"Yuk kita lanjut," kata Wulandari. "Menurut Icks, Shiraev, Keohane dan Samoilenko, character assassination itu, pengrusakan yang disengaja terhadap reputasi atau kredibilitas seseorang, melalui character attacks. Maknanya ada dua: di satu sisi, dapat merujuk pada proses penyerangan terhadap karakter seseorang; yang lain, akibat dari serangan tersebut, bila berhasil.
Ada beberapa poin yang bersinggungan. Pertama, character assassination selalu disengaja, artinya diperbuat dengan niat merusak orang lain. Dalam penerapannya, tak selalu memungkinkan menetapkan niat penyerang karakter dengan kepastian yang sangat kuat. Boleh jadi, mereka membingkai serangannya dalam bentuk keprihatinan yang absah atau kritik yang membangun. Bisa jadi, mereka bilang bahwa mereka cuma bercanda dan tak bermaksud menyakiti siapa pun. Mungkin mereka menyembunyikan identitasnya sama sekali. Kendati demikian, ketika kita menilai ekspresi mereka dalam konteksnya, seringkali, niat mereka cukup jelas. Saat iklan kampanye mengkritik pakaian dan gaya rambut seorang politisi wanita, tujuannya mungkin bukan untuk menonjolkan gaya. Tatkala sebuah surat kabar sayap kanan terus menerbitkan cerita-cerita memalukan tentang kehidupan pribadi kandidat politik sayap kiri di bulan-bulan menjelang pemilihan, mungkin turut berperan dalam lebih dari pelaporan objektif atas dasar keingintahuan.
Kedua, character assassination selalu bersifat publik. Jika seseorang mengatakan kepadamu secara pribadi bahwa perilakumu usai pesta tadi malam malu-maulin dan lebih baik jika tidak ada orang lain yang melihatmu berperilaku seperti itu —serangan karakterkah pembicaraan ini? Sama sekali bukan. Sementara kritik dan hinaan dapat diperdagangkan secara pribadi dan bertujuan menyakiti perasaan pihak yang dihina, character attacks bertujuan agar dilihat, didengar, atau dibaca oleh audiens, atau setidaknya orang lain. Jika mereka tak berhasil menjangkau audiens itu, mereka tak dapat melakukan pengrusakan apa pun.
Hal ini terkait dengan poin ketiga, yakni bahwa character assassination itu, berkaitan dengan persepsi. Tujuan penyerang ialah mempengaruhi cara orang lain melihat orang tertentu. Tegasnya, character assassination merupakan istilah yang agak ambigu, lantaran bukan karakter yang dirusak atau dihancurkan. Lagi pula, mempertanyakan kejujuran, ketangguhan, atau keberanian seseorang, tak membuat mereka jadi kurang jujur, tangguh, atau berani. Karakter mereka yang sebenarnya, tak terpengaruh. Satu-satunya hal yang berpotensi berubah ialah persepsi orang lain tentang karakter tersebut. Jika mereka percaya bahwa orang yang jujur itu sebenarnya pembohong, atau bahwa wanita yang kuat dan berani sebenarnya pengecut yang lemah, sang penyerang telah mencapai tujuannya. Oleh karenanya, akan lebih akurat bila berbicara tentang reputation assassination (pembunuhan reputasi), tetapi istilah ini tak umum digunakan.
Saat membahas character assassination, masyarakat sering menggunakan istilah yang terkait seperti slander, smear, dan defamasi. Smearing (mencoreng-muka) atau mudslinging (menjelek-jelekkan dibarengi umpatan) punya lingkaran yang teramat negatif, sebab cenderung merujuk pada serangan karakter yang tidak berimbang dan menyakitkan, serta praktik disinformasi, berlebihan, atau kebohongan yang tak bermartabat. Istilah vilification (ucapan atau tulisan yang melecehkan) sering pula digunakan; secara harfiah, itu bermakna seseorang dicitrakan sebagai penjahat. Vilification menyangkut serangan yang bertujuan menonjolkan cacat-moral seseorang (berlawanan dengan ketidakmampuan, tidak menarik, dll.). Jika cacat moral itu digambarkan sangat parah dan mengejutkan, kita dapat mengatakan bahwa seseorang dipersetankan (secara harfiah, berubah jadi setan).
