mengacak-acak ruang-kerjanya. Bingung, sekretarisnya bertanya, 'Punten bapak, ada apa ini?'
'Biarin ajah, supaya besok yang masuk ke ruangan ini yang benerin,' kata sang pemimpin perusahaan.
'Tapiii, ... nuwun sewu bapak, apa jadinya kalau ternyata putra bapak yang masuk ke sini?' kata sang sekretaris.
'Ide bagus,' jawab sang bos singkat, 'sa' lebih bebas membuat ruangan ini, amburadul!'"

"Why do people cheat? Yang aku maksudkan dengan berbuat curang itu, menabrak aturan agar bisa maju secara akademiskah, profesionalkah, atau finansial. Ada kecurangan yang melanggar hukum, ada yang tidak. Apa pun yang terjadi, sebagian besar dilakukan oleh orang-orang yang, secara menyeluruh, mengaku dirinya sebagai anggota masyarakat terpandang,” berkata Sansevieria sembari memegang kaca pembesar dan mengamati selembar potret buram. "Boleh jadi, sebagai orang Indonesia, dikau akan berkata, 'Curang? Tunggu dulu, itu wejangan dari jagat pewayangan. Tentang Pandawa yang kalah dalam permainan dadu lantaran Patih Sengkuni kerang-keroh. Sengkuni lihai dalam berjudi dan punya sepasang dadu yang, mau-maunya ngejalanin perintah si hidung bengkok. Peristiwa ini menunjukkan kepada kita tentang ketidakjujuran dan kita akan selalu merasa sangat nyaman tatkala kita dapat memandangnya sebagai isu moral. Itu bukan budaya kita. Budaya yang lebih agung menunjukkan penghinaan dan ketidaknyamanan terhadap ketidakjujuran. Maka, siapa pun yang main curang, mereka bukan kita, melainkan handai-taulan Duryudana, yang kebelet banget nguasain tahta Kerajaan Hastina. Dan kendati para Pandawa memenangkan perang Kurukshetra, anak-cucu dan kerabat mereka telah sirna, mereka berakhir pula dengan moksha. Ketidakjujuran menjadikan kesejatian sebuah bangsa, musnah.'
Namun bagaimanapun juga, menurut Mark Moore, ambivalensi budaya kita mengenai dusta dan ketidakjujuran, dibuktikan dengan keengganan penerimaan kita, bahwa politik melibatkan beberapa bentuk kepura-puraan. Dalam budaya populer, kata Moore, kita menatap dengan terpesona, antihero Hollywood semacam karakter pengecoh Paul Newman dan Robert Redford dalam The Sting, peran gadungan Leonardo DiCaprio dalam Catch Me If You Can, dan keahlian tipu-tipunya George Clooney dalam Ocean's Eleven. Bahkan, pahlawan-johan terhebat kita pun, seringkali menjalani kehidupan yang bermuka-dua, termasuk satria bahadur ikonik Amrik semisal Superman, Spiderman, dan Batman, seorang mata-mata seperti Jason Bourne dalam sekuel Bourne, dan Rick dari Casablanca. Dan kejahatan besar acapkali harus dilawan dengan tipudaya cerdik seperti yang dipamerkan oleh tokoh utama Schindler’s List.
Tapi, kekaguman masyarakat terhadap seni kecurangan tak terlihat lebih jelas daripada meningkatnya minat nasional terhadap judi online belakangan ini. Moore memberikan contoh di tahun 2003, pemain poker amatir Chris Moneymaker memenangkan World Series of Poker melawan profesional berpengalaman Sammy Farha. Yang membuat kemenangan Moneymaker begitu menakjubkan bukanlah gaya bermainnya yang ketat atau kemampuannya membaca pemain lain (hingga dapat dikatakan bahwa ia pemain yang terlalu intuitif); melainkan kerelaannya menggertak sambal para lawannya.
