Jumat, 07 Juli 2023

Another One Bites the Dust (1)

"Seorang profesor bahasa Inggris, menuliskan kata-kata berikut di papan tulis: 'Woman without her man is nothing.' Ia lalu meminta agar para muridnya, membubuhkan tanda baca pada kalimat tersebut dengan benar.
Murid lelaki menulis: 'Woman, without her man, is nothing.'
Murid wanita menulis: 'Woman! Without her, man is nothing.'," berkata Wulandari tatkala senyum berbinarnya, melintasi langit, usai menyapa dengan Basmalah dan Salam.

"Aku menyukai syair," Wulandari bermadah, "terutama yang menjiwai soal etika. Dan ada lirik sebuah nyanyian, menarik perhatianku, ditulis oleh bassis Queen, grup rock band Inggris, John Deacon, bertajuk 'Another One Bites the Dust.' Mendiang Freddie Mercury mulai mengalunkannya seperti ini,

Steve walks warily down the street with the brim pulled way down low
[Steve melangkah waspada di jalan dengan ujung topi ditarik turun serendah-rendahnya]
Ain't no sound but the sound of his feet
[Gak ada suara selain bunyi kakinya] 
Machine guns ready to go
[Senapan mesin siap ditembakkan
[...]
Out of the doorway the bullets rip to the sound of the beat
[Dari ambang pintu, pelurunya mencabit-cabik seirama dengan dentuman]
Look out! Another one bites the dust
[Awas! Satu lagi yang tersungkur]

Lirik senandung ini, tak mudah dipahami, dan setelah bertanya pada paman Google, aku menemukan bahwa John Deacon, disebut-sebut mendapatkan inspirasinya dari 'St. Valentine's Dat Massacre' tahun 1929. Ceritanya seputar dua geng mafia yang bersaing, George 'Bugs' Moran dan Al Capone. Al Capone memerintahkan serangan pada bisnis minuman keras Moran, yang menargetkan kematian Moran, akan tetapi, pembunuh sewaan, gagal menghabisi Moran, lantaran ia datang terlambat. Antek Moran, berjumlah 6 orang, ditangkap oleh pembunuh Capone dan ditembak mati di dalam toko.
'Bite the dust' biasanya digunakan untuk menggambarkan keadaan seseorang yang terhempas ke tanah atau kematian seseorang, dan lebih sering dikaitkan dengan kematian seorang prajurit dalam pertempuran, namun pula, dalam ungkapan modernnya, dapat dikaitkan dengan kegagalan yang umum.
'Bullets' atau 'peluru-peluru' dalam konteks ini, dapat juga bermakna kata-kata atau makian, sebab terkadang, kata-kata bisa lebih menyakitkan ketimbang luka-peluru, sebagaimana didendangkan Freddy Mercury di bait selanjutnya,

There are plenty of ways you can hurt a man
[Ada berlimpah cara engkau dapat menyakiti seseorang]
and bring him to the ground
[dan menghempaskannya ke tanah]
You can beat him, you can cheat him, you can treat him bad
[Engkau bisa memukulinya, engkau bisa memperdayainya, engkau bisa memperlakukannya buruk]
and leave him when he's down
[dan meninggalkannya begitu ia bergelimpang]

Jadi, engkau bisa membunuh dengan melukai tubuh seseorang, dan engkau dapat pula menyakiti orang lain dengan makna berbeda, apa itu? Yaq, dengan Pembunuhan Karakter.

Masyarakat di masa lalu, menggunakan pedang, garpu-rumput, peluru, obor, meriam, botol-racun, dan belakangan rudal atau ransel berisi bahan peledak—semuanya merusak, menghancurkan, dan membunuh. Untuk menjaga diri dari serangan semacam itu, masyarakat membangun perisai, baju besi, parit, dan benteng. Mereka membentuk lembaga pemerintahan yang bertanggungjawab atas keamanan. Mereka mengadakan doktrin militer dan prosedur keamanan serta melancarkan serangan-balik. Secara khusus, ada kekuatan destruktif dari jenis yang berbeda dan dalam ragam non-fisik, yaitu kata-kata dan gambar yang digunakan untuk menyakiti, merusak, dan menghancurkan reputasi orang lain, Eric B. Shiraev, Jennifer Keohane, Martijn Icks, dan Sergei A. Samoilenko, menyampaikan hal ini kepada kita saat mereka membahas tentang Pembunuhan Karakter.
Pembunuhan Karakter atau Penyerangan Karakter (Character Assassination atau Character Attacks, dan untuk selanjutnya, kita akan pakai secara bergantian) terjadi di bidang politik, bisnis, pendidikan, lingkaran agama, sains, olahraga, hiburan, serta bidang profesional dan sosial lainnya. Dan jangan mengira bahwa perbuatan menyerang reputasi seseorang, merupakan fenomena baru.
Meski character assassination terbantu dengan munculnya media sosial dan teknologi komunikasi lain, yang memungkinkan orang mengirim pesan dengan segera dan tanpa nama, character attacks merupakan fenomena abadi. Sebenarnya, telah ada sejak munculnya peradaban manusia. Selama manusia hidup berkelompok, mereka menemukan cara untuk saling memfitnah guna memperoleh kekuatan dan keuntungan. Ada bukti kuat bahwa character assassination, berasal dari Mesir kuno, Yunani, dan Romawi, lebih dari 2000 tahun yang lalu.

