Minggu, 30 Juli 2023

Obrolan sang Barista (2)

"Seorang pemilik toko baju, memanggil seluruh staff pemasaran—termasuk dua mahasiswi yang sedang magang selama empat minggu—dan dengan gusar berkata, 'Dari Laporan Keuangan, aku melihat bahwa hasil penjualan menunjukkan nilai yang sangat berarti. Tapi, hasil akhir Laporan Rugi/Laba, angkanya negatif. Apa ini? Jelaskan padaku!'
'Gini bosque,' jelas manajer pemasaran, 'penjualan kemeja kotak-kotak kita, laris-manis di pasaran. Tapiii ....'
'Tapi kenapa?' tanya sang bos.
'Banyak yang komplain bosque, karena baru beberapa hari dipakai, udah luntur. Kami dah laporin hal ini ke bosque dan bosque setuju agar mengganti seluruh klaim dengan kemeja putih.'
Mendengar hal ini, sang bos maklum. 'Oh oke, tetap semangat!' lalu berkata, 'Mulai sekarang, kita bakal masarin kemeja yang sangat 'camera friendly' ini!' sembari mengeluarkan selembar kemeja bergaris hitam putih.
"Haa, moire?' seluruh staff menunduk sambil menggerutu.
Seorang mahasiswi magang, yang sedari tadi duduk di dekat pintu, berbisik kepada rekannya, 'Sista, sampai kapan sih masa magang kita?'
'Tenang aja teman!' kata sang rekan. 'Kalau doi marah-marah lagi, masa magang kita, dah lama lewat kok.'"

“Popularitas kopi yang semakin meningkat, membuat perusahaan perdagangan Eropa berusaha mengamankan suplai: keadaan menjadi akut pada tahun 1707, ketika pemerintahan Ottoman memberlakukan larangan ekspor kopi keluar kekaisarannya. Saat itu, Nicolaes Witsen, seorang gubernur Perusahaan Hindia Timur Belanda [Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)], telah memulai menanam kopi di Jawa pada tahun 1696. Bibitnya berasal dari Malabar di India, dimana menurut legenda, kopinya ditanam oleh cendekiawan Muslim Baba Budan,” kata 'teh Barista.
"Di Jawa, VOC beroperasi dengan memaksa kepala adat agar memasok kopi dalam jumlah tetap dengan imbalan harga rendah, yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengiriman reguler dari Jawa ke Belanda, dimulai pada tahun 1711, memungkinkan Amsterdam mendirikan bursa kopi Eropa pertama. Pada tahun 1721, 90 persen kopi di pasar Amsterdam berasal dari Yaman; pada tahun 1726, 90 persen dipasok dari Jawa. Pengiriman dari pulau Jawa, terus meningkat hingga pertengahan abad itu, tetapi berkurang saat perkebunan baru di Karibia mengambil-alih.
Belanda ikut bertanggung jawab atas hal ini, kata Morris. Pada 1712 mereka memperkenalkan kopi ke Suriname, daerah kantong kolonial di garis pantai Timur Laut daratan Amerika Latin, berbatasan dengan Laut Karibia. Ekspor dimulai pada tahun 1721 dan melampaui ekspor dari Jawa pada tahun 1740-an. Di Suriname, petani tak punya pilihan selain memproduksi kopi—tanaman ditanam di perkebunan yang dikelola oleh buruh budak.
Otoritas kolonial Belanda terus bekerja melalui penguasa lokal, memperkenalkan apa yang disebut Sistem Pengumpulan yang mengharuskan rumah tangga petani menyisihkan sebagian tanah atau tenaga mereka, menanam tanaman komersial yang dijual secara eksklusif kepada negara. Novel otobiografi Max Havelaar, yang ditulis oleh seorang mantan administrator pada tahun 1860, Multatuli (nama pena Eduard Douwes Dekker), menunjukkan bagaimana para petani kelaparan sementara Belanda memanjakan para tuan-tanah fakir mereka. Pada tahun 1880-an, 60 persen rumah tangga petani di Jawa, dipaksa menanam kopi. Merawat pohon, menghabiskan 15 persen dari waktu mereka, namun hanya menghasilkan 4 persen dari pendapatan mereka, karena harga tetap yang rendah.
Inggris memperluas pula produksi kopi kolonial mereka, terutama di Ceylon (Sri Lanka). Pengusaha Inggris membuka hutan untuk mendirikan perkebunan kopi, membunuh banyak gajah di pulau itu, dan mengimpor pekerja dari populasi Tamil yang berhutang banyak di wilayah Madras, India. Tak terhitung jumlah yang meninggal 'di jalan' menuju perkebunan ini, atau karena kondisi kerja ketika mereka sampai di sana. Pada akhir 1860-an total produksi kopi Inggris di Ceylon dan India, mendekati produksi koloni Belanda.

