Senin, 31 Juli 2023

Obrolan sang Barista (3)

"Masuk ke rimba-raya Sumatera pada safari pertamanya, seorang turis dari Negeri Tirai Bambu, merasa yakin bisa mengatasi keadaan darurat apa pun. Ia mendekati pemandu pribumi yang berpengalaman dan berkata dengan angkuh, 'Haiyyaa... Owe tahu kalo bawa obol bakalang biking macan takuklaah.'
'Iya, loe bener,' jawab sang pemandu. 'Taapii, entu tergantung seberapa cepet loe lari bawa obornya.'"

"Kita lanjutken," kata 'teh Barista. "Di sebagian besar abad ke-20, istilah 'welfare' dan 'well-being' digunakan kurang lebih secara sinonim dalam perbincangan tentang pembangunan manusia, keadilan sosial, dan kebijakan publik. Namun, dalam perspektif ilmu ekonomi, perkataan 'walfare' dan 'well-being' ini, punya makna yang sangat berbeda. Welfare lebih sering mengacu pada kondisi seluruh negara atau perekonomian, yang terkadang ditekankan dengan menggunakan frasa 'social welfare' [kesejahteraan sosial].
Well-being, secara sederhana, dapat digambarkan sebagai menilai hidup secara positif dan merasa baik. Untuk tujuan kesehatan masyarakat, physical well-being (semisal merasa sangat sehat dan penuh energi) juga dipandang penting bagi overall well-being. Well-being biasanya digunakan pada orang atau sekelompok orang, sebab bermakna keadaan sehat, bahagia, atau makmur. Petugas kesehatan bertanggungjawab atas kesehatan dan well-being semua pasien. Bertanggungjawab atas kekeliruanmu merupakan cara sederhana untuk meningkatkan well-beingmu. [Dari sini, 'well-being' mungkin dapat kita terjemahkan sebagai 'kualitas hidup', dan untuk selanjutnya, dalam konteks ini, kita gunakan secara bergantian]

Dari perspektif filosofis, well-being menempati peran sentral dalam etika dan filsafat politik, termasuk dalam teori-teori besar seperti Utilitarianisme. Ia juga jauh melampaui filsafat: studi terbaru tentang sains dan psikologi kualitas hidup telah mendorong topik ini ke tengah panggung, dan pemerintah menghabiskan jutaan dana untuk menggalakannya. Kita didorong untuk mengadopsi cara berpikir dan perilaku yang mendukung kualitas hidup individu atau 'wellness'.
Well-being atau kualitas hidup, punya sejarah panjang sebagai lokus eksplorasi filosofis. Hal ini tentulah tak mengejutkan. Banyak filosofi praktis berfokus pada pertanyaan tentang bagaimana kita seyogyanya hidup secara umum, apa yang hendaknya kita lakukan, atau apa yang dituntut moralitas dari kita. Akan tetapi, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, hendaklah peka terhadap pertanyaan tentang bagaimana cara terbaik bagi kita agar hidup.
Untuk berfokus pada kualitas hidup, Guy Fletcher memberi kita sebuah contoh. Misalkan, kondisi medismu telah mencemari darahmu dan dapat disembuhkan dengan dua cara berbeda: menerima donor darah atau menerima ginjal baru.
Sebagai temanmu, aku terpaksa membantu. Ternyata, akulah donor yang cocok untuk masing-masing darah dan ginjalmu. Mari kita asumsikan bahwa engkau bakal sembuh sepenuhnya dengan salah satu pengobatan (dan bahwa risiko kegagalan identik dalam setiap kasus). Sekarang, mari kita lihat dua opsinya. Menyumbangkan ginjalku, jauh lebih menyakitkan dan lebih memakan waktu. Juga perlu periode pemulihan yang lebih lama. Sebaliknya, mendonorkan darah, hanya sedikit menyakitkan, hampir tak memakan waktu, dan engkau tetap punya dua ginjal.
Mengingat fakta-fakta ini, tampaknya kita dapat menyimpulkan bahwa setiap opsi, sama baiknya untukmu. Sebaliknya, mendonorkan ginjalku, jauh lebih mahal daripada sekadar mendonorkan darahku. Lebih buruk bagiku menyumbangkan ginjalku daripada kehilangan darah.
Jenis nilai yang kita pikirkan manakala kita berupaya menentukan apakah donor darah lebih baik untukmu daripada donor ginjal, merupakan prudential value atau nilai kehati-hatian, dari kualitas hidup, dari seberapa baik hidupku berjalan untukmu. Cara lain menjelaskannya, bahwa mata uang dimana donor darah lebih baik bagiku ketimbang donor ginjal ialah, mata uang well-beingku.

Fletcher kemudian memberikan ilustrasi lain untuk fokus pada kualitas hidup. Engkau berusia 25 tahun dan sekarang menghadapi pilihan antara dua karier yang berbeda. Engkau bisa masuk sebagai rocker di sebuah grup band, atau engkau boleh menjadi peneliti fisika dasar (bakatmu beragam!). Untuk menyiasati masalah ketidakpastian, andaikan, kita punya fakta lengkap tentang seperti apa kedua kehidupan itu (tetapi ingatanmu bakal terhapus seusai membuat pilihan).
Aci-acinya, kehidupan sebagai rocker bakalan sangat menyenangkan. Engkau akan menghabiskan banyak waktu bermain musik yang engkau sukai, engkau menghabiskan waktu bersama teman-temanmu, engkau bakal berkeliling dunia, menghadiri perhelatan terbaik, dan mengunjungi tempat-tempat yang jauh. engkau akan menduduki puncak tangga lagu di setiap negara besar dengan album pertamamu. Namun, walau pernah menjadi sangat tenar, grup bandmu, bakalan menjadi korban perubahan selera musik, sehingga kariermu bakalan berakhir pada usia 40 tahun. Selain itu, tahun-tahun yang berlebihan akan memakan korban, sehingga engkau akan mengalami lima tahun kesehatan yang buruk, sebelum meninggal dalam kesendirian di usia 45 tahun.
Sebaliknya, kehidupan sebagai ilmuwan riset, akan sangat bermanfaat secara intelektual. Engkau akan menghabiskan banyak waktu memikirkan dan meneliti masalah-masalah yang mendasar bagi sifat alam semesta, dan oleh karenanya, menurutmu sangat menarik. Engkau bakal membuat penemuan tentang sifat dasar alam semesta, menulis buku akademis yang pengaruhnya, meskipun sederhana, bertahan selama berabad-abad. Hidupmu akan relatif menyendiri. Engkau bakalan punya kenalan profesional yang ramah denganmu, tetapi di luar pasangan hidup dan anak-anakmu, engkau hanya memiliki sedikit kawan-kawan yang solid. Namun, hidupmu akan memberikan ruang bagi waktu senggang dan kebiasaan sehat, dan engkau akan aktif sampai kematianmu yang damai di usia 70 tahun.
Dua kehidupan ini, sangat berbeda, dan kita dapat mengevaluasinya dengan beragam cara. Akan tetapi, berfokus secara eksklusif pada nilai kehati-hatiannya, pada seberapa baik keduanya bagi orang yang menjalaninya, mana yang lebih engkau sukai? Jika engkau mengalami kesulitan menjawab pertanyaan ini, itu mencerminkan sulitnya membandingkan kehidupan ini dalam hal kualitas hidup atau nilai kehati-hatian. Sulit memutuskan seberapa baik masing-masing kehidupan ini bagi orang yang menjalaninya dan, dengan demikian, mana yang lebih baik mereka jalani. Kesulitan yang engkau hadapi adalah kesulitan menentukan seberapa baik setiap kehidupan berjalan, sehubungan dengan well-being.

Beberapa filsuf kontemporer menggunakan 'happiness' [kebahagiaan] guna mengartikan well-being, dan beberapa psikolog menggunakan 'subjective well-being [kualitas hidup subjektif] guna memaknai kebahagiaan, kata Neera K. Badhwar. Namun, sebagian besar filsuf kontemporer menggunakan 'happiness' untuk mengartikan keadaan psikologis yang positif (baik disposisi maupun peristiwa), dan 'well-being' untuk memaknai kehidupan yang baik bagi orang yang menjalaninya.
Kendati fakta bahwa 'kebahagiaan' dan 'kualitas hidup' merupakan konsep yang berbeda, bukan berarti bahwa keduanya tak bertautan. Memang, menurut beberapa filsuf, tiada yang melebihi dari kualitas hidup dibanding kebahagiaan: jika hidupmu bahagia, engkau memiliki kualitas hidup. Di sisi ekstrim lainnya, beberapa filsuf berpendapat bahwa kita dapat mempunyai kualitas hidup tanpa kebahagiaan sama sekali. Namun, sebagian besar filsuf menempuh jalan tengah, dengan dalil bahwa kebahagiaan itu, penting bagi kualitas hidup, namun tak identik dengannya.

Andrew E. Clark, Sarah Flèche, Richard Layard, Nattavudh Powdthavee, dan George Ward, membicarakan tentang 'Apa yang membuat orang dewasa bahagia? Apakah lebih banyak uang membeli lebih banyak kebahagiaan?' Dari dua survei akademik mereka, mereka memberikan jawaban bahwa memang demikian, tetapi kurang dari yang mungkin dipikirkan banyak orang. Ada dua pandangan ekstrem, keduanya sama-sama keliru. Di satu sisi ada studi yang kurang hati-hati, yang mengklaim bahwa uang tak membuat perbedaan. Ini tentu keliru jika kita berbicara tentang kepuasan hidup sebagai hasilnya. Di sisi lain, ada jutaan orang yang mengira bahwa lebih banyak uang akan mengubah kualitas hidup mereka secara total. Bagi kebanyakan orang, ini juga delusi.

Pengaruh 'income' [penghasilan] terhadap kebahagiaan, sebenarnya merupakan salah satu efek ukuran terbaik dalam semua penelitian tentang kebahagiaan, bukan karena penghasilan itu, penentu kesejahteraan yang paling penting, melainkan karena amat banyak orang telah begitu lama memikirkannya. Memang, beberapa ekonom menganggap 'full income' setara dengan well-being.
Kebahagiaan tak sama dengan penghasilan. Tapi memang, penghasilan mempengaruhi kebahagiaan. Tetapi berapa banyak kepuasan hidup ekstra yang dapat dihasilkan oleh penghasilan tambahan? Perolehan kebahagiaan dari penghasilan ekstra dolar [atau rupiah] sangat bervariasi dengan penghasilan. Padahal, perolehan kebahagiaan berbanding terbalik dengan penghasilan. Jadi, tatkala orang miskin mendapat satu dolar dari seseorang yang sepuluh kali lebih kaya darinya, orang miskin memperoleh kebahagiaan sepuluh kali lebih banyak dibanding yang hilang dari orang kaya. Apa yang disebut 'Diminishing Marginal Utility of Income ' [Pengurangan Daya-guna Marginal Penghasilan] ini merupakan pasal keyakinan ekonomi abad ke-19 dan merupakan argumen sentral untuk redistribusi penghasilan. Sekarang dibuktikan dengan bukti kuat, baik lintas individu maupun lintas negara.

