Selasa, 11 Juli 2023

Another One Bites the Dust (4)

"Seorang hakim, dengan bijak menegur terdakwa, 'Kan, terakhir kali aku melihatmu, aku sudah bilang, aku tak mau melihatmu lagi.'
'Ane udah ngomong gitu ke pak Jaksa, yang mulia, tapi, doi gak percaya,' kilah terdakwa."

“Character assassination merupakan perusakan dengan sengaja, reputasi seseorang,” Wulandari melantaskan. “Dilakukan dengan sengaja demi memperoleh keuntungan tertentu, dan sasaran atau korban character assassination yang paling menonjol adalah para pemimpin politik, pejabat, selebritas, ilmuwan, atlet, dan tokoh masyarakat lainnya. Para pembunuh karakter menargetkan kehidupan pribadi, perilaku, nilai-nilai, dan identitas korbannya. Detail biografis, diubah atau dibuat-buat. Ciri-ciri intim dipublikasikan. Prestasi dipertanyakan. Niat baik diragukan. Dengan melebih-lebihkan, mengejek, tuduhan, sindiran, dan kebohongan, sang penyerang berusaha merusak kedudukan moral para korban di mata publik; pula, mereka berupaya mendapatkan respon emosional negatif dari masyarakat terhadap sang korban.

Apa sih peran karakter dalam demokrasi? Secara umum, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang mengandalkan persetujuan dari yang diperintah. Seperti yang dijelaskan Abraham Lincoln dalam Pidato Gettysburg yang ternama itu, bentuk inilah pemerintahan yang 'of the people, for the people, and by the people.' Tentulah, sebagian besar negara demokrasi, bukanlah apa yang kita sebut 'Direct Democracy (Demokrasi Langsung)' seperti di era Athena klasik. Tak mengherankan, cara ini, merupakan cara pembuatan undang-undang yang teramat mahal dan sangat lambat. Jauh lebih umum bagi demokrasi, berdaya-guna secara representatif atau perwakilan—warga negara memilih perwakilan guna mewakili mereka di dewan, kongres, atau parlemen. Para wakil inilah yang berpartisipasi dalam musyawarah tentang mengatur negara. Representative Democracy (Demokrasi Perwakilan) merupakan sistem dimana individu yang dipilih, mewakili kelompok-kelompok masyarakat. Di bawah sistem inilah, cara masyarakat memandang perwakilan mereka, dapat mempengaruhi cara mereka memandang kebijakan. [Dahsyat kan para founding parents kita, mereka membangun konstitusi kita, dengan visi yang jauh ke depan]
Demokrasi dapat ditata dengan beragam cara. Di banyak negara Barat, termasuk Amerika Serikat, negara republik yang dipimpin oleh seorang presiden terpilih. Yang lain, seperti Britania Raya dan Swedia, merupakan bentuk monarki konstitusional dimana seorang raja atau ratu, semata simbol kepala negara, tapi kekuasaan politik, sebenarnya berada di tangan perdana menteri, yang merupakan kepala pemerintahan terpilih. Beberapa negara yang bersistem dua partai. Jepang, Korea Selatan, Meksiko, dan banyak negara Barat punya parlemen yang terdiri dari beberapa partai politik. Negara-negara ini, cenderung diatur oleh koalisi. Belanda, misalnya, seringkali punya lebih dari sepuluh partai berbeda yang terwakili di parlemennya! Terlepas dari perbedaan nasional seperti itu, ada sejumlah karakteristik demokrasi yang cenderung mendukung gagasan umum tentang bentuk pemerintahan, yang mengandalkan partisipasi dan persetujuan dari yang diperintah. Demokrasi terletak di sepanjang kontinum atau rangkaian. Ada yang sangat kuat dan demokratis penuh, berjuang mengindahkan kehendak mayoritas, sambil melindungi hak-hak minoritas, dan yang lain, hanya menerapkan beberapa elemen pemerintahan demokratis.
Komunikasi merupakan jantung dalam pemerintahan demokratis pada umumnya. Maksudnya, tak semata warga negara yang memerlukan kemerdekaan berbicara guna menyanggah pemerintah dan kemerdekaan memilih partai politik pilihan mereka. Melainkan pula, prinsip-prinsip demokrasi mengabadikan sistem pers dan media yang kuat, sebagai kontrol terhadap kekuasaan pemerintah. Dengan demikian, wajah terbaik Demokrasi, akan muncul bila ada diskusi yang hangat dan bernas di antara para politisi, warga negara, dan masyarakat media, tentang bagaimana semestinya kebijakan, prioritas, dan prinsip-prinsip yang efektif.

