"Jauh di awang-awang sana, dua planet bertemu," berkata Wulandari, sumringah dengan senyum cerianya yang indah, menyambut tahun baru Hijriah. Bintang di cakrawala melebihi jutaan, dan milyaran lampion di lepaskan para insan, namun tiada yang secantik kenirmalaan sang rembulan. Lalu ia meneruskan, "Planet yang satu ngomong ke planet lainnya, 'Loe kliyatan jellek!' Planet yang satunya, menjawab, 'Iya nih, gua juga gak enak badan.'
'Ada apa dengan loe?' tanya yang pertama. 'Ada homo sapiens di mari!' yang kedua mengeluh. 'Oh, ada apa dengan mereka?' tanya planet pertama.
Planet tersebut berceloteh, 'Tiga homo sapiens sedang mancing, menikmati birunya samudra Karibia. Salah seorang dari mereka bilang gini, 'Rumah gue terbakar. Gue kehilangan segalanya, tapi perusahaan asuransi membayarnya, dan itulah mengapa gue ada di sini.’
Yang kedua ngomong gini, 'SPBU gue meledak. Gue kehilangan segalanya, tapi perusahaan asuransi membayarnya dan itulah sebabnya gue ada di sini.’
Yang ketiga bersuara, 'Lahan pertanian gue kena banjir bandang. Gue kehilangan segalanya, tapi perusahaan asuransi membayarnya dan begitulah, akhirnya gue ada di sini.’
Yang pertama noleh padanya, trus nanya 'Banjir? Gimana caranya, loe ngundang banjir?
Planet pertama terkekeh, 'Jangan khawatir, gua juga pernah ngerasain gitu kok.'"
“Terkadang, atau bahkan seringkali, Dien kita, Islam, dilambangkan dengan warna hijau,” lanjut Wulandari. "Coba perhatikan tangkup masjid An-Nabawi, bagaikan lonceng hijau. Hijau konon warna kesukaan Nabi kita tercinta (ﷺ). Ada sebuah hadits dalam Shahih Al-Bukhari, diriwayatkan oleh 'Aisya, radhiyallahu 'anha, menyatakan, 'Ketika Rasulullah (ﷺ) wafat, beliau (ﷺ) diselubungi dengan Hibra,' yakni kain bermotifkan kotak hijau. Satu sosok yang disebutkan dalam Al-Quran, Al-Khidr, disebut 'ia yang hijau,' sebagai perlambang kehidupan yang langgeng. Warna hijau ini, dalam pemikiran Islam, dipandang pula sebagai simbol surga dan makhluk surgawi, nabi dan imam, dan juga sebagai tahap perilaku mistik dalam mistisisme dan tasawuf. Keimanan, hikmah, awet-muda dan vitalitas, dll, merupakan simbol lain dari warna hijau. Warna hijau, dalam bahasa Arab, akhdar, juga melambangkan moderasi, atau simbol alam dan kehidupan. Maka, kita dapat memaknai perlambang ini dengan mengatakan: Umat Islam hidup dengan prinsip-prinsip etika, yang memandu bagaimana mereka berinteraksi dengan dunia. Menerapkan hubungannya dengan lingkungan guna lebih menyelami Tauhid, memperhatikan dan merenungkan ayat-ayat atau tanda-tanda Allah dimana-mana, menjadi khalifah di Bumi, menghormati amanah yang kita miliki dengan-Nya agar menjadi pelindung planet ini, bergerak menuju al-adl atau keadilan, dan hidup dalam mizan atau keseimbangan dengan alam. Umat Islam hidup dan mempraktikkan Islam, sembari juga menghargai lingkungan.
Masalah Lingkungan telah menjadi bahasan yang menarik akhir-akhir ini. Sebelum Darwin, pentingnya Lingkungan terangkum dalam kata Penciptaan. Sejak Darwin, Penciptaan telah menjadi kata yang usang di kalangan ilmiah.
Umat manusia telah dimuliakan Allah dalam banyak hal: Dia, Subhanahu wa Ta'ala, menganugerahkannya ilmu yang tak dipunyai, bahkan oleh para malaikat; dan menjadikan mereka khalifah, jika bukan seluruh bumi, paling tidak, pada makhluk dan zat yang bermanfaat buat mereka.
Al-Qur'an mengajak manusia supaya berpikir, merenungkan dan menafakurkan tanda-tanda dan keajaiban ciptaan Allah: bagaimana Dia menjadikan matahari dan bulan sebagai alat penunjuk waktu bagi manusia, bagaimana Dia memungkinkan manusia melakukan perjalanan melalui laut, dan mendapatkan makanan dan transportasi dari margasatwa tertentu.
