Senin, 03 Juli 2023

Kuda Milik Caligula (3)

"Di negeri konoha, di sebuah perusahaan yang berjaya pada masanya, sang bos memanggil salah seorang karyawan ke kantornya. 'Radja,' katanya, 'ellu udah kerja di perusahaan ini selama enam bulan. Loe memulainya di bagian surat-menyurat. Cuma dalam seminggu, loe dah dipromosi'in ke posisi penjualan, dan sebulan setelahnya, loe dipromosikan jadi manajer penjualan distrik. Hanya empat bulan kemudian, loe diangkat menjadi wakil presiden direktur. Sekarang saatnya gua pensiun, dan gua pingin, ellu yang ngelanjutin perusahaan ini. Bagaimana menurut loe?'
'Makasih,' kata sang karyawan.
'Makasih?' sahut sang bos. 'Loe cuman bisa ngomong gicu?'
'Oh, maaf,' jawab sang karyawan. 'Terimakasih ... Ayah!'"

"Let's move on," kata Wulandari. "Bayangkan, engkau dapat menjalani hidupmu, sedemikian rupa hingga engkau dapat melakukan apa pun yang engkau mau, kapan pun engkau hendak melakukannya, dan engkau takkan pernah tertangkap atau menghadapi konsekuensi apa pun atas tindakanmu? Artinya, engkau bisa nyontek saat ujian di sekolah, menjiplak surat-surat, tidur dengan siapa pun yang engkau inginkan, atau menggelapkan uang majikanmu, dan tak pernah khawatir ketangkap-basah. Dalam karya klasik Plato, The Republic, kata Scott B. Rae, mitos Gyges berangkat dari keadaan seperti ini. Sejalan dengan Frodo yang mengenakan cincin dalam film trilogi, The Lord of the Rings, Gyges diberi kesempatan hidup sebagai entitas tak terlihat, mampu melakukan apapun yang diinginkannya, tanpa ada yang mengetahui apa yang telah dilakukannya. Begitulah, ia dapat melakukan apapun yang ia mau, dan tentu, bakalan lolos begitu saja. Diberi kesempatan menjalani hidup seperti itu, pertanyaan yang diajukan Plato, 'Akankah seseorang ingin hidup bermoral? Dan jika demikian, mengapa?'
Setelah banyak dialog, Plato menyimpulkan, hidup bermoral pada dasarnya, berharga, terlepas dari manfaat tambahan apa pun yang dihasilkannya, atau bahaya yang memungkinkan seseorang menghindarinya.
Rae melanjutkan dengan pertanyaan, 'Bagaimana engkau menanggapi pertanyaan 'Mengapa harus bermoral?'' Moralitas penting lantaran kebanyakan orang, ketika mereka benar-benar jujur dengan diri-sendiri, mengasosiasikan perbuatan baik dalam hidup dengan menjadi orang yang baik. Berkarakter moral masih penting bagi konsep kebanyakan orang, tentang apa yang membuat seseorang berkembang dalam hidupnya. Sebagai contoh, sulit membayangkan seseorang dianggap sukses dalam hidup jika ia memperoleh kekayaannya dengan cara yang tak pantas. Sama sulitnya menyebut seseorang sukses, yang berada di puncak profesinya tapi memperdayai istrinya, menganiaya anak-anaknya, dan kerap mabuk-mabukan. Di sisi lain, kita berhak mengangkat seseorang sebagai model kehidupan yang baik, walau ia kekurangan banyak barang materi yang dipandang masyarakat. Salah satu alasan utama hidup bermoral ialah bahwa, hal tersebut merupakan inti dari sebagian besar konsep kepuasan manusia.
Hal yang sama berlaku bagi masyarakat secara keseluruhan. Kebanyakan orang, tak ingin hidup dalam masyarakat dimana moralitas tak dipentingkan, dimana konsep tentang benar dan salah, tak terlalu berpengaruh. Faktanya, tidaklah mungkin masyarakat beradab apa pun, dapat berlanjut kecuali peduli terhadap nilai-nilai moral utama, seperti keadilan, kepantasan, kejujuran, dan kasih-sayang. Etika itu penting, sebab memberi arahan kepada individu dan masyarakat yang punya perasaan bahwa mereka tak dapat berkembang tanpa moral. Yang inilah, yang kadang disebut sebagai social contract theory, yang menyatakan bahwa sebagai masyarakat, orang pada umumnya sepakat mematuhi aturan dan standar moral tertentu, demi ketertiban dan perdamaian sosial.

