Sabtu, 29 Juli 2023

Obrolan sang Barista (1)

"Seorang penerjun payung, sedang siap-siap melompat buat kali pertamanya.
'Jangan lupa yaq,' sang instruktur mengingatkan, 'jika tuas pertama gak fungsi, loe tarik tuas cadangan. Siap?'
'Okeh, siyaap!' kata sang penerjun. Ia pun melompat, membilang hingga hitungan ke sepuluh, lalu menarik tuasnya. Gak ada apa-apa, maka, ia menarik tuas cadangan. Tapi tetep aja, nihil.
Saat ia meluncur ke bumi, seorang wanita, sekonyong-konyong melesat ke udara, melewatinya.
'Jeng, jeengng..!' teriaknya. 'Jeng paham gak soal parasut?'
'Mboteen,' jawab si jeng tadi, yang lalu balik nanya, 'Jenengan paham gak soal kompor gas?'" Wulandari memulakan stori, usai wajahnya yang laksana bola perak kafi, tertangkap mata di malam hari, menuturkan kekisruhan yang bergulir di siang hari. Di tengah hari, ia melihat seseorang yang lagi ngumpet tanpa pleidoi.

Wulandari kemudian meneruskan, “Daya-tarik kopi, bersifat universal. Segala bangsa, menghargainya. Kopi telah diakui sebagai kebutuhan manusia. Kopi bukan lagi kemewahan atau kesenangan, melainkan buah dari energi dan efisiensi manusia. Orang menyukai kopi lantaran efek gandanya—sensasi nikmat dan peningkatan efisiensi yang dihasilkannya," itulah yang disampaikan teteh Barista. Tapi, 'ntar dulu, k'napa sih Barista? Barista [terjemahannya Pramukopi, tapi kita tetap pakai kata Barista dalam konteks ini] di kafe khusus, mirip dengan sommelier [pramutama anggur atau ahli anggur] di dunia perangguran, kata Anette Moldvaer. Barista, seorang profesional dengan keahliannya, mampu menawarkanmu tentang menyiapkan kopi dengan cara yang, tak semata memberimu kafein yang nendang, tapi juga membuatnya terasa menarik, mengasyikkan, dan terutama, maknyuss. Emang sih, Barista itu, karir dengan banyak kaum cowoknya, tapi, gak ada salahnya kok bagi para cewek, soalnya, pekerjaan inilah yang merujuk pada bartender cowok dan cewek, tanpa memandang gender. Yang terpenting, bagaimana engkau menuangkan isi kepalamu, yakni ide atau gagasan dan konsepmu, ke dalam racikan minuman panas atau dingin, supaya dinikmati para pelangganmu.

So, let's move on to apa yang 'teh Barista obrolin, 'Peradaban, dalam perkembangannya, semata menghasilkan tiga minuman non-alkohol yang penting—ekstrak tanaman teh, ekstrak biji kakao, dan ekstrak biji kopi, kata William H. Ukers.
Dedaunan dan bijian-bijian—semuanya, sumber nabati minuman meja non-alkohol favorit dunia. Dari keduanya, daun teh mengandung timbal dalam jumlah total yang dikonsumsi; dari yang dua tadi, biji kopi, menempati urutan kedua; dan biji kakao berada di urutan ketiga, meskipun terus meningkat. Namun dalam perdagangan internasional, biji kopi menempati posisi yang jauh lebih penting dibanding yang lain, diimpor ke negara-negara bukan penghasil kopi, hingga dua kali dari perkembangan daun teh.
Kopi itu, minuman global. Ia ditanam secara komersial di empat benua, dan dikonsumsi dengan antusias di ketujuh benua: ilmuwan Antartika menyukai kopi mereka. Bahkan ada mesin espresso Italia di Stasiun Luar Angkasa Internasional. Perjalanan kopi telah membawanya dari hutan Ethiopia ke Finca Amerika Latin, dari kedai kopi Ottoman ke 'third wave cafés', dan dari teko kopi ke mesin kapsul.