Al-Qur'an mendorong manusia agar meneliti sampai batas kemampuan mereka, ragam fenomena yang mereka lihat tentangnya—mengajukan pertanyaan, akan tetapi, para makhluk yang disebut Menungso ini, takkan sanggup memahami apapun dari ilmu-Nya, kecuali Dia menghendakinya.
Al-Qur'an itu, samudera, tetapi kecerdasan dan pemahaman manusia sangat terbatas. Sebagai makhluk manusia, kita hampir tak mampu mencakup semua aspek agama kita dan memberikan bobot yang benar kepada masing-masing aspek. Tak dapat dipungkiri bahwa kita di masa lalu menekankan aspek-aspek tertentu dari Iman, sesuai dengan kebutuhan kita dan mengabaikan yang lainnya. Itu yang diharapkan. Tapi ini menunjukkan bahwa masih banyak lautan yang belum dijelajahi. Ada di dalam Al-Qur'an, seperti juga di dalam Sunnah, unsur-unsur yang tak dikembangkan sampai pada kesimpulan logisnya karena keadaan tak mengharuskan demikian. Namun, andai kita dapat mengganti citra lautan dengan yang lain, kedua sumber ini, dapat dibandingkan dengan bebatuan darimana mata air memancar dan darimana mata air baru mungkin menyembur ketika waktu menuntut pembaruan ini.
Yang dimaksud bukanlah 'penaklukan' alam oleh manusia seperti yang dipikirkan sebagian orang, melainkan 'mengamati untuk menemukan' dan penggunaan cara penciptaan benda-benda ini—Sunnatullah. Bukankah sains itu, tiada lain selain proses penemuan 'hukum alam' sehingga dapat digunakan meladeni umat manusia? Jika 'hukum-hukum alam' itu diubah, atau berbeda, atau bahkan secara tak terduga diganggu, manusia takkan dapat lagi mengendalikan alam, seperti kapal yang disebutkan dalam Al-Qur'an, terombang-ambingkan oleh badai. Orang-orang di dalamnya, semata mengingat Allah dikala mereka merasa tak menguasai keadaan, namun begitu mereka merasa aman, mereka melupakan-Nya lagi.
Demikian pula, kini kita menemukan bahwa gangguan pada lingkungan, mengancam kendali kita terhadapnya dan kita mulai khawatir, dan menghargai keseimbangan 'alam' yang baik, yang telah kita remehkan selama ini.
Ahli lingkungan menunjukkan banyak hasil destruktif dari sains manusia dan penerapannya di dunia modern. Allah berfirman,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
'Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).' [QS. Ar-Rum (30):41]
Ditunjukkan pula, cara yang benar berinteraksi dengan lingkungan. Selama manusia memuliakan Allah, dan cara Dia mengatur ciptaan-Nya, Dia akan menolong mereka. Allah berfirman,
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
'Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah ditata dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya, rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.' [QS. Al-A'raf (7):56]
Dia, Subhanahu wa Ta'ala, menetapkan takaran bagi segala sesuatu dan mengatur Keseimbangan atau Mizan. Keseimbangan ini, saling terkait dengan sangat lembut, sehingga perbuatan sekecil apapun dari makhluk terkecil pun, secara teori, dapat membuat semua perbedaan antara, misalnya, cuaca yang cerah dan badai. Ini disebut, dalam teori chaos, the Butterfly Effect (Efek Kupu-Kupu). Berapa banyak lagi perbuatan manusia berakibat pada keadaan lingkungan? Dengan pemikiran ini, 'Keseimbangan' dalam Al-Qur'an tak semata merujuk pada 'keseimbangan ekologis' yang kita kenali sekarang ini dari sains. Paling sering, ia bermakna Mizan Keadilan, yang menimbang perbuatan manusia, Benar dan Salah (Etika). Ada cara hidup yang benar dan ada cara yang salah. Manakala manusia mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Sang Pencipta, maka keseimbangan akan terjaga, jika mereka melawannya, keseimbangan akan terganggu, tetapi, karena Allah, Sang Pencipta, kuasa atas segala sesuatu, keseimbangan yang diciptakan-Nya akan pulih, tapi dengan mengorbankan orang-orang yang mengusiknya. Hasil dari kerusakan itu, akan jatuh di atas kepala mereka sendiri.
Al-Qur'an tak mengutuk harta dan membelanjakan uang, bahkan menganjurkannya, asalkan dikeluarkan dengan cara yang baik, di jalan Allah. Namun dikatakan bahwa harta-kekayaan tak boleh semata beredar di antara genggaman orang kaya, tapi seyogyanya dibagikan sebagai hak bagi mereka yang tak berkecukupan. Al-Qur'an mendorong kalangan usahawan dan pengembangan sumber daya alam, akan tetapi, mencela perolehan cuan berlebihan dan riba yang mendistorsi pasar.