Pendidikan tentu meningkatkan penghasilan. Pendidikan merupakan jalan menuju karir, dan itulah alasan utama pentingnya pendidikan. Ia menguntungkan masyarakat, dan masyarakat membayar individu terpelajar untuk keuntungan itu. Pendidikan memberikan pula lebih dari sekedar penghasilan tambahan bagi orang yang berpendidikan. Ia memberikan pengalaman yang menarik dan berpotensi menyenangkan bagi para pelajar; ia mendidik orang sebagai warga negara dan pemilih; ia menghasilkan pembayaran pajak yang lebih tinggi; ia mengurangi kejahatan. Dan ia memberi individu yang bersangkutan sumber daya pribadi, pekerjaan yang menarik, dan kapasitas tambahan bagi kesenangan di sepanjang hidup mereka.
Kejahatan merupakan problema, baik bagi pelakunya maupun bagi masyarakat. Bagi penjahat, hal tersebut dapat menyebabkan pengucilan sosial dan kehidupan yang tak memuaskan. Bagi masyarakat, hal itu menurunkan kualitas hidup. Mengapa dalam masyarakat kita beberapa orang melakukan kejahatan sementara yang lain tidak? Kita sudah bisa memprediksi sampai batas tertentu, siapa yang akan melakukan kejahatan di kemudian hari. Mereka yang punya masalah perilaku di awal kehidupannya, dan pada tingkat lebih rendah, mereka tak punya pendidikan akademis yang memadai. Rendahnya performa intelektual, juga membuat penghakiman yang buruk, lebih mungkin terjadi. Sebaliknya, anak-anak yang tak bahagia, tak berkecenderungan menjadi bajingan—mungkin mereka kurang berhasrat atau energi yang dibutuhkan untuk melakukan kejahatan. Kejahatan mempengaruhi kesejahteraan manusia. Juga termasuk efek pada bajingan itu sendiri, dan pula pada orang lain.

Pekerjaan merupakan faktor lain yang membuat orang dewasa bahagia. Pekerja penuh waktu menghabiskan setidaknya seperempat dari hidup mereka di tempat kerja. Namun sayangnya, rata-rata, mereka menikmati waktu itu, lebih sedikit dibanding hal lain yang mereka lakukan. Waktu terburuk dari semuanya ialah ketika mereka bersama bos mereka. Meski begitu, orang lebih tak menyukai jika mereka menganggur.
Itu bukan semata lantaran mereka kehilangan uang karena tak bekerja. Mereka kehilangan sesuatu yang bahkan lebih berharga—rasa ikut berkontribusi, rasa memiliki, dan rasa diinginkan. Rasa sakit yang disebabkan oleh pengalaman menganggur merupakan salah satu temuan terbaik yang didokumentasikan dalam semua penelitian tentang kebahagiaan. Sebagian besar orang yang menganggur, berjuang dan kurang bahagia dibandingkan saat mereka bekerja. Untuk alasan yang sama, mereka menjadi lebih bahagia ketika mereka kembali bekerja.
Jika menganggur itu menyakitkan, akankah engkau terbiasa setelah beberapa saat sehingga menjadi tak terlalu menyakitkan? Jawabannya, 'Tidak.' Pengangguran mengurangi kepuasan hidup. pengangguran menyebabkan rasa sakit tak hanya pada saat itu, tapi juga pada tingkat yang lebih rendah selama tahun-tahun berikutnya, bahkan setelah orang tersebut kembali bekerja.
Ketika gawaian langka, membuat sebagian orang menganggur; pula, menimbulkan ketakutan dan ketidakpastian bagi lebih banyak orang, bahkan jika mereka saat ini punya gawai. Akibatnya, manakala pengangguran meningkat di suatu wilayah, hal ini mengurangi kepuasan hidup penduduk yang bekerja di wilayah tersebut.
Pada saat yang sama, bagi mereka yang menganggur, tingkat pengangguran yang tinggi mengurangi rasa-aib menjadi pengangguran, dan juga memperluas kelompok sosial yang dapat berinteraksi dengan mereka. Bisakah ini membantu? Jawabannya, 'Ya', ia membantu tapi tak banyak. Tapi apa yang menentukan individu mana yang menjadi pengangguran? Masalah utamanya adalah menjelaskan siapa yang memiliki riwayat pengangguran, bukan siapa yang menganggur pada saat tertentu. Tapi apakah orang menikmati pekerjaan mereka? Baru belakangan ini, ilmu sosial menunjukkan betapa sedikitnya orang yang benar-benar menikmati pekerjaan mereka, bila dibandingkan dengan banyak aktivitas lainnya.

Faktor lain yang terkait dengan kebahagiaan orang dewasa adalah membangun keluarga. Kebanyakan orang menginginkan pasangan, dan sebagian besar ingin, suatu saat nanti, punya anak. Benarkah, dalam hal apa yang akan memberi mereka kepuasan dan pemenuhan? Isu-isu inilah yang penting bagi setiap bentuk kebijakan publik yang bertujuan mendukung masyarakat dalam mencapai kehidupan yang baik. Data perjalanan hidup memberikan bukti penting tentang semua ini. Semuanya dengan tegas menunjukkan pentingnya hubungan pribadi yang dekat dengan kehidupan yang memuaskan. Jika menyangkut anak-anak, jawabannya lebih bernuansa.

'Apa yang paling engkau inginkan dalam hidup?' Banyak orang mengatakan sehat jasmani dan rohani. Rasa sakit fisik merupakan salah satu yang terburuk dari semua pengalaman manusia—penyiksaan tubuh menjadi kasus yang ekstrim. Dan rasa sakit mental sama buruknya dengan kebanyakan rasa sakit fisik, dan sangat mirip—dialami di area otak yang sama dengan komponen afektif dari rasa sakit fisik. Sesungguhnya, penyakit mental merupakan penyebab paling umum dari bunuh diri.
Maka, baik penyakit jiwa maupun penyakit fisik, penyebab utama kesengsaraan manusia. Tetapi banyak penelitian kepuasan hidup yang ada, mengabaikan penyakit mental. Secara implisit, mereka beranggapan bahwa kesengsaraan dan penyakit mental merupakan hal yang sama. Ini amat keliru. Banyak hal yang dapat menyebabkan rendahnya kepuasan hidup, ada yang secara langsung dan ada juga yang secara tak langsung menyebabkan penyakit mental. Tetapi ada juga sumber penyakit mental yang tak berkorelasi dengan penyebab eksternal yang jelas, semisal kemiskinan, pengangguran, perpisahan, atau kematian.

Norma dan institusi sosial adalah barang publik yang mempengaruhi semua individu yang hidup dalam masyarakat. Maka, kita dapat mempelajari efeknya hanya dengan membandingkan kepuasan hidup antar masyarakat, bukan antar individu. Hal paling sederhana adalah membandingkan negara yang berbeda.
Negara berbeda dalam banyak hal selain dari pendapatan dan kesehatan. Mungkin yang paling penting di antaranya adalah: norma etika perilaku (termasuk kepercayaan, kemurahan-hati, dan sebagainya); jaringan dukungan sosial ('bonding capital'); keterbukaan dan toleransi ('bridging capital'); kemerdekaan individu; kualitas pemerintahan (termasuk korupsi); kesetaraan, dan tingkat religiusitas.
Perilaku yang baik terdiri dari 'lakukan' dan juga 'jangan lakukan'. Sangatlah penting hal-hal positif apa yang kita lakukan bagi satu sama lain. Masyarakat akan lebih bahagia bilamana anggotanya berperilaku baik.
Berbeda dari norma etika, struktur sosial yang memberi orang rasa memiliki, dan memiliki orang lain yang dapat mereka andalkan untuk mendapatkan dukungan. Yang paling dinikmati orang adalah bersosialisasi dengan teman—tiada yang lebih buruk daripada tak punya teman.
Tetapi dalam masyarakat multikultural atau multikelas mana pun, ada hal lain yang juga kritis. Yakni bridging capital. Di sebagian besar masyarakat, orang-orang yang tergolong minoritas, termasuk etnis minoritas dan migran, rata-rata kurang bahagia dibandingkan anggota masyarakat lainnya. Salah satu penyebab mengapa para migran tak bahagia, tentu saja karena mereka terpisah dari banyak keluarga dan teman mereka—mereka kekurangan bonding capital. Namun seringkali mereka juga menjadi warga negara kelas dua di tempat mereka pindah—mereka tak mempunyai bridging capital.
Terkait erat dengan toleransi adalah masalah kemerdekaan—kesediaan masyarakat membiarkan orang-orang menjalani hidup mereka seperti yang mereka inginkan, asalkan mereka tak merugikan orang lain. Dalam hal ini, kita tak berbicara tentang organisasi pemerintahan atau tentang ekonomi, tetapi tentang kemerdekaan individu dalam kehidupan sehari-hari untuk memilih cara hidup mereka sendiri. Ini termasuk, misalnya, memilih tempat tinggal, dan mengutarakan pendapatmu. Lebih merdeka, selalu lebih baik, ceteris paribus. Namun dalam praktiknya, bilamana semakin mengarah pada kebebasan, terkadang berarti lebih sedikit kohesi sosial. Karenanya, hendaklah ada keseimbangan yang dicapai.
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa bagi kesejahteraan pribadi penduduk, kualitas pemerintahlah yang lebih penting. Itu yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat. Di berbagai negara, demokrasi tentu berkorelasi dengan kualitas pemerintahan. Tetapi ada beberapa negara, yang kualitasnya tinggi tetapi demokrasinya rendah.
Kaum revolusioner dimana-mana menuntut kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Kesetaraan secara langsung mempengaruhi kualitas hubungan interpersonal dalam masyarakat. Masyarakat yang lebih setara, cenderung memiliki lebih banyak kepercayaan, kesehatan yang lebih baik, dan seterusnya—di seluruh lapisan masyarakat. Ini menyiratkan semacam efek atmosfer.
Kesimpulannya mungkin begini: etos saling menghormati dan peduli sangat penting bagi masyarakat yang bahagia. Etos seperti ini, akan sangat berkorelasi dengan kepercayaan, korupsi yang rendah, dukungan sosial yang baik, pemerintahan yang efektif—dan pemerataan pendapatan yang lebih besar. Oleh sebab itu, prioritasnya adalah meningkatkan seluruh etos masyarakat dan bukan hanya untuk menyetarakan pendapatan.
Lantas, bagaimana dengan agama? Isu agama, dapat memainkan setidaknya tiga peran utama: menanamkan nilai-nilai, menawarkan kenyamanan, dan memberikan interaksi sosial yang berharga.

Hal terakhir yang membuat orang dewasa bahagia adalah kebahagiaan di usia senja. Saat orang berpindah dari usia menengah ke usia yang lebih tua, keadaan dan pengalaman mereka berubah dalam banyak hal. Kebanyakan orang pensiun; anak-anak mereka meninggalkan rumah dan membangun kehidupan mandiri; penurunan kapasitas fisik dan kognitif; serta pengalaman kematian dan kehilangan orang yang dicintai menjadi lebih umum. Perubahan ini, mempengaruhi sumber daya keuangan, hubungan sosial, kemandirian, dan otonomi. Pada saat yang sama, orang yang tak lagi merasa terikat oleh batasan usia paruh baya, dapat menemukan peluang baru seiring bertambahnya usia, bersama dengan kelegaan dari banyak sumber stres yang penting. Semua proses ini, berarti bahwa penentu kepuasan hidup dapat berubah seiring bertambahnya usia, atau setidaknya, kepentingan relatif dari berbagai sumber kepuasan hidup dapat berubah seiring bertambahnya usia."

Wulandari berkata, 'Teh, waktuku udah habis. Aku harus pergi." 'Teh barista lalu berkata, 'Akhirnya, sebagai penutup, well-being dan kepribadian atau karakter merupakan dua dimensi yang paling mendasar (dan sangat saling bertaut) dimana orang memahami dan menilai diri mereka sendiri dan orang lain. Seberapa baik atau suksesnya kita, bergantung pada siapa kita (karakter) dan kehidupan seperti apa yang kita miliki (kualitas hidup).
Definisi well-being melihat hidup sebagai aktif. Hanya aktivitas berharga yang berkontribusi pada kualitas hidup kita. Kualitas hidup masyarakat tak semata bergantung pada diri mereka sendiri; ia membutuhkan kondisi yang memungkinkan aktivitas mereka, dan memberi mereka makna, dapatkan. Dan untuk mendapatkannya, masyarakat seyogyanya bekerja bahu-membahu, tak terpisah-pisah. Well-being tak dapat dicapai secara individu, melainkan secara bersama-sama. Wallahu a'lam.'"