Kopi diubah menjadi produk industri pada akhir abad ke-19 oleh dua negara di benua Amerika: Brasil dan Amerika Serikat. Kemampuan Brasil memperluas produksi kopi dengan cepat tanpa menaikkan harganya secara signifikan, memungkinkan AS menyerapnya ke dalam ekonomi konsumen yang semakin besar. Brasil memperluas perbatasan kopi ke pedalamannya dengan mengganti tenaga kerja budak dengan buruh tani Eropa yang diimpor. Konsumsi per kapita AS meningkat tiga kali lipat antara pertengahan abad ke-19 dan pertengahan abad ke-20, karena konsumen berpindah dari pemanggangan di rumah ke pembelian produk kopi industri bermerek, yang telah disiapkan sebelumnya. Begitu Amerika Tengah dan Kolombia mulai bersaing memperebutkan pasar AS, bentuk baru politik kopi muncul, karena negara berusaha melindungi kepentingan nasional mereka.

Kopi menjadi komoditas global selama paruh kedua abad kedua puluh. Landasannya adalah penanaman Robusta sebagai alternatif yang lebih keras dari Arabika, menghidupkan kembali produksi kopi di Afrika dan Asia. Harganya yang lebih murah, memfasilitasi minum kopi setiap hari di kalangan konsumen baru, dan secara dramatis mengubah rasa dan bentuk minuman. Lembaga internasional berkembang untuk mengatur pasar kopi dunia, namun terbukti tak mampu melindungi produsen dari gejolak harga, yang berpuncak pada krisis kopi di akhir abad itu.

Reposisi kopi sebagai minuman spesial pada akhir abad ke-20, berdampak besar pada industri kopi global. Apa yang dimulai sebagai protes oleh roaster independen di AS terhadap komodifikasi dan konsentrasi industri, melahirkan penyebaran rantai kedai kopi internasional, gerakan hipster 'third wave', pengembangan the coffee capsule, dan serangkaian perdebatan sengit tentang ethical coffee consumption. Dapat dikatakan, peran spesialisasi dalam merangsang konsumsi di pasar non-tradisional telah meletakkan dasar bagi era baru dalam sejarah kopi.
Kopi merupakan unsur penting dari budaya tandingan Amerika tahun 1960-an, yang rumah spiritualnya terletak di San Francisco. Hippies nongkrong di bar espresso North Beach yang dijalankan oleh imigran Italia, dan membeli bijinya dari toko Alfred Peet di Berkeley. Peet, seorang Belanda, memanggang kopinya jauh lebih gelap, dan menyeduhnya lebih kuat, daripada 'secangkir Joe' biasa. Terlepas dari penghinaan pemilik yang nyaris tak terselubung bagi banyak pelanggannya, Peet's menjadi kiblat bagi mereka yang ingin merasakan kopi 'Eropa'.
Orang pertama yang menggunakan istilah ‘specialty coffee’ [kopi spesial] adalah Erna Knutsen. Pada pertengahan 1970-an, ia meyakinkan importir kopi San Francisco dimana ia memulai sebagai sekretaris, agar membolehkan dirinya mencoba menjual kopi berkualitas dalam jumlah kecil. Ia menemukan relung yang memasok generasi baru roaster independen, banyak di antaranya telah 'keluar' dari jalur karier konvensional.
Kopi spesial lepas landas begitu penekanan beralih dari menjual biji kopi menjadi menyajikan minuman. Seattle berada di pusatnya: pada tahun 1980 gerobak kopi pertama yang menggabungkan mesin espresso muncul di kota tersebut; pada tahun 1990 ada lebih dari dua ratus gerobak yang ditempatkan di dekat stasiun monorel, terminal feri, dan toko-toko besar.

Starbucks didirikan oleh tiga rekan kuliah pada tahun 1971. Starbucks terutama menjual biji kopi yang dipasok oleh Alfred Peet, yang gaya pemanggangan gelapnya kemudian mereka adopsi. Howard Schultz, seorang salesman perusahaan Brooklyn, yang merupakan salah satu pemasok peralatan mereka, berkunjung pada tahun 1982 dan meyakinkan para pendirinya, agar mempekerjakannya sebagai direktur penjualan dan pemasaran. Pada tahun 1983 Schultz mengunjungi Milan, dimana ia mencoba membujuk Starbucks, mengkreasikan ulang budaya bar kopi asli Italia di Amerika. Namun, ia tak sukses meyakinkan pemilik Starbucks tentang usulannya, dan keluar membuka kedai kopi bernama Il Giornale pada tahun 1986.
Setelah Schultz menyesuaikan tawarannya mengkreasikan pengalaman 'gaya Italia' yang memenuhi kebutuhan pelanggan Amerika, ia mulai sukses. Pada tahun 1987, ia mentransfer format ini ke Starbucks, yang dibelinya manakala pendiri terakhir Starbucks, berangkat ke San Francisco mengambil-alih Peet's.
Format Coffee shop, memadukan dua unsur: kopi dan lingkungan sekelilingnya. Yang disebut pertama, membayar untuk yang disebut belakangan. Kopi ala Italia Schultz, terbukti sempurna memperkenalkan kopi spesial kepada konsumen Amerika, karena pagutan espresso yang khas, masih dapat dilihat melalui manisnya susu. Caffè latte-lah yang paling populer, karena susu yang dikukus, bukan yang berbusa, menghasilkan kepadatan dan rasa manis, yang lebih kuat dibanding cappuccino.