Yang paling berhak memiliki lahan adalah orang yang mengolahnya dan menghijaukan tanah yang tandus. Sebaliknya, seperti yang dikatakan Al-Qur'an, perbuatan orang-orang yang tak benar, dapat dikenali dari perusakan lingkungan mereka, apa pun yang mereka niatkan dan nyatakan:
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِۙ قَالُوْٓا اِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ
'Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Janganlah berbuat kerusakan di bumi,' mereka menjawab, 'Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.' [QS. Al-Baqarah (2):11]
Al-Qur'an mengutuk mereka yang menumpuk harta, menganggap bahwa kekayaan itu akan membuat mereka hidup kekal-abadi; orang-orang yang. tampak shalih, namun tak membantu anak-yatim atau memberi makan yang membutuhkan, dan menolak berbuat baik walau secuilpun. Inilah orang-orang yang tak berperasaan terhadap ciptaan Allah dan makhluk-makhluk-Nya membuat mereka tak sadar, dan lalai akan kerusakan yang mereka perbuat dalam mengejar harta. Diantara merekalah ada orang-orang yang menebang hutan megah dari pohon-pohon besar buat menyediakan kayu keras bagi perabot kantor, bingkai jendela, bahkan kertas, dan tak hirau tentang bagaimana memupuk kembali hutan; orang-orang yang menangkap ikan dalam jumlah besar dari laut, mengabaikan fakta bahwa mereka tak membiarkan kehidupan laut mengisi kembali dirinya sendiri; mereka yang menindas orang lain dan membuatnya miskin, yang memaksa mereka keluar dari lahannya sendiri, membiarkan mereka tanpa mata pencaharian, dan kemudian mempekerjakan mereka dengan upah rendah di lahan mereka sendiri untuk bercocok-tanam guna dipasarkan supaya majikan mereka kaya; mereka yang bahkan membunuh dan melukai orang lain demi memperoleh cuan dari lahan yang telah mereka rampok. Inilah orang-orang yang menyebabkan kerusakan langsung pada lingkungan.
Cuan hendaklah moderat dan adil. Kartel dan monopoli, penimbunan, dan metode lain apa pun demi mengaduk-aduk harga pasar secara artifisial, terlarang dalam hukum Islam. Kantor perlindungan konsumen dan pengawasan pasar, muhtasib, didirikan pada masa khilafah Umar bin al-Khattab (w. 644 M) guna memastikan bahwa harga yang adil dan kontrol kualitas, dipertahankan.
Sarana menghasilkan cuan hendaknya secara umum bermanfaat bagi masyarakat. Setiap perdagangan berbahaya, seperti narkoba atau alkohol, terlarang. Dengan analogi, perdagangan bahan kimia berbahaya, setelah terbukti demikian, juga semestinya dilarang, seperti halnya tembakau dan produk konsumen berbahaya lainnya, seperti bensin yang mengandung timbal, dan CFC yang merusak lapisan ozon.
Tiada orang yang beriman kepada Allah yang dapat mencibir orang yang dengan sungguh-sungguh berjuang melindungi lingkungan dan makhluk Allah, atau berpendapat bahwa gawai hendaklah dilakukan sebelum melindungi lingkungan. Lingkungan itulah gawaian. Tak ada produk, walau kecil dan tak penting, yang dapat dibuat tanpa menggunakan bahan-bahan alami yang berasal dari bumi beserta fauna dan floranya. Makanan tak dibuat di supermarket, atau bahkan di pabrik, melainkan ditanam di bumi Allah, dipelihara dengan hujan-Nya dan dipanen oleh para pekerja yang diciptakan-Nya. Mobil dan lori yang mengangkutnya, dibangun dari besi yang digali dari dalam tanah, dan plastik yang terbuat dari minyak yang dulunya pepohonan. Listrik dihasilkan dari panas yang diproduksi oleh pembakaran batu bara, minyak dan gas dari bawah bumi, dan dari uranium yang digali dari dalam bumi. Pensil dibuat dari pohon, dan komputer dibuat dari minyak dan logam yang digali dari kedalaman bumi. Kecerdasan yang digunakan manusia demi merancang sarana untuk menggunakan sumber daya ini, juga merupakan anugerah Allah, Yang pertama kali mengajarkan kepada Adam, nama-nama benda, dan menundukkan bumi dan banyak makhluknya, agar dipergunakan umat manusia.