Defamasi merupakan komunikasi, biasanya disengaja, dari pernyataan tentang individu yang merugikan reputasinya. Defamasi dan calumny (membuat pernyataan tidak benar dan defamasi tentang seseorang guna merusak reputasi mereka) sebagian besar identik dengan character assassination, kecuali bahwa keduanya juga dapat merujuk pada serangan terhadap perusahaan, kelompok sosial, dan entitas kolektif lainnya. Di banyak negara, calumny dan defamasi, merupakan pelanggaran hukum yang dapat dihukum, tetapi biasanya hanya jika dapat dibuktikan bahwa tuduhan tersebut memang sengaja dipalsukan. Dalam hukum umum, dibedakan dua jenis defamasi: slander, yang mengacu pada pencemaran nama baik dalam bentuk lisan, dan defamasi, yang mengacu pada pencemaran nama baik dalam bentuk tertulis. Namun, dalam percakapan sehari-hari, sering sering digunakan untuk merujuk pada berbagai bentuk character assassination.
Istilah invective (makian, cacian atau cercaan) juga digunakan dalam kaitannya dengan character assassination. Bentuk retorika ini melibatkan bahasa kasar atau kurang pantas, yang bertujuan membuat seseorang berkonotasi negatif. Orang Romawi kuno menganggap makian dan kebalikannya, pujian, sebagai alat retoris yang penting dan sering turut serta di dalamnya. Mereka bahkan menulis buku pegangan yang menjelaskan cara terbaik menyerang lawan dalam sebuah pidato. Terakhir, istilah ad hominem atau argumentum ad hominem (secara harfiah bermakna 'argumen terhadap seseorang') mengacu pula pada character attacks dalam konteks retoris. Hal ini menggambarkan argumen dalam debat yang merupakan serangan pribadi terhadap peserta lain, misalnya dengan mempertanyakan motif atau kredibilitas mereka.
Walau character assassination terjadi dalam banyak bentuk dan dapat dipelajari dari banyak sudut pandang, terdapat lima elemen yang paling hakiki. Icks, Shiraev, Keohane dan Samoilenko menyebutnya sebagai lima pilar character assassination. Yakni the attacker, the target, the medium, the audience, dan the context [penyerangnya, targetnya, mediumnya, audiensnya, dan konteksnya].
The attacker (penyerangnya) merupakan orang atau kelompok yang meluncurkan character attack. Mereka punya beragam alasan melakukannya. Misalnya, seorang kandidat dalam sebuah pemilu, berusaha merusak reputasi lawannya. Seorang pengusaha mencoreng nama baik saingan bisnisnya guna menghilangkan persaingan. Dalam kasus lain, penyerang mungkin hanya membutuhkan kambing hitam untuk mengarahkan kemarahan publik menjauh dari diri mereka sendiri. Tabloid, situs web, atau media sosial, sering menerbitkan cerita memalukan tentang selebriti untuk meningkatkan penjualan atau penayangan. Dalam beberapa kasus, penyerang bertindak karena niat-jahat atau terinspirasi oleh balas-dendam terhadap seseorang.
Saat kami menggunakan istilah attacker, kita mengacu pada orang yang telah memicu serangan karakter. Attacker seringkali orang-orang tertentu, atau bisa juga sekelompok orang. Dalam banyak kasus, character attacks bersifat anonim, sehingga publik tak dapat menentukan dengan tepat, siapa penyerangnya. Serangan yang datang melalui media sosial seperti Twitter, terkait dengan nama pengguna tertentu, namun tak selalu mungkin menentukan siapa sebenarnya di balik akun tersebut.