Kopi itu, minuman sehari-hari—baik diincip pertama kali saat sarapan, kala istirahat tengah hari, sebagai penyongsong sore, atau membantu pencernaan usai makan malam. Sebagian besar penikmat kopi, punya naluri tentang apa yang mereka pandang sebagai a good cup of coffee, namun hanya sedikit yang memahami apa yang berkontribusi dalam menghasilkannya.
Alasan utama mengapa para konsumen tak mengetahui bagaimana mengapresiasi kopi mereka, lantaran industrilah yang mengaburkan kompleksitas dan keberagamannya, dengan mengubahnya menjadi komoditas yang dihomogenkan, kata Jonathan Morris. Onggokan biji yang dipanen pada satu waktu, dicampur dengan yang dipetik di lain waktu; hasil pertanian dengan karakteristik yang berbeda, digabungkan; karung dari berbagai daerah, diekspor dengan label yang sama; kopi hijau dibeli melalui pertukaran dimana tak pernah benar-benar terlihat, sebelum biji dipanggang dan dicampur dengan yang lain, dari berbagai negara untuk dijual di bawah label merek yang mewacanakan karakteristik umumnya: 'Rich', 'Mellow' atau 'Roaster's Choice'.
Strategi semacam ini, memungkinkan kopi dari satu sumber diganti dengan yang lain. Peristiwa alam semisal kekeringan, embun beku atau penyakit, atau peristiwa buatan manusia seperti perang, dapat menghambat produksi kopi di suatu wilayah, selama bertahun-tahun. Petani, eksportir, broker, dan roaster menggunakan homogenisasi sebagai strategi manajemen risiko. Setidaknya 90 persen produksi kopi dunia masuk ke sektor komoditas. Sisanya 5-10 persen merupakan 'kopi spesial': kopi berkualitas tinggi dengan profil rasa yang khas dan asal geografis yang dapat diidentifikasi. Seperti anggur, rasa kopi mencerminkan varietas yang ditanam, lingkungan mikro distrik (terroir), kondisi iklim umum musim tanam, dan perawatan saat dipanen, diproses, disimpan, dan dikirim. Anggur mengandung sekitar tiga ratus senyawa yang mempengaruhi rasanya; sedangkan kopi, angkanya diperkirakan lebih dari seribu. Sektor 'Special(i)ty' ini (orang Eropa biasa memasukkan 'i' jadi 'speciality', tapi wong Amerika menyebutnya 'specialty') telah tumbuh secara eksponensial selama tiga puluh tahun terakhir.

Kopi merupakan anugerah dari Afrika, dimana lebih dari 130 spesies genus Coffea, telah diidentifikasi. Tanaman kopi Arabika, Coffea arabica, berkembang di dataran tinggi Ethiopia Barat Daya dan berbatasan dengan Kenya dan Sudan Selatan, dimana masih tumbuh liar hingga saat ini. Kini, Arabika ditanam secara komersial di seluruh daerah tropis. Kopi tak dapat bertahan hidup di luar sabuk ini, sebab akan mati jika suhu turun di bawah titik beku. Arabicalah yang pertama—dan hingga abad ke-20, satu-satunya—spesies kopi yang ditanam untuk konsumsi manusia. Saat ini, menyumbang sekitar dua pertiga dari produksi dunia.
Selama tiga dekade terakhir abad ke-19, dunia perkopian berubah oleh gempuran wabah penyakit karat daun, hawar yang hampir merontokkan produksi di Asia. Penanam kopi, terutama di Hindia Belanda [hayoo, nama ini, sekarang berubah jadi apa coba?], mulai mencari spesies alternatif. Mereka mencoba Coffea liberica, atau kopi Liberia, tapi kopi ini, juga terbukti rentan terhadap karat daun. Mereka lalu beralih ke Coffea canephora, dikenal sebagai Robusta, yang bersumber dari Kongo, melalui Belgia.
Robusta tak hanya tahan karat daun, namun juga, tahan terhadap suhu dan kelembapan yang lebih tinggi daripada Arabika, membuatnya mampu tumbuh subur di dataran yang lebih rendah. Pohonnya berbentuk payung, dengan buah ceri yang lebih kecil, tetapi lebih banyak berkelompok, sehingga lebih mudah dipanen. Penanamannya yang mudah, memungkinkannya digunakan sebagai hidangan pembuka dalam produksi kopi, terakhir oleh Vietnam. Saat ini, Robusta menghasilkan sekitar 35–40 persen output dunia. Pula, Robusta mengandung kadar kafein dua kali lipat dari Arabica.