Saatnya pergi, 'teh Barista melambaikan tangan seraya bersenandung,

But if you look at me closely
[Namun jika engkau melihatku lebih dekat]
You will see it in my eyes
[Engkau akan melihatnya di mataku]
This girl will always find her way *)
[Gadis remaja ini akan selalu menemukan jalannya]
Kutipan & Rujukan:
- Annete Moldvaer, The Coffee Book, 2021, Penguin Random House
- Jonathan Morris, Coffee: A Global History, 2019, Reaktion Books Ltd
- William H. Ukers, All About Coffee, 2012, F+W Media, Inc.
- Scott Rao, The Professional Barista's Handbook, 2008, Scott Rao
- Sebastien Rachneux, Coffee Isn't Rocket Science, 2016, Black Bull
- Guy Fletcher, The Philosophy of Well-Being: An Introduction, 2016, Routledge
- Guy Fletcher (ed.), The Routledge Handbooks in Philosophy of Well-Being, 2016, Routledge
- Andrew E. Clark, Sarah Flèche, Richard Layard, Nattavudh Powdthavee, & George Ward, The Origin of Happiness: The Science of Well-Being over the Life Course, 2018, Princeton University Press
- Joseph Raz, Ethics in the Public Domain: Essays in the Morality of Law and Politics, 1996, Clarendon Press
*) "I'm Not a Girl, Not Yet a Woman" karya Max Martin, Rami Yacoub, dan Dido Armstrong
[Sesi 2]
[Sesi 1]

Minggu, 30 Juli 2023

Obrolan sang Barista (2)

"Seorang pemilik toko baju, memanggil seluruh staff pemasaran—termasuk dua mahasiswi yang sedang magang selama empat minggu—dan dengan gusar berkata, 'Dari Laporan Keuangan, aku melihat bahwa hasil penjualan menunjukkan nilai yang sangat berarti. Tapi, hasil akhir Laporan Rugi/Laba, angkanya negatif. Apa ini? Jelaskan padaku!'
'Gini bosque,' jelas manajer pemasaran, 'penjualan kemeja kotak-kotak kita, laris-manis di pasaran. Tapiii ....'
'Tapi kenapa?' tanya sang bos.
'Banyak yang komplain bosque, karena baru beberapa hari dipakai, udah luntur. Kami dah laporin hal ini ke bosque dan bosque setuju agar mengganti seluruh klaim dengan kemeja putih.'
Mendengar hal ini, sang bos maklum. 'Oh oke, tetap semangat!' lalu berkata, 'Mulai sekarang, kita bakal masarin kemeja yang sangat 'camera friendly' ini!' sembari mengeluarkan selembar kemeja bergaris hitam putih.
"Haa, moire?' seluruh staff menunduk sambil menggerutu.
Seorang mahasiswi magang, yang sedari tadi duduk di dekat pintu, berbisik kepada rekannya, 'Sista, sampai kapan sih masa magang kita?'
'Tenang aja teman!' kata sang rekan. 'Kalau doi marah-marah lagi, masa magang kita, dah lama lewat kok.'"

“Popularitas kopi yang semakin meningkat, membuat perusahaan perdagangan Eropa berusaha mengamankan suplai: keadaan menjadi akut pada tahun 1707, ketika pemerintahan Ottoman memberlakukan larangan ekspor kopi keluar kekaisarannya. Saat itu, Nicolaes Witsen, seorang gubernur Perusahaan Hindia Timur Belanda [Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)], telah memulai menanam kopi di Jawa pada tahun 1696. Bibitnya berasal dari Malabar di India, dimana menurut legenda, kopinya ditanam oleh cendekiawan Muslim Baba Budan,” kata 'teh Barista.
"Di Jawa, VOC beroperasi dengan memaksa kepala adat agar memasok kopi dalam jumlah tetap dengan imbalan harga rendah, yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengiriman reguler dari Jawa ke Belanda, dimulai pada tahun 1711, memungkinkan Amsterdam mendirikan bursa kopi Eropa pertama. Pada tahun 1721, 90 persen kopi di pasar Amsterdam berasal dari Yaman; pada tahun 1726, 90 persen dipasok dari Jawa. Pengiriman dari pulau Jawa, terus meningkat hingga pertengahan abad itu, tetapi berkurang saat perkebunan baru di Karibia mengambil-alih.
Belanda ikut bertanggung jawab atas hal ini, kata Morris. Pada 1712 mereka memperkenalkan kopi ke Suriname, daerah kantong kolonial di garis pantai Timur Laut daratan Amerika Latin, berbatasan dengan Laut Karibia. Ekspor dimulai pada tahun 1721 dan melampaui ekspor dari Jawa pada tahun 1740-an. Di Suriname, petani tak punya pilihan selain memproduksi kopi—tanaman ditanam di perkebunan yang dikelola oleh buruh budak.
Otoritas kolonial Belanda terus bekerja melalui penguasa lokal, memperkenalkan apa yang disebut Sistem Pengumpulan yang mengharuskan rumah tangga petani menyisihkan sebagian tanah atau tenaga mereka, menanam tanaman komersial yang dijual secara eksklusif kepada negara. Novel otobiografi Max Havelaar, yang ditulis oleh seorang mantan administrator pada tahun 1860, Multatuli (nama pena Eduard Douwes Dekker), menunjukkan bagaimana para petani kelaparan sementara Belanda memanjakan para tuan-tanah fakir mereka. Pada tahun 1880-an, 60 persen rumah tangga petani di Jawa, dipaksa menanam kopi. Merawat pohon, menghabiskan 15 persen dari waktu mereka, namun hanya menghasilkan 4 persen dari pendapatan mereka, karena harga tetap yang rendah.
Inggris memperluas pula produksi kopi kolonial mereka, terutama di Ceylon (Sri Lanka). Pengusaha Inggris membuka hutan untuk mendirikan perkebunan kopi, membunuh banyak gajah di pulau itu, dan mengimpor pekerja dari populasi Tamil yang berhutang banyak di wilayah Madras, India. Tak terhitung jumlah yang meninggal 'di jalan' menuju perkebunan ini, atau karena kondisi kerja ketika mereka sampai di sana. Pada akhir 1860-an total produksi kopi Inggris di Ceylon dan India, mendekati produksi koloni Belanda.

Kopi diubah menjadi produk industri pada akhir abad ke-19 oleh dua negara di benua Amerika: Brasil dan Amerika Serikat. Kemampuan Brasil memperluas produksi kopi dengan cepat tanpa menaikkan harganya secara signifikan, memungkinkan AS menyerapnya ke dalam ekonomi konsumen yang semakin besar. Brasil memperluas perbatasan kopi ke pedalamannya dengan mengganti tenaga kerja budak dengan buruh tani Eropa yang diimpor. Konsumsi per kapita AS meningkat tiga kali lipat antara pertengahan abad ke-19 dan pertengahan abad ke-20, karena konsumen berpindah dari pemanggangan di rumah ke pembelian produk kopi industri bermerek, yang telah disiapkan sebelumnya. Begitu Amerika Tengah dan Kolombia mulai bersaing memperebutkan pasar AS, bentuk baru politik kopi muncul, karena negara berusaha melindungi kepentingan nasional mereka.

Kopi menjadi komoditas global selama paruh kedua abad kedua puluh. Landasannya adalah penanaman Robusta sebagai alternatif yang lebih keras dari Arabika, menghidupkan kembali produksi kopi di Afrika dan Asia. Harganya yang lebih murah, memfasilitasi minum kopi setiap hari di kalangan konsumen baru, dan secara dramatis mengubah rasa dan bentuk minuman. Lembaga internasional berkembang untuk mengatur pasar kopi dunia, namun terbukti tak mampu melindungi produsen dari gejolak harga, yang berpuncak pada krisis kopi di akhir abad itu.

Reposisi kopi sebagai minuman spesial pada akhir abad ke-20, berdampak besar pada industri kopi global. Apa yang dimulai sebagai protes oleh roaster independen di AS terhadap komodifikasi dan konsentrasi industri, melahirkan penyebaran rantai kedai kopi internasional, gerakan hipster 'third wave', pengembangan the coffee capsule, dan serangkaian perdebatan sengit tentang ethical coffee consumption. Dapat dikatakan, peran spesialisasi dalam merangsang konsumsi di pasar non-tradisional telah meletakkan dasar bagi era baru dalam sejarah kopi.
Kopi merupakan unsur penting dari budaya tandingan Amerika tahun 1960-an, yang rumah spiritualnya terletak di San Francisco. Hippies nongkrong di bar espresso North Beach yang dijalankan oleh imigran Italia, dan membeli bijinya dari toko Alfred Peet di Berkeley. Peet, seorang Belanda, memanggang kopinya jauh lebih gelap, dan menyeduhnya lebih kuat, daripada 'secangkir Joe' biasa. Terlepas dari penghinaan pemilik yang nyaris tak terselubung bagi banyak pelanggannya, Peet's menjadi kiblat bagi mereka yang ingin merasakan kopi 'Eropa'.
Orang pertama yang menggunakan istilah ‘specialty coffee’ [kopi spesial] adalah Erna Knutsen. Pada pertengahan 1970-an, ia meyakinkan importir kopi San Francisco dimana ia memulai sebagai sekretaris, agar membolehkan dirinya mencoba menjual kopi berkualitas dalam jumlah kecil. Ia menemukan relung yang memasok generasi baru roaster independen, banyak di antaranya telah 'keluar' dari jalur karier konvensional.
Kopi spesial lepas landas begitu penekanan beralih dari menjual biji kopi menjadi menyajikan minuman. Seattle berada di pusatnya: pada tahun 1980 gerobak kopi pertama yang menggabungkan mesin espresso muncul di kota tersebut; pada tahun 1990 ada lebih dari dua ratus gerobak yang ditempatkan di dekat stasiun monorel, terminal feri, dan toko-toko besar.

Starbucks didirikan oleh tiga rekan kuliah pada tahun 1971. Starbucks terutama menjual biji kopi yang dipasok oleh Alfred Peet, yang gaya pemanggangan gelapnya kemudian mereka adopsi. Howard Schultz, seorang salesman perusahaan Brooklyn, yang merupakan salah satu pemasok peralatan mereka, berkunjung pada tahun 1982 dan meyakinkan para pendirinya, agar mempekerjakannya sebagai direktur penjualan dan pemasaran. Pada tahun 1983 Schultz mengunjungi Milan, dimana ia mencoba membujuk Starbucks, mengkreasikan ulang budaya bar kopi asli Italia di Amerika. Namun, ia tak sukses meyakinkan pemilik Starbucks tentang usulannya, dan keluar membuka kedai kopi bernama Il Giornale pada tahun 1986.
Setelah Schultz menyesuaikan tawarannya mengkreasikan pengalaman 'gaya Italia' yang memenuhi kebutuhan pelanggan Amerika, ia mulai sukses. Pada tahun 1987, ia mentransfer format ini ke Starbucks, yang dibelinya manakala pendiri terakhir Starbucks, berangkat ke San Francisco mengambil-alih Peet's.
Format Coffee shop, memadukan dua unsur: kopi dan lingkungan sekelilingnya. Yang disebut pertama, membayar untuk yang disebut belakangan. Kopi ala Italia Schultz, terbukti sempurna memperkenalkan kopi spesial kepada konsumen Amerika, karena pagutan espresso yang khas, masih dapat dilihat melalui manisnya susu. Caffè latte-lah yang paling populer, karena susu yang dikukus, bukan yang berbusa, menghasilkan kepadatan dan rasa manis, yang lebih kuat dibanding cappuccino.