Kecurangan selalu terjadi. Kecurangan ada di mana-mana, kata David Callahan. Main curang bukanlah masalah baru di seluruh dunia. Ia telah ada di hampir setiap masyarakat manusia. Di era Tiongkok, kerap terjadi kecurangan agar dapat diterima menjadi pegawai negeri. Peserta ujian, menjahit saku dalam pakaian mereka guna menyimpan contekan dan tipu-daya kreatif lainnya. Masih adanya kecurangan dalam ujian pegawai negeri, sungguh membagongkan, mengingat hukuman yang dijatuhkan kepada mereka yang tertangkap: mati.
Di Yunani Kuno, Olimpiade penuh dengan kecurangan. Para atlet berbohong tentang status amatir mereka, kompetisi dicurangi, para wasit disuap. Mereka yang tertangkap, terpaksa membayar denda bagi dana istimewa yang digunakan mendirikan patung Zeus. Yunani berakhir dengan banyaknya patung Zeus.

Engkau telah tahu bahwa Yunani kuno, punya catatan yang hampir lengkap dan tertib tentang Demokrasi. Di Athena, demokrasi yang ada, kira-kira sejak pertengahan abad kelima, kata Kurt A. Raaflaub, merupakan sebuah sistem yang patut diperhitungkan, belum pernah terjadi sebelumnya, tak tertandingi dalam sejarah dunia, menggembirakan, mampu memobilisasi keperansertaan, antusiasme, dan prestasi warga negara yang ekstraordinari, amat produktif, dan pada saat yang sama, berpotensi sangat merusak. Kita mengetahui demokrasi ini dengan baik, pada bentuknya yang terjadi pada abad keempat, usai adanya revisi undang-undang secara komprehensif antara tahun 410 dan 399. Pada masa itu, demokrasi dapat dipahami sebagai suatu sistem yang terdiri dari institusi-institusi yang ditentukan dengan cukup jelas dan beroperasi sesuai dengan aturan-aturan yang ditentukan secara hukum, yang mana sampai batas tertentu, mendekati 'konstitusi'. Bagian dari sistem ini, dijelaskan pada paruh kedua Aristotelian. Dengan menyebutkan unsur-unsur yang paling jelas saja, majelis (ekklesia) bertemu setidaknya empat puluh kali setahun. Bagi beberapa pertemuan ini, agenda telah ditentukan. Ketua majelis dan dewan dipilih melalui undian dan pada dasarnya tak dapat menjabat lebih dari satu hari. 'Dewan 500' demokratis (boule)—dibedakan dari dewan Areopagus yang terdiri dari mantan hakim (archon) yang menjadi anggota seumur hidup—dipilih melalui undian; lima ratus anggotanya, yang dibatasi masa kerjanya selama dua tahun (tidak berturut-turut), mewakili, menurut rumusan yang pelik, populasi berbagai distrik di Attica (demoi, demes, yang terdiri dari desa-desa dan bagian-bagian kota dan kota Athena). Dewan ini, secara luas mengawasi aparat administrasi, menangani soal kebijakan luar negeri, mendengarkan laporan para pejabat, dan mempertimbangkan agenda serta menyiapkan mosi untuk majelis. Dewan bebas menerima mosi tersebut, dengan atau tanpa amandemen, merujuk mereka kembali ke dewan guna dibahas lebih lanjut, atau menolak dan menggantinya dengan undang-undang yang berbeda. Majelis mengeluarkan keputusan (psephismata) mengenai isu-isu kebijakan tertentu, sedangkan undang-undang yang mempunyai keabsahan umum (nomoi) dirumuskan oleh dewan 'pemberi hukum' (nomothetai), yang disahkan pada tahun prosedur seperti persidangan, dan, jika diminta, diperiksa di pengadilan rakyat.