Moralitas penting karena pertanyaan moral merupakan inti dari masalah kehidupan yang paling vital. Moralitas berkaitan terutama dengan pertanyaan tentang benar dan salah, kemampuan membedakan keduanya, dan pembenaran perbedaan tersebut. Terkait erat dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa sih orang baik itu? Hal-hal apa yang patut dipuji secara moral? Apa yang dimaksud dengan kehidupan yang baik? Dan seperti apa masyarakat yang baik itu? Semua ini, sangat mendasar bagi pandanganmu tentang dunia. Engkau tak dapat merumuskan pandangan dunia yang memadai tanpa memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan moral ini. Pandanganmu tentang moralitas terkait dengan pertanyaan kritis lain yang harus dijawab oleh pandangan duniamu. Setiap orang punya pandangan dunianya, yaitu seperangkat lensa intelektual yang digunakan seseorang, guna melihat dunia. Tentu saja, tak semua pandangan dunia, dipikirkan dengan baik atau sepenuhnya konsisten; kendati demikian, setiap orang memilikinya.
Moralitas penting karena, dalam budaya global kita yang semakin beragam, sangat penting memecahkan apa yang mungkin menjadi masalah terpenting bagi kelangsungan hidup kita—yaitu, saling bergaul secara damai walau ada banyak perbedaan yang tak dapat didamaikan. Moralitas penting sebab kebajikan dan prinsip moral yang mustahak, dipertaruhkan dalam masalah publik dan lantaran etika merupakan harapan terbaik kita membangun kerangka kerja demi hidup bersama secara damai, terlepas dari perbedaan ideologis kita.
Moralitas penting karena para praktisi dalam berbagai macam profesi, berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan moral, baik mereka sadari atau tidak. Contohnya, moralitas merupakan fundamental politik, sebab politik dan hukum berkaitan dengan cara para menungso seharusnya mengatur kehidupan mereka secara bersama-sama dalam masyarakat. Selain itu, kedokteran dan sains, seperti genetika dan biologi molekuler, punya banyak nuansa moral karena berkaitan dengan bidang hidup dan mati yang bermuatan moral. Selanjutnya, praktik bisnis menyediakan berbagai ladang ranjau etis, yang dapat menantang integritas kaum lelaki dan perempuan, yang berjuang agar sukses dalam ekonomi global yang semakin kompetitif.
Moralitas penting lantaran engkau, setiap hari, menghadapi pilihan moral, baik di tempat kerja maupun dalam kehidupan pribadimu. Kerapkali engkau akan menghadapi dilema moral yang memilukan secara emosional, yang tak punya jawaban yang mudah. Banyak keputusan yang engkau buat sehari-hari, melibatkan pula pertanyaan tentang benar dan salah, beberapa di antaranya yang, boleh jadi, punya jawaban mudah, tapi sulit dikerjakan. Etika memberikan dasar bagi keputusan tersebut. Kebanyakan orang, punya gagasan tentang hal-hal seperti apa yang benar dan salah. Menjelaskan mengapa menurutmu, sesuatu itu, benar atau salah, merupakan pertanyaan lain. Dasar dimana engkau emngambil pilihan moral, seringkali sama pentingnya dengan pilihan itu sendiri. Namun, hanya sedikit orang yang telah mempertimbangkan secara memadai, bagaimana mereka membenarkan konsepsi mereka tentang benar dan salah.
Akhirnya, moralitas penting sebab perdebatan tentang beberapa masalah, termasuk aborsi, eutanasia, pernikahan sesama jenis, pengendalian senjata, dan hukuman mati, tampak tiada habisnya dan tak dapat didamaikan, dan mereka berjanji akan terus lanjut jauh ke masa depan. Andil yang dibagikan oleh banyak masalah ini ialah ketidaksepakatan mendasar atas sumber utama otoritas moral. Beberapa individu berpendapat bahwa otoritas moral pada akhirnya merupakan konstruksi manusia, sementara yang lain bersikeras bahwa otoritas moral berasal dari sumber transenden yang berada di luar manusia, seperti wahyu dari Tuhan atau alam-raya.
Saat engkau membaca surat-kabar dan berbagai majalah berita, serta beroleh info dari televisi, engkau akan semakin menyadari pentingnya isu-isu tersebut. Engkau bakal melihat pula bahwa, selain dari intervensi hukum, sebagian besar masalah ini, tak lebih dekat diselesaikan hari ini daripada sepuluh tahun yang lalu.
Kini, lebih banyak orang yang tertarik pada etika ketimbang di masa lalu. Beberapa dari minat itu, disebabkan oleh masalah kompleks yang ditimbulkan oleh teknologi, sementara yang lain, mengkhawatirkan kemerosotan moral masyarakat secara umum.
Selain itu, banyaknya skandal yang mengguncang komunitas bisnis dan profesi lain, membuat orang bertanya benarkah 'etika bisnis' dan 'etika profesional' memang oxymora [jamak: oxymoron; sesuatu (seperti konsep) yang terdiri dari unsur-unsur yang kontradiktif atau tak sesuai]. Beberapa orang menyadari perlunya menekankan etika dan karakter di berbagai arena pendidikan, termasuk sekolah umum. Banyak pula yang menyadari bahwa pendekatan pendidikan yang bernilai-nilai netral, sebenarnya tak netral sama sekali, bahkan ada yang menyatakan bahwa nilai-nilai netralitas seperti itu, mustahil. Meskipun ada penekanan yang lebih besar pada karakter, mengingat kegagalan etika bisnis yang dipublikasikan dengan baik, etika membantu menentukan karakter mana yang didambakan dan layak dikembangkan.