Bagaimana warga negara dalam masyarakat demokratis, mengambil keputusan tentang siapa yang akan dipilih? Ideologi, afiliasi partai, problem, dan isu—semuanya penting. Akan tetapi, karakter individu dari mereka yang mewakili masyarakat di jabatan publik, juga sangat penting. Kita sering menganggap kandidat politik sebagai 'jenis manusia' yang berpikir seperti kita, yang akan kita bandingkan dengan diri kita sendiri, atau yang kita percayai. Jadi, trustworthiness (dapat dipercaya), karakter, dan authenticity (keautentikan; ketulenan; keaslian) merupakan komponen kunci politik demokrasi.
Karakter bisa sangat menantang bila didefinisikan, namun sifat stabil yang membuat seseorang menjadi siapa dirinya dan dipahami dalam hal 'baik' atau 'buruk,' dapat dirujuk. Maka, masuk akal mengapa karakter menjadi penting dalam pemerintahan yang demokratis. Kendati hal ini mungkin berubah, kebanyakan orang lebih suka memilih seseorang yang mengatur mereka, yang mereka percayai mewakili kepentingan mereka dan menjadi orang yang baik. Keruan bahwa, bagaimana orang melihat seorang kandidat politik, berkarakter yang kuat dan dapat dipercaya, sangat bervariasi. Trustworthiness (dapat dipercaya) merupakan kualitas yang dipandang dapat dipercaya, jujur, dan dapat diandalkan. Tatkala masyarakat melihat figur publik sebagai seseorang yang 'does what he says,' pertanda baik inilah kepercayaan, dan kemungkinan besar, masyarakat mendukungnya selama pemilihan. Keautentikan mencakup beberapa unsur kepercayaan, dan secara bebas, dapat didefinisikan sebagai karakter politik yang memerlukan kejujuran, integritas, dan transparansi. Singkatnya, nampakkah sang kandidat politik seperti apa yang mereka ucapkan? Salah satu alasan bahwa kita mengetahui arti pentingnya keautentikan bagi kandidat politik adalah, frekuensi penggunaannya dalam character attacks.

