Selasa, 18 Juli 2023

Sang Menteri dan seorang Begal

“Di hari yang redum, di sebuah bank yang adem dan ayem,” tutur Wulandari, relawan terdekat dan handai-taulan dalam lingkaran sang buntala, dan benda langit yang amat mudah ditemukan di jagat senja, mengawali cerita.
"Semuanya berjalan sebagaimana mestinya hingga seorang lelaki—atau lebih tepatnya seorang begal—berjalan mendekati lelaki lain yang berstelan-jas dan mengeluarkan senapan dengan moncong yang telah terpotong. 'Serahin duit loe, dan kalian semua ... jangan bergerak' teriak sang begal. Lelaki berjas menoleh, terkejut. 'Tunggu, tunggu! Kamu gak boleh gitu, aku ini menteri lho!'
Sang begal menjawab, 'Oh, maaf. Kalau begitu ....' sembari melucuti jam tangan di lengan sang lelaki, kalung emas tebal yang bergelantung di lehernya, cincin bertatahkan berlian di jemarinya, dompet tebal dari dalam saku celananya, dua batang hp boba dari genggamannya, dan amplop berisi segepok uang dari balik jasnya, 'balikin duit gue!'"

"Sebagaimana yang telah engkau ketahui," kata Wulandari, "seorang menteri merupakan seorang politisi, yang memimpin kementerian, membuat dan melaksanakan keputusan kebijakan bersama dengan menteri lainnya. Di beberapa yurisdiksi, seorang kepala pemerintahan juga seorang menteri dan ditunjuk sebagai ' perdana menteri'. Istilah menteri berasal dari bahasa Inggris Pertengahan, turunan dari kata Perancis klasik, ministre, sejatinya dari bahasa Latin, minister, yang bermakna 'pelayan, petugas'. Para menteri biasanya anggota kabinet. Kabinet merupakan pejabat negara yang berpangkat tinggi, biasanya terdiri dari pimpinan puncak cabang eksekutif. Fungsi kabinet bervariasi: di beberapa negara, merupakan badan pembuat keputusan taktis dengan tanggung jawab kolektif, sementara di negara lain dapat berfungsi baik sebagai badan penasehat murni ataupun lembaga pembantu kepala negara atau kepala pemerintahan pengambil keputusan. Kabinet biasanya merupakan badan yang bertanggungjawab atas manajemen pemerintahan sehari-hari dan menanggapi peristiwa mendadak, sedangkan cabang legislatif dan yudikatif, bekerja dengan kecepatan yang terukur, dalam pembahasan sesuai prosedur yang panjang.

Cabinet, dalam bahasa Inggris, bermakna tempat tertutup dengan rak-rak penyimpan piring, pakaian, atau persediaan. Lha kok bisa, kata 'cabinet' dapat pula berarti pejabat tinggi yang meladeni kepala negara atau kepala pemerintahan? Sam Wellman, tatkala membahas tentang cara kerja Kabinet Amerika, memberitahu kita bahwa Raja Charles II, yang memerintah Inggris dari tahun 1660 hingga 1685, membawa penggunaan konsep sebuah 'cabinet' ke dalam dunia yang berbahasa Inggris. Sebuah kelompok yang disebut Privy Council (semacam Dewan Penasihat) berfungsi sebagai penasihat raja dan ratu Inggris. Namun pada saat Charles II menjadi raja, Privy Council telah tumbuh membesar dan sulit diatur, menjadi sejenis ribut-ribut orang yang berbantah. Maka, Raja Charles II memilih beberapa anggota terkemuka dalam Privy Council melakukan pertemuan mingguan.
Kendati orang-orang di Inggris, so pasti ngomong Ingglish, Raja Charles II—yang telah menetap di Prancis selama delapan tahun sebelum naik takhta Inggris—menyebut grup pribadinya yang kecil dengan kata Prancis 'cabinet'. Dalam bahasa Prancis, cabinet bermakna ruangan pribadi yang kecil. Hanya setelah Raja Charles II puas menyelesaikan masalah bersama cabinet-nya, ia mau bertemu dengan Privy Council secara komprehensif. Keruan, Privy Council ini, berkurang pengaruhnya terhadap Raja Charles II dan juga, dengan raja dan ratu Inggris berikutnya. Kata Cabinet atau kita terjemahkan jadi Kabinet, memainkan pengaruhnya yang nyata.
Nah, di negeri Paman Sam sendiri, kata Wellman, para pendiri negara Amerika Serikat—dikala mereka masih jadi koloni Inggris—masih bawahan Raja Inggris George III. Koloni Amerika telah tunduk pada raja Inggris selama bertahun-tahun sebelumnya. Maka, kebanyakan koloni, tak semata berbahasa Inggris, melainkan pula sangat akrab dengan hukum dan kebiasaan orang Inggris. Walau para pendiri tersebut bertekad memerangi bangsa Inggris agar merdeka dari raja, mereka masih dipengaruhi oleh kebiasaan orang Inggris. Tak mengherankan bila pada tahun 1793, James Madison, yang kelak menjadi presiden keempat Amerika, mulai menggunakan kata cabinet bagi beberapa pejabat tinggi di cabang eksekutif pemerintahan presiden. Madison memaksudkan juga penggunaan kata cabinet sebagai pertemuan antara presiden Amerika Serikat dan para pejabat ini, bersifat pribadi. Baru pada tahun 1907, sebuah undang-undang secara resmi mengakui kelompok penasihat utama presiden dengan kata cabinet.
Wellman lebih lanjut mengungkapkan bahwa Abraham Lincoln, sebelum mengumumkan keputusannya menghapus perbudakan, membahas masalah tersebut dengan kabinetnya. Hampir semua presiden di negeri Paman Sam sana, menggunakan gabungan pengetahuan dan pengalaman anggota kabinetnya, sebagai sarana membantu memandu keputusan mereka. George Washington mengumpulkan beberapa orang paling terkemuka di Amerika Serikat guna bertugas di kabinet pertamanya. Thomas Jefferson menjabat sebagai menteri luar negeri pertama Washington. Ia sering tak sepakat dengan Washington dan kemudian mengundurkan diri dari jabatannya.