Majelis tersebut, dibantu oleh boule dan pengadilan (dikasteria), memutuskan kebijakan-kebijakan, mengawasi setiap langkah pelaksanaannya, dan melakukan kontrol ketat terhadap para pejabat yang bertugas mewujudkannya. Personil profesional (baik di bidang administrasi, agama, atau pemeliharaan ketertiban umum) sangat minim, sebagian besar terdiri dari beberapa ratus budak milik negara yang menjalankan fungsi tertentu di berbagai pejabat atau sebagai pasukan polisi yang belum sempurna. Sebenarnya, seluruh urusan administrasi berada di tangan berbagai komite dengan berbagai ukuran (berjumlah sekitar tujuh ratus anggota), yang membantu, dan pada gilirannya diawasi oleh, boule dan berbagai pejabat. (Pada abad ke-5, ratusan pejabat lainnya menjalankan berbagai fungsi di seluruh kekaisaran). Sebagian kecil dari pejabat tersebut, terutama mereka yang memegang tanggungjawab keuangan dan militer yang besar, dipilih; yang lainnya diseleksi melalui undian, begitu pula dengan hakim kepala, dan ribuan hakim warga (di jaman cendekiawan modern, biasanya disebut para juror atau juri), yang pada setiap hari pengadilan mempekerjakan berbagai juri besar (atau, lebih tepatnya, majelis hakim) yang mengadili beberapa kasus secara bersamaan di berbagai lokasi. Para juri ini, dipilih melalui prosedur mekanis yang canggih (dengan mesin penjatahan, kleroterion) yang menghilangkan gangguan dan membuat penyuapan hampir tak mungkin dilakukan. Pengadilan hukum sendiri, merupakan bagian penting dari kehidupan dan prosedur demokrasi: banyak urusan politik dilakukan di sana, bisa dikatakan, sebagai kelanjutan dari politik dengan cara yang berbeda.
Oleh karenamya, beberapa ribu warga negara, aktif secara politik setiap tahun dan banyak dari mereka cukup aktif selama bertahun-tahun—dari populasi warga negara lelaki dewasa, yang pada abad keempat berjumlah hampir 30.000 orang. Yang amat mengesankan, 'lebih dari sepertiga warga negara yang berusia di atas delapan belas tahun, dan sekitar dua pertiga dari seluruh warga negara yang berusia di atas empat puluh tahun' pernah bertugas di dewan yang beranggotakan 500 orang, setidaknya selama satu tahun dalam hidup mereka, sebuah jabatan yang sangat menyita waktu. Dengan demikian, jelas bahwa demokrasi ini, tak semata bersifat 'langsung' dalam makna bahwa keputusan dibuat oleh rakyat yang berkumpul, namun pula 'paling langsung' yang dapat dibayangkan dalam artian bahwa rakyat melalui majelis, dewan, dan pengadilan, mengendalikan seluruh proses politik, dan bahwa, sejumlah besar warga negara, terus-menerus turut dalam urusan publik. Selain itu, sistem rotasi jabatan, memastikan bahwa mereka yang tak berperan pada waktu tertentu, akan menjabat pada kedudukan lain (jika mereka menginginkannya) dan bahwa masyarakat melalui keterlibatan mereka di berbagai jabatan dan fungsi, mencapai tingkat pemahaman yang tinggi mengenai administrasi komunitas mereka dan kebijakannya. Selain itu, warga negara tersebut, juga secara teratur bertugas di pasukan infanteri polis mereka atau membantu mendayung armadanya, meskipun tentara bayaran memainkan peran yang lebih penting dalam peperangan abad keempat dibandingkan sebelumnya.
Jadi, Yunani di masa itu, seluruh masyarakat berperan aktif, tak semata dalam pemilihan para pemimpin, melainkan di seluruh bidang kehidupan. Bukan cuma joget-joget, uang-sangu dan makan siang gratis—dan sesungguhnya gak ada makan siang gratis; such things are free, actually are not free—kemudian pasrah bongkokan kepada para politisi. Sesungguhnya, Demokrasi terbentuk melalui institusi, praktik-praktik, mentalitas, dan, pada akhirnya, ideologi. Di Yunani, berbagai komponen demokrasi ini mencapai masa jayanya pada abad kelima dan keempat. Jika demokrasi bermakna bahwa seluruh warga negara, seluruh demo, menentukan kebijakan dan menjalankan kendali melalui majelis, dewan, dan pengadilan, dan bahwa para pemimpin politik, yang berusaha membentuk opini publik, berada di bawah demo, maka demokrasi pertama yang dapat kita identifikasi dengan pasti adalah Athena pada tahun 460an, yang muncul sebagai akibat dari faktor-faktor historis yang spesifik dan bahkan bersifat kontingen.

