Senin, 10 Juli 2023

Another One Bites the Dust (3)

"Ada seorang wanita muda, bekerja sebagai ilmuwan—yang belajar tentang pembuatan BTS, bukan Bangtan Sonyeondan-nya K-pop, melainkan Base Transceiver Station—yang rekannya seorang calon komedian, pergi bersamanya ke konvensi tahunan Stand Up Comedy, berharap mendengar kisah-kisah fantastis. Namun, komedian unggulan yang tampil, mulai berseloroh tentang serangkaian angka.
'93!' kata sang pembicara, dan hadirin tertawa terbahak-bahak. '999!' mereka tergelak lagi. '1037!' dan gerr.
Sang ilmuwan tak tahan lagi. Ia nyolek rekannya dan berbisik, 'Apa kamsudnya?'
'Sederhana' berkata sang rekan. 'Soalnya, setiap lelucon di dunia, telah dikatalogkan dan diberi nomor. Nah, andai salah seorang dari kami menyebut angka '93,' itu berarti lelucon nomor sembilan puluh tiga. Makanya kami tertawa. Paham kan?'
'Maksud loe,' tanya sang ilmuwan agak ragu, 'pacar gue bakalan baper kalau gue ngomong ke doi, 'Dua puluh enam'?'
'Bukan, bukan,' kata sang rekan, 'penyampaian loe keliru. Coba dengerin orang ini. Selorohan doi mantul dan loe mungkin bisa belajar sesuatu.'
Maka, sang ilmuwan berusaha menghargai teknik sang komedian saat menyebutkan 46, 986, dan 2836 [sebenarnya 'angelic number', untuk maknanya, tanya mbah Google yaq!]. Mendadak, sang komedian berhenti, melambaikan tangannya agar para hadirin diam. Saat ia mulai menarik perhatian seluruh penonton, memaparkan tentang 'cawe-cawe' dan 'skandal BTS' yang diberitakan media, ia lalu berseru, 'Sepuluh ribu—dua ratus—tiga!' terjadi hiruk-pikuk.
Para hadirin bertepuk tangan dan bersorak. Rekan sang ilmuwan ngakak, sampai-sampai air matanya mengalir dan ia hampir tak bisa berdiri.
'Napa sih? Ade ape?' tanya sang ilmuwan. 'Emang, yang terakhir itu, lucu?'
'Gini,' jawab sang rekan, 'kami belum pernah tahu, ada dagelan seperti itu!'"

"Mari kita lanjutken," kata Wulandari, "Seperti yang telah kita lihat, karakter kita itu, apa yang menandai, menakrifkan, dan mengidentifikasikan kita. Dan selama ini, kita bertanya pada diri sendiri, 'Kualitas khas apa yang mengidentifikasi diriku? Positif atau negatifkah?' Karakter tulen mencakup karakteristik berikut: Pertama, tetap atau tertentu. Kualitas karakter yang tetap, dapat diilustrasikan oleh elemen-elemen yang kualitas intrinsiknya tak berubah, atau absolut. Angka merupakan salah satu contoh sifat karakter yang tetap. Angka 1 selalu 1. Takkan pernah berubah jadi 2. Begitu seterusnya hingga tak terhingga. Di negara-negara di seluruh dunia, sifat dan fungsi angka digunakan dengan cara yang persis sama.
Kebanyakan orang, akrab dengan pepatah, 'Setiap orang punya harganya sendiri.' Gagasan ini menyiratkan bahwa setiap orang bertitik dimana ia akan mengkompromikan standar moralnya demi mendapatkan sesuatu yang lain, yang merupakan prioritas yang lebih tinggi baginya. Beberapa yang umum, yang bisa kita sebut ialah, uang, ketenaran, dan kekuasaan. Namun jika kita hendak menjadi pemimpin karakter, kita hendaklah berhenti menerima gagasan ini. Tak ada 'harga' bagi seorang pemimpin berkarakter, yang akan membuatnya mengkompromikan standarnya, sebab prinsip pada dirinya, merupakan hidupnya. Oleh karenanya, semua pemimpin karakter 'mengatur jalannya', bila kita berbicara secara etika. Tak ada 'harga' bagi pemimpin berkarakter, yang akan menyebabkannya, mengkompromikan standarnya.
Kedua, karakter bisa ditebak. Dapat ditebak bermakna, secara konsisten bertanggungjawab dan dapat dipercaya. Seorang pemimpin yang berprinsip, dapat diprediksi sampai karakternya berbicara untuknya di saat ketiadaannya. Maknanya, masyarakat mengenalnya dengan sangat baik sehingga mereka dapat menjamin apa yang akan atau takkan dilakukannya, dalam situasi tertentu—dan benar-benar akurat.
Ketiga, karakter itu, stabil. Tatkala kita berjalan bersama integritas, karakter baik kita dapat mengalir merata di seluruh penjuru kehidupan kita. Seorang pemimpin yang berprinsip, tak mengubah nilai-nilai dan prinsip-prinsipnya, apa pun keadaan eksternalnya. Ia mampu mengatasi segala jenis badai pribadi dan profesional, bahkan yang merupakan 'kekuatan badai', sambil tetap tenang dan tabah. Kita perlu bertanya pada diri sendiri hal-hal berikut: 'Konsistenkah diriku, dimana pun aku berada, apa yang kulakukan, dan jam berapa sekarang?' 'Apa yang kulakukan saat orang 'menyiramkan air' ke mukaku — dengan kata lain, bergosip tentang diriku, mengkritikku, menyerang motivasiku, menghinaku, atau bahkan memakiku? Menjadi orang berbedakah diriku, kehilangan kesabaran dan membalas-dendamkah?' 'Akan seperti apa diriku bila bisnisku kolaps dan aku kehilangan segalanya? Terlepas dari betapa hancurnya perasaanku, akan tetap samakah karakterku?' 'Sungguhkah diriku, orang yang aku proyeksikan kepada orang lain?' 'Berperilaku tidak etis atau tak pantaskah diriku, bila tak ada orang lain di sekelilingku?'
Seorang pemimpin sejati, mampu menerima kritik dan perlakuan buruk, dan tetap mempertahankan karakternya. Karakter tulen, akan bertahan lebih lama dalam segala perselisihan, ketidaksetujuan, antitesis, dan serangan. Jika engkau yakin pada gagasan dan standarmu, engkau hendaklah tetap bersamanya—stabil. Bahkan musuhmu, boleh jadi, akhirnya mengakui integritasmu.
Singkatnya, kita masing-masing hendaklah bertanggungjawab atas krisis karakter di dunia kita saat ini. Kita semua bagian dari masalah. Tapi kita semua dapat pula menjadi bagian dari solusi, dengan berkomitmen mengikuti prinsip dan standar moral yang baik—'menyatu' dalam pikiran, perkataan, dan tindakan kita.