Kopi punya 'landasan mitos', yang amat disukai para pemasar, bahwa suatu hari, Kaldi, seorang pemuda gembala kambing Ethiopia, melihat satwanya gelisah setelah makan semak buah merah. Kaldi mengunyah sendiri buah beri itu, dan akhirnya 'berajojing'. Kaldi lalu ditemui oleh, atau berkonsultasi dengan, seorang imam, yang juga mencicipi buah beri. Ia menemukan bahwa buah tersebut membuatnya tetap terjaga selama qiyamul lail, sehingga mengubahnya menjadi cairan vitamin untuk dibagikan kepada orang lain; atau dengan kasar melemparkannya ke dalam api hanya untuk mencium aromanya yang lezat, dan kemudian memutuskan mengambilnya dari bara api, menggilingnya, menambahkannya air panas dan meminum minuman yang dihasilkannya!
Kisah Kaldi pertama kali muncul di Eropa pada tahun 1671 sebagai bagian dari risalah kopi yang diterbitkan oleh Antonio Fausto Naironi, seorang Kristen Maronit dari Levant (sekarang Lebanon) yang beremigrasi ke Roma. Boleh jadi, ia mendengarnya di tanah kelahirannya. Tepatnya kapan, di mana dan dalam bentuk apa manusia pertama kali mengkonsumsi kopi, tak dapat dipastikan secara pasti. Ada desas-desus tentang biji hangus yang ditemukan di situs kuno, dan ada yang menyebutkan bahwa herba dan ramuan yang dijelaskan dalam Qanun Kedokteran atau Kaidah Kedokteran (al-Qanun fi al-Tibb) oleh dokter dan filsuf Persia, Ibn Sina (980–1037), juga dikenal sebagai Avicenna, berasal dari tanaman kopi.
Sudah barang tentu bahwa dua ratus tahun pertama atau lebih, sejak keberadaan kopi tercatat, antara tahun 1450 dan 1650, kopi dikonsumsi hampir secara eksklusif oleh masyarakat Muslim, yang terbiasa mempertahankan ekonomi kopi yang berpusat di sekitar Laut Merah. Dunia inilah tempat versi minuman modern berevolusi dan landasan format kedai kopi kontemporer diletakkan.

Suku Oromo, yang menempati sebagian besar wilayah selatan Ethiopia, termasuk wilayah Kaffa dan Buno, yang merupakan tempat asal kopi Arabika, menyiapkan berbagai bahan makanan dan minuman dengan memanfaatkan berbagai unsur tanaman. Buna yang paling populer. Sekam kopi kering direbus dalam air mendidih selama lima belas menit, sebelum minuman yang dihasilkannya, tersaji. Saat ini, petani kopi sudah mulai menjual produk serupa bernama cascara, terdiri dari kulit ceri kering yang dibuang selama pemrosesan, diseduh sebagai teh buah. Dinamakan qisyr dalam bahasa Arab, cairan obat ini, sepertinya telah melintasi 32 kilometer (20 mil) selat Bab al-Mandab di ujung selatan Laut Merah selama pertengahan abad ke-15. Cendekiawan Arab Abdul Qadir al-Jaziri, yang manuskripnya Umdat al safwa fi hill al-qahwa, ditulis sekitar tahun 1556, merupakan sumber informasi utama tentang penyebaran kopi di dunia Islam dan mereproduksi catatan yang mengklaim bahwa al-Dzabani melakukan perjalanan ke Ethiopia.