Itu kan di Amrik sana, lalu bagaimana pemilihan anggota kabinet, yakni para bapak menteri, di negara lain?
Dalam komik Naruto, di negeri Konohagakure—dalam makna metaforis, belakangan ini, banyak relawan yang sebelumnya mendukung presiden terpilih—yang konon, suka pulak baca komik, menjadi anggota kabinetnya.
Keith Dowding dan Patrick Dumont dalam perbincangan mereka tentang perekrutan dan pemecatan menteri di Eropa, dan ditindaklanjuti dengan pembicaraan tentang perekrutan menteri di seluruh dunia, dalam berbagai pengalaman dengan rezim politik, mengatakan bahwa pada abad kedua puluh satu, sekitar dua pertiga dari negara demokrasi, memilih presiden secara langsung. Sejarah politik sejumlah negara Eropa pada abad ke-20, memunculkan keruntuhan demokrasi, perubahan rezim atau pendudukan oleh kekuatan asing, yang diikuti oleh transisi demokrasi.
Dalam demokrasi parlementer, kata mereka, pemerintah, melalui parlemen, merupakan agen pemilih tak langsung. Dalam perannya sebagai kepala eksekutif, perdana menteri (PM) merupakan agen parlemen dan kepala menteri lini sebagai agennya. Kabinet yang dipimpin oleh PM bertanggung jawab kepada mayoritas di dalam parlemen dan dapat disingkirkan oleh mayoritas tersebut, kapan saja. Seberapa besar kendali yang dimiliki parlemen atas pembangunan kabinet, bervariasi di seluruh sistem. Siapa yang memilih menteri, juga bervariasi. Namun, PM dan kabinetnya tetap menjabat selama mereka mendapat kepercayaan dari parlemen melalui kontrol partai mereka. Setiap menteri, termasuk PM, punya tanggung jawab individu melaporkan dan membenarkan kegiatan-kegiatan dalam kewenangan departemennya, kepada parlemen secara keseluruhan. Pemerintah, secara keseluruhan, dan PM, khususnya, bertanggung jawab memerintah dengan baik dan memaksimalkan kemungkinan anggota partai yang ada, memegang kursi mereka (dalam kaitannya dengan calon pemimpin dan pemerintahan lain dari partai tersebut) pada pemilihan umum berikutnya. Masing-masing menteri diharapkan mempertahankan kepercayaan dari para backbencher [anggota Parlemen yang tak memegang jabatan di pemerintahan atau oposisi, dan yang duduk di belakang bangku depan House of Commons, biasanya di Inggris] atau dilindungi dari kegusaran mereka oleh PM. Kabinet sebagai agen partainya di parlemen, melahirkan kebijakan yang sesuai dengan ideologi partai dan menjanjikan keberhasilan elektoral. Peran PM ialah membangun dan mengarahkan kabinet atas nama partainya, seringkali dalam negosiasi dengan para pemimpin partai lain dalam koalisi yang berkuasa. Setiap menteri, secara langsung menjadi agen PM dan melaluinya, secara tak langsung menjadi agen partainya di parlemen.
Kerumitan menyangkut pula peran partai politik, hubungan kelembagaan yang tepat antara parlemen dan pemerintah, serta peran pengawasan kelembagaan dalam bentuk presiden atau kepala negara, yang boleh jadi, berperan dalam memilih menteri. Bilamana terdapat pemerintahan partai tunggal, menteri seringkali dianggap hanya sebagai agen pemerintah yang dipimpin oleh seorang PM, yang juga merupakan pemimpin partai parlementer mereka, kendatipun jika fraksi partai penting, menteri mungkin juga perlu menunjukkan loyalitas kepada fraksi tersebut.
Jika menteri merupakan pemimpin faksi partai, maka PM mungkin benar-benar terikat pada menteri tertentu, sama seperti dirinya. Bilamana pemerintah koalisi terbentuk, hubungan semacam itu diformalkan lebih lanjut. Dalam pemerintahan koalisi, PM tak berperan dalam memilih menteri dari partai lain dan dalam hal apa pun harus menawar menteri dan partai (faksi) mana yang akan mengontrol kementerian mana. Akibatnya, menteri dari mitra koalisi junior, menyadari diri mereka sebagai agen dari beberapa pelaku, yang punya preferensi kebijakan yang berbeda: PM (dalam perannya sebagai penjaga pemerintahan koalisi) dan partai mereka sendiri di parlemen, yang diwakili oleh pemimpinnya (baik wakil PM atau pimpinan organisasi partai yang tak duduk di kabinet). PM harus menjadikan partai yang dipimpinnya dan mitra koalisi, puas memastikan stabilitas kabinet. Maka, bagi PM, koalisi membuka pintu bagi kerugian agensi yang lebih besar, dalam hal pergeseran kebijakan. Di sisi lain, kemungkinan konsekuensi dari kompleksitas ini, dapat diantisipasi oleh PM, yang mungkin mengembangkan sikap ambigu terhadap keberhasilan dan kegagalan agennya dalam berperan sebagai menteri. Sementara menginginkan pemerintahan yang sukses secara keseluruhan, PM kemungkinan menyambut baik kegagalan individu dari saingan utama, terutama jika mereka berasal dari faksi atau partai yang bersaing.