Istilah 'third wave coffee' [kopi gelombang ketiga] pertama kali digunakan oleh Timothy Castle pada tahun 2000, dan dipopulerkan oleh Trish Rothgeb, seorang roaster Amerika, dalam sebuah artikel berpengaruh pada tahun 2003. Gelombang pertama menyajikan espresso, gelombang kedua, spesialisasi raksasa seperti Starbucks yang 'hendak mengotomatiskan atau menyeragamkan kopi spesial'. Gelombang ketiga ingin mengejar pendekatan 'tanpa aturan' guna menyajikan kopi yang menakjubkan.
Kompetisi Barista berada di pusat budaya gelombang ketiga. Kejuaraan Barista Dunia pertama diadakan di Monako pada tahun 2000. Pesaing menyiapkan satu set berisi empat espresso, cappucino, dan 'minuman khas' dalam waktu lima belas menit dan dinilai berdasarkan keterampilan teknis dan presentasi, serta kualitas sensoris dari minuman mereka. Pembuat peralatan bersaing agar alat berat mereka diklasifikasikan untuk memenuhi standar persaingan. Roasters melatih barista penuh waktu untuk bersaing menggunakan campuran yang bersumber khusus. Pemenang mendapatkan status selebritas yang membawa kontrak bergaji tinggi untuk konsultasi dan dukungan.
Eksperimen barista gelombang ketiga dengan parameter yang ditetapkan untuk persiapan espresso dan profil rasa, memisahkan diri dari tradisi Italia. Minuman baru muncul sebagai hasil dari eksperimen tersebut, seperti flat white, dibuat dengan menggunakan shot espresso terkonsentrasi dengan topping susu microfoamed beludru dan diakhiri dengan seni latte - semuanya menuntut keterampilan teknis tinggi dari barista. Flat white dibawa ke London pada tahun 2007 oleh barista dari Australia dan pada 2010 telah menyeberang ke rantai arus utama, kemudian melintasi Atlantik.
Kedai kopi gelombang ketiga sering beroperasi dengan sedikit uang, pemiliknya lebih terinspirasi oleh passion ketimbang cuan. Interior yang dilucuti dan tempat duduk dasar menonjolkan mesin berteknologi tinggi di konter tempat semua investasi telah dituangkan. Suasana non-perusahaan yang agresif ini, begitu sering terjadi sehingga menjadi citra merek gelombang ketiga itu sendiri.

Membeli kopi dari pemanggang kopi khusus dan usaha kecil, engkau biasanya akan membeli kopi secara etis. Membeli kopi secara etis bermakna membeli kopi yang tak mengeksploitasi pekerja dan petaninya, dan umumnya berarti sang pemanggang kopi akan sangat terlibat dalam seluruh proses pembuatan kopi, mulai dari penanaman hingga pemrosesan dan akhirnya pemanggangan. Dengan membeli dari perusahaan kopi yang beretika, engkau memastikan bahwa engkau tak berkontribusi pada siklus eksploitatif dan merusak. Kopi telah mempromosikan pemikiran jernih dan kehidupan yang benar dimanapun diperkenalkan. Ia telah berjalan seiring dengan kemajuan dunia menuju demokrasi.
Salah satu fakta paling menarik dalam sejarah minuman kopi, bahwa dimana pun kopi diperkenalkan, itu bermakna revolusi. Minuman paling radikal di dunia inilah yang fungsinya selalu membuat orang berpikir. Dan manakala orang-orang mulai berpikir, mereka berbahaya bagi para tiran.
Voltaire dan Balzac adalah pemuja kopi yang paling bersemangat di antara para sastrawan Prancis. Voltaire, raja akal-sehat, raja peminum kopi. Bahkan di usia tuanya, ia disebut-sebut mengonsumsi lima puluh cangkir setiap hari. Bagi Balzac yang hemat, kopilah makanan sekaligus minuman. Sir James Mackintosh, filsuf dan negarawan Skotlandia, sangat menyukai kopi sehingga ia sering menegaskan bahwa kekuatan pikiran manusia, pada umumnya akan ditemukan sebanding dengan jumlah stimulan yang diminumnya.
Tiada dalil mengapa setiap orang yang menyukai kopi, mengabaikan manfaatnya. Mengutip Makaroff: Jadilah rendah hati, baik hati, makan lebih sedikit, dan berpikir lebih banyak, hidup untuk melayani, berbuat, berperan, tertawa dan mencintai—itu sudah cukup! Lakukan ini dan engkau dapat minum kopi tanpa membahayakan jiwa kekalmu.
Kedai kopi menjadi tempat berkumpulnya orang-orang berakal-sehat, orang-orang yang modis, dan orang-orang yang cerdas dan terpelajar, kepada siapa mereka memberi kesempatan berbincang dan berdiskusi tanpa akhir. Wajar jika pertukaran ide yang hidup di klub publik ini, menghasilkan opini liberal dan radikal, dan bahwa otoritas yang dibentuk, akan memandang curiga pada mereka. Memang konsumsi kopi, secara aneh dikaitkan dengan gerakan protes politik sepanjang sejarahnya, setidaknya hingga abad ke-19.
Selama seribu tahun perkembangannya, kopi telah mengalami oposisi politik yang sengit, pembatasan fiskal yang dungu, pajak yang tak adil, tugas yang menjemukan; tetapi, bertahan dari semua ini, dengan penuh kemenangan pindah ke tempat terdepan dalam katalog minuman populer. Namun, kopi lebih dari sekadar minuman. Ia merupakan salah satu makanan adjuvant terbesar di dunia. Ada makanan tambahan lain, tetapi tiada yang mengungguli kelezatan dan efek menenangkan, psikologi yang dapat ditemukan dalam rasa dan aromanya yang unik.

Kita berbincang tentang minum secangkir kopi, tetapi kopi hadir dalam berbagai ukuran dan penyamaran! Pastikan engkau menemukan salah-satu yang cocok untukmu. Espresso: porsi kecil dengan rasa yang besar, bagi mereka yang menyukai cita rasa kopi; Mocha: bagi mereka yang sebenarnya tak begitu tertarik dengan rasa kopi tapi membutuhkan sesuatu yang menyegarkan, solusi yang keren dan kreatif; Double Espresso: bagi pekerja keras yang tahu bahwa satu teguk saja, tak cukup; Latte: sempurna untuk orang yang ragu-ragu: pilihan menu bebas risiko; Cappuccino: kopi yang mudah diminum buat pencari kesenangan, tapi hati-hati dengan kumis-susunya; Macchiato: kopi yang mudah diminum bagi siapa saja yang tak suka kumis susu; Iced Coffee: minuman yang tampil berani bagi mereka yang menyukai kopi sebanyak mereka suka minum melalui sedotan; Frappucino: kopi untuk siapa saja yang menyukai kopi, hampir seperti es krim. Americano: salah satu kesenangan bersahaja dalam hidup.

Kopi yang baik, dipanggang dengan hati-hati dan diseduh dengan benar, menghasilkan minuman alami yang, untuk efek tonik, tak tertandingi, bahkan oleh para pesaingnya, teh dan coklat. Aroma kopi, tak cuma enak dan cita-rasanya legit bagi semua umat manusia, melainkan semuanya merespons sifat-sifatnya membangkitkan semangatnya yang menakjubkan. Faktor utama kebaikan kopi ialah kandungan kafein dan minyak alami kopi, yang disebut caffeol. Kafein meningkatkan kapasitas kerja otot dan mental tanpa reaksi berbahaya. Kafeol memberi rasa dan aroma—aroma eksotis yang tak terlukiskan, yang memikat kita melalui lubang hidung, membentuk salah satu elemen utama yang membentuk daya tarik kopi. Pria dan wanita minum kopi karena menambah rasa 'well-being' mereka."

"Apa itu 'well-being', 'teh?" tanya Wulandari. "Nanti kita bicarakan di sesi berikutnya," kata 'teh Barista. Meski sekilas ngeliyat wajah 'teh Barista, keayuannya nggak bisa dinalar.
Kemudian keduanya pun berdendang,

Feels like I'm caught in the middle
[Rasanya bagaikan ku terjebak di tengah]
That's when I realize
[Saat itulah ku sadari]
I'm not a girl, not yet a woman
[Kini ku bukan lagi gadis remaja, belum pula wanita dewasa]
All I need is time, a moment that is mine
[Yang kubutuhkan hanyalah waktu, detik-detik milikku]
While I'm in between *)
[Selagi ku berada di masa transisi]
[Sesi 3]
[Sesi 1]

Sabtu, 29 Juli 2023

Obrolan sang Barista (1)

"Seorang penerjun payung, sedang siap-siap melompat buat kali pertamanya.
'Jangan lupa yaq,' sang instruktur mengingatkan, 'jika tuas pertama gak fungsi, loe tarik tuas cadangan. Siap?'
'Okeh, siyaap!' kata sang penerjun. Ia pun melompat, membilang hingga hitungan ke sepuluh, lalu menarik tuasnya. Gak ada apa-apa, maka, ia menarik tuas cadangan. Tapi tetep aja, nihil.
Saat ia meluncur ke bumi, seorang wanita, sekonyong-konyong melesat ke udara, melewatinya.
'Jeng, jeengng..!' teriaknya. 'Jeng paham gak soal parasut?'
'Mboteen,' jawab si jeng tadi, yang lalu balik nanya, 'Jenengan paham gak soal kompor gas?'" Wulandari memulakan stori, usai wajahnya yang laksana bola perak kafi, tertangkap mata di malam hari, menuturkan kekisruhan yang bergulir di siang hari. Di tengah hari, ia melihat seseorang yang lagi ngumpet tanpa pleidoi.

Wulandari kemudian meneruskan, “Daya-tarik kopi, bersifat universal. Segala bangsa, menghargainya. Kopi telah diakui sebagai kebutuhan manusia. Kopi bukan lagi kemewahan atau kesenangan, melainkan buah dari energi dan efisiensi manusia. Orang menyukai kopi lantaran efek gandanya—sensasi nikmat dan peningkatan efisiensi yang dihasilkannya," itulah yang disampaikan teteh Barista. Tapi, 'ntar dulu, k'napa sih Barista? Barista [terjemahannya Pramukopi, tapi kita tetap pakai kata Barista dalam konteks ini] di kafe khusus, mirip dengan sommelier [pramutama anggur atau ahli anggur] di dunia perangguran, kata Anette Moldvaer. Barista, seorang profesional dengan keahliannya, mampu menawarkanmu tentang menyiapkan kopi dengan cara yang, tak semata memberimu kafein yang nendang, tapi juga membuatnya terasa menarik, mengasyikkan, dan terutama, maknyuss. Emang sih, Barista itu, karir dengan banyak kaum cowoknya, tapi, gak ada salahnya kok bagi para cewek, soalnya, pekerjaan inilah yang merujuk pada bartender cowok dan cewek, tanpa memandang gender. Yang terpenting, bagaimana engkau menuangkan isi kepalamu, yakni ide atau gagasan dan konsepmu, ke dalam racikan minuman panas atau dingin, supaya dinikmati para pelangganmu.