Jean de la Roque—penulis, musafir, dan putra saudagar yang memperkenalkan kopi ke Marseille—menulis laporan tentang dua ekspedisi perdagangan ke Mocha dari pelabuhan Breton di St Malo, pada 1709 dan 1711. Terungkap bahwa butuh waktu enam bulan untuk mengisi ruang kapal, kendati orang Prancis menggunakan Banyan broker [broker-broker dari India], yang berusaha mendapatkan kacang atas nama mereka, menaikkan harga di Bayt al-Faqih, Yaman. Faktor Belanda yang mereka temui, diperkirakan membutuhkan waktu satu tahun untuk mendapatkan kargo selama satu pelayaran. Pada tahun 1720-an, pengapalan kopi Laut Merah telah mencapai 12.000–15.000 ton per tahun–secara efektif merupakan pasokan dunia. Volume tersebut, sebagian besar tetap tidak berubah selama seratus tahun berikutnya, walau pada tahun 1840 jumlahnya tak lebih dari 3 persen produksi dunia. Mengingat hal ini, tak mengherankan bahwa, karena mereka semakin mengadopsi minuman tersebut, orang Eropa berusaha mendirikan pusat budidaya alternatif.
Setelah tahun 1720-an, Belanda beralih ke Jawa dan Prancis ke Karibia, sehingga pembelian mereka masing-masing dari Mocha dan Alexandria menurun. Ini dikompensasi dengan peningkatan pembelian oleh Inggris dan Amerika. Pendapatan dari perdagangan kopi, masih sedemikian rupa, sehingga Muhammad Ali, penguasa ekspansionis Mesir, berusaha menaklukkan Yaman menjadikannya berada di bawah kendalinya. Hal ini menyebabkan Inggris merebut Aden pada tahun 1839, melindungi pengaruhnya di wilayah tersebut, dan menetapkannya sebagai pelabuhan bebas pada tahun 1850. Ketiadaan bea cukai dan adanya dermaga laut dalam, serta fasilitas pergudangan, membuat Aden mengambil alih Mocha sebagai wilayah pelabuhan kopi utama tersebut. Saat ini area pelabuhan Mocha menampung armada penangkap ikan kecil dan banyak reruntuhan, dan didekati melalui saluran berlumpur, yang diduga sebagai konsekuensi dari kapal Amerika abad kesembilan belas yang melepaskan pemberatnya sebelum membawa kopi ke kapal.

Beberapa orang Eropa, kecuali mereka yang berada di bawah kekuasaan Ottoman, telah mencicipi kopi sebelum pertengahan abad ketujuh belas. Pengenalannya ke Eropa menyebabkan terciptanya kedai kopi dan kafe, yang daya tariknya meluas ke sebagian besar masyarakat Eropa. Abad ke-18 menyaksikan rekonfigurasi dramatis pusat-pusat produksi kopi ketika negara-negara Eropa, seperti Republik Belanda, Prancis, dan Inggris, mulai menanam kopi di perkebunan kolonial Asia dan Karibia mereka, guna memenuhi permintaan konsumen yang meningkat.
Cokelat, kopi, dan teh, datang ke benua itu secara berurutan, dan preferensi konsumen, bolak-balik bergeser. Rumitnya peraturan serikat pekerja menghalangi para pedagang mendirikan tempat menjual dan menyajikan kopi. Akibatnya, ada diskontinuitas yang berarti dalam difusi budaya kopi. Venesia mungkinlah kota Eropa pertama tempat kopi diseduh, tetapi kedai kopi, baru dibuka di sana, seabad kemudian. London rumah bagi kedai kopi pertama di Eropa, namun Inggris termasuk yang terakhir dan produsen kopi Eropa yang paling tidak aktif. Sebaliknya, orang Prancis, yang belakangan beralih dari cokelat, terus mendominasi, baik konsumsi maupun produksi kolonial selama abad kedelapan belas.
Pengadopsian kopi di seluruh Eropa Kristen mencerminkan hubungan kompleks benua itu dengan Timur Dekat Islam. Wabah ketertarikan dengan 'Timur' memicu minat pada kopi, namun para musafir yang menulis di awal abad ketujuh belas, sering berusaha menyelamatkan minuman dari asosiasi Muslimnya dengan menata ulang masa lalunya. Pietro della Valle dari Italia, menyebutkan kopi sebagai dasar dari nepenthe, stimulan yang disiapkan oleh Helen di Homer's Odyssey. Orang Inggris Sir Henry Blount mengklaimnya sebagai kaldu hitam Spartan yang diminum sebelum peperangan. Dengan menemukan kopi di antara orang Yunani kuno, mereka secara efektif mengklaimnya sebagai peradaban Eropa, dan mengingatkan orang-orang sezaman tentang orang Kristen peminum kopi di perbatasan Ottoman. Namun, tiada bukti bahwa Paus Clemente VIII mencicipi kopi dan membaptisnya sebagai minuman Kristen pada tahun 1600-an, meskipun peredaran cerita yang tersebar luas, menunjukkan bahwa mereka yang punya saham dalam perdagangan kopi, berharap ia melakukannya.

