Rabu, 05 Juli 2023

Potret Seekor Singa

“Tersebutlah seorang lelaki tua, yang punya lahan kebun yang sangat luas; dan punya anak semata wayang, seorang putra, yang sangat ia cintai dan kasihi; ia juga sangat mudah terpengaruh oleh pertanda-buruk, mimpi, dan ramalan bakal terjadinya malapetaka.
Sang pemuda, putranya, amat suka berburu, dan terbiasa bangun di pagi buta, mengikuti acara perburuan. Namun, suatu malam, sang ayah bermimpi bahwa putranya, dibunuh oleh seekor Singa, menyimpannya dalam hati, bahwa ia takkan membiarkan sang putra masuk hutan lagi, berburu.
Ia lalu membangun sebuah kastil yang apik sebagai tempat penampungan putranya, dimana ia mengurungnya, jangan sampai keluar sendirian, dan akan menemui ajalnya. Lantaran murni oleh upaya cinta dan rasa-sayang kepada puteranya, ia berusaha membuat kastil tersebut, senyaman mungkin bagi sang putra; dan, oleh sebab itu, melengkapi kastilnya dengan beragam lukisan indah, dimana terdapat segala jenis satwa buas, seperti yang sering dilakukan putranya saat berburu; dan, di antaranya, ada potret seekor Singa.
Suatu hari, sang pemuda memperhatikan lukisan-lukisan tersebut dengan lebih cermat dari biasanya; dan, karena kesal terkurung akibat mimpi buruk ayahnya yang, menurutnya, tak masuk akal, amarahnya pun meledak, dan menatap tajam ke arah sang singa, 'lu tu ye, makhluk biadab yang kejam,' katanya, 'bentuk ellu yang ngeri-ngeri sedep, penjarain gue, seandainya gue megang pedang di tangan, gue bakalan nusuk dada loe.' Seraya mengucapkannya, ia mengarahkan tinjunya ke arah dada sang singa, dan sayangnya, ujung paku yang tertancap di dinding dan tersembunyi di antara lukisan, melukai tangannya. Lukanya membusuk, dan berangsur berubah jadi kelemayuh; akibatnya, sang pemuda demam, dan kemudian, meninggal dunia. Akhirnya, mimpi sang sang ayah, menjadi kenyataan, oleh kewaspadaan yang berlebihan demi mencegahnya," berkata Wulansari saat pantulan sinarnya, berkilauan di atas telaga biru, dengan burung bangau putih terbang menembus cahayanya, usai mengucapkan Basmalah dan menyapa dengan Salam.

"Pemimpin terpercaya meninggalkan suatu legacy," lanjut Wulansari, “tapi pemimpin yang tak dipercaya, meninggalkan rasa-takut bagi para generasi mendatang. Legacy [warisan, peninggalan atau pusaka, namun dalam konteks ini, kata 'legacy' tetap kita gunakan] tak semata ditentukan oleh pencapaian dan visi yang engkau tinggalkan, melainkan pula oleh caramu berperilaku sebagai pemimpin dan keputusan yang engkau buat setiap hari. Karakter, pilihan, perilaku, konsistensi, kepercayaan-diri, dan kasih-sayang—enam pilar legacy kepemimpinan ini, dapat menentukan caramu membangun, caramu berkreasi, caramu tumbuh, dan caramu dikenang sebagai seorang pemimpin.
Mereka yang dipercayakan dengan tugas kepemimpinan pada kedudukan mana pun, memasuki kantor dan/atau memikul tanggungjawab dengan tiga teori: teori peran, teori tugas, dan teori efektivitas, kata Ernest Grady Bogue. Teori pertama, memandu gagasan kita tentang apa yang seharusnya kita lakukan; dan yang kedua, mengarahkan pendekatan kita pada motivasi, penyebaran kekuasaan dan otoritas, orkestrasi konflik, dan gaya pengambilan keputusan. Teori ketiga, merupakan model kepercayaan tentang bagaimana keberhasilan dan efektivitas kepemimpinan seharusnya dinilai. Kepemimpinan tak semata tanggungjawab mereka yang memegang jabatan administrasi formal, melainkan berada di dalam hati dan pikiran setiap orang yang belajar meyakini, dalam komunitasnya. Kepemimpinan mengalir dari semangat kita sebagai kedudukan kita.
Ketiga teori ini, mungkin tak langsung naik ke tingkat kesadaran akan sekitar, tetapi tentu berdaya-guna dan dapat disimpulkan dari tindakan dan perilaku mereka yang memimpin. Perhatikan impuls pertama dari para pengatur yang baru diangkat, baik itu presiden maupun direktur, dan catat prioritas perhatian dan cara mereka membuka interaksi dengan staf mereka dan orang lain di sekitar mereka. Gaya kekaisaran dan mementingkan diri sendiri, dapat dengan mudah dibedakan dari watak pelayan dan kepedulian, dalam waktu yang singkat.
Pemimpin yang efektif, akan menjadi pemimpin yang penuh-kasih. Pemimpin yang efektif akan menyayangi sesama makhluk, standarisasi, dan sistem. Mereka akan merawat dan mengembangkan janji yang diembankan kepada mereka, dan akan memberikan teladan kesantunan dalam hubungan interpersonal mereka. Mereka akan memberikan contoh kepedulian terhadap standar keunggulan dan integritas, dan memikul tanggungjawab atas sistem sosial dan teknis tempat orang melakukan pekerjaan mereka. Di luar kepedulian terhadap sesama makhluk dan standarisasi, pemimpin yang penuh kasih akan menyadari bahwa rekan kerja yang kompeten dan berniat baik, dapat bekerja dalam sistem yang serba kekurangan. Berkonsentrasi pada apa artinya menyayangi sesama, standarisasi, dan sistem, menjaga pemimpin dari provokasi sinis problema dan gangguan kecil. Pula, mendorong kesabaran dan ketekunan.

