“Konon, ada tiga kuda yang kesohor dalam sejarah,” berkata Wulandari saat parasnya yang bulat bagai beker, bersinar di atas dinding taman, di jalan, lapangan, dermaga pelabuhan, dan pepohonan, usai mengucapkan Basmalah dan Salam. “Yang pertama,” lanjutnya, “Bucephalus, kepunyaan Alexander Agung. Alexander yang berusia tiga belas tahun, menjinakkan sang kuda kala tiada orang lain yang sanggup menjauhkan sang dabat dari bayangannya. Alexander konon mengklaim bahwa sang kuda, hidup abadi. Ada legenda menyatakan bahwa sang kuda lahir pada waktu yang sama dengan sang raja, dan legenda lainnya, mengatakan bahwa mereka mati secara bersamaan. Bucephalus, hampir sama legendarisnya dengan sang raja dan sang raja menamai sebuah kota kuno, Bucephala, untuk menghormatinya.
Kedua, Clever Hans, seekor kuda pintar yang diajar memecahkan masalah matematika, memberitahu waktu dan tanggal, memahami teori musik, dan ngomong bahasa Jerman, oleh Wilhelm Von Osten, seorang guru matematika dan ahli mistik. Sang kuda akan memperhatikan orang yang mengajukan pertanyaan—orang yang sudah tahu jawabannya—dan membaca bahasa tubuh mereka. Bila bahasa tubuh mereka berubah ketika sang kuda sampai pada jawaban yang benar, Hans yang pandai, akan berhenti. Sejak saat itu, perilaku serupa pada manusia, dikenal sebagai the Clever Hans Effect.
Yang ketiga, Incitatus, kuda milik Caligula. Kaisar Romawi Caligula, sekarang ini, amat dikenal karena gaya hidupnya yang dekaden, brutal, dan kerenanya, kurang pantas. Caligula meyakini bahwa dirinya seorang dewa, maka itu, ia dibunuh. Nyawanya lepas saat Pertandingan Palatine oleh Cassius Chaerea.
Kuda Caligula, Incitatus punya kandang yang terbuat dari marmer dan kerangkeng yang terbuat dari gading. Ia semata mengenakan kain gebar ungu, warna bangsawan, dan perhiasan tergantung di lehernya. Sang kuda punya pelayannya sendiri dan gandumnya dicampur dengan serpihan emas—ia bahkan punya rumahnya dewek!
Kabar angin menyebutkan bahwa sang kaisar berencana menjadikan sang kuda sebagai anggota resmi pemerintah Romawi. Ia mencurahkan perhatiannya pada sang kuda agar menarik perhatian, betapa mudahnya kerja di pemerintahan dan menjamu pejabat, bahkan seekor kuda pun, bisa melakukannya.
Nah, boleh jadi, terilhami oleh kejadian ini, Aesop yang bijak, menghadirkan sebuah satire tentang Caligula dan kudanya. Ia mengekspresikannya seperti ini, 'Ada sebuah cerita bahwa Caligula, Kaisar Roma, suatu hari, berada di punggung kuda kesayangannya, dengan seluruh punggawa istana berada di sekelilingnya, dan para penyanjung ini, sadar betapa canggungnya sang kaisar mengatur kendali, dan mereka mengambil kesempatan memujinya dengan 'penunggang kuda yang teramat hebat'; tatkala sang kuda memghempaskannya—dalam benak sang kaisar, ia meyakini bahwa di istananya, sang kudalah satu-satunya yang, masih ada kebenaran dalam dirinya, kemudian memaklumatkan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada sang kuda, sebagaimana apa yang telah diperolehnya.'
Para penyanjung hendaknya diberitahu, bahwa ia yang menyanjung tanpa pengkajian terlebih dahulu, orang yang koplak, komentar James Northcote terhadap fabel ini. Orang yang berintegritas, katanya, asalkan kapasitasnya tak lemah, selalu beroleh penghargaan di atas yang lain, keadaan apa pun dalam hidup yang mungkin ia duduki.