Ada tujuh elemen inti demokrasi yang dapat disebutkan: kemampuan setiap warga negara dewasa, mencalonkan diri jika diinginkan; pemilu yang bebas dan adil dimana warga negara dapat memilih di antara setidaknya dua kandidat atau partai; kemerdekaan berbeda pendapat bagi mereka yang tak sepakat dengan partai yang berkuasa; perlindungan hak asasi manusia, terutama bagi mereka yang berada dalam kelompok minoritas politik; kemerdekaan media berita dan pers menyanggah dan mengkritik mereka yang berkuasa; masyarakat sipil yang bersemangat dimana warga negara dapat mengatur dan membentuk kelompok guna melakukan perubahan politik; budaya komunikasi publik bagi warga negara guna berdiskusi formal dan berunding.
Character assassination merupakan ciri dari proses demokrasi. Lantaran kesan karakter sering menjadi pusat bagaimana masyarakat membuat keputusan tentang siapa yang bakal dipilih dalam demokrasi perwakilan, karakter menjadi jalan serangan penting dari lawan politik atau ideologis. Misalnya, serangan karakter ganas terhadap calon presiden, sama tuanya dengan kampanye pemilu demokratis itu sendiri.
Seperti yang telah engkau ketahui, character assassination tak terbatas pada penghinaan pribadi atau cheap shots. Selama berabad-abad, character attacks dalam pemilu demokratis, melibatkan pula kesalahan kutipan yang disengaja, berlebihan, kebohongan anonim, tuduhan amoralitas, rumor konspirasi, pemalsuan, atau bahkan vandalisme terhadap gambar presiden.
Character attacks, dapat pula memobilisasi basis pihak penyerang. Mungkin nampak tak menyenangkan, salah, dan bahkan, menjijikkan di mata banyak orang, akan tetapi, jika disesuaikan dengan orang yang sudah menentang seorang kandidat, bisa berhasil.
Tempat kelahiran atau asal sang kandidat, jenis kelaminnya, status sosialnya, afiliasi agamanya atau profesionalitas dan kehidupan pribadinya, merupakan tema character attacks yang mudah. Menggunakan serangan guna mengeksploitasi masalah keluarga kandidat, hubungannya dengan masa lalu, atau sifat perilaku, termasuk kesehatan mental, juga bisa efektif. Hampir semua bakal calon, calon bahkan presiden pun, mengalami banyak serangan seperti itu. Ada yang di sini, ada yang di sana ... Sekerat keraguan pada pendukung yang tak yakin atau pemilih yang ragu-ragu, yang disebabkan oleh character atacks, dapat mempengaruhi preferensi dan niat memilih individu tersebut. Bahkan penurunan dukungan publik sekecil apa pun agar seorang kandidat atau peningkatan dukungan bagi kandidat lainnya, membuat character attack berhasil.
Karena pemilu di negara demokrasi seringkali sangat partisan, menarik banyak liputan media, dan akibatnya, media menjadi komponen kunci bagaimana character assassination terjadi di negara demokrasi. Walau kita telah membahas beberapa ciri media yang berkaitan dengan pembunuhan karakter, ada baiknya kita memikirkan lebih dalam tentang bagaimana hal ini terhubung dengan pemerintahan yang demokratis.
Pertama, media dipandang sebagai 'cek dan balans' kekuasaan politisi dan pejabat terpilih. Dengan demikian, media dan pers hadir menyeimbangkan kekuatan pemerintah dan membuat warga negara sadar akan hal-hal yang mungkin tak dapat mereka verifikasi secara independen. Maksudnya, pers sering menemukan pejabat yang berbohong, menipu, atau melakukan kegiatan lain yang tak melayani publik. Memang, seperti yang dijelaskan oleh cendekiawan retorika Shawn J. Parry-Giles dalam studinya tentang bagaimana media meliput Hillary Clinton, media seringkali menjadi penengah dimana kandidat dipandang otentik dan disukai. Hal ini karena kita sering beraksi dari asumsi bahwa politisi tak dapat dipercaya, sehingga media mencari contoh yang tak autentik.
Sekali lagi, karena pemilu merupakan bagian penting dari politik demokrasi, media meliputnya dengan cermat. Hal ini kerap berakibat dari liputan pacuan kuda, yang dirumuskan sebagai liputan media yang semata berfokus pada siapa yang menang atau kalah, berdasarkan jajak pendapat tertentu, yang merugikan, kata para pengkritiknya, yang mencurahkan waktu dan kolom beberapa inci pada 'isu-isu nyata'. Cakupan ini, menakrifkan politik sebagai permainan, dan berbicara tentang kampanye dalam metafora olahraga, mencari bukti bahwa, seperti dalam pacuan kuda, satu kandidat sedikit lebih maju dari yang lain.

Salah satu ciri character assassination dalam demokrasi ialah, sumber daya merespon relatif merata ke seluruh masyarakat. Perbedaan sumber daya, kekuasaan, dan akses ke media, bervariasi ketika mempertimbangkan target serangan. Jelas, perbedaan ini penting. Tapi coba bandingkan demokrasi dengan pers yang relatif terbuka dan bebas dan dengan nyaris tak ada pembatasan wacana online, di tempat-tempat seperti Cina dan Rusia, dimana sebagian besar media dikendalikan oleh negara.