Mereka yang memegang tanggungjawab kepemimpinan dalam organisasi mana pun, bertanggungjawab atas keefektifan individu dan institusional, atas kinerja mereka sendiri dan kinerja unit atau organisasi yang mereka yakini.
Salah satu alasan utama para pemimpin yang berhasil meninggalkan legacy, karena mereka memahami dampaknya terhadap semua orang di sekitar mereka. Tujuan mereka ialah, membangun hubungan dan mencapai sesuatu yang berkesan, yang akan membantu organisasi, atau bangsa dan negara, bergerak maju, lama setelah kepergian mereka. Menghadirkan legacy kepemimpinan bukanlah meninggalkan sesuatu untuk rakyat atau anggota organisasinya, melainkan pula meninggalkan sesuatu 'didalam' rakyat atau para anggotanya. Kepemimpinan dimulai dari dalam. Oleh karenanya, para pemimpin yang hebat, selalu menawarkan ketenteraman dan rasa-hormat. Mereka menjadikan semua orang, merasa dihargai, serta keterampilan dan pengetahuan mereka, diperlukan bagi kesuksesan bangsa dan negara atau organisasi mereka.

Tapi, benarkah bahwa setiap pemimpin hendak meninggalkan legacy? 'Pada awalnya, kami cukup berdebat di antara kami tentang gagasan legacy,' kata James M. Kouzes dan Barry Z. Pozner ketika mereka membicarakan soalan ide 'Setiap pemimpin hendak meninggalkan legacy.' Kami tak sepenuhnya yakin bahwa setiap pemimpin ingin meninggalkan legacy, meskipun kami cukup yakin para pemimpin meninggalkan sesuatu, terlepas dari diri mereka sendiri.
Tiada kontradiksi inheren tentang meminta para pemimpin memikirkan legacy pribadi mereka dan meminta mereka fokus pada kontribusi yang lain. Tiada yang mementingkan diri-sendiri dalam memikirkan legacy kita, lebih dari ada sesuatu yang individualis dalam memikirkan visi dan nilai-nilai kita. Orang-orang yang paling jelas tentang visi dan nilai-nilai mereka secara bermakna, lebih berkomitmen pada organisasi mereka ketimbang mereka yang tak jelas tentang visi dan nilai-nilai mereka.
Memikirkan legacy kita, mengharuskan kita bergerak melampaui definisi kesuksesan jangka pendek. Legacy mencakup masa lalu, sekarang, dan masa depan, dan di saat merenungkan legacy kita, kita dipaksa mempertimbangkan di mana kita pernah berada, di mana kita sekarang, dan ke mana kita akan pergi. Kita dihadapkan langsung dengan pertanyaan tentang siapa kita dan mengapa kita berada di sini. Kita hendaknya mempertimbangkan lebih dalam, nilai sebenarnya dari apa yang dulu, apa yang saat ini, dan apa yang akan terjadi. Kita mencari diri kita terhadap makna yang lebih dalam di kehidupan kita. Pencarian sepenuh-hati demi meninggalkan legacy yang abadi, merupakan perjalanan dari kesuksesan menuju kebermaknaan.'