Demokrasi berjaya bila pemerintah, dalam makna yang luas, mewakili kehendak rakyat. Keterwakilan demokratis dapat terjamin jika warga negara yang punya informasi, secara bebas memilih pemimpinnya, dan para pemimpin tersebut mencalonkan diri kembali dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian, warga negara, yang memilih pemimpin yang paling mewakili pandangan mereka, dan meminta pertanggungjawaban para pemimpin tersebut (atau partai politiknya) atas kinerjanya pada pemilu berikutnya, akan membuat demokrasi berjalan baik. Setidaknya, teorinya begicu. Tentu saja, pemungutan suara merupakan topik yang cukup menarik perhatian dalam ilmu politik, dan penelitian klasik tentang perilaku politik semuanya berfokus, dalam satu atau lain cara, pada keputusan pemungutan suara.
Kampanye presiden pada dasarnya, merupakan peristiwa dinamis, yang terjadi dalam jangka waktu tertentu. Permulaannya jelas, saat para kandidat angkat topi, dan juga akhir yang jelas–Hari Pemilu. Sepanjang musim kampanye, warga dibanjiri informasi tentang para kandidat, baik bagi mereka yang menaruh perhatian pada politik maupun tidak. Bahkan ada yang tak mau baca koran atau majalah, tak nonton televisi dan tak mau mendengarkan radio, dan tak melakukan kontak dengan orang lain, demi menghindari memperoleh setidaknya sedikit informasi tentang kandidat yang mencalonkan diri sebagai presiden.
Namun, jumlah informasi yang tersedia selama kampanye, bervariasi, bergantung pada siklus kampanye itu sendiri. Teks-teks klasik teori demokrasi, berasumsi bahwa agar demokrasi dapat berfungsi dengan baik, warga negara hendaknya menaruh perhatian, beranimo, berbincang-bincang, dan berpartisipasi aktif dalam politik. Perhatian dan diskusi memberikan informasi tentang urusan politik, yang memungkinkan warga negara mengambil keputusan politik (yakni nyoblos) berdasarkan prinsip-prinsip yang dipertimbangkan secara cermat, yang mencerminkan kepentingan pribadi dan kebaikan bersama. Seluruh warga negara, mungkin tak mampu memenuhi standar-standar ini–boleh jadi, ada yang tak terlalu tertarik, atau kurang informasi, atau kurang terampil memahami politik, dan sebagai konsekuensinya, memilih karena kebiasaan atau prasangka sempit, atau tak memilih sama sekali—namun selama mayoritas warga negara benar-benar memenuhi standar-standar ini, maka kemenangan akan berpihak pada kearifan kolektif masyarakat. Perbedaan di antara para pemilih—kemajuan politik mereka secara umum, kecenderungan politiknya, dan pendidikan, gender, dan usia mereka—mempengaruhi pemrosesan informasi dan strategi pilihan. Semua karakteristik ini, merupakan hal-hal yang dibawa oleh para pemilih, dikala mereka menjalani kampanye politik yang sebenarnya.

Dalam pemilu, potensi kecurangan membayangi pemilu di negara-negara penyelenggara pemilu. Investigasi yang dilakukan para jurnalis, akademisi, pengacara, partai politik, pengamat resmi non-partisan, dan warga negara yang berkepentingan, telah menarik perhatian pada kasus-kasus kecurangan pemilu yang nyata-nyata terjadi di banyak negara di dunia.