The target (targetnya) ialah orang yang reputasinya hendak dirusak oleh sang penyerang. Jika serangan berhasil, target menjadi korban character assassination. Namun, character attacks dapat pula berefek serangan balik, menyebabkan publik memandang penyerang dalam sudut pandang yang kurang menguntungkan. Dalam beberapa kasus, bahkan mungkin berefek berlawanan dari apa yang dimaksudkan, menciptakan simpati terhadap target dan kebencian terhadap penyerangnya. Sasaran biasanya orang yang masih hidup, tetapi orang dapat juga diserang secara anumerta—terkadang bahkan berabad-abad setelah kematian mereka. Biasanya terjadi jika mereka dipandang sebagai simbol atau perwakilan dari gerakan, agama, atau ideologi yang lebih besar. Misalnya, serangan tokoh anumerta masih ditujukan kepada Nabi Muhammad (ﷺ), dan Karl Marx, 'bapak' komunisme. Di masa revolusi dan pergolakan politik, para pemimpin politik yang telah digulingkan, mungkin mengalami posthumous character assassination di tangan rezim yang baru.
Sejarah mengajarkan kita bahwa character assassination punya ciri-ciri khusus sejarah yang berbeda atau karakteristik yang berakar dalam pada aspek sejarah dan budaya konkret pada masanya. Budaya terhubung dengan politik: perubahan politik seringkali membutuhkan perubahan norma budaya. Demikian pula, perubahan budaya dalam masyarakat sangat mempengaruhi sistem politik dan hukum yang mengakar di dalamnya.
Perubahan sejarah, tak dapat dipisahkan dari kemajuan teknologi. Character assassination memiliki banyak fitur yang konsisten selama berabad-abad, sarana teknologi yang menyebarkan informasi telah memainkan peran utama dalam metode dan strategi character assassination. Setidaknya ada dua jenis asumsi keliru atau kekeliruan kognitif yang sering dilakukan orang ketika mereka membaca dan berbicara tentang sejarah. Salah satunya, ketergantungan mereka yang teramat sangat pada sejarah dan kecenderungan untuk analogi sejarah ke dalam setiap kasus yang berkaitan dengan urusan saat ini. Tiada keraguan, bahwa analogi yang dipinjam dari masa lalu, bisa berhasil di masa kini. Namun mereka mungkin gagal total. Menyerang raja abad pertengahan dalam pamflet tertulis hanya cocok dari jarak jauh dengan tweet yang menyerang pemimpin politik di negara demokrasi modern. Pertama, kemungkinan dituntut atas tindakan ini sangat berbeda. Kekeliruan kognitif lainnya, penyangkalan total atas pelajaran sejarah di bawah asumsi terkenal dan menyolok bahwa 'pelajaran sejarah tak dipelajari oleh siapa pun.' Seperti yang disarankan oleh asumsi ini, sejarah dapat dengan mudah disingkirkan. Posisi kita berada di antara ekstrem ini. Tentu saja, kasus-kasus dari sejarah bukanlah replika persis dari apa yang terjadi saat ini. Seperti yang disebutkan Mark Twain, 'Sejarah tak berulang, melainkan sering berima.' Kesejajaran sejarah sangat kuat, tetapi tidak 100 persen akurat. Namun, apa yang kita pelajari dari sejarah, membantu kita menavigasi fakta dan opini sekarang ini, dalam perairan yang bergejolak.