So, let's move on to apa yang 'teh Barista obrolin, 'Peradaban, dalam perkembangannya, semata menghasilkan tiga minuman non-alkohol yang penting—ekstrak tanaman teh, ekstrak biji kakao, dan ekstrak biji kopi, kata William H. Ukers.
Dedaunan dan bijian-bijian—semuanya, sumber nabati minuman meja non-alkohol favorit dunia. Dari keduanya, daun teh mengandung timbal dalam jumlah total yang dikonsumsi; dari yang dua tadi, biji kopi, menempati urutan kedua; dan biji kakao berada di urutan ketiga, meskipun terus meningkat. Namun dalam perdagangan internasional, biji kopi menempati posisi yang jauh lebih penting dibanding yang lain, diimpor ke negara-negara bukan penghasil kopi, hingga dua kali dari perkembangan daun teh.
Kopi itu, minuman global. Ia ditanam secara komersial di empat benua, dan dikonsumsi dengan antusias di ketujuh benua: ilmuwan Antartika menyukai kopi mereka. Bahkan ada mesin espresso Italia di Stasiun Luar Angkasa Internasional. Perjalanan kopi telah membawanya dari hutan Ethiopia ke Finca Amerika Latin, dari kedai kopi Ottoman ke 'third wave cafés', dan dari teko kopi ke mesin kapsul.

Kopi itu, minuman sehari-hari—baik diincip pertama kali saat sarapan, kala istirahat tengah hari, sebagai penyongsong sore, atau membantu pencernaan usai makan malam. Sebagian besar penikmat kopi, punya naluri tentang apa yang mereka pandang sebagai a good cup of coffee, namun hanya sedikit yang memahami apa yang berkontribusi dalam menghasilkannya.
Alasan utama mengapa para konsumen tak mengetahui bagaimana mengapresiasi kopi mereka, lantaran industrilah yang mengaburkan kompleksitas dan keberagamannya, dengan mengubahnya menjadi komoditas yang dihomogenkan, kata Jonathan Morris. Onggokan biji yang dipanen pada satu waktu, dicampur dengan yang dipetik di lain waktu; hasil pertanian dengan karakteristik yang berbeda, digabungkan; karung dari berbagai daerah, diekspor dengan label yang sama; kopi hijau dibeli melalui pertukaran dimana tak pernah benar-benar terlihat, sebelum biji dipanggang dan dicampur dengan yang lain, dari berbagai negara untuk dijual di bawah label merek yang mewacanakan karakteristik umumnya: 'Rich', 'Mellow' atau 'Roaster's Choice'.
Strategi semacam ini, memungkinkan kopi dari satu sumber diganti dengan yang lain. Peristiwa alam semisal kekeringan, embun beku atau penyakit, atau peristiwa buatan manusia seperti perang, dapat menghambat produksi kopi di suatu wilayah, selama bertahun-tahun. Petani, eksportir, broker, dan roaster menggunakan homogenisasi sebagai strategi manajemen risiko. Setidaknya 90 persen produksi kopi dunia masuk ke sektor komoditas. Sisanya 5-10 persen merupakan 'kopi spesial': kopi berkualitas tinggi dengan profil rasa yang khas dan asal geografis yang dapat diidentifikasi. Seperti anggur, rasa kopi mencerminkan varietas yang ditanam, lingkungan mikro distrik (terroir), kondisi iklim umum musim tanam, dan perawatan saat dipanen, diproses, disimpan, dan dikirim. Anggur mengandung sekitar tiga ratus senyawa yang mempengaruhi rasanya; sedangkan kopi, angkanya diperkirakan lebih dari seribu. Sektor 'Special(i)ty' ini (orang Eropa biasa memasukkan 'i' jadi 'speciality', tapi wong Amerika menyebutnya 'specialty') telah tumbuh secara eksponensial selama tiga puluh tahun terakhir.

Kopi merupakan anugerah dari Afrika, dimana lebih dari 130 spesies genus Coffea, telah diidentifikasi. Tanaman kopi Arabika, Coffea arabica, berkembang di dataran tinggi Ethiopia Barat Daya dan berbatasan dengan Kenya dan Sudan Selatan, dimana masih tumbuh liar hingga saat ini. Kini, Arabika ditanam secara komersial di seluruh daerah tropis. Kopi tak dapat bertahan hidup di luar sabuk ini, sebab akan mati jika suhu turun di bawah titik beku. Arabicalah yang pertama—dan hingga abad ke-20, satu-satunya—spesies kopi yang ditanam untuk konsumsi manusia. Saat ini, menyumbang sekitar dua pertiga dari produksi dunia.
Selama tiga dekade terakhir abad ke-19, dunia perkopian berubah oleh gempuran wabah penyakit karat daun, hawar yang hampir merontokkan produksi di Asia. Penanam kopi, terutama di Hindia Belanda [hayoo, nama ini, sekarang berubah jadi apa coba?], mulai mencari spesies alternatif. Mereka mencoba Coffea liberica, atau kopi Liberia, tapi kopi ini, juga terbukti rentan terhadap karat daun. Mereka lalu beralih ke Coffea canephora, dikenal sebagai Robusta, yang bersumber dari Kongo, melalui Belgia.
Robusta tak hanya tahan karat daun, namun juga, tahan terhadap suhu dan kelembapan yang lebih tinggi daripada Arabika, membuatnya mampu tumbuh subur di dataran yang lebih rendah. Pohonnya berbentuk payung, dengan buah ceri yang lebih kecil, tetapi lebih banyak berkelompok, sehingga lebih mudah dipanen. Penanamannya yang mudah, memungkinkannya digunakan sebagai hidangan pembuka dalam produksi kopi, terakhir oleh Vietnam. Saat ini, Robusta menghasilkan sekitar 35–40 persen output dunia. Pula, Robusta mengandung kadar kafein dua kali lipat dari Arabica.

Kopi punya 'landasan mitos', yang amat disukai para pemasar, bahwa suatu hari, Kaldi, seorang pemuda gembala kambing Ethiopia, melihat satwanya gelisah setelah makan semak buah merah. Kaldi mengunyah sendiri buah beri itu, dan akhirnya 'berajojing'. Kaldi lalu ditemui oleh, atau berkonsultasi dengan, seorang imam, yang juga mencicipi buah beri. Ia menemukan bahwa buah tersebut membuatnya tetap terjaga selama qiyamul lail, sehingga mengubahnya menjadi cairan vitamin untuk dibagikan kepada orang lain; atau dengan kasar melemparkannya ke dalam api hanya untuk mencium aromanya yang lezat, dan kemudian memutuskan mengambilnya dari bara api, menggilingnya, menambahkannya air panas dan meminum minuman yang dihasilkannya!
Kisah Kaldi pertama kali muncul di Eropa pada tahun 1671 sebagai bagian dari risalah kopi yang diterbitkan oleh Antonio Fausto Naironi, seorang Kristen Maronit dari Levant (sekarang Lebanon) yang beremigrasi ke Roma. Boleh jadi, ia mendengarnya di tanah kelahirannya. Tepatnya kapan, di mana dan dalam bentuk apa manusia pertama kali mengkonsumsi kopi, tak dapat dipastikan secara pasti. Ada desas-desus tentang biji hangus yang ditemukan di situs kuno, dan ada yang menyebutkan bahwa herba dan ramuan yang dijelaskan dalam Qanun Kedokteran atau Kaidah Kedokteran (al-Qanun fi al-Tibb) oleh dokter dan filsuf Persia, Ibn Sina (980–1037), juga dikenal sebagai Avicenna, berasal dari tanaman kopi.
Sudah barang tentu bahwa dua ratus tahun pertama atau lebih, sejak keberadaan kopi tercatat, antara tahun 1450 dan 1650, kopi dikonsumsi hampir secara eksklusif oleh masyarakat Muslim, yang terbiasa mempertahankan ekonomi kopi yang berpusat di sekitar Laut Merah. Dunia inilah tempat versi minuman modern berevolusi dan landasan format kedai kopi kontemporer diletakkan.

Suku Oromo, yang menempati sebagian besar wilayah selatan Ethiopia, termasuk wilayah Kaffa dan Buno, yang merupakan tempat asal kopi Arabika, menyiapkan berbagai bahan makanan dan minuman dengan memanfaatkan berbagai unsur tanaman. Buna yang paling populer. Sekam kopi kering direbus dalam air mendidih selama lima belas menit, sebelum minuman yang dihasilkannya, tersaji. Saat ini, petani kopi sudah mulai menjual produk serupa bernama cascara, terdiri dari kulit ceri kering yang dibuang selama pemrosesan, diseduh sebagai teh buah. Dinamakan qisyr dalam bahasa Arab, cairan obat ini, sepertinya telah melintasi 32 kilometer (20 mil) selat Bab al-Mandab di ujung selatan Laut Merah selama pertengahan abad ke-15. Cendekiawan Arab Abdul Qadir al-Jaziri, yang manuskripnya Umdat al safwa fi hill al-qahwa, ditulis sekitar tahun 1556, merupakan sumber informasi utama tentang penyebaran kopi di dunia Islam dan mereproduksi catatan yang mengklaim bahwa al-Dzabani melakukan perjalanan ke Ethiopia.

Jean de la Roque—penulis, musafir, dan putra saudagar yang memperkenalkan kopi ke Marseille—menulis laporan tentang dua ekspedisi perdagangan ke Mocha dari pelabuhan Breton di St Malo, pada 1709 dan 1711. Terungkap bahwa butuh waktu enam bulan untuk mengisi ruang kapal, kendati orang Prancis menggunakan Banyan broker [broker-broker dari India], yang berusaha mendapatkan kacang atas nama mereka, menaikkan harga di Bayt al-Faqih, Yaman. Faktor Belanda yang mereka temui, diperkirakan membutuhkan waktu satu tahun untuk mendapatkan kargo selama satu pelayaran. Pada tahun 1720-an, pengapalan kopi Laut Merah telah mencapai 12.000–15.000 ton per tahun–secara efektif merupakan pasokan dunia. Volume tersebut, sebagian besar tetap tidak berubah selama seratus tahun berikutnya, walau pada tahun 1840 jumlahnya tak lebih dari 3 persen produksi dunia. Mengingat hal ini, tak mengherankan bahwa, karena mereka semakin mengadopsi minuman tersebut, orang Eropa berusaha mendirikan pusat budidaya alternatif.
Setelah tahun 1720-an, Belanda beralih ke Jawa dan Prancis ke Karibia, sehingga pembelian mereka masing-masing dari Mocha dan Alexandria menurun. Ini dikompensasi dengan peningkatan pembelian oleh Inggris dan Amerika. Pendapatan dari perdagangan kopi, masih sedemikian rupa, sehingga Muhammad Ali, penguasa ekspansionis Mesir, berusaha menaklukkan Yaman menjadikannya berada di bawah kendalinya. Hal ini menyebabkan Inggris merebut Aden pada tahun 1839, melindungi pengaruhnya di wilayah tersebut, dan menetapkannya sebagai pelabuhan bebas pada tahun 1850. Ketiadaan bea cukai dan adanya dermaga laut dalam, serta fasilitas pergudangan, membuat Aden mengambil alih Mocha sebagai wilayah pelabuhan kopi utama tersebut. Saat ini area pelabuhan Mocha menampung armada penangkap ikan kecil dan banyak reruntuhan, dan didekati melalui saluran berlumpur, yang diduga sebagai konsekuensi dari kapal Amerika abad kesembilan belas yang melepaskan pemberatnya sebelum membawa kopi ke kapal.