Setiap fabel dalam fabel-fabel Aesop, selalu mengandung nilai-nilai moral yang berimplikasi pada jiwa yang peduli, grapyak, menghargai, tenggang-rasa, adil, patut, bertanggungjawab, dan berkeyakinan. Semua ini, merupakan bagian dari etika.
Trus, napa sih kita butuh etika? Kan hukum udah cukup buat ngelindungin hak-hak warga? Vincent Ryan Ruggiero memberitahu kita bahwa Etika itu, studi tentang pilihan yang dibuat orang tentang benar dan salah. Setiap hari, masing-masing kita, membuat lusinan pilihan moral. Akankah kita masuk kerja atau nelpon ke kantor karena alasan sakit? Akankah kita mengikuti protokol penelitian atau melanggarnya? Menjawab pertanyaan rekan kita dengan jujur atau dusta? Mematuhi undang-undang lalulintas atau mengemudi sesuka kita? Membayar tagihan atau menghabiskan uangnya buat foya-foya? Memegang janji pernikahan kita atau mengingkarinya? Memenuhi kebutuhan emosional anak-anak kita atau mengabaikannya? Memelihara kucing atau membuangnya?
Banyak orang beralasan, kata Ruggiero, bahwa kita tak memerlukan etika sebab sistem hukum kita, jika ditegakkan secara konsisten, bakal meghadirkan perlindungan yang memadai atas hak-hak kita. Guna menilai gagasan ini, kita hendaklah memahami siapa yang membuat undang-undang dan bagaimana mereka membuatnya. Siapa yang membuatnya, mudah ditebak: legislator lokal, tingkat daerah dan nasional. Proses pembuatannya rada lebih rumit. Kita tahu bahwa para legislator harus berhimpun membicarakan perilaku tertentu dan kemudian memilih, akankah mereka menjadikannya tindakan kriminal. Tapi apa yang mereka saling percakapkan? Atas dasar apa mereka simpulkan bahwa satu tindakan patut diklasifikasikan sebagai kriminal dan tindakan lainnya tidak? Alasan apa yang mereka tawarkan buat mendukung pandangan mereka? Bagaimana mereka bisa yakin alasan itu bagus?
Apa, misalnya, yang dikatakan legislator sebelum mereka memutuskan bahwa pelecehan seksual itu ilegal? Tentulah sesuatu yang lebih dari 'Gue gak bakalan ngelakuin perbuatan itu.' Fakta bahwa dua atau sepuluh atau lima ratus legislator menyatakan bahwa pandangan pribadi takkan menjadi pertimbangan yang cukup untuk menyimpulkan bahwa undang-undang haruslah disahkan guna mencegah orang lain melakukan tindakan tersebut. Menurut paham relativisme, tiada yang berhak mengkritik keputusan moral orang lain. Jika prinsip ini berlaku, maka pelaku pelecehan seksual pastilah bebas mengikuti pilihannya. Satu-satunya dasar rasional bagi undang-undang yang melarang pelecehan seksual, bahwa tindakan itu salah, tak semata bagi mereka yang berpikir demikian, melainkan pula bagi semua orang. Fokus yang tepat bagi pembuat undang-undang, bukanlah pada preferensi subyektif mereka, tapi pada sifat tindakan yang dimaksud.
Mengapa kita membutuhkan etika kendati kita punya hukum? Lantaran hukum tak memungkinkan bila tanpa etika, kata Ruggiero. Satu-satunya cara agar undang-undang dapat diundangkan atau dicabut ialah satu atau lebih orang, mengambil keputusan tentang benar dan salah. Selama ini selalu benar, baik pembuat undang-undangnya, kepala suku maupun suku nomaden, raja maupun ratu, atau sekelompok pejabat terpilih. Jika manusia cukup bijak membuat sebuah rangkaian hukum yang akan bertahan selamanya, kita dapat mengatakan bahwa pertimbangan etis, pernah menjadi penting, tapi sekarang, tidak lagi. Cilokonya, manusia tak sebijak itu. Perubahan selalu terjadi, dan undang-undang haruslah direvisi guna menyesuaikannya. Selain itu, wawasan baru terkadang mengungkapkan bahwa hukum menindak perilaku yang tak pantas dihukum, atau membuat tuntutan yang tak masuk akal terhadap rakyat.