Memikirkan legacy bermakna, mendedikasikan diri agar membuat perbedaan, tak semata bekerja mencapai ketenaran dan kekayaan. Ia juga bermakna menghargai bahwa orang lain akan mewarisi apa yang kita tinggalkan. Dengan bertanya pada diri sendiri, bagaimana kita ingin diingat, kita menanam benih untuk menjalani hidup seolah-olah kita berarti. Dengan menjalani setiap hari seolah-olah kita penting, kita mempersembahkan legacy unik kita sendiri. Dengan mempersembahkan legacy unik kita sendiri, kita membuat dunia yang kita tinggali, menjadi tempat yang lebih baik dibanding dulu yang pernah kita temukan.
Saat kita melanjutkan hidup, orang tak mengingat kita atas apa yang kita lakukan bagi diri kita sendiri. Mereka mengingat kita atas apa yang kita lakukan untuk mereka. Merekalah pewaris karya kita. Salah satu kebahagiaan besar dan tanggungjawab besar dari para pemimpin, ialah memastikan bahwa orang-orang yang berada di bawah tanggungjawabnya, menjalani kehidupan yang tak semata sukses, melainkan pula, bermakna.

Mengajar itu, salah satu cara untuk melayani. Cara menyampaikan pelajaran yang dipetik dari pengalaman. Pemimpin terbaik itu, guru. Guru terbaik, merupakan pula pembelajar terbaik. Mereka tahu bahwa dengan berinvestasi dalam mengembangkan orang lain, mereka juga mengembangkan diri mereka sendiri.
Belajar membutuhkan umpan-balik. Di saat masing-masing pemimpin bertanya, 'Bagaimana kabarku?', mereka mendapatkan wawasan berharga tentang bagaimana mereka mempengaruhi kinerja orang lain. Masalahnya, kebanyakan pemimpin tak bertanya. Itu salah satu kelemahan kepemimpinan yang paling mencolok, dan yang sangat perlu diatasi. Pemimpin terbaik, tahu bahwa mereka tak mungkin sempurna, maka mereka merangkul 'para pengkritik yang tulus' mereka—orang-orang yang sangat peduli, sehingga mereka bersedia mengatakan yang sebenarnya kepada para pemimpinnya.
Mendiang John Gardner, pakar kepemimpinan dan penasihat presiden, pernah berkata, 'Kasihan pemimpin yang terjebak di antara kritikus yang tak mencintai dan pecinta yang tidak kritis.' Perkataan ini, seyogyanya ada di poster yang tergantung di meja setiap pemimpin—atau di screen saver komputer setiap pemimpin—dan harus dibaca dan direnungkan beberapa kali dalam sehari.
Tak satu pun dari kita suka mendengar ciutan terus-menerus dari para pemain harpa yang cuma ngomongin hal yang mboten-mboten. Kita menutup telinga kita terhadap tukang komplen, yang sebenarnya, rengekan mereka dapat diprediksi. Pada saat yang sama, kita tak pernah mendapat manfaat dari, atau benar-benar yakin, pada para penjilat yang sanjungannya, jelas ditujukan untuk memperoleh cuan atau manfaat lainnya. Kita tahu bahwa tiada orang yang bisa sebaik itu. Agar tetap jujur dengan diri kita sendiri, yang sesungguhnya kita butuhkan ialah 'para pengkritik yang tulus'—orang-orang yang peduli, yang memberi kita umpan-balik yang lempeng, tentang apa yang telah/atau sedang kita lakukan.