Dalam sistem presidensial, tak seperti demokrasi parlementer, eksekutif tak bergantung pada kepercayaan cabang legislatif. Berasal-usul yang terpisah, lantaran warga negara memilih masing-masing pada waktu yang berbeda, tiada kekuatan yang dapat menyingkirkan yang lain. Para menteri kabinet yang dipilih dan diangkat oleh presiden, secara formal bertanggungjawab kepada presiden dan bukan kepada badan legislatif. Sementara mereka diharapkan membantu presiden mengamankan dukungan parlemen dan mengawasi pelaksanaannya, mereka beroperasi dalam konteks kelembagaan yang berbeda dan menghadapi kendala yang berbeda dari rekan-rekan mereka di demokrasi parlementer. Variasi ini, berasal dari berbagai tingkat kewenangan konstitusional dan alat-alat yang tersedia bagi presiden.
Dowding dan Dumont selanjutnya memberikan contoh. Dibandingkan dengan presiden Amerika Latin, presiden AS agak lemah. Presiden AS juga nampak relatif terkekang di bidang non-legislatif, seperti kekuasaan penunjukan, dimana pilihan presiden dari sekretaris kabinet tunduk pada konfirmasi Senat. Anggota kabinet di AS, bahkan dapat dikatakan menanggapi banyak pelaku, sebab kebijakan mereka dibatasi oleh Kongres, melalui undang-undang, kontrol anggaran, dan pengawasan investigasi. Presiden AS merespons dengan menunjuk sejumlah penasihat tambahan di dalam Kantor Gedung Putih atau Kantor Eksekutif pada umumnya, sehingga sekretaris kabinet beroperasi dalam jaringan yang kompleks dari beberapa prinsipal dan agen yang saling bersaing. Presiden Amerika Latin umumnya berkonstitusi yang lebih menguntungkan, namun pula secara strategis, menggunakan kekuatan penunjukan mereka membentuk dan membentuk kembali kabinet dalam beragam keadaan struktural dan konjungtural. Dengan demikian, mereka mungkin merasa lebih mudah menerapkan kebijakan mereka.
Sistem semi-presidensial menggabungkan banyak kerumitan ini, dengan presiden yang dipilih langsung dan parlemen yang terlibat dalam pembentukan dan kelangsungan kabinet. Hubungan prinsipal-agen bisa langsung ketika partai presiden mengendalikan parlemen, tetapi kerumitan muncul bila tidak demikian adanya. Semisal menteri partai junior dalam koalisi pemerintahan yang tak termasuk partai presiden, mungkin perlu menanggapi tiga majikan: pemimpin partai, PM dan presiden mereka.
Hubungan prinsipal-agen, tampak jauh lebih jelas dalam rezim otokratis, seperti yang diharapkan agen menteri hanya menanggapi 'pembuat' mereka, namun di sini, bahkan motivasi di balik perekrutan, mengungkapkan kesetiaan yang berlanjut. Ukuran dan komposisi kabinet di negara-negara Afrika, misalnya, sangat ditentukan oleh patronase. Khususnya dalam sistem non-demokrasi yang dicirikan oleh keragaman etnis dan sumber daya yang lebih besar, para pemimpin menunjuk menteri dari kelompok etnis yang berbeda guna mencegah kudeta dari komunitas yang kurang terwakili dan mengamankan stabilitas rezim dan kekuasaan pribadi. Menteri kabinet tersebut, juga dapat menunjukkan kesetiaan kepada 'konstituen' etnis mereka."