Sejarah mencatat kemungkinan Firaun Akhenaten (ca. 1375–1334 SM; lihat Gambar 2.1) yang memerintah Kerajaan Mesir pada abad ke-14 SM—jauh sebelum kelahiran Yesus dan dimulainya penanggalan modern kita, menjadi korban posthumous character assassination. Putranya, Tutankhamun yang kondang, dipopulerkan sebagai 'King Tut' setelah makamnya yang penuh harta karun ditemukan pada tahun 1920-an. Tapi Akhenaten, firaun mengagumkan. Ia sering dipandang sebagai penganut monoteisme pertama di dunia. Seperti kebanyakan orang di zaman baheula, orang Mesir menyembah banyak dewa, tetapi Akhenaten secara khusus mengabdi kepada dewa matahari, Aten. Ia bahkan mengganti nama firaun aslinya, Amenhotep IV, menjadi Akhenaten, 'dikhususkan bagi Aten.' Firaun memindahkan istananya ke ibu kota baru, Akhet-Aten, dan menjadikannya pusat pemujaan matahari. Sementara banyak kuil didedikasikan bagi Aten, dewa-dewa Mesir lainnya semakin dikesampingkan. Akhirnya, ibadah mereka dilarang sama sekali. Satu-satunya dewa yang tersisa ialah Aten, dengan Akhenaten mengklaim posisi khusus sebagai putra dan wakilnya di bumi.
Akhenaten wafat pada usia yang relatif muda, pada tahun ketujuh belas masa pemerintahannya. Kita tak tahu apa yang menyebabkan kematiannya. Mungkinkah beberapa pendeta atau tradisionalis yang marah, yang menolak pandangan sesatnya, menyingkirkannya? Kita cuman bisa berspekulasi. Apa yang kita ketahui bahwa putra Akhenaten, Tutankhamun, seketika menjauhkan diri dari kebijakan agama ayahnya. Ia meninggalkan ibu kota baru Akhet-Aten dan membiarkan dewa-dewa lain disembah lagi. Semuanya kembali normal. Adapun Akhenaten, riwayatnya tak diperlakukan dengan baik. Pada tahap tertentu, makam firaun yang mati ini, dinodai, gambarnya dirusak, dan bangunannya dihancurkan. Namanya dihapus dari daftar resmi para raja, begitu pula nama-nama penerus langsungnya di atas takhta. Jika ia semata direferensikan dalam teks-teks resmi, maka ia disebut sebagai 'penjahat Akhet-Aten.' Apapun yang sebenarnya terjadi, kita pasti bisa menganggap aib anumerta Akhenaten sebagai kasus character assassination. Melalui proyek-proyek pembangunannya, patung-patungnya yang megah, dan bualan prasasti-prasastinya, manusia ini berusaha membangun reputasinya sebagai penguasa yang kuat, bijaksana, dan saleh. Musuhnya, siapa pun mereka, berusaha menghancurkan statusnya dan menolak posisinya di garis firaun. Kita bisa memandang tindakan seperti itu, sebagai character attacks hal tersebut menyangkut penghapusan ingatn atau upaya mengurangi atau bahkan menghilangkan keberadaan individu dari memori kolektif generasi mendatang. Upaya itu, sama sekali tidak unik. Nyatanya, banyak firaun mengalami serangan anumerta pada riwayat mereka.
Unikkah jenis serangan karakter ini? Sama sekali tidak. Seperti yang diperlihatkan sejarah, menghapus dari ingatan, yang melibatkan penghapusan informasi secara sistematis tentang seseorang dari sumber tercetak dan lainnya, telah didokumentasikan dalam budaya lain dan di waktu lain. Menghapus dari ingatan juga digabungkan dengan pembungkaman, yang—dalam konteks character assassination—tentang mencegah orang yang masih hidup mempertahankan karakternya, setelah diserang atau dihapus dari penerbitan atau sumber lain. Akibat penghapusan dan pembungkaman, seorang individu tak lagi menempati perhatian masyarakat atau bahkan 'menghilang' dari ingatan kolektif masyarakat. [Coba renungkan kasus dimana pemerintah membuat Perpu tertentu, guna menghapus ingatan negatif terhadap 'partai' tertentu di masa lalu].