Beberapa orang Eropa, kecuali mereka yang berada di bawah kekuasaan Ottoman, telah mencicipi kopi sebelum pertengahan abad ketujuh belas. Pengenalannya ke Eropa menyebabkan terciptanya kedai kopi dan kafe, yang daya tariknya meluas ke sebagian besar masyarakat Eropa. Abad ke-18 menyaksikan rekonfigurasi dramatis pusat-pusat produksi kopi ketika negara-negara Eropa, seperti Republik Belanda, Prancis, dan Inggris, mulai menanam kopi di perkebunan kolonial Asia dan Karibia mereka, guna memenuhi permintaan konsumen yang meningkat.
Cokelat, kopi, dan teh, datang ke benua itu secara berurutan, dan preferensi konsumen, bolak-balik bergeser. Rumitnya peraturan serikat pekerja menghalangi para pedagang mendirikan tempat menjual dan menyajikan kopi. Akibatnya, ada diskontinuitas yang berarti dalam difusi budaya kopi. Venesia mungkinlah kota Eropa pertama tempat kopi diseduh, tetapi kedai kopi, baru dibuka di sana, seabad kemudian. London rumah bagi kedai kopi pertama di Eropa, namun Inggris termasuk yang terakhir dan produsen kopi Eropa yang paling tidak aktif. Sebaliknya, orang Prancis, yang belakangan beralih dari cokelat, terus mendominasi, baik konsumsi maupun produksi kolonial selama abad kedelapan belas.
Pengadopsian kopi di seluruh Eropa Kristen mencerminkan hubungan kompleks benua itu dengan Timur Dekat Islam. Wabah ketertarikan dengan 'Timur' memicu minat pada kopi, namun para musafir yang menulis di awal abad ketujuh belas, sering berusaha menyelamatkan minuman dari asosiasi Muslimnya dengan menata ulang masa lalunya. Pietro della Valle dari Italia, menyebutkan kopi sebagai dasar dari nepenthe, stimulan yang disiapkan oleh Helen di Homer's Odyssey. Orang Inggris Sir Henry Blount mengklaimnya sebagai kaldu hitam Spartan yang diminum sebelum peperangan. Dengan menemukan kopi di antara orang Yunani kuno, mereka secara efektif mengklaimnya sebagai peradaban Eropa, dan mengingatkan orang-orang sezaman tentang orang Kristen peminum kopi di perbatasan Ottoman. Namun, tiada bukti bahwa Paus Clemente VIII mencicipi kopi dan membaptisnya sebagai minuman Kristen pada tahun 1600-an, meskipun peredaran cerita yang tersebar luas, menunjukkan bahwa mereka yang punya saham dalam perdagangan kopi, berharap ia melakukannya.

Kopi hadir di Venesia pada tahun 1575, seperti yang dikonfirmasi oleh peralatan pembuat kopi yang dicatat dalam inventaris seorang pedagang Turki yang terbunuh di kota itu. Pada tahun 1624, dikirim ke kota untuk dijual oleh apoteker sebagai produk obat, dan pada tahun 1645, sebuah toko yang menjual bijian itu, tampaknya telah dilisensikan. Penggunaan kopi menyebar ke negara bagian Italia lainnya: Tuscany diberikan monopoli bagi perdagangan kopi pada tahun 1665. Peraturan yang melindungi perdagangan apoteker mungkin menjelaskan munculnya kafe pertama yang diperbolehkan menyajikan kopi di Venesia pada tahun 1683. Pada tahun 1759, pemerintah kota dipaksa membatasi jumlah kafe sampai 204—batasan yang dilanggar dalam waktu empat tahun.
Inggris mengembangkan budaya kedai kopi Eropa pertama. Tokoh terkemuka dalam membawa bijian ini ke Inggris juga merupakan emigran dari Kekaisaran Ottoman. Nathaniel Conopios, seorang mahasiswa Yunani di Balliol College, Oxford, orang pertama yang tercatat minum kopi di Inggris pada Mei 1637. Pasqua Rosee, seorang etnis Armenia dari kota Ottoman Smyrna (sekarang Izmir) membuka rumah kopi London, dan Eropa, yang pertama kali didokumentasikan antara tahun 1652 dan 1654. Bisnis Rosee dimulai sebagai kios di halaman gereja St Michael di jantung Kota London, wilayah independen di pusat kota metropolis, yang berisi sebagian besar lembaga keuangan dan komersial London. Pedagang akan datang dari Royal Exchange terdekat untuk melanjutkan percakapan sambil menyeruput kopi di bawah tenda kios Rosee. Menurut referensi pertama bisnis tersebut, pada tahun 1654, ia menyajikan 'sejenis minuman Turki yang terbuat dari air dan beberapa beri atau kacang Turki (yang) agak panas dan tak enak (tapi punya) kenikmatan setelahnya dan menyebabkan ada yang banyak buang angin.'
Bukan kebetulan bahwa kedai kopi didirikan selama era Cromwellian setelah berakhirnya Perang Saudara Inggris. Kedai kopi selamat dari restorasi monarki pada tahun 1660 karena penentang Royalis dari rezim Parlemen, juga memanfaatkan peluang yang dimunculkan tempat-tempat ini, bagi percakapan yang tak terpantau.
Kedai kopi terdokumentasi pertama di luar ibukota Ingris, dibuka oleh apoteker Arthur Tillyard pada tahun 1656. Tillyard 'didorong untuk melakukannya oleh beberapa royalis, sekarang tinggal di Oxon, dan oleh orang lain yang menghargai diri mereka sendiri sebagai virtuosi atau kecerdasan'. Istilah 'virtuosi' menggambarkan orang yang punya kekepoan intelektual tentang kebaruan budaya, kelangkaan dan bidang penyelidikan empiris, kuasi-ilmiah yang masih baru, yang terkait dengan tokoh-tokoh seperti Francis Bacon. Sebagai pelanggan virtuosi Tillyard, termasuk Issac Newton, bapak fisika modern, astronom Edmond Halley (kondang oleh kometnya) dan kolektor Hans Sloane, yang warisannya membentuk dasar British Museum. Sebagian besar virtuosi bukanlah cendekiawan yang luar biasa, tetapi penggemar yang dapat dibujuk ke kedai kopi guna menginspeksi tampilan kekepoan.

Koalisi kopi dengan kedai kopi, mungkin tertahan pengadopsiannya di rumah. Kedai kopi pada dasarnya lingkungan kaum lelaki, tempat dimana disarankan berbicara dengan orang asing. Satu-satunya kehadiran wanita, menjamu atau 'melayani' kebutuhan pelanggan. The Women’s Petition against Coffee—tahun 1674, mengutuk kopi dan kedai kopi dengan dalih bahwa keduanya menjauhkan kaum lelaki dari rumah dan menjadikannya impoten—bisa jadi, disponsori oleh pembuat bir yang hendak merebut kembali pelanggan yang hilang, tetapi memainkan pembagian gender ini.
Wanita yang dibesarkan dengan baik, diarahkan minum teh. Teh disukai oleh beberapa panutan kerajaan, terutama Catherine of Braganza dari Portugis, yang memperkenalkannya ke istana Inggris pada tahun 1662 ketika menikah dengan Charles II.
Selanjutnya, Inggris diperintah oleh dua ratu yang berdaulat, Mary (1688–1694) dan saudara perempuannya, Anne (1702–14), keduanya peminum teh. Kaum wanita boleh minum teh bersama, baik di rumah, atau di depan umum di kebun teh dimana pengaturan udara terbuka memberikan visibilitas, menjadikannya tempat terhormat bagi kaum wanita.

Pada paruh kedua abad kedelapan belas, kedai kopi mulai menawarkan alkohol bersama kopi, secara efektif berubah kembali menjadi tavern atau kedai bir, seperti yang ditunjukkan oleh sejumlah pub dengan nama seperti The Turk's Head. Salah satu contohnya The Turk's Head di Gerrard Street, London, yang menjadi tuan rumah klub sastra pada tahun 1764. Anggotanya termasuk ahli kamus hebat Dr Samuel Johnson dan penulis biografinya, James Boswell. Mereka masing-masing minum teh dan anggur.
Berbeda dengan café-nya Prancis, yang, meskipun lebih lambat berkembang, membiak jadi institusi sosial yang menarik bagi semua kelas selama abad kedelapan belas. Kopi diperdagangkan di Marseilles pada tahun 1640-an tetapi sebagian besar tetap tidak dikenal di Paris sampai tahun 1669. Pada tahun itu, sebuah misi diplomatik dikirim oleh Sultan Mehmed IV ke Louis XIV, mungkin dihasut oleh duta besar Prancis untuk Konstantinopel agar mengesankan kedaulatannya sendiri. Delegasi tersebut, tinggal selama hampir satu tahun, menghibur para pejabat istana yang berpengaruh dengan hidangan Turki, seperti kopi, di sebuah rumah besar yang direnovasi sebagai istana Persia. Kejadian ini mengilhami 'Turkomania' di antara eselon atas masyarakat Prancis, seperti yang disindir dalam Le Bourgeois gentilhomme karya Molière. Vendor mulai menjual kopi selama pameran dagang di distrik komersial Saint-Germain, dan seorang Armenia bernama Pascal mendirikan kedai kopi pertama di Paris pada tahun 1671, hanya untuk melihatnya ambyar usai mode Turki ini mereda.
Café, pada era itu, bagian dari dunia maskulin. Kendati banyak kafe yang dijalankan oleh pasangan, dengan wanita bekerja di depan kedai, sementara pasangan prianya menyiapkan minuman dan pendamping di 'laboratorium' ruang belakang, sedikit sekali kaum wanita memijakkan kaki di kafe, karena takut disalahartikan sebagai pelacur, lantaran sifat publik kafe dan perdagangan alkohol. Jika wanita disuguhi kopi, kemungkinan dibawa ke tempat pribadi mereka untuk diminum secara tersembunyi.
Kaum wanita borju, lebih memilih cokelat, paling tidak, karena kualitas obatnya. Kopi mulai menantang keutamaan ini dengan menyebarnya café au lait. Café au lait hanya disajikan sebagai ciri khas Prancis dalam hal keasliannya."

"Sepertinya, obrolan kita masih panjang," kata Wulandari. "Oke, kita lanjut ke sesi berikutnya," jawab si teteh, yang senyumnya bikin, wadidaw!
Keduanya pun berdendang,

I used to think
[Ku pernah mengira]
I had the answers to everything
[Ku punya jawaban buat segalanya]
But now I know
[Namun kini ku tahu]
That life doesn't always go my way *)
[Bahwa hidup tak selalu berjalan sesuai caraku]
[Sesi 2]

Kamis, 20 Juli 2023

Merawat Lingkungan Kita : Perspektif Islam (2)

"Seorang pengendara mobil, sedang menyusuri jalan yang banjir, setelah semalam hujan deras.
Tiba-tiba ia melihat kepala seseorang, menyembul dari kubangan besar.
Ia menghentikan mobilnya dan bertanya kepada orang tersebut, butuhkah ia tumpangan.
'Oh enggak, makasih,' jawab orang itu. ‘Gua lagi naik sepeda nih,’ sembari terus mengayuh sepedanya, yang perlahan muncul dari kubangan.”

"Tiada yang berdiri sendiri; semuanya berada di dalam genggaman dan pengawasan Allah," lanjut Wulandari. "Seluruh alam semesta ini, dan alam semesta yang berada di luarnya, sebuah harmoni yang di dalamnya, dan kepadanya, setiap partikel keberadaan ditetapkan dan dibutuhkan; tak ada yang bisa ditambahkan dan tak ada yang bisa diambil. Namun seluruh alam semesta yang tercipta, dan semua yang dikandungnya, tak ada apa-apanya di hadapan Karunia dan Keagungan Pencipta mereka Yang abadi.
Oleh sebab itu, awal dari Hikmah itu, takwa kepada Dia Yang, jika Kehendak-Nya, dapat mereduksi alam semesta kita menjadi debu, dalam sekejap. Namun akhir dari Hikmah itu—jika bisa dikatakan demikian—mencintai Allah.
Hanya sedikit orang di negara maju saat ini, yang tak menyadari masalah lingkungan dan tiada yang kebal darinya: efek rumah kaca dan perubahan pola iklim yang dapat menaikkan permukaan laut, menenggelamkan dataran rendah, dan mengurangi area layak huni di dunia; penghancuran oleh api dan buldoser hutan hujan tropis dengan kecepatan yang, jika terus berlanjut, akan berarti penggundulan hutan secara menyeluruh di dunia dalam waktu empat puluh tahun; pemusnahan satwa liar yang telah menyebabkan tingkat kepunahan spesies unggas, serangga dan mamalia, yang belum pernah terjadi sebelumnya dan masih terus meningkat; polusi atmosfer dan udara yang kita hirup; penghamburan tanah, laut dan angkasa luar dengan sampah; penciptaan lanskap kota yang merusak sehingga menghancurkan, bahkan jiwa anak-anak, yang mencoret-coret grafiti gila mereka di setiap tempat umum; dan pencemaran pikiran dan hati nurani—tumbuhnya pelanggaran hukum, pengabaian terhadap sesama, amoral.