Dalam demokrasi parlementer, moral hazard terjadi ketika menteri mengambil risiko yang tak disetujui oleh PM, karena mengetahui bahwa PM dan kabinet akan membelanya. Moral hazard (Bahaya moral) merupakan istilah yang pertama kali digunakan dalam perbankan dan asuransi pada abad kedelapan belas dan diperkenalkan kembali ke dalam ekonomi risiko oleh Kenneth Arrow pada 1960-an. Dalam pengertian Arrow, moral hazard dapat terjadi dimana populasinya homogen, tetapi tindakan membuat kontrak itu sendiri, menciptakan insentif yang menyimpang. Perbuatan mengambil asuransi bermakna bahwa tertanggung takkan bertindak hati-hati sehubungan dengan apa yang telah diasuransikan. Jadi, jika seseorang diasuransikan terhadap cedera pribadi, ia boleh jadi, mengambil risiko yang lebih besar. Jika seseorang diasuransikan terhadap perampokan rumah tangga, ia akan membelanjakan lebih sedikit kunci pintu dan jendela.
Doktrin tanggungjawab kabinet kolektif bermakna seluruh menteri bertanggungjawab secara kolektif atas kebijakan pemerintah. Setiap menteri tertentu, berinsentif individu menggalakkan kebijakan berisiko dengan pengetahuan bahwa jika berhasil, ia akan mendapatkan bagian utama dari keuntungan. Namun, jika gagal, maka pemerintah secara keseluruhanlah, yang harus disalahkan. Menteri lain mungkin khawatir tentang kebijakan tersebut, namun mereka terikat agar tak berbicara menentangnya di depan umum, dan mungkin punya sedikit kesempatan untuk berbicara menentangnya secara pribadi. Tentu saja, tak ada kebijakan (selain mungkin yang diajukan oleh satwa besar semisal gajah) yang dapat dihasilkan tanpa persetujuan PM, tetapi ia mungkin siap mengambil risiko, terutama jika pemerintah bernasib buruk dalam jajak pendapat dan membutuhkan perangsang sebelum pemilihan. Oleh karenanya, moral hazard digalakkan secara langsung oleh doktrin tanggungjawab kolektif kabinet.
Seorang PM dan seorang menteri, bisa jadi, berkomplot mengambil keputusan kebijakan yang lebih berisiko daripada yang diinginkan oleh pemerintah lainnya, yang diinginkan oleh partai dan publik. Bila pemerintah melakukan pemungutan suara dengan buruk dan PM terancam, seorang menteri yang menjalankan kebijakan berisiko, yang dapat menyelamatkan PM dan meningkatkan reputasi sang menteri, mungkin akan disambut baik oleh PM. Namun, partai tersebut mungkin lebih memilih kebijakan yang kurang berisiko, bahkan tanpa pemimpin tersebut. Di sini kita beranalogi dengan masalah kedua, yang muncul dalam cerita moral hazard Arrow. Dalam contoh asuransi kesehatan Arrow, ada persekongkolan melawan perusahaan asuransi oleh para profesional perawatan kesehatan dan pasien. Karena asuransi, bukan pasien, yang membayar pengobatan, pasien akan lebih memilih pengobatan yang paling mahal meskipun hanya sedikit menguntungkan. Tentunya dokter dan rumah sakit, juga akan lebih cepat menjual pengobatan yang paling mahal. Demikian pula, dengan harta benda yang rusak: jika pemilik rumah membayar sendiri, ia akan segera memperbaiki barang yang rusak dengan biaya lebih rendah, namun bila perusahaan asuransi yang membayar, ia dapat bersekongkol dengan pedagang agar sepakat bila barang tersebut dihapus dan diganti dengan biaya yang lebih tinggi. Moral hazard, dengan demikian, muncul bagi para pelaku yang lebih tinggi—partai dan publik—dimana keputusan berisiko dapat lebih menguntungkan seorang menteri dan PM ketimbang para pelaku mereka. Sekali lagi, kecuali kabinet bergerak melawan PM (yang melibatkan masalah tindakan kolektif karena mereka yang bergerak lebih dulu sering dihukum oleh partainya lantaran ketidaksetiaan dan gagal dalam upaya kepemimpinan mereka, sementara jika sebuah partai bergerak melawan pemerintah, mungkin dihukum oleh pemilih pada pemilihan berikutnya) tanggungjawab kabinet kolektif memunculkan moral hazard.