Para akademisi dan praktisi memakai beragam istilah guna menentukan kualifikasi pemilu secara normatif, termasuk antara lain bebas dan adil, bersih, berpotensi kecurangan, korup, dan dimanipulasi. Demikian pula, aksi yang menjadikan pemilu tak dapat diterima dipotretkan sebagai election fraud (kecurangan pemilu), electoral corruption (korupsi pemilu), electoral manipulation (manipulasi pemilu), electoral malfeasance (penyimpangan pemilu), patronage [kekuasaan untuk mengontrol pengangkatan jabatan atau hak atas hak istimewa], dan clientelism [tatanan sosial yang bergantung pada hubungan patronase; khususnya, pendekatan politik yang menekankan atau mengeksploitasi hubungan tersebut].
Schedler menjabarkan 'rantai pilihan demokratis' berdasarkan karya klasik Robert Dahl tentang teori demokrasi, sehingga pemilu dianggap dapat diterima ('demokratis' dalam bahasa yang digunakan Schedler) jika dan hanya jika, tujuh mata rantai dalam sebuah rantai tetap 'utuh dan tak terputus'. Kaitan dalam rantai pilihan demokratis dapat diringkas sebagai berikut: Empowerment: jabatan yang diisi melalui pemilu harus mempunyai kekuasaan yang nyata; Free supply: kandidat yang dapat dipilih dalam jumlah yang cukup luas, selain kandidat yang disponsori negara, harus tersedia; Free demand: pemilih harus bebas menentukan pilihannya, yang antara lain berarti bahwa sumber informasi publik yang majemuk tentang para kandidat, harus tersedia; Inclusion: amggaran-dasarnya harus bersifat universal; Insulation: pemungutan suara harus bebas dari suap dan paksaan; Integrity: suara harus dihitung secara jujur dan ditimbang berdasarkan prinsip 'satu orang, satu suara'. Irreversibility: pemenang harus dapat mengakses jabatan, menjalankan kekuasaan, dan menyelesaikan masa jabatannya.
​Kecurangan pemilu–mengisi kotak suara, merusak penghitungan suara, dan melakukan pemungutan suara ganda, misalnya–merupakan pelanggaran terhadap mata rantai keenam dalam rantai pemilu, yaitu integrity. Jual-beli suara dan intimidasi pemilih melanggar mata rantai kelima, yaitu insulation. Schedler juga berpendapat bahwa mata rantai kelima mencakup kerahasiaan surat suara. Hambatan sewenang-wenang terhadap pendaftaran pemilih melanggar mata rantai keempat, inclusion. Pembatasan media yang mendukung kandidat yang disponsori pemerintah, serta beberapa pelanggaran dana kampanye, bertentangan dengan mata rantai ketiga, free demand. Larangan terhadap partai atau kandidat oposisi, seperti yang terjadi di Iran atau di Mesir pada masa pemerintahan Mubarak, melanggar mata rantai kedua, yakni free supply.
Alberto Simpser berpendapat bahwa manipulasi pemilu dapat mempengaruhi perilaku berbagai aktor politik–seperti birokrat, pemilih, dan pemimpin partai–yang berpotensi memberikan keuntungan bagi pelaku yang tak hanya mencakup pemilu, melainkan pula, periode pasca pemilu, pemilu berikutnya, dan wilayah di luar pemilu. Misalnya, manipulasi pemilu yang terang-terangan dilakukan sebelum pemilu, seperti pembelian suara oleh petahana, dapat membuat pendukung oposisi enggan memilih. Sebagai contoh lain, margin yang besar juga dapat memperkuat posisi tawar pemenang pasca pemilu sehubungan dengan serikat pekerja, organisasi bisnis, dan aktor-aktor lain, dengan menunjukkan bahwa tiada satu aktor pun yang sangat diperlukan dalam koalisi pemenang.