Masalah wujud dan ruh, lahiriah (az-zahir) dan batiniah (al-batin), mengenai lingkungan manusia dan pencerapannya, seyogyanya ditangani dari perspektif yang berbeda. Ada perspektif spiritual dan ada yang praktis, duniawi. Keduanya tak saling bertentangan; sebaliknya, keduanya—seperti segala hal dalam hidup kita dan sesuai dengan prinsip Tauhid—saling bertaut. Bagi umat Islam, tiada sesuatu pun di luar orbit Iman.
Kini kita melihat manusia tak lagi sebagai Khalifah, merawat sektornya di bumi, atau sebagai kontemplator, belajar dari bumi bagaimana berdiri-tegak di atasnya; sebaliknya, kita melihat manusia sebagai pemangsa dan pengeksploitasi, melahap bumi ini. Kebutuhannya bertambah, tak pernah terpuaskan, dan semakin belalah ia makan, semakin rakus dirinya. Tak ada bukti yang lebih jelas bahwa manusia, manakala ia tak dijaga dalam ikatan-ikatan tertentu, batasan-batasan tertentu, menjadi perusak lingkungan, alam tempatnya bergantung akan keberadaannya.
Hilangnya keharmonisan antara manusia dan alam, pertentangan yang ada di antara mereka, hanyalah satu aspek dari hilangnya keharmonisan antara manusia dan Penciptanya. Mereka yang memunggungi Pencipta mereka, tak bisa lagi betah dalam ciptaan; mereka dapat dibandingkan dengan bakteri atau virus, yang pada akhirnya meluluh-lantakkan jasad, yang telah mereka serang. Saat ini, manusia bukan lagi penjaga alam. Ia pasti terasing darinya karena, jika ia tak terasing, ia tak bisa merasa bebas memperlakukannya semata sebagai bahan mentah guna dieksploitasi. Hal ini, menjadikan manusia laksana orang asing di dunia ini, bukan dalam makna yang lebih mulia dimana Rasulullah (ﷺ) memerintahkan orang beriman agar menjadi 'ghuraba di dunia ini', melainkan dalam artian, orang yang datang sebagai musuh bumi, tempat dirinya dilahirkan.

Banyak penulis menarik perhatian pada perubahan besar yang terjadi pada abad ini, khususnya dalam ilmu fisika. Materi tak lagi dipandang sebagai sesuatu yang sepenuhnya dapat diketahui, dan kepercayaan absolut sebelumnya pada hukum mekanik telah tergantikan oleh pandangan yang kurang kaku tentang alam semesta fisik. Hal ini berlaku bagi ilmuwan tertentu di puncak profesinya, tetapi teori mereka begitu rumit dan jauh melampaui pemahaman orang biasa sehingga profesi ilmiah lainnya, termasuk guru sains di sekolah, terus berpikir dan berbicara dalam kerangka materialisme murni. Bagi mereka, segala sesuatu yang ada sepenuhnya dijelaskan oleh sains dan 'that's it!', masalah selesai.
Allah telah memberitahu kita tentang makna sesuatu melalui tanda-tanda yang terkandung dalam dua kitab, Al-Qur'an dan alam. Kata-kata merupakan kosa kata dari bahasa tertentu, dan meskipun itu alat utama kita berkomunikasi dan walau itu alat yang digunakan oleh Allah dalam Al-Qur’an, sebenarnya ada cara komunikasi lainnya. 'Tanda-tanda' yang ditemukan di alam, yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Tidaklah mungkin, ketika kita diingatkan kepada Allah melalui fenomena alam tertentu, untuk menjelaskan mengapa ini jadi pengingat yang efektif atau mengatakan apa tepatnya yang disampaikannya kepada kita. Itu tak mengurangi khasiatnya. Orang menganggap remeh komunikasi antara makhluk manusia, namun itulah salah satu mukjizat besar, sebanding pada tingkat yang lebih rendah dengan keajaiban tertinggi komunikasi antara Mutlak transenden dan makhluk ciptaan yang bahkan tak mampu membayangkan keagungan-Nya.
Mengabaikan kewajiban kita terhadap alam, tak hanya merugikan diri kita sendiri dan mungkin, dalam jangka panjang, membahayakan kehidupan umat manusia, melainkan pula pengkhianatan terhadap Amanah yang kita terima tatakala kita menjadi saksi Keilahian Allah dalam sumpah masa lalu kita (fitrah). Dan, dengan setia pada Amanah itu, kita juga melindungi dan memajukan kepentingan kita sendiri selama keberadaan kita di dunia dan kepentingan generasi mendatang.

Dari perspektif Al-Qur'an, krisis lingkungan saat ini, hendaklah dilihat sebagai akibat langsung dari aktivitas manusia. Oleh sebab itu, solusinya dengan mengubah perilaku manusia. Kehidupan seperti apa yang akan engkau jalani? Dalam Dien kita, jalan agama kita, kita telah diajarkan hadir di dunia, merencanakan kehidupan ini dan sesudahnya. Tapi berada di dunia ini, bermakna memahaminya, menekuninya, dan mendapatkan informasi. Tatkala berhadapan dengan limbah, misalnya, pertanyaan esensialnya bukanlah, 'Apa itu limbah?' Pertanyaan pentingnya, 'Darimana asalnya?' Kita semua, bagian dari prosesnya, maka masuk akal bagi kita agar mendidik diri kita sendiri tentang konsumsi, konsumsi berlebihan, dan tanggapan terhadap masing-masing.
Hubungan antara iman dan lingkungan dimulai, tentu saja, melalui ibadah. Dari sana, kita dapat merenungkan hubungan kita dengan Allah dan dengan planet ini, serta bagaimana kita hidup di dalamnya.
Konsumsi berlebihan dapat membutakan kita terhadap peran kita sebagai pelindung Bumi—yang dalam Islam kita sebut sebagai Khalifah. Menjadi pelindung planet ini, bermakna mencermati kebiasaan konsumsi kita. Kita mengkonsumsi sesuatu setiap hari—dengan makan, minum, bersih-bersih, bepergian, membeli barang-barang baru, dan dengan menggunakan sumber daya planet dalam beragam cara. Konsumsi berlebihan kita yang terus-menerus, menghasilkan pemborosan yang tiada henti. Gundukan sampah yang membuncah, mengakibatkan peningkatan toksisitas di tanah, udara, lautan dan sungai, dan juga di dalam tubuh kita. Apa yang kita lakukan terhadap planet ini, merupakan cerminan dari apa yang kita lakukan terhadap diri kita sendiri. 
Contoh lain adalah air, media pemahaman, iman, dan hikmah, serta kunci pengamalan Islam. Shalat membuka qalbu, dan persiapan shalat, jasmani dan rohani, membutuhkan air. Saat shalat membuka hati kita, kita akan lebih selaras dengan tanda-tanda Allah yang ada di sekitar kita. Air merupakan salah satu dari tanda-tanda ini. Baik itu dalam kabut lembut yang mendinginkan bibirmu, maupun di antara jari-jemari kakimu saat engkau berjalan tanpa alas kaki, melewati rerumputan panjang yang diselubungi embun pagi, air penting sebagaimana jalan Islam kita, keyakinan yang selaras dengan melindungi dan menghargai planet ini.
Air merupakan bagian integral dari sebagian besar tradisi keagamaan. Kebanyakan jemaat Kristen dibaptis dengan cara dicelupkan tiga kali ke dalam air, menandakan kelahiran mereka dalam kehidupan baru, di dalam gereja. Dalam Yudaisme, tradisi mikvah, atau ritual mandi, digunakan untuk mencapai kesucian spiritual. Bagi umat Hindu, Sungai Gangga dianggap suci dan digunakan sebagai permandian rohani. Beberapa agama tradisional punya upacara yang menghormati roh di lautan atau di air terjun. Sebelum 2 miliar umat Islam menghadap Rabb mereka dalam shalat, mereka  berwudhu—ritual penyucian.
Air diperlukan untuk bertahan hidup dan bagi sukma. Nabi kita tercinta (ﷺ) meminum air-hangatnya di pagi hari, dengan madu. Kita duduk di tepi laut, sungai, dan kolam,  tercenung. Air membuat kita terpana oleh keindahannya dan menakuti kita dengan kekuatan penghancurnya yang dahsyat.
Air merupakan salah satu tanda-tanda Allah yang paling konstan dan dapat diandalkan. Masalahnya: jika air sebegitu sucinya dan menyatu dengan semua jalur di planet ini, mengapa hampir satu miliar orang tak punya air minum segar setiap hari? Jika air sangat penting bagi kebersihan, lalu mengapa pencarian air mendominasi waktu yang, semestinya, bisa dihabiskan bagi pendidikan dan mencari nafkah lainnya? Jika air dibutuhkan bagi  kehidupan, lalu mengapa kita menyembunyikannya dari mulut orang yang amat membutuhkannya?
Ketika air digunakan secara tidak benar, ia menjadi saluran kematian, bukan kehidupan. Kekurangan air tak semata bermakna kekurangan apa yang dibutuhkan tubuhmu untuk menopang dirinya sendiri, tetapi juga kurangnya sanitasi. Hampir semua masalah diare di seluruh dunia disebabkan oleh air yang tak aman, sanitasi yang tak laik, atau kebersihan yang tak memadai, akibat kurangnya akses ke air bersih. Ekstraksi air di negara berkembang, juga memakan banyak korban perempuan, yang, di banyak negara, harus berjalan-kaki rata-rata hampir 6 km, cuma untuk mendapatkan air. Statistik  ini melukiskan gambaran suram iklim air dunia.
Berbuat jahat terhadap makhluk hidup apa pun, laksana melakukan kejahatan terhadap seluruh umat manusia. Membatasi akses ke air, sama saja dengan menimbulkan kerugian. Melakukannya, berakibat yang mengerikan: kematian dan penyakit.
Energi, contoh berikutnya. Kita memperoleh kekuatan yang kita gunakan dari sumber terbarukan dan tak terbarukan. Sumber-sumber tak terbarukan meliputi minyak, gas, batubara, dan energi nuklir—sumber yang kita ekstrak dari kedalaman bumi. Sebaliknya, sumber terbarukan berasal dari angin dan matahari, dan dari praktik konsumsi yang lebih berkelanjutan, termasuk peningkatan efisiensi. Seruan ekonomi hijau dan gawaian hijau, adalah tentang energi dari efisiensi, kreativitas, dan inovasi.
Sumber energi tak terbarukan yang berasal dari dalam tanah itu, direnggut dari Ibu Pertiwi, kotor, dan merupakan penyebab utama polusi dan perubahan iklim. Energi tak terbarukan dicedok dari Bumi, namun tanpa memberi kembalian. Keadaan inilah yang mengganggu keseimbangan (mizan) alam semesta dan karenanya merupakan kezhaliman yang besar (dzulm). Dien Islam menyerukan supaya manusia menjaga keseimbangan Bumi dan memperlakukannya dengan adil. Allah menyerukan seluruh insan menuju keadilan, sebagaimana yang Dia firmankan,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ ۚ اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَاۗ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰٓى اَنْ تَعْدِلُوْا ۚ وَاِنْ تَلْوٗٓا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
'Wahai orang-orang beriman, jadilah kamu penegak keadilan dan saksi karena Allah, walaupun kesaksian itu memberatkan dirimu sendiri, ibu bapakmu, atau kerabatmu. Jika ia (yang diberatkan dalam kesaksian) kaya atau miskin, Allah lebih layak tahu (kemaslahatan) keduanya. Maka, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang (dari kebenaran). Jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau berpaling (enggan menjadi saksi), sesungguhnya, Allah Maha Teliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.' [QS. An-Nisa (4):135]
Salah satu cara agar kita dapat menonjolkan keadilan adalah dengan mengakhiri, sedikit demi sedikit, ketergantungan kita pada minyak dan batubara. Energi tak terbarukan sangat merusak dan tidak adil bagi manusia dan planet ini. Minyak dan batubara, beracun bagi air, langit, dan tanah.
Minyak ada dimana-mana. Perusahaan minyak merupakan organisasi-organisasi cuan di dunia, yang paling, 'enak gila!' Kebanyakan orang di planet ini, menggunakan minyak dengan cara tertentu. Hampir tiada seorang pun di planet ini, yang tak mengonsumsi minyak dalam transportasi, dalam memanaskan mobilnya, atau dalam barang yang diproses dengan minyak, seperti plastik. Karena kita semua terlibat dalam menciptakan permintaan akan minyak, kita masing-masing juga dapat terlibat dalam keputusan membatasi penggunaan minyak.
Tempat adanya minyak berlimpah, juga terjadi dimana konflik internasional terjadi—semisal Irak, Iran, dan Nigeria. Contoh saat ini tentang gangguan keseimbangan alam dan ketidakadilan yang dihasilkan terkait dengan ekstraksi minyak, dapat dilihat di Suaka Margasatwa Nasional Alaska dan di Teluk Meksiko, dimana ketergantungan kita pada minyak mengancam dan menghancurkan keseimbangan alam kehidupan. Di Alaska, udaranya bersih, airnya bersih, dan tanahnya nyaris tak tersentuh. Di bawahnya, terdapat bagian bumi yang tak bernoda. Ketergantungan kita pada minyak, mengancam kehidupan manusia. Misalnya, tingkat asma, hipertiroidisme, dan kanker payudara di Alaska, telah berlipat ganda secara eksponensial seiring dengan meningkatnya upaya mengekstraksi minyak Alaska. Kendati tak ada penyebab langsung yang terbukti, pasti ada korelasi antara kemunculan industri minyak, tekanan yang ditimbulkannya, dan kesehatan masyarakat setempat.