Nah sekarang, engkau punya dua sisi mata uang. Di satu sisi, engkau melihat pemimpin yang takut diekspos. Di sisi lain, Engkau melihat sekelompok kolega yang takut akan pembalasan atau menyakiti seseorang. Jika engkau pemimpinnya, engkau menari dengan tak berbusana di atas meja, jadi, tak ada gunanya berpura-pura mengenakan pakaian.
Bagi kita, nampak bahwa strategi yang lebih baik adalah, kita semua menerima pentingnya mencari umpan-balik tentang kinerja kita. Belajar menjadi pemimpin yang lebih baik, membutuhkan kesadaran diri yang besar dan itu membuat diri kita rentan. Pastikan engkau berproses mendapatkan umpan-balik secara rutin. Sebagaimana yang disebutkan Dan Mulhern, 'Jika engkau menghendaki umpan-balik, engkau harus bekerja-keras mendapatkannya.'
Sebenarnya, bagi setiap individu, pemimpin terpenting dalam organisasi mana pun, bukanlah CEO atau penanggungjawab acara; melainkan pemimpin yang paling sering kita pandang, yang kita tuju, kala kita membutuhkan tuntunan dan dukungan. Apapun gelarmu, manajer, ketua tim, pelatih, guru, kepala sekolah, dokter, direktur, atau orangtua, engkaulah pemimpin terpenting dalam organisasimu bagi orang-orang yang menjunjungmu.
Meski demikian, dalam kepemimpinan dan dalam hidup, tiada yang kita capai sendirian. Tiada yang pernah melakukan sesuatu yang luar biasa sendirian. legacy seorang pemimpin itu, legacy banyak orang, dan tak seorang pun dari mereka, yang berkontribusi membuat perbedaan, ingin diterima begitu saja. Tiada yang suka dipandang cuma sebagai asumsi. Semua orang ingin dianggap penting.
Mengajukan pertanyaan tentang legacy, memunculkan pengamatan sentral lainnya: kepemimpinan tak semata tentang pengejawantahan hasil. Keberhasilan dalam kepemimpinan, tak cuma diukur dari angka. Menjadi seorang pemimpin, membawa serta tanggungjawab melakukan sesuatu yang penting, yang membuat keluarga, komunitas, organisasi kerja, bangsa, lingkungan, dan dunia, menjadi tempat yang lebih baik dibanding saat ini. Tak semua hal ini, dapat ditakar.

Sejarah manusia menyampaikan pada kita, sesuatu yang sangat penting tentang hubungan manusia. Ia memberitahu kita bahwa orang ingin bebas. Orang ingin memutuskan sesuatu bagi diri mereka sendiri. Orang ingin membentuk nasib mereka sendiri. Orang ingin bertanggungjawab atas hidup mereka sendiri. Legacy kepemimpinan yang paling abadi ialah legacy para pemimpin yang telah memerdekakan rakyatnya.
Kepemimpinan itu, sebuah hubungan. Hubungan inilah, antara mereka yang bercita-cita memimpin dan mereka yang memilih sebagai pengikut. Baik itu hubungannya dengan satu maupun banyak orang, kepemimpinan membutuhkan keterlibatan orang lain. Terlepas dari berapa banyak kekuatan formal dan otoritas yang diberikan posisi kita kepada kita, kita hanya akan meninggalkan legacy abadi jika orang lain ingin menjalin hubungan itu dengan kita. Orang lain memutuskan akankah mengikuti atau menjauh. Yang lain memutuskan akankan bersorak atau mencemooh. Yang lain memutuskan, akankah mengingat kita atau melupakan kita. Tiada perbincangan tentang kepemimpinan yang lengkap tanpa mempertimbangkan kualitas hubungan pemimpin-konstituen. Kepemimpinan membutuhkan hubungan resonan dengan orang lain tentang masalah hati.

Legacy yang kekal, dibangun di atas landasan prinsip dan tujuan yang kokoh. Itu berarti bahwa pengembangan kepemimpinan merupakan pengembangan diri yang pertama dan terutama. Menjadi seorang pemimpin, dimulai dengan penjelajahan wilayah terdalam, saat kita mencari untuk menemukan suara otentik kita sendiri. Para pemimpin semestinya memutuskan apa yang penting dalam hidup, sebelum mereka dapat menjalani kehidupan yang penting.
Para pemimpin diharapkan melihat ke masa depan, menatap cakrawala waktu dan mengkomunikasikan kepada kita, apa yang mereka lihat. Ini bukan tentang peramalam atau kewaskitaan. Ini tentang menjadi cerdas dan perseptif. Ini tentang memperhatikan apa yang ada di setiap sudut pandang.
Namun sebanyak yang kita inginkan dari para pemimpin agar melihat ke depan, mereka tak melakukannya. Berwawasan ke depan, dapat membedakan pemimpin dari orang lain yang kredibel, tetapi keterampilan ini, jarang ada pada setiap pemimpin. Legacy masa depan kita disandera oleh keterpusatan kita pada saat ini. Meninggalkan sesuatu yang bermakna, kita hendaklah mencurahkan waktu guna menghadirkan sesuatu yang berharga di masa depan.
Hal lain yang perlu diingat: masa depan bukan hanya milik para pemimpin. Bukan hanya visi pemimpin yang harus dipertanggungjawabkan oleh pemimpin. Kepemimpinan bukanlah tentang menjual visimu; ia tentang mengartikulasikan visi orang.
Kita meninggalkan legacy kepada orang lain. Merekalah pewaris kita. Jika engkau hendak meninggalkan legacy yang bermakna bagi orang lain, engkau seyogyanya memikirkan apa yang mereka inginkan dan apa yang hendak mereka capai.
Kepemimpinan bukan pula milik pribadi orang-orang di kalangan atas. Kepemimpinan merupakan area umum yang dapat diakses oleh semua orang. Pemimpin terbaik mengubah pengikutnya menjadi pemimpin, menyadari bahwa perjalanan ke depan membutuhkan banyak panduan. Pemimpin teladan juga memiliki kepercayaan diri mengubah dirinya menjadi pengikut, meyakini bahwa banyak orang lain bersemangat dan kompeten, membuat perbedaan di dunia.