Ruggiero menyebutkan banyak masalah etika: Pendidikan, Media dan Seni, Seks, Pemerintahan, Hukum, Bisnis, Kedokteran, Sains, dan Perang. Kita akan mengambil beberapa kasus sebagai bahan perenungan.
Dalam bidang Pendidikan, seperti halnya dalam bisnis, kerap terjadi kekeliruan dalam mempromosikan seseorang. Misalnya, seorang guru sekolah menengah yang dihormati dengan pengabdian selama dua puluh tahun, dapat diangkat menjadi kepala sekolah di sekolahnya. Setelah melayani selama satu tahun dalam kapasitas baru ini,orang tersebut mungkin telah menunjukkan dengan jelas bahwa ia tak kompeten dalam urusan administrasi. Namun, pada saat itu, posisi mengajar sebelumnya sudah terisi. Coba pertimbangkan berbagai pertimbangan etis yang terlibat baik dalam mempertahankannya maupun memecatnya, dan putuskan tindakan apa dan kondisi apa yang akan menjadi solusi paling etis bagi dewan sekolah.
Kasus lain, setiap mata pelajaran akademik memiliki bidang kontroversi, pertanyaan oleh aliran pemikiran yang berbeda, dijawab secara berbeda. Misalnya, dalam psikologi ada perspektif Freudian, Jungian, dan Adlerian; Dalam sastra, ada beberapa pendekatan interpretasi, seperti estetika dan psikologis. Dapatkah diterima secara etis bagi seorang pengajar, mengajar hanya aliran pemikiran yang diterimanya secara pribadi? Akan berbedakah jawabanmu dalam hal kuliah pengantar daripada dalam kasus kuliah lanjutan?