Trus, bagaimana dengan character assassination pada rezim otoriter? Sebagai ilustrasi, Eric B. Shiraev, Jennifer Keohane, Martijn Icks, dan Sergei A. Samoilenko, dalam diskusi akademik mereka, bercerita tentang Xi Jinping, Presiden Republik Rakyat China. Ia telah memupuk citra seorang pemimpin yang ramah dan perhatian, mencap dirinya sendiri kepada orang-orang China sebagai 'Paman Xi' [Presiden konoha menyebutnya 'abang gedhe']. Ia tak terhibur ketika meme mulai beredar online, membandingkannya dengan Winnie the Pooh, karakter teddy bear lucu yang ramah, yang dikreasikan oleh novelis A.A. Milne dan dipopulerkan dalam kartun Disney. Meme pertama ini, muncul pada tahun 2013. Menyandingkan gambar Presiden Xi berjalan di samping Presiden AS Obama, dengan gambar karakter Disney Winnie the Pooh dan Tigger berjalan bersama—jelas mengolok-olok tubuh kekar Xi, di samping bingkai ramping Obama. Meme lain yang membandingkan Xi dengan beruang fiksi, akan banyak menyusul. Semuanya tak dimaksudkan mengejek presiden China tersebut. Mengingat sifat manis Pooh, ada kemungkinan gambar tersebut dibagikan oleh orang China untuk mengungkapkan rasa-sayang mereka kepada 'Paman Xi' dengan cara yang ringan. Namun, itu bukan pandangan yang diterima oleh tuan rezim. Menurut situs web Global Risk Insights, pemerintah China menganggap meme Pooh sebagai 'upaya yang gawat guna merusak martabat kantor kepresidenan dan Xi sendiri'. Pemerintah mengambil langkah-langkah menghentikan tren online. Situs web China menyensor gambar Pooh dan nama sang boneka beruang, tak lagi mengeluarkan hasil apa pun di mesin pencari China. Faktanya, gambar China yang paling banyak disensor pada tahun 2015, tampaknya gambar Xi, berdiri tegak di dalam mobil selama parade militer, disandingkan dengan gambar Pooh yang mengendarai mobil mainan.
Kasus ini menunjukkan, betapa para pemimpin otokratis, tidak toleran terhadap setiap anggapan yang merendahkan citra publik mereka, terlepas dari betapa tampak sepelenya perlakuan seperti itu. Pula, menunjukkan sumber daya yang sangat besar, yang tersedia bagi rezim otoriter, memerangi character attacks yang dirasakan.

Sistem politik dimana kebebasan individu berada di bawah kekuasaan atau otoritas negara, disebut otoritarianisme. Para pemimpin politik di pemerintahan otoriter, biasanya mengandalkan lingkaran dalam yang relatif kecil dan memaksakan keputusan mereka pada penduduk. Mereka juga menggunakan institusi birokrasi, guna memaksakan kebijakan mereka. Institusi semacam itu, di bawah kekuasaan otoriter, biasanya kurang transparan dan akuntabel. Demokrasi merupakan rangkaian yang dinamis, dan tiada masyarakat demokratis yang mirip dengan yang lain, baik di masa lalu maupun saat ini. Demikian pula, otoritarianisme bukanlah dikotomi (yaitu masyarakat itu otoriter atau tidak). Ia sebuah kontinum, sehingga beberapa negara atau sistem politik, sebenarnya bisa lebih otoriter dibanding yang lain. Otoritarianisme berkembang pula dari waktu ke waktu dan suatu negara dapat menjadi lebih atau kurang otoriter. Korea Selatan, misalnya, selama empat dekade terakhir, secara bertahap mengganti institusi dan kebijakan otoriternya dengan yang lebih demokratis. Rusia, sebaliknya, pada abad ke-21 menjadi semakin otoriter setelah periode demokratisasi relatif.
Otoritarianisme, meskipun bentuknya beragam, punya beberapa ciri umum yang relevan dengan percakapan kita tentang serangan reputasi dan karakter. Pertama-tama, pemerintah otoriter biasanya melemahkan atau bahkan melarang partai dan kelompok oposisi yang aktif. Republik Rakyat China, misalnya, melarang semua partai politik, kecuali yang berkuasa. Pemerintah lain, seperti Rusia, mengizinkan partai politik namun tak membiarkan mereka mendapatkan kekuasaan. Otoritarianisme juga memusuhi pemilu yang transparan dan bebas. Kendati pemerintah otoriter belakangan membolehkan pemilihan, hampir tak transparan dan jelas tidak bebas, karena kontrol pemerintah terhadap media, intimidasi terhadap oposisi, dan campur tangan dalam proses pemilihan. Pemerintah otoriter membatasi kritik yang datang dari suara oposisi, namun memfasilitasi kelompok sosial dan politik yang mendukung rezim. Pemerintah otoriter tak mengizinkan sistem pengadilan independen dan membatasi hak-hak sipil utama rakyat, seperti hak berbicara, demi janji stabilitas dan keamanan. Selain itu, otoritarianisme—dan ini sangat penting dalam perbincangan kita—tak mentolerir media independen.
Sederhananya, dalam sistem otoriter, yang mengatur pendirian politik, memunculkan dua sistem aturan: satu untuk diri mereka sendiri, dan satu lagi, untuk masyarakat lainnya [ellu ellu, gue gue]. Media massa, jejaring sosial, dan bentuk komunikasi massa lainnya dalam sistem semacam itu, berada di bawah kendali pemerintah, yang memutuskan informasi apa yang boleh diposting atau disiarkan (fungsi pemerintah ini disebut 'gatekeeping') dan bagaimana menginterpretasikan informasi (yang disebut 'framing'). Dengan kata lain, diskusi publik, kritik, dan character attacks di media, biasanya diperbolehkan, namun diatur secara ketat supaya menguntungkan pemerintah.