Mengapa kita mengatakan bahwa karakter seseorang dimatikan, berbedakah dengan istilah-istilah terkait seperti menggunjing, memfitnah, defamasi [mencemarkan nama-baik melalui pernyataan yang tidak benar kepada pihak ketiga], dan libel [pencemaran nama baik melalui tulisan, semisal koran atau terbitan sejenis, artikel, blog, atau posting sosial-media. Libel dan menggunjing termasuk defamasi]?
Sebelum kita menjawab pertanyaan ini, kita perlu membahas apa yang dimaksud dengan 'karakter'. Kata tersebut berakar dari bahasa Yunani kuno, dimana kharakter, awalnya merujuk pada ciri yang tercetak pada koin. Di era Yunani Klasik, setiap kota mencetak koinnya sendiri dengan cirinya sendiri, sehingga kharakter bermakna ciri-khas, sesuatu yang menjadi ciri-khas sesuatu atau seseorang. Sejak zaman kuno, karakter acapkali mengacu pada sesuatu yang dapat diidentifikasi dalam diri individu, sesuatu yang mengacu pada standar perilaku. Dalam bahasa Inggris modern, karakter punya beberapa makna dan berkembang, yang cenderung kurang tepat. Dalam ilmu sosial Amerika dan khususnya dalam psikologi awal abad ke-20, misalnya, para profesional menggunakan istilah karakter, kepribadian, dan temperamen, hampir secara bergantian. Lambat laun, temperamen menjadi umum diasosiasikan dalam literatur profesional dengan faktor biologis. Kepribadian mewakili totalitas fitur yang relatif stabil seorang individu, semisal kemampuan mental, sifat perilaku, dan susunan emosional. Fitur-fitur ini, dipandang mewakili esensi seseorang yang tak berubah. Karakter bermakna sesuatu yang mirip dengan kepribadian, namun dengan dimensi moral tambahan. Bila kepribadian mendeskripsikan sifat-sifat yang dimiliki seseorang dalam istilah yang agak netral, karakter mendeskripsikannya dalam istilah sifat 'baik' dan 'buruk'.
Hal ini, tercermin pula dalam percakapan sehari-hari. Terkadang, 'karakter' digunakan mendeskripsikan orang-orang yang menonjol karena perilaku eksentriknya: 'Paman Doblang laksana sebuah karakter!' Adakalanya, kita mengacu pada karakter yang menggambarkan sebuah film atau drama teater: 'Ia memainkan karakter itu dengan baik!' Namun lebih sering, kata tersebut menandakan penilaian moral. Tatkala kita mengatakan bahwa seorang lelaki atau perempuan berkarakter, itu bermakna mereka mempunyai sifat-sifat yang mengagumkan, semacam kejujuran, integritas, keberanian, dan dapat dipercaya. Seseorang yang tak berkarakter, dianggap tak dapat diandalkan, pengecut, atau tak memenuhi standar moral. Agar menghindari kerancuan dengan definisi lain, ada yang menggunakan istilah karakter moral.