Lebih lanjut Simpser berargumen bahwa kecurangan pemilu, dimaksudkan agar mungkin hanya sekedar menang dan atau lebih dari sekedar menang. Ketika rezim otoriter kalah dalam pemilu, kekuasaan tak secara otomatis berpindah. Rezim-rezim ini, melakukan suatu bentuk manipulasi seusai hari pencoblosan jika mereka tak sukses menerima hasil pemilu dan mempertahankan kekuasaan melalui cara lain. Presiden Filipina Ferdinand Marcos terlibat dalam kecurangan yang terdokumentasi dengan baik pada pemilu presiden tahun 1986, yang melibatkan kecurangan ritel (penyuapan dan intimidasi) dan kecurangan grosir pasca pemilu (memanipulasi penghitungan suara). Hal serupa, juga terjadi pada Presiden Zimbabwe Robert Mugabe, yang secara sistematis, terbawa-bawa dalam kekerasan dan intimidasi guna memastikan bahwa oposisi melemah, dan ia pun memenangkan pemilu. Tentu saja, tak semua pemerintahan otoriter melakukan fraud demi mempertahankan kekuasaan; Partai Sandinista di Nikaragua, menyerahkan kekuasaan kepada pihak oposisi saat mereka kalah dalam pemilu tahun 1990. Demikian pula, banyak negara yang memiliki sejarah panjang pemerintahan demokratis, telah menyelenggarakan pemilu dimana ketidakberesan dan masalah administratif menimbulkan pertanyaan mengenai integritas pemilu, dimana pemerintah yang ada, telah berupaya mempertahankan kekuasaan, seperti pada pemilihan parlemen tahun 2006 di Italia.
Jelas terlihat bahwa pemahaman mengenai Kecurangan Pemilu berakar pada lingkungan budaya dan politik masing-masing negara. Misalnya saja, tuduhan kecurangan dalam pemilihan presiden Meksiko tahun 2006. Beberapa dakwaan berpusat pada penggunaan kampanye dari pintu ke pintu yang dilakukan oleh salah satu partai politik dan apakah kampanye tersebut merupakan tekanan partisan yang tak semestinya terhadap pemilih. Demikian pula, keputusan Presiden Vicente Fox mengendors salah satu kandidat yang mencalonkan diri agar menggantikannya [hayoo, mirip siapaa], di Meksiko, dipandang sebagai tekanan yang tak sah terhadap pemilih dan penggunaan dana negara yang tidak adil untuk mempromosikan salah-satu kandidat.

Manusia bukanlah sekadar makhluk dari lingkungan ekonomi dan hukumnya. Kita tak memutuskan akankah mengambil jalan pintas semata berdasarkan perhitungan rasional mengenai potensi keuntungan dan kerugian. Kita menyaring keputusan-keputusan ini melalui sistem nilai kita. Dan walaupun banyak dari kita yang berbuat keliru dalam sistem yang menganggap kecurangan sebagai hal yang normal atau diperlukan bagi kelangsungan hidup atau demi mendapatkan cuan besar, sebagian dari kita akan bersikeras bertindak dengan integritas, walau tindakan tersebut bertentangan dengan kepentingan pribadi kita. Inilah salah satu ciri yang membedakan Homo sapiens yang berdaging dan berdarah dengan aktor teori akademis yang selalu rasional, Homo economicus.
Stephen Carter menyarankan bahwa integritas memerlukan tiga langkah: membedakan apa yang benar dan salah, bertindak berdasarkan apa yang telah dikau pahami, dan mengatakan secara terbuka bahwa engkau bertindak berdasarkan pemahamanmu tentang benar dan salah. Tentu saja, guna menunjukkan integritas, dirimu perlu mengetahui perbedaan antara benar dan salah—hal ini lebih mudah diucapkan daripada kini dilakukan.
Gagasan tentang benar dan salah, tak hanya dibentuk oleh keluarga dan teman-teman kita dan oleh lingkungan kerja atau akademis, tapi juga oleh budaya yang lebih luas. Saat kita menjalani hidup, nilai-nilai budaya yang berlaku, atau norma-norma sosial, membentuk gagasan kita tentang apa yang dimaksud dengan kehidupan yang baik, seberapa keras kita semestinya bekerja dan untuk tujuan apa, bagaimana kita seyogyanya berpakaian dan berdandan, dan banyak lagi. Beberapa dari kita, mungkin muncul di masa dewasa awal dengan pandangan etis mengagumkan yang diambil dari pendidikan agama, atau, boleh jadi, dari orang tua dan guru yang jarang mengartikulasikan gagasan tentang karakter dan etika.