Lebih lanjut, Ruggiero mengungkapkan bahwa fokus etika itu, situasi moral—yakni, situasi dimana ada pilihan perilaku, yang melibatkan nilai-nilai kemanusiaan—kualitas yang dianggap baik dan dikehendaki. Nah, bila kita menonton TV di rumah teman atau di rumah sendiri, bukanlah soalan moral. Tapi, jika kita menonton TV di rumah teman tanpa sepengetahuan dan persetujuannya, inilah yang menjadi urusan moral. Demikian pula, mengisi lamaran pekerjaan merupakan tindakan yang netral secara moral. Akan tetapi, memutuskan akankah mengatakan yang sebenarnya tentang lamaran tersebut, merupakan masalah moral. Pertimbangkan pula, sesuatu yang banyak orang habiskan waktunya akhir-akhir ini—berkirim-pesan. Dalam banyak kejadian, cara berkomunikasi dengan teman dan keluarga seperti ini, bukanlah perkara moral. Namun bila dilakukan sembari mengendarai mobil, dapat membahayakan orang lain, dan karenanya, jadi persoalan moral. Hal yang sama berlaku ketika seorang karyawan berkirim-pesan selagi berada dalam rentang jam kerja, dan dengan demikian, menghabiskan waktu dari pekerjaan yang semestinya ia lakukan.
Seorang ahli etika mengamati pilihan yang dibuat orang dalam berbagai situasi moral dan menarik kesimpulan tentang pilihan tersebut. Sistem etika merupakan seperangkat ide koheren yang dihasilkan dari kesimpulan tersebut dan membentuk perspektif moral secara keseluruhan.
Ahli etika bukanlah pembuat undang-undang. Mereka tak dipilih atau diangkat. Satu-satunya otoritas mereka adalah kekuatan kewajaran dalam pertimbangan mereka. Kata-kata mereka, tak seperti para pembuat undang-undang, tak menentukan apa yang harus atau tak boleh dilakukan. Mereka hanya menyarankan apa yang seyogyanya dilakukan. Jika orang melanggar kode moral mereka sendiri atau masyarakat mereka, tiada petugas penegak etika yang bakalan menangkap mereka—kendati jika perbuatan mereka itu, juga melanggar hukum, dimana lembaga penegak hukum dapat melakukannya.
Gagasan tentang berbagai tingkat tanggung jawab atas tindakan seseorang juga diterapkan dalam etika. Meskipun tiada pengadilan etika karena ada pengadilan hukum, dan tiada pernyataan formal bersalah atau tak bersalah dalam masalah moral, namun ahli etika tertarik pada pertanyaan 'Dalam keadaan apa seseorang dipandang bersalah?' Kesimpulan yang dicapai para ahli etika dalam hal ini, memberikan pedoman bagi pembuat undang-undang dan penegak hukum.
Salah satu masalah etika paling dramatis di era milenium meledak selama dekade terakhir abad ke-20. Masalah tersebut, misalnya, penciptaan embrio manusia bagi penelitian. Isu kontroversial seperti ini, sering menimbulkan ketegangan intelektual yang cukup besar. Masyarakat membentuk keyakinan yang kuat di satu sisi problema, atau yang lain, serta berusaha meyakinkan orang lain tentang kebenaran sudut pandang mereka.
Prinsip keinginan yang benar, dalam menjembatani kesenjangan antara apa yang ada dan apa yang seharusnya, memberikan landasan pertimbangan. Prinsip kontradiksi memberikan jaminan 'critical thinking' relevan dengan kontroversi etika, kala dua penilaian etis bertentangan secara diametris, salah satunya pastilah keliru. Maka, kedua prinsip ini, memberi kita keyakinan dan dorongan dalam analisis dan penilaian etis, kontribusi yang tidak kecil.