Sekarang, kita teruskan ke topik kita, character assassination. Pada sesi sebelumnya, kita telah membicarakan agenda setting, termasuk priming.
Selain agenda-setting dan priming, media menghadirkan pada pemirsa 'media frames', bentuk dan konteks menafsirkan berita. Kajian media frames mengkaji bagaimana isu disajikan dalam berita. Berita merepresentasikan konstruksi selektif realitas yang bergantung pada pilihan yang dibuat oleh penulis, jurnalis, dan editor. Realitas 'framed' yang diciptakan oleh media, dapat menghasilkan opini abadi dan pilihan elektoral dari penonton yang melihat dan mendengarkannya.
Proses framing mengacu pada strategi dan teknik retoris, yang memungkinkan para komunikator menyoroti beberapa aspek realitas sambil mengaburkan atau bahkan mengabaikan yang lain. Ada perbedaan yang jelas antara kemampuan mengatur agenda dan kemampuan meyakinkan warga negara tentang pentingnya atau arti dari suatu peristiwa politik. Misalnya, informasi tentang kehidupan pribadi seorang eksekutif bisnis mungkin tersedia, tetapi mungkin tak cukup membuat penilaian tentang kebaikan karakternya. Framing mendorong membuat penilaian seperti itu. Karenanya, framing bisa menjadi alat character assassination yang efektif.
Salah satu komponen framing yang kuat adalah 'Labeling' (Pelabelan). Label merupakan simbol yang digunakan menandai dan mengkategorikan individu. Label dan nama panggilan, kemudian berubah menjadi frasa, lelucon, atau meme yang sudah dikenal—yang dapat mengaburkan perbicangan kritis. Pelabelan sosial merupakan alat persuasi yang ampuh, yang lebih lanjut dapat menyebabkan stigmatisasi. Twitter telah memfasilitasi penggunaan real-time tentang Framing dan Labeling dalam wacana politik. Character assassination terbukti berguna saat mencegah penyebaran pesan yang tak diinginkan dan membungkam suara-suara yang tak setuju. Sebuah perusahaan yang berurusan dengan masalah whistle-blower, dapat mendiskreditkan pembawa pesan dan merusak kredibilitas mereka.