Kopi hadir di Venesia pada tahun 1575, seperti yang dikonfirmasi oleh peralatan pembuat kopi yang dicatat dalam inventaris seorang pedagang Turki yang terbunuh di kota itu. Pada tahun 1624, dikirim ke kota untuk dijual oleh apoteker sebagai produk obat, dan pada tahun 1645, sebuah toko yang menjual bijian itu, tampaknya telah dilisensikan. Penggunaan kopi menyebar ke negara bagian Italia lainnya: Tuscany diberikan monopoli bagi perdagangan kopi pada tahun 1665. Peraturan yang melindungi perdagangan apoteker mungkin menjelaskan munculnya kafe pertama yang diperbolehkan menyajikan kopi di Venesia pada tahun 1683. Pada tahun 1759, pemerintah kota dipaksa membatasi jumlah kafe sampai 204—batasan yang dilanggar dalam waktu empat tahun.
Inggris mengembangkan budaya kedai kopi Eropa pertama. Tokoh terkemuka dalam membawa bijian ini ke Inggris juga merupakan emigran dari Kekaisaran Ottoman. Nathaniel Conopios, seorang mahasiswa Yunani di Balliol College, Oxford, orang pertama yang tercatat minum kopi di Inggris pada Mei 1637. Pasqua Rosee, seorang etnis Armenia dari kota Ottoman Smyrna (sekarang Izmir) membuka rumah kopi London, dan Eropa, yang pertama kali didokumentasikan antara tahun 1652 dan 1654. Bisnis Rosee dimulai sebagai kios di halaman gereja St Michael di jantung Kota London, wilayah independen di pusat kota metropolis, yang berisi sebagian besar lembaga keuangan dan komersial London. Pedagang akan datang dari Royal Exchange terdekat untuk melanjutkan percakapan sambil menyeruput kopi di bawah tenda kios Rosee. Menurut referensi pertama bisnis tersebut, pada tahun 1654, ia menyajikan 'sejenis minuman Turki yang terbuat dari air dan beberapa beri atau kacang Turki (yang) agak panas dan tak enak (tapi punya) kenikmatan setelahnya dan menyebabkan ada yang banyak buang angin.'
Bukan kebetulan bahwa kedai kopi didirikan selama era Cromwellian setelah berakhirnya Perang Saudara Inggris. Kedai kopi selamat dari restorasi monarki pada tahun 1660 karena penentang Royalis dari rezim Parlemen, juga memanfaatkan peluang yang dimunculkan tempat-tempat ini, bagi percakapan yang tak terpantau.
Kedai kopi terdokumentasi pertama di luar ibukota Ingris, dibuka oleh apoteker Arthur Tillyard pada tahun 1656. Tillyard 'didorong untuk melakukannya oleh beberapa royalis, sekarang tinggal di Oxon, dan oleh orang lain yang menghargai diri mereka sendiri sebagai virtuosi atau kecerdasan'. Istilah 'virtuosi' menggambarkan orang yang punya kekepoan intelektual tentang kebaruan budaya, kelangkaan dan bidang penyelidikan empiris, kuasi-ilmiah yang masih baru, yang terkait dengan tokoh-tokoh seperti Francis Bacon. Sebagai pelanggan virtuosi Tillyard, termasuk Issac Newton, bapak fisika modern, astronom Edmond Halley (kondang oleh kometnya) dan kolektor Hans Sloane, yang warisannya membentuk dasar British Museum. Sebagian besar virtuosi bukanlah cendekiawan yang luar biasa, tetapi penggemar yang dapat dibujuk ke kedai kopi guna menginspeksi tampilan kekepoan.