Perlu diingat bahwa kita perlu memanfaatkan kasus bersejarah dengan sebutir garam. Tak seperti masalah di zaman modern, yang sebagian besar berisi bukti faktual dan dapat diverifikasi, kisah Akhenaten dan penguasa lain dari masa lalu, menimbulkan banyak tantangan bagi para sejarawan. Karena sumber terdokumentasi kita terbatas, dan budaya bersejarah, seringkali sangat berbeda dari budaya kita, ada banyak hal yang tak kita ketahui atau pahami. Namun demikian, ada banyak hal yang dapat kita pelajari dari kasus-kasus baheula character assassination tersebut. Untuk satu hal, semuanya menarik perhatian kita pada akar psikologis dan perilaku yang dalam dari fenomena ini, ada dalam budaya manusia.
Jadi, targetnya adalah orang yang karakternya dibunuh. Targetnya bisa siapa saja, mulai dari gadis populer di sekolah menengah, hingga presiden suatu negara atau bakal calon presidennya. Seringkali, targetnya orang-orang ternama. Hal ini disebabkan penyerangnya mendapatkan banyak keuntungan dengan membuat orang-orang seperti itu, tampak rentan di mata publik.
Setiap character attack, membutuhkan media, baik itu wawancara, pidato, iklan kampanye, tweet, kartun, maupun pamflet. Pilar ini juga termasuk 'media'—mengetengahkan hal ini, bukan bermaksud menjadikan media berkonotasi negatif, namun kita tetap optimis bahwa media akan terus memainkan perannya sebagai salah satu pilar demokrasi—seperti kanal berita, siaran radio, dan situs web. Media ini, punya agensinya sendiri dan dapat memutuskan, menjalankan cerita tertentu sambil mengabaikan yang lain. Lebih dari itu: mereka dapat membuat cerita mereka sendiri atau memutuskan membingkainya dengan cara yang membuat orang tertentu terlihat baik atau buruk. Media kemudian menjadi agen aktif dalam permainan character assassination.
Seperti yang kita ketahui, memproyeksikan citra positif selalu penting bagi figur publik. Firaun Mesir dan kaisar Romawi, memasang patung diri mereka yang mengesankan, di sekitar wilayah mereka. Setelah abad ke-15, raja dan paus di Eropa, lalu di bagian lain dunia, mulai menggunakan media cetak untuk menyebarluaskan arahan resmi. Mereka menggunakan pula pamflet dan majalah guna menyebarkan informasi dan meningkatkan paparan publik di tempat yang jauh. Pada saat yang sama, masyarakat secara pribadi, menyerang penguasa dan tokoh masyarakat dalam pamflet dan bahan cetak lainnya.
Perkembangan radio dan televisi pada abad ke-20, memberi tokoh masyarakat dan lawan mereka, peluang baru diekspos dan dikritik. Rezim politik otoriter memobilisasi media untuk mempromosikan dan membela kebijakan pemerintah serta pemimpin pemerintah. Di negara-negara demokrasi, beberapa agensi hubungan masyarakat dan konsultan politik menemukan bisnis baru dengan memperbesar karakteristik pribadi klien mereka yang menarik, sembari mengecilkan beberapa halaman yang tak menarik dari biografi mereka. Di era televisi, terutama setelah tahun 1960-an, ketika TV terjangkau bagi hampir setiap keluarga di negara maju, impression management menjadi keterampilan penting bagi pesaing politik, selebritas, dan pejabat pemerintah.
Akibatnya, televisi telah mempersonalisasikan politik dan memfasilitasi kebangkitan masyarakat yang membuka diri, dimana para pemimpin politik menggunakan media untuk menciptakan bentuk-bentuk presentasi diri yang intim dan membeberkan beberapa aspek kehidupan pribadi mereka. Kemampuan memproyeksikan citra yang kredibel di televisi dan melindunginya dari serangan, tetap penting: figur publik terkemuka menjadi sasaran empuk serangan karakter, terutama selama kampanye pemilu.