Ketika menekankan arti pentingnya karakter dalam kepemimpinan, Dr. Myles Munroe mengetengahkan bahwa komponen kepemimpinan yang paling berharga, bukanlah kekuatan, kedudukan, pengaruh, ketenaran, kebekenan, popularitas, talenta, kefasihan berpidato, kemampuan persuasif, keunggulan intelektual, prestasi akademik, atau keterampilan manajemen. Melainkan karakter. Karakterlah tempat lahirnya kredibilitas bagi sang pemimpin. Tanpa unsur karakter yang kuat, kemuliaan, keterhormatan, kepemimpinan dan segala potensi pencapaiannya, terancam buyar. Setiap pemimpin semata aman dan sentosa sebagaimana karakternya.
Karakter merupakan kekuatan terkuat yang dapat ditumbuhkan oleh seorang pemimpin karena melindungi kepemimpinan. Hal ini akan memungkinkanmu sukses, secara pribadi dan profesional, saat engkau menjalankan maksud, visi, dan tujuan hidupmu.
Dalam drama dinamis kepemimpinan kontemporer yang bermain di panggung dunia saat ini, banyak 'tokoh' yang kurang berkarakter. Terlebih lagi, jejak sejarah dipenuhi dengan banyak calon lelaki dan perempuan hebat, yang memegang tampuk kekuasaan di berbagai bidang—politik, sosial, ekonomi, perusahaan, atletik, spiritual, dan banyak lagi. Mereka berpengaruh dan/atau kendali yang besar atas kehidupan orang lain; banyak yang merasakan beratnya kekayaan materi dan ketenaran—semata menjadikan semuanya hancur dan tertiup angin bagaikan debu karena berkekurangan karakter, yang sungguh memasygulkan.
Para pemimpin yang kini muncul, tampak percaya bahwa kualitas utama yang dibutuhkan untuk mengatasi masa-masa sulit dan menuntut kita ialah, sebagai berikut: visi yang hebat; keunggulan akademik dan intelektual; kefasihan berpidato dan keterampilan komunikasi lainnya, yang berkekuatan membujuk; keahlian manajemen; dan kemampuan mengendalikan orang lain. Namun, berulang-kali, sejarah telah menunjukkan bahwa, kualitas terpenting yang seharusnya dan semestinya dimiliki oleh seorang pemimpin sejati adalah kekuatan moral dari karakter yang luhur dan stabil.

Kepemimpinan sejati selalu dibangun di atas karakter yang kuat. Banyak pemimpin saat ini, berusaha, namun tak berhasil, memisahkan etika kehidupan pribadi mereka dari tanggungjawab kehidupan publik mereka. Pendekatan ini, mungkin tampak legal pada nilai nominalnya. Kepemimpinan tak semata peran yang dimainkan seseorang; melainkan kehidupan yang dipimpin.
Karakter itu, seperti obat pencegahan—ia membuatmu sehat secara moral sehingga engkau takkan menularkan penyakit sebagai akibat dari kesalahan etika. Salah satu yang tergawat dari gangguan ini, adalah ketidakpercayaan. Begitu engkau kehilangan kepercayaan dari keluarga, teman, atau kolegamu, sangat sulit memperolehnya kembali.
Kita dapat dengan mudah memahami mengapa pemimpin yang cacat etika, kehilangan kepercayaan dari pengikutnya, sebab kita semua pernah mengalami beragam pengkhianatan, serta rasa-sakit dan kemarahan yang ditimbulkannya.
Karakter merupakan kekuatan terkuat yang dapat dimiliki seorang pemimpin karena karakter melindungi kehidupannya, kepemimpinannya, dan legacynya—karakter mewujudkan siapa dirinya, dan nantinya, membentuk siapa dirinya. Tanpa karakter, setiap aspek kepemimpinan menghadapi risiko.
Karakter membangun integritas seorang pemimpin dan memungkinkan pertumbuhannya sebagai orang yang beretika dan bernilai. Pelatihan dan pengembangan kepemimpinan hendaklah dimulai dari kehidupan batin pemimpin sebelum dapat beralih ke prinsip dan proses kepemimpinan.
Berkarakter takkan menghalangimu mengalami berbagai pergumulan dan kemunduran dalam hidup—semua pemimpin mengalaminya. Namun bagi kesuksesan pribadi dan profesional jangka panjang—dan bagi puncak kehidupanmu—merawat karakter amatlah diperlukan.
Kepemimpinan itu, hak istimewa yang diberikan oleh para pengikut. Bila seorang pemimpin melanggar standar moral, ia kehilangan hak istimewa menggunakan karunianya meladeni para pengikut yang memberikannya. Pemimpin tak punya 'hak' diikuti. Hak istimewa kepemimpinan merupakan salah satu yang harus dilindungi oleh pemimpin melalui karakternya dan kepercayaan yang ditimbulkannya. Hanya kekuatan karakter sejati yang dapat memulihkan kepercayaan pada kepemimpinan dan otoritas yang tak dimiliki banyak orang saat ini.
Banyak pemimpin yang sangat berbakat, yang telah menunjukkan kegagalan karakter, bertindak seolah mereka tak berbuat kesalahan apa pun. Percaya bahwa mereka dapat mengikuti karunia mereka sendirian, mereka tak paham bahwa mereka telah kehilangan kesempatan untuk terus melayani talenta dan kemampuan mereka kepada dunia—setidaknya, sampai mereka secara efektif mengatasi kekurangan karakter mereka. Pemimpin yang telah jatuh, perlu berhenti dan memperbaiki masalah etika mereka terlebih dahulu. Kemudian, mereka dapat mulai kembali mendapatkan kepercayaan orang lain, dan semoga, bergerak maju dalam kepemimpinan yang sejati.