Setidaknya ada tujuh cara merusak atau menghancurkan reputasi seseorang: allegations, name-calling, ridiculing, fearmongering, exposing, disgracing, dan erasing.
Banyak serangan karakter terjadi dalam bentuk allegations (tuduhan): pernyataan menuduh, baik yang benar maupun salah, tentang kekurangan atau kelemahan seseorang. Ada tiga aspek individu yang dapat menjadi fokus serangan karakter: kepribadian, perilaku, dan identitas sosial mereka. Bila seseorang dituduh sombong, picik, narsis, tolol, atau agresif, kepribadian mereka diserang, karena semua ini dianggap sebagai sifat pribadi yang stabil. Tetap stabilkah ciri-ciri kepribadian seseorang selama masa hidup mereka, pertanyaan yang bisa diperdebatkan. Yang terpenting, banyak orang memilih berasumsi demikian.
Kita berbicara tentang name-calling bila penyerang menerapkan istilah bermuatan negatif ke arah target. Istilah tersebut dapat merujuk pada kepribadian atau perilaku target, misalnya, 'pembohong', 'pengkhianat', 'jalang', 'cabul', dan seterusnya. (Perbedaan antara kepribadian dan perilaku tak selalu mudah dibuat dalam masalah ini). Istilah negatif dapat pula merujuk pada status atau afiliasi target, termasuk menggali keyakinan ideologis seseorang—semisal 'komunis', 'fasis' 'ateis', 'pemeluk pohon'—melainkan pula cercaan berbasis etnis atau gender. Penyebutan nama sering kali berbentuk pelabelan, yang berarti bahwa istilah bermuatan negatif diterapkan secara konsisten pada suatu target, sehingga audiens menjadi sangat mengasosiasikan 'label' ini dengan orang tertentu.
Metode character assassination lain yang tersebar luas dan seringkali sangat efektif adalah ridiculing (ejekan), yang merupakan pembesar-besaran atau distorsi yang disengaja dan menghina dalam konteks lucu. Kartun yang mengolok-olok politisi dan tokoh masyarakat lainnya, masih ada hingga kini, namun itu hanya salah satu bentuk ejekan. Ejekan juga bisa memiliki pesan yang lebih canggih untuk disampaikan. Hal ini terutama berlaku dalam bentuk satire, dimana karikatur figur publik berfungsi menegaskan dugaan kemunafikan, kebohongan, keserakahan, kurangnya kesadaran, atau perilaku lain yang tidak diinginkan.
Ejekan mengubah seseorang menjadi bahan tertawaan, tetapi Fearmongering (Menyebarkan ketakutan)—atau dengan sengaja menimbulkan ketakutan atau kekhawatiran publik tentang individu atau suatu masalah tertentu—mengubahnya menjadi ancaman, seseorang yang dibenci dan ditakuti. Ini terjadi ketika penyerang berhasil menciptakan perasaan cemas pada audiens mereka terhadap target. Fearmongering sering digunakan terhadap kelompok etnis atau budaya, melalui proses yang disebut 'othering', anggota kelompok ini dapat dibingkai sebagai orang luar yang tak seperti 'kita' dalam keyakinan, perilaku, atau bahkan penampilan mereka. [Islamofobia dan tuduhan politik identitas terhadap kelompok tertentu, merupakan contoh yang terjadi di negeri konoha].
Seorang target terekspos saat mengorbankan materi tentang pandangan atau tindakan pribadi mereka dengan sengaja dipublikasikan. Exposing (mengekspos) dengan demikian melangkah lebih jauh daripada membuat tuduhan, dalam artian bahwa 'bukti' disajikan. Apakah bukti tersebut asli atau tidak, itu soal lain!
Disgracing (dipermalukan) adalah usaha menghilangkan respek, kehormatan, atau harga diri seseorang. Hal ini kebalikan dari menghormati. Ketika orang dihormati, mereka secara terbuka merayakan kebajikan dan prestasi mereka, misalnya melalui penerimaan penghargaan atau pendirian monumen untuk menghormati mereka. Ketika seseorang dipermalukan, nama baiknya dicemarkan di depan umum.
Erasing adalah penghapusan informasi secara sistematis dari sumber tercetak, rekaman, dan lainnya. Dalam novel kondang George Orwell, 1984, awalnya diterbitkan pada tahun 1949, yang menggambarkan visi distopia tentang negara totaliter, surat kabar dan buku sejarah terus-menerus ditulis ulang. Orang-orang yang perbuatan dan perkataannya merusak kepentingan partai yang berkuasa, lenyap tanpa jejak, tak hanya dari kehidupan nyata, bahkan pula, dari catatan masa lalu.
Perlu dicatat bahwa character attacks hanya dapat dihitung seperti itu, jika penyerangnya dengan sengaja berusaha merusak reputasi korbannya. Jika kerusakan itu tak disengaja atau tak diniatkan (semisal disebabkan oleh ucapan yang tak terpikirkan atau tak dimaksudkan untuk tujuan itu), bukan termasuk character attacks.