Dalam bidang Media dan Seni, sebagian besar pertunjukan bakat di masa lalu, menghadirkan kontestan yang punya bakat nyata; kontestan yang kurang berbakat, disaring dalam fase awal kompetisi. Tetapi pertunjukan bakat modern, seringkali membalikkan pola ini—dari semua penampilan, banyak kontestan yang dipilih justru karena mereka sangat tidak berbakat. Akibatnya, mereka dicemooh oleh para juri. Tidak etiskah jika pertunjukan seperti itu, diproduksi? Tidakkah etis bila menontonnya?
Kasus lain, secara tradisional, para jurnalis diajari agar tak memasukkan pendapat pribadinya ke dalam liputan mereka. Tempat beropini, ditekankan, ada di halaman redaksi atau di kolom opini. Sekarang ini, pandangan itu telah berubah. Banyak para jurnalis belum mempelajari aturan tradisional; yang lain mengabaikannya begitu saja. Etiskah pencampuran opini dan fakta dalam laporan berita? Bagaimana dengan jurnalis yang menggunakan pendapat mereka guna memutuskan siapa yang akan diwawancarai—dengan kata lain, cuma mewawancarai orang-orang yang punya pandangan sama?
Kasus berikutnya, selama beberapa tahun, telah diakui secara luas bahwa TV berpotensi menjadi perangkat pendidikan terbesar dalam sejarah. (Tak semata mencakup apa yang saat ini dianggap sebagai TV pendidikan, melainkan pula TV komersial.) Punyakah industri TV itu, kewajiban moral mewujudkan potensi tersebut?

Di bidang Edukasi Seksual, dalam budaya kita, percabulan (hubungan intim antara pria dan wanita yang belum menikah) secara tradisional dipandang tak bermoral. Latarbelakang yang mendukung putusan ini, berkisar dari larangan agama hingga pertimbangan praktis, seperti bahaya kehamilan dan penyakit seksual yang menular. Liberalisasi pandangan agama, perbaikan teknik pengendalian kelahiran, dan pengembangan antibiotik telah melunakkan penilaian tradisional. Pertanyaan tentang benar atau salahnya percabulan jarang diperdebatkan lagi. Namun, ia tetap menjadi masalah yang bisa diperdebatkan.
Kasus lain, pergaulan bebas sering mengumbar hubungan intim dengan berbagai pasangan, dipilih tanpa pandang bulu. Tak bermoralkah pergaulan bebas itu?

Di bidang Pemerintahan, seorang pengusaha punya kepemilikan yang sangat berarti pada saham maskapai penerbangan. Ia mencalonkan diri sebagai anggota Dewan, terpilih, dan akan bertugas di fraksi Aktivitas dan Transportasi Pemerintah, yang mengadakan dengar-pendapat tentang masalah industri penerbangan, seperti keselamatan penerbangan. Etiskah baginya bila tetap memegang saham maskapai penerbangannya?
Kasus lain, punya kewajiban moralkah pemerintah menanggung biaya perawatan kesehatan bagi individu yang tak mampu membayar asuransi jaminan kesehatan atau yang manfaat asuransi kesehatannya telah habis? Bagaimana dengan orang-orang yang mampu membayar asuransi kesehatan, tapi bertaruh bahwa mereka takkan menderita penyakit serius dan sekarang mendapati diri mereka tak mampu membayar perawatan kesehatan?
Lewis Vaughn, juga membahas tentang hal ini. Siapakah yang seharusnya mendapatkan perawatan kesehatan, siapakah yang seyopgyanya menyediakannya, dan siapa yang harus membayarnya? (Perawatan kesehatan, dalam konteks ini, termasuk perawatan medis, pencegahan penyakit, perawatan darurat, dan tindakan kesehatan masyarakat).
Perdebatan ini, bukan tentang moralitas tindakan dan keputusan individu; ini tentang moralitas kebijakan dan program masyarakat secara keseluruhan. Ia muncul dari fakta yang mengganggu tentang warga negara yang begitu makmur: jutaan yang menderita penyakit dan kecacatan, tak punya akses pada perawatan kesehatan, dan akibatnya, banyak yang menderita dan mati. Realitas memaksa masyarakat menghadapi sejumlah pertanyaan terkait: Apa yang kita punyai, jika ada, kepada jutaan orang ini? Wajibkah yang lebih beruntung membantu mereka yang membutuhkan? Apakah warga negara hanya berhak atas perawatan kesehatan yang dapat mereka bayar dari kantong mereka sendiri? Atau haruskah semua orang—kaya dan miskin—punya akses pada perawatan kesehatan? Jika memang begitu, tingkat perawatan kesehatan apa yang harus mereka miliki—yang terbaik yang dapat ditawarkan ilmu kedokteran, perawatan yang sama yang dapat dibeli oleh orang kaya, paket perawatan kesehatan minimal? Berhakkah setiap orang atas perawatan kesehatan—sedemikian rupa sehingga ketidakberhasilan masyarakat menyediakannya, akan salah secara moral?
Isu moral mendasar yang terlibat dalam debat perawatan kesehatan ialah Keadilan, kata Vaughn, yaitu tentang orang mendapatkan apa yang adil atau apa yang menjadi hak mereka. Dengan memperhatikan keadilan, kita mengutuk diskriminasi rasial dan hukuman yang tak setara terhadap kejahatan yang sama karena keadilan menuntut ketidakberpihakan—yaitu, mengharuskan orang diperlakukan setara kecuali ada alasan yang relevan secara moral, memperlakukannya secara berbeda.
Perawatan kesehatan itu, amat mahal, sangat banyak orang yang tak punya akses ke sana: mereka tak mampu membelinya. Jaminan kesehatan ada untuk membantu masyarakat menutupi biaya perawatan kesehatan, tapi asuransi kesehatan itu sendiri, mahal, akibatnya, jutaan orang kekurangan perlindungan.