Kita seyogyanya membedakan antara karakter dan reputasi. Sementara karakter itu tentang ciri-ciri pribadi yang sebenarnya kita miliki, reputasi dapat didefinisikan sebagai evaluasi sosial yang kompleks dari karakter dan perilaku individu. Singkatnya, reputasi berkaitan dengan bagaimana orang lain memandang dan menilai kita. Kebanyakan orang dalam masyarakat harus seolah-olah mematuhi standar dan harapan moral dan perilaku umum. Jika mereka menduduki posisi penting, semisal memegang jabatan politik atau agama, penting bagi mereka menjaga reputasi yang baik di mata masyarakat umum, atau setidaknya, bagian-bagian yang relevan bagi mereka. Misalnya, seorang anggota aristokrasi di Prancis abad ke-18 harus menjunjung tinggi standar tertentu guna mempertahankan rasa-hormat sesama bangsawan, seperti tata krama yang halus, ucapan yang fasih, keberanian di medan perang, dan pengabdian pada kejayaan militer.
Orang dengan 'karakter yang baik' cenderung punya reputasi yang baik, yang berarti bahwa karakter mereka pertama kali dilihat dan kemudian secara umum disepakati orang lain. Namun, karakter, dapat pula dipertanyakan, diragukan, digali, atau dikritik. Character attacks merupakan tindakan komunikatif yang mengandung informasi kritis tentang karakter seseorang. Serangan semacam itu, dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari ucapan lisan dalam debat TV hingga kartun yang dicetak di koran, hingga meme yang beredar di Internet. Seringkali, serangan karakter difokuskan pada hal-hal spesifik, yang memang, atau diduga, diucapkan atau dilakukan oleh orang yang diserang, tapi implikasinya jauh lebih luas. Selalu ada petunjuk bahwa tindakan dan ucapan yang dipertanyakan tak berdiri sendiri, tetapi mencerminkan karakter umum lelaki atau wanita, esensi yang dianggap tak berubah, yang menjadikan siapa mereka.
Meskipun banyak serangan pribadi ditujukan pada ciri-ciri moral seseorang, ciri-ciri individu lainnya juga dapat menjadi fokus serangan. Misalnya, seseorang dapat diserang karena terlihat jelek, bodoh, tidak kompeten, atau tidak seimbang secara mental. Sementara beberapa dari sifat-sifat ini, dapat dianggap sebagai kekurangan pribadi, itu jelas bukan kekurangan moral. Sebenarnya, semua itu tak berhubungan dengan karakter, lantaran karakter berkaitan dengan dimensi moral kepribadian seseorang. Namun, itu tak menghilangkan fakta brutal bahwa kecerdasan, keterampilan, ketidakstabilan mental, atau kerentanan emosional seseorang, dapat mendorong penilaian negatif dan berbahaya pada orang lain. Dalam praktiknya, tak masalah apakah seseorang itu, didakwa dogol atau pengecut: kendati hanya yang disebut terakhir, terhitung sebagai cacat moral, perolehan dari kedua masalah tersebut, bisa sama merusaknya.

Dalam sesi selanjutnya, kita akan gali lebih mendalam tentang Character Assassination atau Character Attacks, bi'idznillah."

Dan kemudian Wulandari mendendangkan nyanyiannya Freddie Mercury,

Caviar and cigarettes, well versed in etiquette, extraordinarily nice
[Kaviar dan sigaret, fasih dalam etiket, bukan kepalang menyenangkannya]
She's a Killer Queen
[Ia seorang Ratu Jagal]
Gunpowder, gelatine, dynamite with a laser beam
[Bubuk mesiu, gelatin, dinamit dengan sinar laser]
Guaranteed to blow your mind, anytime 
[Dijamin mencengangkanmu, kapan pun]
Recommended at the price, insatiable an appetite, wanna try? *)
[Harganya rekomended, cita-rasa tak terpuaskan, pingin nyoba?]