Pada sesi sebelumnya, kita telah menyebutkan tiga pilar character assassination. Pilar keempat adalah audiensnya: orang atau sekelompok orang yang hendak dipengaruhi oleh the attacker. Mungkin orang tertentu, seperti seorang remaja yang membunuh karakter gurunya di depan ibunya, guna menjelaskan nilai ujiannya yang buruk. Audiens juga dapat berupa sekelompok orang seperti persatuan pemungutan suara tertentu semisal kelompok agama konservatif, mahasiswa, warga lanjut usia, atau pemilih yang ragu-ragu. Audiens dapat pula berupa populasi yang melihat dan mendengarkan dari seluruh negeri. Akibatnya, sang penyerang mencoba mempengaruhi opini publik terhadap figur publik seperti selebritas atau kandidat politik guna mendapatkan keuntungan tertentu. Namun, audiens yang berbeda, berkarakteristik yang berbeda, yang membuat mereka cenderung dibujuk oleh berbagai jenis pernyataan.
Respon audienslah yang menentukan sukses atau tidaknya penyerangan karakter. Seringkali, penyerang karakter membingkai tuduhan mereka dengan audiens tertentu. Karena audiens yang berbeda punya nilai yang berbeda, ada kemungkinan bahwa satu serangan karakter yang sama, sangat mempengaruhi satu grup, sementara yang lain tak terpengaruh. Dengan demikian, character assassinatin merupakan istilah yang relatif: biasanya, reputasi seseorang, rusak di mata beberapa kelompok orang saja.

Serangan karakter bisa efektif jika tak ada undang-undang yang melindungi target upaya character assassination, sehingga penyerang dapat bertindak tanpa terkena hukuman. Jika ada batasan hukum tertentu, maka serangan cenderung kurang efektif. Di banyak negara (semisal di China, Iran, atau Rusia) lembaga pemerintah dapat menetapkan undang-undang secara khusus melindungi pemimpin atau partai politik: kritik online apa pun dapat segera dikualifikasikan sebagai 'slander' atau 'defamasi' dan dengan demikian, tindakan hukum dapat diterapkan terhadap tersangka 'penyerang.'

Dampak pertama dari character attacks, bisa jadi, tak berarti. Ketika serangan karakter berdampak sedang, akan nyata berpengaruh pada reputasi target dalam jangka waktu yang cukup lama, tetapi hanya mempengaruhi sebagian audiens, atau cuma mempengaruhi sampai batas tertentu. Pada waktunya, efek negatif dapat memudar. Banyak character attacks yang diluncurkan terhadap kandidat politik selama kampanye pemilihan, termasuk dalam kategori ini. Dampak yang parah dapat disamakan dengan character assassination, atau kematian reputasi seseorang, yang pada dasarnya tak dapat diubah.
Bisakah character attacks gagal? Sesungguhnya bisa gagal. Karakter Senator AS Hillary Clinton sering diserang dan dalam banyak hal. Salah satu jenis serangan berfokus pada dugaan identitas lesbiannya dan, juga dugaan, perselingkuhannya. Namun semua rumor tentang Clinton ini, tak berdasar; beberapa tokoh media dan situs web harus mengeluarkan permintaan maaf resmi karena menyebarkan khabar bohong. Yang terpenting, masyarakat umum tak terlalu tertarik dengan rumor tersebut. Character attacks juga bisa menjadi bumerang dan menimbulkan efek yang berkebalikan dengan tujuan sang penyerang.

Pilar terakhir, the context. Setiap character attacks, terjadi dalam suatu konteks. Istilah luas ini, yang dapat merujuk pada lanskap politik, norma budaya, situasi perekonomian dan teknologi, dan faktor eksternal lainnya, yang membentuk dan mempengaruhi character attacks. Hal ini membuat perbedaan besar apakah serangan terjadi dalam sistem politik yang demokratis atau otokratis.

Sesi selanjutnya, sesi terakhir, insya Allah, akan kita percakapkan character assassination di negeri rezim otoriter dan di dalam masyarakat demokratis."

Setelah itu, Wulandari menembangkan,

To avoid complications, she never kept the same address
[Supaya menghindari keruwetan, doi gak pernah nyimpan alamat yang sama]
In conversation, she spoke just like a baroness
[Dalam percakapan, doi ngomong kayak tuan baron]
Met a man from China, went down to Geisha Minah
[Ketemu seseorang dari China, berkunjung ke Geisha Minah
Then again incidentally—if you're in that way—inclined *)
[Lalu kebetulan lagi—kalau loe ada di jalan itu—terbujuk]
[Sesi 4]
[Sesi 2]