Bagi banyak orang, Internet telah meningkatkan jumlah paparan dan visibilitas publik. Agar dianggap positif, banyak figur publik semakin diharapkan untuk mempertahankan profil online aktif dan terus berinvestasi dalam kehadiran media mereka. Politisi sering kali harus menggunakan nada komunikasi yang lebih pribadi dengan pendukung dan pemilih mereka, melalui pesan langsung dan umpan balik. Mantan Presiden AS Barack Obama merupakan salah satu pemimpin dunia pertama yang menggunakan media sosial untuk melewati jurnalis tradisional dan terhubung langsung dengan para pendukungnya. Selama kampanye presiden AS 2016 dan 2020, kedua partai yang ada, aktif menggunakan media sosial. Kecenderungan serupa telah diamati di banyak negara lain. Kecenderungan ini terkait dengan peningkatan paparan pejabat publik, pada gilirannya telah melipatgandakan risiko reputasi bagi politisi, selebritas, manajer perusahaan, dan warga biasa. Risiko reputasi mengacu pada tingkat ancaman terhadap reputasi berbasis karakter, yang berpotensi berkembang menjadi krisis.
Para editor dan jurnalis, sering melakukan kontrol mereka untuk menentukan apa yang menjadi berita dan apa yang tidak. Proses ini disebut agenda-setting dan karenanya, media dapat memilih topik berdasarkan anggapan pentingnya. Oleh sebab itu, media punya kekuatan menyusun agenda dan mengkomunikasikan pentingnya isu tertentu kepada publik, dengan menyarankan apa yang harus mereka fokuskan atau pikirkan. Media juga dapat menghilangkan isu dari agenda publik dengan tidak meliputnya.
Priming merupakan perpanjangan dari proses agenda-setting. Ini tentang pengaruh beberapa informasi sebelumnya tentang bagaimana penonton bereaksi terhadap berita lain. Pesan media dapat 'menggerakkan' audiens agar lebih mempercayai beberapa informasi dan menerima beberapa informasi lain lebih sedikit. Semakin menonjol sebuah isu dalam arus berita, semakin besar dampak isu tersebut terhadap sikap politik. Misalnya, selama pemilihan, menonton liputan berita televisi tentang kejahatan kekerasan, menyebabkan orang lebih berat menimbang pandangan kandidat tentang hukuman mati dibandingkan sebelum mereka menonton berita kejahatan. Lantas, bagaimana cara kerja priming? Ketika ide tertentu diunggulkan oleh sebuah pesan, ia cenderung mengaktifkan rantai asosiasi dalam memori yang terkait dengan pesan tersebut. Dengan demikian, pesan media tertentu, dapat memicu berbagai skema interpretasi, stereotip, dan prasangka, yang mampu mempengaruhi cara individu membuat penilaian terhadap orang lain.
Priming pesan merupakan salah satu mekanisme misinformasi dan character assassination. Dalam konteks character assassination, priming seringkali berhasil karena menyarankan audiens mengikuti pemikiran dan pelabelan yang cepat dan mudah ketimbang menggunakan upaya kognitif. Seperti dalam banyak kasus lainnya, audiens yang kurang berpengetahuan, itulah yang diinginkan character attacks."
"Pada sesi berikutnya," kata Wulandari, "kita akan perbincangkan tentang framing dan labeling serta dua pilar terakhir dari lima pilar character assassination, bi'idznillah."
Wulandari pun lalu berdendang,
She keeps her Moët et Chandon in her pretty cabinet
[Ia menyimpan anggur Moët-nya dalam lemari kaca apiknya]
'Let them eat cake,' she says, just like Marie Antoinette
['Biar saja mereka makan kue brioche,' katanya, menirukan Marie Antoinette]
A built-in remedy for Khrushchev and Kennedy
[Remedi bawaan buat Khrushchev dan Kennedy]
At anytime, an invitation, you can't decline *)
[Setiap saat, sebuah undangan, tak dapat engkau tolak]