Batubara merupakan sumber utama listrik yang menggerakkan kehidupan kita. Pikirkan tentang berapa banyak televisi yang engkau punyai di rumah. Boleh jadi, ada satu di ruang tamu, satu di setiap kamar tidur, dan mungkin satu lagi yang lebih kecil di dapur, atau di kamar mandikah? Sekarang pikirkan tentang komputer dan laptop. Berapa banyak yang dimiliki rumah tanggamu? Bagaimana dengan ponsel, baik yang jadul maupun yang boba? Bukankah semua perangkat ini, perlu dicolokkan dan diisi dayanya? Jika engkau tinggal di daerah, dimana listrik berasal dari pembangkit listrik tenaga batubara, setiap kali ada sesuatu yang melonjak dengan daya, batubaralah biang keroknya.
Menjalankan Dien kita, menuntut agar kita mengetahui ilmu di balik banyak proses yang menggerakkan kehidupan ini. Proses pembakaran batubara untuk menghasilkan listrik, dimulai dari pembangkit tenaga listrik, dimana batubara digiling menjadi bubuk halus. Saat bubuk ini dibakar, ia menghasilkan uap, yang memberikan tenaga ke mesin turbin yang menggerakkan generator. Generator menggunakan magnet dan logam seperti tembaga dan aluminium untuk memunculkan aliran elektron—partikel atom yang amat mungil. Inilah listrik.

Ada hal menarik dalam komik Naruto, di negeri, seperti biasa, Konoha: bila Sinchan yang lucu, membeli kendaraan listrik, maka ia dapat subsidi. Tapi Sinchan gak tergoda. Mulai dari Presiden hingga Perdana Menteri Konoha, telah berusaha merayu Elon Musk agar membangun pabrik di sana, tampaknya, Musk masih mikir-mikir dulu, tapi ngeprank. Yaah, namanya juga negeri komik.
Listrik diukur dalam watt. Semakin banyak listrik yang engkau gunakan, semakin banyak watt yang engkau konsumsi. Bola lampu 60 watt menggunakan lebih banyak listrik daripada bola lampu 45 watt. Bohlam 60 watt lebih terang dan menghasilkan lebih banyak cahaya ketimbang bohlam 45 watt. Oleh karenanya, bola lampu 60 watt membutuhkan pula lebih banyak batubara untuk menghasilkan aliran elektron yang lebih besar guna menghasilkan listrik yang mengeluarkan cahaya. Pikirkan kota-kota besar seperti New York, Los Angeles, dan Chicago. Pikirkan jumlah listrik yang mereka pakai. Lupakan watt; penggunaan listrik kota diukur dalam megawatt (jutaan watt) atau gigawatt—miliaran watt! Karena batubara murah dan tersedia, batubara digunakan menggerakkan kota-kota besar ini. Batubara terkesan sebagai sumber energi yang mempesona, tetapi berbeban biaya yang teramat mahal.

Permasalahannya ialah, perbuatan dan perilaku seseorang, dan di balik setiap tindakan, ada Etika. Posisi Etika Islam dalam hubungannya dengan lingkungan, cukup sederhana dipahami. Allah berfirman,
قُلْ لَّا يَسْتَوِى الْخَبِيْثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ اَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيْثِۚ فَاتَّقُوا اللّٰهَ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
'Katakanlah, 'Tidaklah sama yang buruk dengan yang baik meskipun banyaknya yang buruk itu, menarik hatimu. Maka, bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang yang berakal-sehat, agar kamu beruntung.' [QS. Al-Ma'idah (5):100]
Allah telah menciptakan bumi dan segala isinya ‘teruntuk’ manusia. Maknanya, manusia dapat menggunakannya, sesuka hatinya, tapi dengan pengertian bahwa ia bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya, bahwa ia sedang diawasi dan diuji, dan bahwa ia akan diberi penghargaan atau ganjaran yang pantas.
Namun, meski segala sesuatu dalam ciptaan itu, 'teruntuk' manusia, juga ada sebagai tanda bagi manusia agar merenungkan kekuasaan Allah dan bersyukur atas rahmat-Nya. Pengakuan kembar inilah—kekuasaan Allah yang agung, yang terwujud dalam ciptaan-Nya, dan rahmat-Nya yang agung terhadap ciptaan—yang mengarahkan dan membentuk dasar bagi manusia sebagai, yang beribadah, dan menurut Al-Qur’an, ibadah merupakan fungsi dasar manusia di bumi ini. Dalam Islam, setiap tindakan ketaatan kepada Allah merupakan tindakan ibadah. Maka, menyembah Allah bermakna menaati Allah dalam segala perintah dan larangan-Nya, yang bersama dengan penilaian yang lebih rinci, yang diturunkan darinya, membentuk hukum Islam, atau fikih.
Dari perspektif fikih, pertanyaan tentang bagaimana memanfaatkan lingkungan, pada akhirnya merupakan salah satu hak atas, dan penggunaan, sumber daya alam. Oleh karenanya, menjadi masalah utama ekonomi, meskipun, ada soal etika yang tersirat di baliknya. Pemanfaatan sumber daya yang benar menurut syariah, hanya memungkinkan dalam kerangka kerja politik yang fungsional.
Ada banyak penilaian rinci yang bertaut dengan sumber daya alam dalam Islam. Dapat ditemukan dalam buku fikih yang terperinci, di bagian yang membahas perburuan, pertanian, peternakan, hak atas tanah dan air, dll, belum lagi bab-bab umum tentang transaksi bisnis.

Karenanya, kita perlu didikan—dan mendidik orang lain—tentang isu dan solusi lingkungan. Cara manusia mengelola sistem utama air, limbah, energi, dan makanan, telah menentukan peradaban sepanjang sejarah. Mari kita lihat beberapa cara air, limbah, energi, dan makanan menjadi simbol zaman mereka: Bangsa Romawi membangun saluran air yang ternama guna mengalirkan air ke kota-kota. Penyebaran wabah pes sebagian besar disebabkan oleh kekeliruan pengelolaan sampah.
Keputusan menggunakan tenaga nuklir untuk listrik, menentukan pertengahan abad terakhir—baik dan buruknya. Pengelolaan makanan, dalam sebagian besar sejarah yang diketahui, telah dilakukan dalam skala lokal—dari desa ke desa, melibatkan keluarga dan sistem lokal kecil.
Baik dan buruknya, kita manusia, telah berusaha yang terbaik mengelola sumber daya yang kita miliki, tetapi kita dapat dan seyogyanya melakukan yang lebih baik. Tak pernah ada dalam sejarah dunia, manusia terkait lebih permanen dibanding kita sekarang ini. Konektivitas ini, merupakan tantangan sekaligus berkah. Kita dapat memanfaatkan kekuatan manusia ini, untuk meminta pertanggungjawaban lembaga-lembaga kita dan menemukan cara yang lebih baik untuk mengalirkan air kepada yang dahaga, makanan kepada yang lapar, dan kekuasaan bagi yang tekun—yang punya kesiapan, kreativitas, dan gagasan. Kita hendaknya menjadi hamba terbaik yang kita bisa, dan kita hendaklah menemukan cara yang lebih baik untuk mengurangi dampak kelakuan kita terhadap planet ini. Selamat berhijrah dan selamat Tahun Baru Hijriah, saudara-saudariku. Wallahu a'lam.”

"Morning has broken like the first morning, blackbird has spoken like the first bird," Cat Stevens mulai bergamat. Saatnya berangkat, Wulandari hendak bergerak sambil bersenandung, bukan lagi punya Cat Stevens, melainkan milik Alan Walker,

We've been chasing our demons down an empty road
[Kita selama ini, mengejar kejahatan diri kita, di sana di jalan melompong]
Been watching our castle turning into dust
[Menyaksikan kastil kita berubah jadi debu]
Escaping our shadows just to end up here once more
[Menjauhi bayangan kita, yang cuma akhirnya, balik lagi ke sini]
And we both know, this is not the world we had in mind
[Dan kita berdua tahu, bukan ini dunia yang kita bayangkan]
but we got time
[tapi kita punya waktu]
We are stuck on answers we can't find
[Kita terjebak pada jawaban yang tak dapat kita temukan]
but we got time *)
[tapi kita punya waktu]
Kutipan & Rujukan:
- Harfiyah Abdel Haleem (ed.), Islam and the Environment, 1998, Ta-Ha
- Ibrahim Abdul-Matin, Green Deen: What Islam Teaches About Protecting the Planet, 2010, Berrett-Koehler Publishers
- Richard C. Foltz, Frederick M. Denny & Azizan Baharuddin, Islam and Ecology: A Bestowed Trust, 2003, Harvard University Press
- Sayyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, 1990, Mandala
*) "Different World" karya Magnus Bertelsen / Gunnar Greve / Alan Olav Walker / Fredrik Borch Olsen / Sara Hjellstrom / Kenneth Nilsen / James Daniel Njie Eriksen / Meng Zhou Hu