Otokrasi agak berbeda dari otoritarianisme. Otokrasi bermakna sistem politik dimana satu orang atau sekelompok kecil orang, mempunyai sebagian besar kekuatan politik dan memaksakan kehendak mereka pada orang lain dalam bidang politik, sosial, atau ekonomi suatu negara. Pemimpin otokratis dan pemerintah mereka, cenderung sangat tak toleran terhadap kritik. Meski otoritarianisme dan otokrasi punya beberapa karakteristik yang sama, penting membedakan keduanya. Semisal dalam sistem otoriter, pemimpin puncak, dalam banyak kasus, dianggap otokratis lantaran merekalah instrumen kekuasaan otoriter. Namun, seorang pemimpin yang demokratis, dapat muncul sebagai, dan bahkan bertahan, dalam sistem yang otoriter. Biasanya, istilah otoriter merujuk pada sistem, dan istilah otokrasi merujuk pada individu.
Otoritarianisme cenderung merangkul kepemimpinan otokratis, dan pemimpin otokratis berkembang dalam sistem otoriter. Ciri-ciri karakter individu dari para pemimpin politik, dengan demikian, menjadi sasaran serangan yang jelas dari para kritikus asing dan domestik. Karakteristik individu pemimpin tampaknya memainkan peran yang lebih signifikan dalam sistem politik otoriter dibanding demokrasi (non-otoriter).
Pemimpin dalam sistem otoriter, cenderung kurang memperhatikan opini publik dibandingkan pemimpin dalam demokrasi. Lagi pula, pemimpin sistem otoriter (setidaknya sebagian besar dari mereka) tak perlu khawatir memenangkan pemilihan. Namun demikian, seperti yang telah kita lihat dalam kasus Presiden Xi, para pemimpin di negara-negara otoriter, seringkali berusaha keras menjaga citra positif karakter mereka di mata publik. Banyak rezim otoriter telah membangun 'personality cult' (kultus kepribadian) di sekitar para pemimpin mereka. Kultus kepribadian merupakan sistem praktik informal dan kebijakan formal dengan secara sengaja, menampilkan seorang pemimpin yang punya kualitas yang sangat positif. 'Karakter baik' sang pemimpin, diiklankan secara luas demi membangkitkan kesetiaan, kekaguman, dan rasa hormat. Oposisi, tentu saja, mempertanyakan dan menyerang 'karakter baik' semacam itu, dengan menggunakan segala cara yang tersedia bagi mereka meskipun ada sensor. Singkatnya, kultus kepribadian, sesuai sifatnya, cenderung menciptakan lingkungan yang menguntungkan bagi character attacks.

Pemimpin otokratis dalam sistem otoriter, punya beragam cara yang tersedia bagi mereka, demi melemahkan, dan bahkan menghilangkan, lawan mereka tanpa menghadapi banyak, jika ada, hambatan hukum atau politik. Kekuatan mereka tak terbatas. Selain itu, sebagian besar pemimpin peduli dengan legitimasi tindakan mereka. Oleh karena itu, character attacks seringkali menjadi alat politik yang efektif. Serangan semacam itu, dapat langsung menargetkan individu tertentu. Dapat diluncurkan dengan cara membungkam dan menyensor. Dapat pula diatur dalam bentuk uji-coba pertunjukan dan acara publik lainnya, yang dirancang untuk menyalah-nyalahkan dan mempermalukan lawan.
Sistem politik otoriter telah berhasil menggunakan character assassination sebagai alat kebijakan. Para pemimpin dapat memperoleh manfaat langsung dari serangan semacam itu, yang dapat melemahkan dan melucuti lawan mereka secara moral dan psikologis. Selain itu, serangan-serangan ini dapat memobilisasi opini publik guna mendukung penguasa dan mengkambinghitamkan target serangan. Selanjutnya, eliminasi fisik lawan menjadi lebih mudah dilakukan.
Karena pemimpin otokratis sering menjadi fokus kultus kepribadian, mereka berkecenderungan kuat hadir di ruang publik dalam bentuk patung, monumen, dan papan reklame. Tak mengherankan, kritik dan penentang sering merusak simbol kekuatan pemimpin yang ada di mana-mana. Jika sang pemimpin tertanam kuat, pengrusakannya cenderung terjadi secara diam-diam, seringkali pada malam hari.
Memporak-porandakan atau menyingkirkan patung pemimpin otokratis, tak selalu terjadi dalam kericuhan emosional yang tak terkendali. Rezim baru, boleh jadi, dapat membuang citra pemimpin sebelumnya, dengan cara yang terorganisir dengan baik dan sistematis."