Istilah 'third wave coffee' [kopi gelombang ketiga] pertama kali digunakan oleh Timothy Castle pada tahun 2000, dan dipopulerkan oleh Trish Rothgeb, seorang roaster Amerika, dalam sebuah artikel berpengaruh pada tahun 2003. Gelombang pertama menyajikan espresso, gelombang kedua, spesialisasi raksasa seperti Starbucks yang 'hendak mengotomatiskan atau menyeragamkan kopi spesial'. Gelombang ketiga ingin mengejar pendekatan 'tanpa aturan' guna menyajikan kopi yang menakjubkan.
Kompetisi Barista berada di pusat budaya gelombang ketiga. Kejuaraan Barista Dunia pertama diadakan di Monako pada tahun 2000. Pesaing menyiapkan satu set berisi empat espresso, cappucino, dan 'minuman khas' dalam waktu lima belas menit dan dinilai berdasarkan keterampilan teknis dan presentasi, serta kualitas sensoris dari minuman mereka. Pembuat peralatan bersaing agar alat berat mereka diklasifikasikan untuk memenuhi standar persaingan. Roasters melatih barista penuh waktu untuk bersaing menggunakan campuran yang bersumber khusus. Pemenang mendapatkan status selebritas yang membawa kontrak bergaji tinggi untuk konsultasi dan dukungan.
Eksperimen barista gelombang ketiga dengan parameter yang ditetapkan untuk persiapan espresso dan profil rasa, memisahkan diri dari tradisi Italia. Minuman baru muncul sebagai hasil dari eksperimen tersebut, seperti flat white, dibuat dengan menggunakan shot espresso terkonsentrasi dengan topping susu microfoamed beludru dan diakhiri dengan seni latte - semuanya menuntut keterampilan teknis tinggi dari barista. Flat white dibawa ke London pada tahun 2007 oleh barista dari Australia dan pada 2010 telah menyeberang ke rantai arus utama, kemudian melintasi Atlantik.
Kedai kopi gelombang ketiga sering beroperasi dengan sedikit uang, pemiliknya lebih terinspirasi oleh passion ketimbang cuan. Interior yang dilucuti dan tempat duduk dasar menonjolkan mesin berteknologi tinggi di konter tempat semua investasi telah dituangkan. Suasana non-perusahaan yang agresif ini, begitu sering terjadi sehingga menjadi citra merek gelombang ketiga itu sendiri.