Fakta sederhana dari kehidupan moral bahwa dalam masalah etika kecil dan besar, pribadi dan abstrak, kita bergulat dengan masalah keadilan. Apa pun pandangan moral kita, terkadang kita harus bertanya, Apa itu adil? Keadilan itu, tentang orang mendapatkan apa yang adil atau apa yang menjadi hak mereka. Atas nama keadilan, kita mengutuk diskriminasi rasial, upah yang tak setara terhadap pekerjaan yang setara, dan hukuman yudisial berdasarkan prasangka hakim. Demi keadilan, kita berusaha memperlakukan orang dengan sama, kecuali ada alasan yang relevan secara moral memperlakukan mereka secara berbeda—yaitu, kita berusaha memperlakukan setara dengan yang setara. Demi alasan keadilan, kita bertindak—atau merasa berkewajiban bertindak—mengubah keadaan, mencoba menjadikan dunia atau diri kita sendiri, lebih adil.

Dan berikut, soalan tentang free speech. Free speech—hak mengungkapkan pendapat atau gagasanmu tanpa hambatan yang memberatkan dari pemerintah atau masyarakat—merupakan nilai moral dan hukum/politik. Sebagian besar negara demokrasi liberal mengakui hak warganya agar bebas berekspresi, dan beberapa badan internasional telah menyatakan kebebasan berekspresi sebagai hak asasi manusia. Di sini, 'berbicara' atau 'berekspresi' mengacu pada berbagai tindakan, tak cuma ngomong, tapi menulis, berteriak, bertindak, melukis, membakar bendera, membawa tanda, bernyanyi, dan banyak lagi.
Poin pertama yang harus dipahami tentang kebebasan berbicara, bahwa itu bukanlah hak mutlak. Setiap masyarakat membatasi kebebasan berbicara; ucapan harus dibatasi ketika bertentangan dengan nilai-nilai lain yang dianut masyarakat. Banyak sejarawan free speech mengingatkan warga betapa tergantungnya hak mereka berbicara dan menulis dengan bebas. Jika ilmu hendak berkembang, masyarakat hendaknya bebas mengemukakan gagasan dan teori yang mereka anggap layak dipertimbangkan, dan orang lain tetap dibolehkan mengkritiknya, dengan sama bebasnya. Bahkan ide-ide yang keliru, seyogyanya dilindungi, agar kebenaran tak menjadi dogma belaka, tak dipertanyakan dan teramat sedikit dipahami.
Kebebasan berbicara merupakan fitur penting pemerintahan yang demokratis. Pemilihan yang adil dan demokratis—di negeri konoha dipanjangin menjadi langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, tak dapat terjadi kecuali para kandidat bebas berdebat dan mengkritik kebijakan masing-masing, juga pemerintahan tak dapat dijalankan secara efisien kecuali korupsi dan pelanggaran boleh diungkap oleh pers yang bebas. Otonomi individu, dilayani pula oleh free speech.
Nah, haruskah free speech di kampus, sedemikian rupa, dikebiri? Mestikah seseorang yang mengutarakan pendapatnya, walau berbeda dengan opini para pendukung rezim, dipenjara?