“Death solves all problems—no man, no problem.” Wulandari hendak mengakhiri perbincangan. "Ungkapan ini, ditemukan oleh seorang penulis ternama anti-Stalinis Soviet, Anatoly Rybakov, penulis The Children of Arbat. Ungkapan masyhur ini, menjadi pengingat yang kuat tentang sisi politik yang mematikan. Character assassination tak memerlukan perusakan fisik secara langsung. Akan tetapi, dengan merusak atau malah memusnahkan reputasi seseorang. Dan dengan mematikan reputasi seseorang, tujuan lain tercapai. 'Kill one’s reputation, kill one’s cause.'
Hidup di abad ke-21, kita pasti telah menyaksikan banyak kasus character assassination—di televisi, online, atau dalam pergaulan kita sehari-hari. Acapkali, tampaknya berita bohong, iklan kampanye yang keji, dan tweet yang melecehkan, tumbuh lebih sering dan lebih ganas setiap tahun. Pikirkan hal ini—mungkin engkau sendiri bahkan pernah menjadi targetnya. Tiada keraguan, kebangkitan Internet dan media sosial telah kondusif bagi praktik character assassination, sementara polarisasi politik mungkin juga merupakan faktor yang memicu. Namun, situasi saat ini, tidak unik. Seperti yang diperlihatkan sejarah, serangan pribadi terhadap para senator Romawi atau para presiden Amerika abad ke-19, bisa sama ganas, manipulatif, dan menghancurkannya seperti tuduhan, tweet, atau meme apa pun yang mungkin engkau temui hari ini. Pada saat yang sama, lingkungan media massa abad ke-21, memberikan peluang character assassination yang semata bisa dialami dalam mimpi nenek moyang kita. Dalam keadaan seperti ini, penting bagi media, mengembangkan kemampuan menghasilkan 'good judgment.' Jika engkau mempelajari bagaimana character attacks berfungsi dan apa yang hendak dicapai oleh para penyerang karakter, kemungkinan besar, engkau akan mengenalinya, dan kecil kemungkinan terkena ilmu-peletnya. Wallahu a'lam.”

"Dawn is coming" namun belum tentu "Winter is coming." Wulandari bergerak menuju belahan bumi lain, sambil bersenandung,

Perfume came naturally from Paris,
[Parfum tentu datangnya dari Paris]
for cars she couldn't care less, fastidious and precise
[untuk mobil doi gak mau sembrono, milih-milih dan teliti]
She's a Killer Queen
[Doi seorang Ratu Jagal]
Gunpowder, gelatine, dynamite with a laser beam
[Bubuk mesiu, gelatin, dinamit dengan sinar laser]
Guaranteed to blow your mind, anytime *)
[Dijamin mencengangkan loe, kapan pun]
Kutipan & Rujukan:
- Eric B. Shiraev, Jennifer Keohane, Martijn Icks, and Sergei A. Samoilenko, Character Assassination and Reputation Management: Theory and Applications, 2022, Routledge
- Eric B. Shiraev, Jennifer Keohane, Martijn Icks, and Sergei A. Samoilenko,, Routledge Handbook of Character Assassination and Reputation Management, 2020, Routledge
- Martijn Icks and Eric Shiraev (ed.), Character Assassination throughout the Ages, 2014, Palgrave
- Dr. Myles Munroe, The Power of Character in Leadership: How Values, Morals, Ethics, and Principles Affect Leaders, 2014, Whitaker House
*) "Killer Queen" karya Freddie Mercury