Koalisi kopi dengan kedai kopi, mungkin tertahan pengadopsiannya di rumah. Kedai kopi pada dasarnya lingkungan kaum lelaki, tempat dimana disarankan berbicara dengan orang asing. Satu-satunya kehadiran wanita, menjamu atau 'melayani' kebutuhan pelanggan. The Women’s Petition against Coffee—tahun 1674, mengutuk kopi dan kedai kopi dengan dalih bahwa keduanya menjauhkan kaum lelaki dari rumah dan menjadikannya impoten—bisa jadi, disponsori oleh pembuat bir yang hendak merebut kembali pelanggan yang hilang, tetapi memainkan pembagian gender ini.
Wanita yang dibesarkan dengan baik, diarahkan minum teh. Teh disukai oleh beberapa panutan kerajaan, terutama Catherine of Braganza dari Portugis, yang memperkenalkannya ke istana Inggris pada tahun 1662 ketika menikah dengan Charles II.
Selanjutnya, Inggris diperintah oleh dua ratu yang berdaulat, Mary (1688–1694) dan saudara perempuannya, Anne (1702–14), keduanya peminum teh. Kaum wanita boleh minum teh bersama, baik di rumah, atau di depan umum di kebun teh dimana pengaturan udara terbuka memberikan visibilitas, menjadikannya tempat terhormat bagi kaum wanita.

Pada paruh kedua abad kedelapan belas, kedai kopi mulai menawarkan alkohol bersama kopi, secara efektif berubah kembali menjadi tavern atau kedai bir, seperti yang ditunjukkan oleh sejumlah pub dengan nama seperti The Turk's Head. Salah satu contohnya The Turk's Head di Gerrard Street, London, yang menjadi tuan rumah klub sastra pada tahun 1764. Anggotanya termasuk ahli kamus hebat Dr Samuel Johnson dan penulis biografinya, James Boswell. Mereka masing-masing minum teh dan anggur.
Berbeda dengan café-nya Prancis, yang, meskipun lebih lambat berkembang, membiak jadi institusi sosial yang menarik bagi semua kelas selama abad kedelapan belas. Kopi diperdagangkan di Marseilles pada tahun 1640-an tetapi sebagian besar tetap tidak dikenal di Paris sampai tahun 1669. Pada tahun itu, sebuah misi diplomatik dikirim oleh Sultan Mehmed IV ke Louis XIV, mungkin dihasut oleh duta besar Prancis untuk Konstantinopel agar mengesankan kedaulatannya sendiri. Delegasi tersebut, tinggal selama hampir satu tahun, menghibur para pejabat istana yang berpengaruh dengan hidangan Turki, seperti kopi, di sebuah rumah besar yang direnovasi sebagai istana Persia. Kejadian ini mengilhami 'Turkomania' di antara eselon atas masyarakat Prancis, seperti yang disindir dalam Le Bourgeois gentilhomme karya Molière. Vendor mulai menjual kopi selama pameran dagang di distrik komersial Saint-Germain, dan seorang Armenia bernama Pascal mendirikan kedai kopi pertama di Paris pada tahun 1671, hanya untuk melihatnya ambyar usai mode Turki ini mereda.
Café, pada era itu, bagian dari dunia maskulin. Kendati banyak kafe yang dijalankan oleh pasangan, dengan wanita bekerja di depan kedai, sementara pasangan prianya menyiapkan minuman dan pendamping di 'laboratorium' ruang belakang, sedikit sekali kaum wanita memijakkan kaki di kafe, karena takut disalahartikan sebagai pelacur, lantaran sifat publik kafe dan perdagangan alkohol. Jika wanita disuguhi kopi, kemungkinan dibawa ke tempat pribadi mereka untuk diminum secara tersembunyi.
Kaum wanita borju, lebih memilih cokelat, paling tidak, karena kualitas obatnya. Kopi mulai menantang keutamaan ini dengan menyebarnya café au lait. Café au lait hanya disajikan sebagai ciri khas Prancis dalam hal keasliannya."

"Sepertinya, obrolan kita masih panjang," kata Wulandari. "Oke, kita lanjut ke sesi berikutnya," jawab si teteh, yang senyumnya bikin, wadidaw!
Keduanya pun berdendang,

I used to think
[Ku pernah mengira]
I had the answers to everything
[Ku punya jawaban buat segalanya]
But now I know
[Namun kini ku tahu]
That life doesn't always go my way *)
[Bahwa hidup tak selalu berjalan sesuai caraku]
[Sesi 2]