Dalam sistem tanpa tanggungjawab kabinet kolektif seperti presidensialisme gaya Amrik, dimana kabinet hanyalah konvensi informal (dan jarang berkumpul dalam dewan penuh), sumber moral hazard ini, tidak muncul. Presiden yang dipilih, langsung menghadapi pergeseran kebijakan dari sekretaris kabinet karena pandangan ahli mereka sendiri, dan tekanan dari departemen atau Kongres mereka yang memberikan suara pada alokasi departemen. Tapi sewa agen semacam itu, bukanlah bahaya moral dan dikurangi oleh banyaknya agen. Beberapa delegasi, terutama di lembaga informal, dapat diberikan jika para petinggi dapat menemukan satu agen yang dapat diandalkan. Kurangnya tanggungjawab kolektif dalam sistem presidensial, juga mengubah hubungan antara popularitas agen menteri dan petinggi terdekat mereka, presiden.
Ketersediaan rampasan besar dalam otokrasi dengan sumber daya alam yang kaya, menjadikan perbedaan bila memasuki eksekutif negara bila dibandingkan dengan tetap berada di luar, lebih besar dan menarik tipe-tipe kandidat untuk jabatan menteri yang idealnya, dihindari oleh seorang petinggi. Pilihan yang merugikan seperti itu, mungkin tidak terlalu mempedulikan para otokrat. Sesungguhnya, para otokrat mungkin lebih memilih pejabat yang korup, sebab korupsi yang mereka lakukan, dapat membantu para otokrat mengendalikan pejabat yang korup itu. Moral hazard di sini, berada dalam konspirasi antara presiden yang dipilih secara sah (dalam otokrasi elektoral seperti Nigeria) dan agen-agennya, karena pembagian keuntungan menguntungkan sang diktator, tapi bukan bagi kepentingan publik. Namun, pengawasan yang lemah, dapat mencegah diktator mengamati apakah agen mereka, secara efisien mengekstraksi uang setoran untuk mengamankan dukungan konstituen. Pejabat pemerintah jangka panjang, dapat mengancam kesejahteraan diktator. Pertama, menteri dapat mengembangkan basis kekuatan mereka sendiri sedemikian rupa sehingga mereka dapat menggulingkan sang pemimpin, karenanya, para pemimpin sering merotasi agen mereka. Kedua, tingkat korupsi bisa melonjak sehingga menimbulkan tekanan internal dan eksternal.