Membeli kopi dari pemanggang kopi khusus dan usaha kecil, engkau biasanya akan membeli kopi secara etis. Membeli kopi secara etis bermakna membeli kopi yang tak mengeksploitasi pekerja dan petaninya, dan umumnya berarti sang pemanggang kopi akan sangat terlibat dalam seluruh proses pembuatan kopi, mulai dari penanaman hingga pemrosesan dan akhirnya pemanggangan. Dengan membeli dari perusahaan kopi yang beretika, engkau memastikan bahwa engkau tak berkontribusi pada siklus eksploitatif dan merusak. Kopi telah mempromosikan pemikiran jernih dan kehidupan yang benar dimanapun diperkenalkan. Ia telah berjalan seiring dengan kemajuan dunia menuju demokrasi.
Salah satu fakta paling menarik dalam sejarah minuman kopi, bahwa dimana pun kopi diperkenalkan, itu bermakna revolusi. Minuman paling radikal di dunia inilah yang fungsinya selalu membuat orang berpikir. Dan manakala orang-orang mulai berpikir, mereka berbahaya bagi para tiran.
Voltaire dan Balzac adalah pemuja kopi yang paling bersemangat di antara para sastrawan Prancis. Voltaire, raja akal-sehat, raja peminum kopi. Bahkan di usia tuanya, ia disebut-sebut mengonsumsi lima puluh cangkir setiap hari. Bagi Balzac yang hemat, kopilah makanan sekaligus minuman. Sir James Mackintosh, filsuf dan negarawan Skotlandia, sangat menyukai kopi sehingga ia sering menegaskan bahwa kekuatan pikiran manusia, pada umumnya akan ditemukan sebanding dengan jumlah stimulan yang diminumnya.
Tiada dalil mengapa setiap orang yang menyukai kopi, mengabaikan manfaatnya. Mengutip Makaroff: Jadilah rendah hati, baik hati, makan lebih sedikit, dan berpikir lebih banyak, hidup untuk melayani, berbuat, berperan, tertawa dan mencintai—itu sudah cukup! Lakukan ini dan engkau dapat minum kopi tanpa membahayakan jiwa kekalmu.
Kedai kopi menjadi tempat berkumpulnya orang-orang berakal-sehat, orang-orang yang modis, dan orang-orang yang cerdas dan terpelajar, kepada siapa mereka memberi kesempatan berbincang dan berdiskusi tanpa akhir. Wajar jika pertukaran ide yang hidup di klub publik ini, menghasilkan opini liberal dan radikal, dan bahwa otoritas yang dibentuk, akan memandang curiga pada mereka. Memang konsumsi kopi, secara aneh dikaitkan dengan gerakan protes politik sepanjang sejarahnya, setidaknya hingga abad ke-19.
Selama seribu tahun perkembangannya, kopi telah mengalami oposisi politik yang sengit, pembatasan fiskal yang dungu, pajak yang tak adil, tugas yang menjemukan; tetapi, bertahan dari semua ini, dengan penuh kemenangan pindah ke tempat terdepan dalam katalog minuman populer. Namun, kopi lebih dari sekadar minuman. Ia merupakan salah satu makanan adjuvant terbesar di dunia. Ada makanan tambahan lain, tetapi tiada yang mengungguli kelezatan dan efek menenangkan, psikologi yang dapat ditemukan dalam rasa dan aromanya yang unik.

Kita berbincang tentang minum secangkir kopi, tetapi kopi hadir dalam berbagai ukuran dan penyamaran! Pastikan engkau menemukan salah-satu yang cocok untukmu. Espresso: porsi kecil dengan rasa yang besar, bagi mereka yang menyukai cita rasa kopi; Mocha: bagi mereka yang sebenarnya tak begitu tertarik dengan rasa kopi tapi membutuhkan sesuatu yang menyegarkan, solusi yang keren dan kreatif; Double Espresso: bagi pekerja keras yang tahu bahwa satu teguk saja, tak cukup; Latte: sempurna untuk orang yang ragu-ragu: pilihan menu bebas risiko; Cappuccino: kopi yang mudah diminum buat pencari kesenangan, tapi hati-hati dengan kumis-susunya; Macchiato: kopi yang mudah diminum bagi siapa saja yang tak suka kumis susu; Iced Coffee: minuman yang tampil berani bagi mereka yang menyukai kopi sebanyak mereka suka minum melalui sedotan; Frappucino: kopi untuk siapa saja yang menyukai kopi, hampir seperti es krim. Americano: salah satu kesenangan bersahaja dalam hidup.

Kopi yang baik, dipanggang dengan hati-hati dan diseduh dengan benar, menghasilkan minuman alami yang, untuk efek tonik, tak tertandingi, bahkan oleh para pesaingnya, teh dan coklat. Aroma kopi, tak cuma enak dan cita-rasanya legit bagi semua umat manusia, melainkan semuanya merespons sifat-sifatnya membangkitkan semangatnya yang menakjubkan. Faktor utama kebaikan kopi ialah kandungan kafein dan minyak alami kopi, yang disebut caffeol. Kafein meningkatkan kapasitas kerja otot dan mental tanpa reaksi berbahaya. Kafeol memberi rasa dan aroma—aroma eksotis yang tak terlukiskan, yang memikat kita melalui lubang hidung, membentuk salah satu elemen utama yang membentuk daya tarik kopi. Pria dan wanita minum kopi karena menambah rasa 'well-being' mereka."

"Apa itu 'well-being', 'teh?" tanya Wulandari. "Nanti kita bicarakan di sesi berikutnya," kata 'teh Barista. Meski sekilas ngeliyat wajah 'teh Barista, keayuannya nggak bisa dinalar.
Kemudian keduanya pun berdendang,

Feels like I'm caught in the middle
[Rasanya bagaikan ku terjebak di tengah]
That's when I realize
[Saat itulah ku sadari]
I'm not a girl, not yet a woman
[Kini ku bukan lagi gadis remaja, belum pula wanita dewasa]
All I need is time, a moment that is mine
[Yang kubutuhkan hanyalah waktu, detik-detik milikku]
While I'm in between *)
[Selagi ku berada di masa transisi]
[Sesi 3]
[Sesi 1]