Nilai-nilai suatu kebudayaan sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan besar yang mengubah masyarakat: perang atau perdamaian, booming dan resesi, pergeseran demografis dan perubahan teknologi. Values juga dapat dibentuk oleh gerakan sosial, kebangkitan agama, aktivisme intelektual, dan tren yang didorong oleh selebriti—oleh 'orang-orang berpengaruh' yang menyuarakan cara hidup tertentu. Media massa kini semakin memudahkan nilai-nilai masyarakat, berubah dengan cepat.

Dan terakhir, banyak para kolektor kepo, bagaimana cara membunuhku. Perlu engkau ketahui bahwa bangsaku, punya beragam wujud: tombak, samurai, kipas, pentungan bisbol, payung, puting-beliung, tanduk rusa, sirip ikan paus dan masih banyak lagi, namun semuanya dikenal hanya sebagai satu bangsa, bangsa Sansevieria. Bahasa kami pun satu, melawan para polutan. Nah bagaimana cara membunuhku? Engkau tak dapat membunuhku dengan mencabut tubuhku dari muka bumi, atau memotong akarku—akarku dapat tumbuh kembali, atau memotong daunku—daunku dapat menumbuhkan akar dan menghasilkan anakan. Membenamkan diriku ke dalam air? Gak juga tuh. Mengubur daku hidup-hidup? Inget dong prinsip akar dan daun: akar mendapat makanan dari bumi dan daun mencari asupan cahaya dari sinar matahari, singkatnya, akar ke bawah dan daun ke atas, maka, aku dapat tiba-tiba muncul di permukaan bumi.
Lha trus, gimana dong? Daku bisa mati karena kesalahanku sendiri, rakus akan air—dan bisa lebih cepat bila dicampur dengan pupuk NPK-nya orang Rusia. Ya, bila diriku terlalu banyak mengkonsumsi air, daunku akan bengkak, akarku membusuk dan aku bakalan mati pelan-pelan. Seperti halnya dikau manusia, terlalu banyak mengkonsumsi gula, tubuhmu akan membengkak dan membusuk, kena diabet kaan? Too much love will kill you, 'cause you love too much sugar to consume. Jadi, kita semua mati oleh ketamakan kita sendiri. Wallahu a'lam."

Dan sebagai penutup, Sansevieria melantunkan tembangnya the Beatles,

Michelle, ma belle,
[Mishel, syantikku]
sont les mots qui vont tres bien ensemble
[segala kata-kata ini, sungguh bersetala,]
tres bien ensemble
[amat sangat bersenada]
And I will say the only words I know
[Dan kan kuungkapkan kata-kata yang kutahu]
that you'll understand, my Michelle *)
[bakal dikau maklumi kamsudnya, Mishel-ku]
Kutipan & Rujukan:
- Salman Akhtar & Henri Parens (Ed.), Lying, Cheating, and Carrying On, 2009, Jason Aronson
- David Callahan, The Cheating Culture, 2004, Harcourt Inc.
- Kurt A. Raaflaub, Josiah Ober, and Robert W. Wallace, Origins of Democracy in Ancient Greece, 2007, University of California Press
- Richard R. Lau and David P. Redlawsk, How Voters Decide: Information Processing during Election Campaigns, 2006, Cambridge University Press
- R. Michael Alvarez, Thad E. Hall, Susan D. Hyde, (Ed.), Election Fraud : Detecting and Deterring Electoral Manipulation, 2008, The Brooking Intitutions Press
- Alberto Simpser, Why Goverments and Parties Manipulate Elections: Theory, Practice, and Implications, 2013, Cambridge University Press
*) "Michelle" karya John Lennon & Paul McCartney