Dalam Bisnis, etiskah bagi perusahaan minuman keras membuat iklan yang menghubungkan konsumsi minuman keras dengan persahabatan, popularitas, cinta, dan kesuksesan finansial?
Kasus lain, pada Abad Pertengahan, penjual dianggap bertanggungjawab atas cacat barang dagangan. Saat ini, meskipun pengadilan dapat memberikan keringanan kepada pembeli jika cacatnya mencolok, tapi aturan dasarnya, 'Pembeli harus berhati-hati.' Lebih dapat dipertahankah aturan ini secara etis, dibanding aturan abad pertengahan?

Tentang Etika Lingkungan, di sebagian besar sejarahnya, etika Barat berfokus pada nilai-nilai moral, hak, dan kewajiban manusia. Pertanyaan relevannya, Apa yang baik bagi manusia? Nilai apa yang harus kita tempatkan pada kehidupan manusia atau seseorang? Kewajiban atau kewajiban apa yang kita miliki terhadap sesama manusia? Hak moral apa, jika ada, yang dimiliki manusia? Sebagian besar, sisa planet ini, tampak telah ditinggalkan dari persamaan moral kita. Hewan, bukan manusia, tumbuh-tumbuhan, air, tanah—ini penting, jika ada, terutama karena mereka mempengaruhi kesejahteraan umat manusia.
Tapi planet ini, tak seperti dulu lagi. Sumber daya alam dunia sedang habis. Teknologi, budaya, dan keserakahan manusia, melahap hutan dan padang rumput, meracuni air dan udara, memusnahkan ekosistem dan spesies—dan mengancam kepentingan makhluk yang memiliki begitu banyak kekuatan teknologi dan budaya. Beberapa pengamat memprediksi malapetaka. Mereka mengatakan bahwa manusia telah melangkah terlalu jauh, dan bahwa dunia seperti yang kita tahu, takkan berakhir dengan dentuman atau rengekan, melainkan hembusan napas: hembusan napas udara, air, atau makanan yang tak terkontaminasi. Tetapi mengerikankah keadaannya atau tidak, perubahan lingkungan yang mendalam, yang telah dihasilkan manusia di bumi, telah mengilhami banyak orang melihat bidang etika yang tepat, tak semata mencakup manusia, namun juga seluruh semesta. Akibatnya, serangkaian pertanyaan etis baru menuntut perhatian kita: Apakah lingkungan berharga dalam dirinya sendiri, terlepas dari kegunaannya bagi manusia? Punyakah flora atau fauna, hak moral? Berhargakah mereka, entah bagaimana, secara intrinsik? Jika mereka secara intrinsik berharga atau layak dipertimbangkan secara moral, apa yang membuatnya demikian? Melebihikah nilai moral lumba-lumba dibanding tikus? Atau, tikus lebih dari kayu merah? Atau seeekor luwak lebih dari spesiesnya? Kewajiban apa, jika ada, yang dimiliki manusia terhadap alam? Haruskah kepentingan orang lebih diutamakan daripada kepentingan atau kebutuhan lingkungan? Bolehkah secara moral, misalnya, menghentikan pembangunan bendungan yang akan menyejahterakan ribuan rakyat miskin, tetapi juga akan memusnahkan spesies lobster air-tawar?
Lalu ada pertanyaan yang muncul dari ancaman lingkungan terbesar, paling berbahaya, dan paling keras: climate change. Inilah satu masalah lingkungan yang terjerat dengan yang lainnya, yang disebabkan oleh manusia secara global, namun menyengsarakan secara lokal.