Allah memberikan tanggungjawab kepada umat manusia sebagai khalifah—yang pada dasarnya bermakna penerus, tapi diterjemahkan pula secara beragam sebagai wakil, agen, pengurus—untuk merawat Ciptaan-Nya. Di dalam Al-Qur'an, tanggungjawab ini disebut al-amanah—kepercayaan, yang ditolak oleh gunung-gunung dan segala ciptaan, tapi diambil alih oleh umat manusia oleh kebodohannya.
Maka, masing-masing dari kita, bertanggungjawab menggunakan barang sedikit kekuatan yang kita miliki, supaya membuat keadaan menjadi lebih baik, bukan lebih buruk. Kita hendaknya berusaha hidup hemat dalam artian menanam sebagian dari apa yang akan kita makan, menggunakan listrik dan bensin dengan cermat, bila memungkin berjalan kaki dan bersepeda dan menggunakan transportasi umum, dan berbagi apapun yang kita miliki dengan orang lain yang kurang beruntung.
Seperti yang telah dikonfirmasi oleh teori pembelajaran perusahaan belakangan ini, hanya ketika setiap orang dapat melihat lebih mendalam kebutuhan individu mereka sendiri terhadap efek yang mereka hasilkan pada komunitas lainnya, barulah seluruh komunitas mulai bekerja dengan baik dan beradaptasi untuk bertahan hidup sebagai organisme yang dapat terus berjalan. Para ahli lingkungan sepakat bahwa pendidikan dan informasilah, cara terpenting guna memperbaiki keadaan.
Persatuan, amanah dan akuntabilitas, yaitu tauhid, khalifah dan akhirat, tiga konsep sentral Islam, yang pula, merupakan pilar Etika Lingkungan Islam. Ketiganya merupakan nilai-nilai dasar yang diajarkan Al-Qur’an. Nilai-nilai inilah yang membuat kekasih kita (ﷺ) bersabda, 'Barangsiapa menanam pohon dan dengan rajin merawatnya sampai matang dan menghasilkan buah, maka ia akan beroleh pahala', dan 'Jika seorang Muslim menanam pohon atau menabur benih di lahan, kemudian manusia, satwa, dan unggas memakannya, semua itu, amal untuknya', dan sekali lagi, 'Dunia ini hijau dan indah, dan Allah telah menunjukmu sebagai pengurusnya.' Kesadaran lingkungan lahir ketika nilai-nilai seperti ini, dianut dan menjadi bagian intrinsik dari dandanan mental dan fisik kita.
Dengan berakhirnya abad yang sangat penting dalam sejarah umat manusia, masalah lingkungan mengambil peran yang semakin menonjol dalam urusan-urusan kita. Ada kesadaran yang terus berkembang bahwa ini bukanlah sekadar masalah tertentu. Penyalahgunaan kita, yang terus-terusan dan masif terhadap planet ini, selama empat atau lima abad terakhir, kini dicermati oleh 'Ibu Pertiwi' dan ia memprotes keras, sangat membuat kita tak nyaman. Berita tentang bencana lingkungan merupakan hal yang biasa dan cerita tentang bencana lingkungan, kini menjadi makanan sehari-hari media.
Terlepas dari semua organisasi pemerintah, non-pemerintah, internasional dan nasional, yang telah dibentuk, dan seluruh kalimat yang telah tertulis tentang hal ini, dan segala upaya yang telah dilakukan demi menghasilkan 'solusi' bagi masalah lingkungan yang kita hadapi saat ini, konsensus umumnya bahwa kita meluncur menuruni lereng yang licin, menuju bencana dengan kecepatan yang terus bertambah.
Masalahnya ialah konstruksi konseptual yang berfungsi di dalam dunia modern, jelas anti-lingkungan. Masyarakat kekinian adalah tentang kemajuan ekonomi dan perolehan materi, dan ini lebih diutamakan dibanding yang lain. Politik semata tentang meningkatkan standar hidup dan hanya ada satu sumber darimana kita dapat memperoleh kekayaan, yang memungkinkan kita melakukan ini, dan itulah bumi. Mengeksploitasinya lebih diutamakan ketimbang melindunginya. Menggunakan produk nasional bruto dan tingkat pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran kemajuan merupakan manifestasinya yang sangat nyata. Oleh karenanya, setiap upaya menghasilkan solusi bagi masalah lingkungan, merupakan kosmetik, tapi kosmetik yang cuma sebentar dan kemudian pudar, meninggalkan lingkungan dengan masalah yang lebih kompleks dan dilain waktu, ditutup-tutupi. Ia tak dapat dilindungi secara permanen dan hidup kita dibuat cukup aman kecuali ada perubahan besar dalam sikap dan perubahan yang mapan dalam cara kita menjalankan urusan-urusan kita.
Pada sesi selanjutnya, kita masih akan membahas tentang Etika Lingkungan Islam, bi'idznillah.”