'Tulisan kita hampir habis,' demikian kutipan kata-kata Bung Karno dalam karya beliau 'Nesionalisme, Islamisme dan Marxisme' (1926), yang berisi gagasan dan ajakannya kepada kalangan intelektual agar bersatu-padu berjuang melawan imperialisme Barat, yang terjadi pada zamannya. Ada sesuatu yang menarik dari tulisan Herbert Feith tentang kondisi Indonesia dalam kisaran tahun 1945 dan 1954. Di masa itu, Feith bercerita, 'Konon, kekuasaan di Indonesia saat ini, terutama berada di tangan kaum intelektual. Pernyataan ini mengejutkan, tapi mengandung banyak kebenaran. Kaum intelektual Indonesia—kami akan menggunakan istilah ini dalam bentuk khusus dari makna umum bahasa Indonesia, merujuk pada orang-orang dari perguruan tinggi Barat atau pendidikan menengah atas—telah menjadi komponen sentral elit politik negara selama periode pasca-revolusi. Hal ini jelas dari 'penelitian biografis yang dilakukan oleh Soelaeman Soemardi terhadap 146 orang' yang pernah menjadi menteri kabinet antara tahun 1945 dan 1954, 234 orang yang menjadi anggota parlemen pada tahun 1954, dan 61 pegawai negeri sipil tingkat tertinggi saat itu. Soelaeman menemukan bahwa 83% menteri kabinet, 59% anggota parlemen, dan 100% pegawai negeri sipil senior, telah mengenyam pendidikan universitas atau sekolah menengah atas. Ia juga menemukan bahwa 94% menteri (terlepas dari tingkat pendidikan mereka), 91% anggota parlemen dan seluruh pegawai negeri, telah dididik di Barat, yang membedakannya dari sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Islam.
Revolusi nasional Indonesia dipimpin oleh orang-orang intelektual seperti itu, orang-orang yang telah menguasai sebagian besar liberalisme dan radikalisme Barat, dan yang, lebih dari kelompok mana pun, berkemampuan teknis mengurus negara modern, pengetahuan yang diperlukan tentang bahasa-bahasa Barat dan jenis prosedur hukum dan administrasi gaya Barat. Banyak dari orang-orang ini, dapat memperoleh pendidikan Barat karena kekayaan atau posisi sosial yang tinggi dari keluarga mereka. Namun, sebagai anggota elit revolusioner, kekuasaan dan prestise mereka, lebih bergantung pada pencapaian pendidikan mereka (dan catatan politik nasionalis) ketimbang posisi orangtua mereka, biasanya anggota salah satu kelompok usaha kecil Indonesia atau sisa-sisa peninggalan (dan dalam banyak kasus dibirokratisasi) aristokrasi. Kaum intelektual datang untuk menjalankan kekuasaan sebagai kelompok independen, bukan, atau hanya pada tingkat yang lebih rendah, sebagai juru bicara kelompok yang lebih tua darimana anggota mereka bermunculan.'"

"Dan tulisan kita menjelang habis," kata Wulandari. "Sebelum aku pergi, mari kita tinjau kembali cerita tentang sang menteri dan sang begal di awal perjumpaan kita malam ini.
Akhirnya, usai melihat kejadian itu, seorang teller berkata pada rekannya, 'Gue gak pernah sepakat ma dagelan politik.'
'Emang k'napa?' sang rekan kepo.
'Soalnya, gue sering ngeliyat, terlalu banyak dari para pendagelnya, yang dipilih,' pungkasnya."

"Wallahu a'lam," ucap Wulandari saat beringsut pergi seraya berdendang,

It might seem like a crush
[Kliatannya sih seperti naksir]
But it doesn't mean that I'm serious
[Tapi itu bukan berarti gue serius]
'Cause to lose all my senses
[Soalnya kalo kewarasan gue hilang]
That is just so typically me
[Itu tipikal gue doang]
Oh baby, baby
[Oh sayang di sayang]

Oops, I did it again
[Ups, gue ngelakuin itu lagi]
I played with your heart, got lost in the game *)
[Gue mainin hati loe, terlupa dalam permainan] 
Kutipan & Rujukan:
- Sam Wellman, The Cabinet (Your Government: How It Works), 2001, Chelsea House Publishers
- Keith Dowding and Patrick Dumont (ed.), The Selection of Ministers around the World: Hiring and Firing, 2015, Routledge
- Keith Dowding and Patrick Dumont (ed.), The Selection of Ministers in Europe: Hiring and Firing, 2009, Routledge
- Ir. Soekarno, Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme (Dari "Suluh Indonesia Muda," 1926), 1963, Jajasan Pembaruan.
- Herbert Feith, The Wilopo Cabinet 1952-1953: A Turning Point in Post-Revolutionary Indonesia, 2009, Equinox Publishing
*) "Oops!…I Did It Again" karya Martin Max & Rami Yacoub