Kepemimpinan yang tulen, tak berasal dari luar ke dalam. Ia datang dari dalam ke luar. Kepemimpinan dari dalam ke luar bermakna, menjadi penulis ceritamu sendiri dan pembuat sejarahmu sendiri.
Semua kepemimpinan yang bersungguh-sungguh, dimulai dari dalam. Itulah satu-satunya cara kita dapat menanggapi apa yang paling diharapkan dan diinginkan dari kita, oleh para konstituen kita. Dan apa itu? Apa yang paling mereka inginkan dari kita, bahwa kita benar-benar menjadi diri kita sendiri.

Emang sih, pemimpin itu, harus berani, tapi dalam makna seperti apa? Meninggalkan legacy itu, tentang membuat perbedaan. Kita semata bisa membuat perbedaan ketika kita mengambil sikap. Kita masing-masing mampu mengambil sikap terhadap hal-hal yang penting. Itulah makna sebenarnya menjalani kehidupan yang berani. Dibutuhkan keberanian mewujudkan impianmu dan memberi makna pada nilai-nilaimu. Jika engkau hendak meninggalkan legacy penting yang bertahan lama, akan jadi hasil dari tindakan keberanian. Engkau tak dapat merencanakan keberanian, namun engkau dapat memilih bertindak seperti itu. Keberanian merupakan kebajikan yang memungkinkan semua kebajikan lainnya.
Bagi sebagian besar dari kita, keberanian bukanlah soal tindakan heroik yang hebat. Keberanian pribadi biasanya bermakna mengambil inisiatif pada saat-saat penting—tatkala nilai-nilai inti kita tertantang. Melakukan hal-hal kecil, dan hal-hal kecil itu, dapat membuat perbedaan besar. Inilah perbedaan antara mencari kehidupan dan semata mencari nafkah.
Momen keberanian itu, titik balik, tetapi kita haruslah bersedia membayar harga guna mendapatkan keuntungan dari hidup kita. Kegagalan selalu menjadi pilihan ketika kita ingin mengubah keadaan. Tiada kesuksesan tanpa kegagalan, dan tiada pembelajaran tanpa kekeliruan.

Akhirnya, memimpin bukanlah tentang apa yang kita peroleh dari orang lain, melainkan tentang apa yang orang lain peroleh dari kita. Legacy bukanlah hasil dari angan-angan. Ia merupakan hasil dari tindakan yang ditetapkan. Legacy yang egkau tinggalkan adalah, kehidupan yang engkau pimpin. Kita menuntun hidup kita setiap hari. Kita meninggalkan legacy kita setiap hari. Orang-orang yang engkau temui, keputusan yang engkau ambil, tindakan yang engkau tempuh—semua yang berkisah tentangmu. Ia merupakan penjumlahan dari semua yang penting, yang engkau perbuat, bukan sebuah bingkisan besar, di akhir masa jabatanmu. Wallahu a'lam."

Cahaya mentari yang menyebar di atmosfer bumi, telah muncul, menandai penghujung malam sebelum matahari terbit, itulah sang fajar, prakarsa tentang pencerahan dan harapan, awal hari baru, dan dengan demikian, merupakan peluang bagi kebahagiaan dan perubahan. Wulansari hendak pergi, iapun berdendang,

Bila ingin melihat ikan di dalam kolam
tenangkan dulu airnya sebening kaca
Bila mata tertuju pada gadis pendiam
caranya tak sama menggoda dara lincah *)
Kutipan & Rujukan:
- Ernest Grady Bogue, Leadership Legacy Moments: Visions and Values for Stewards of Collegiate Mission, 2007, American Council on Education
- James M. Kouzes and Barry Z. Posner, A Leader’s Legacy, 2006, John Wiley & Sons
*) "Ikan dalam Kolam" karya Husein Bawafie