Masih banyak masalah etika yang belum diungkapkan di sini. Etika sebagai bidang penelitian filosofis yang berbeda, tentu saja dapat didekati dan dipahami dalam beberapa cara. Namun, selalu ada rasa yang muncul, baik yang pada mulanya maupun secara praktis, berasal dari rasa lapar atau dahaga kita, singkatnya keinginan kita, berbuat apa yang benar; yang mengharuskan kita tak semata menginterogasi motif kita secara rutin, melainkan pula, memindai cakrawala secara luas dan rajin bagi kemungkinan hasil dari tindakan kita. Bagaimana 'generasiku' yang mengabadikan diri memahami keadilan antargenerasi dan berdaya-guna menuju realisasinya yang efektif? Bagaimana budaya yang terobsesi dengan selebritas, belajar mematikan kamera, mikrofon, ponsel, dan laptop, lalu mulai menggali dan menanam, jika bukan untuk kemenangan, kemudian bentuk baru kemandirian dan harga diri? Bisakah masa lalu menjadi masa depan yang baru?"

"Dan sebagai penutup," kata Wulandari, "mari kita kembali pada fabel tentang Caligula dan kudanya. Walau Aesop tak menyebutkannya, imajinasi kita dapat membayangkan akhir dari fabel tersebut. Para penyanjung menyalak, dengan melipat tangan, mulut mencibir dan wajah yang sinis, sang kuda tetap berlalu menuju tempat penganugerahannya. Tentu saja, para penyanjung mendapatkan hasil jerih-payahnya semata materi, namun ia yang menghadirkan etika yang benar, akan selalu memperoleh lebih dari itu. Dan dengan gagah, sang kuda menapakkan sepatunya, seraya bersenandung,

Simpan mawar yang kuberi
Mungkin wanginya mengilhami
Sudikah dirimu untuk kenali aku dulu?
Sebelum kau ludahi aku
Sebelum kau robek hatiku *)

Waktunya pergi, sebelum menyapa dengan Selawat, Hamdalah dan Salam, Wulandari mengucapkan, "Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Vincent Ryan Ruggiero, Thinking Critically About Ethical Issue, 2015, McGraw-Hill Education
- Steven Schuster, Improve Your Logic, Think More Critically, And Use Proven Systems To Solve Your Problems: Strategic Planning For Everyday Life, 2018, CreateSpace Independent Publishing Platform
- Scott B. Rae, Moral Choices: An Introduction to Ethics, 2018, Zondervan
- Lewis Vaughn, Doing Ethics: Moral Reasoning and Contemporary Issues, 2019, W. W. Norton & Company, Inc.
- Harvey Segler, Critical Thinking: Powerful Strategies That Will Make You Improve Decisions And Think Smarter, 2015, CreateSpace Independent Publishing Platform
- Richard Paul and Linda Elder, The Miniature Guide to The Foundation for Critical Thinking: Concepts and Tools, 2008, The Foundation for Critical Thinking
- Linda Elder and Richard Paul, Asking Essential Questions: Based on Critical Thinking Concepts and Socratic Principles, 2019, Rowman & Littlefield
- Jonathan Haber, Critical Thinking, 2020, Massachusetts Institute of Technology
- Stella Cottrell, Critical Thinking Skills: Developing Effective Analysis and Argument, 2005, Palgrave
- Jennifer Lawrence and Lawrence Chester, Engage the Fox, 2014, Greenleaf Book Group Press
- Jennifer Gunning, Soren Holm and Ian Kenway [ed.], Ethics, Law and Society, Volume IV, 2009, MPG Books
- James Northcote, One Hundred Fables, Originals and Selected, 1829, J. Johnson
*) "Risalah Hati" karya Ahmad Dhani
[Sesi 2]