Selasa, 30 April 2024

Cerita dari Pohon Kenanga (9)

“Sang paman bertanya pada keponakannya, 'Kalo paman ngasih kamu dua kucing, tambah dua kucing lagi, trus dua lagi, dapat berapa kucingnya?'
'Tujuh,' jawab sang ponakan.
'Enggak, bukaan, coba dengerin ... Kalau paman ngasih kamu dua kucing, tambah dua kucing lagi, trus tambah lagi dua kucing, berapa banyak yang kamu punya?"
Sekali lagi, jawabannya, 'Tujuh.'
'Gini, gini, biar paman jelasin dengan cara yang beda,' imbuh sang paman, 'Kalau paman ngasih kamu dua apel, tambah dua apel lagi, trus, ngasih lagi dua apel, berapa banyak yang kamu punya?'
'Enam,' jawabannya sesuai ilmu metematika.
'Bagus,' jawab sang paman. 'Nah sekarang, kalo paman ngasih kamu dua kucing, tambah dua kucing lagi, trus dua lagi, berapa banyak kucing yang kamu punya?'
Tapi, tetep aja tanggapannya, 'Tujuh!'
'Aduh bere, darimana pulak kau dapat tujuh iituw?!' si tulang mulai kesal.
'Soalnya, kucing yang aku punya itu, kucing garong, tulang!' jawab sang kemenakan."

“Sejak Reformasi Indonesia tahun 1998, pemerintahan yang baik dan bersih menjadi cita-cita. Nampaknya, tema Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) membuka seruan perang. Definisi korupsi yang luas, dapat memasukkan kolusi dan nepotisme sebagai penyalahgunaan jabatan publik demi kepentingan pribadi. Nepotisme diharapkan bisa keluar, menurut Reformasi, akan tetapi belakangan ini, telah merangsek masuk lebih dalam,” lanjut Kenanga sembari memperhatikan sebuah potret yang disebut media 'Lagi Gemesy': kedua tangan Jenderal 08 memegang kedua lengan Abah. Ternyata oh ternyata, orang yang paling menggemaskan diantara yang paling menggemoykan itu, Abah tho!

"Dinara Safina menulis tentang Favoritisme dan Nepotisme dalam sebuah organisasi. Favoritisme, dari kata Latin 'favor' yang bermakna 'belas-kasihan', dirasakan sebagai perlindungan yang tak adil dan merugikan terhadap antek-antek yang menjabat hingga prasangka terhadap tujuan bersama. Favoritisme dalam kehidupan bernegara dan sosial, lebih sering muncul dalam bentuk patronase penuh semangat terhadap 'peliharaan' (favorit) dan penunjukan mereka pada posisi superior meskipun mereka tak berkemampuan atau pengalaman yang diperlukan bagi tugas tersebut. Oleh karenanya, orang yang difavoritkan ialah orang yang mendapat kepercayaan dari atasannya dan mempengaruhi keputusannya agar naik tangga karier berkat rasa keterpilihan.
Istilah 'favoritisme' berkaitan erat dengan gagasan seperti nepotisme (dari kata Latin 'nepos', 'nepotis', yang berarti 'cucu, keponakan') serta kronisme (misalnya, pekerjaan berdasarkan prinsip ikatan almamater) diberikan kepada kerabat atau teman, tanpa memandang nilai profesionalnya. Foreign Words Dictionary memuat Nepotisme sebagai perlindungan resmi terhadap kerabat dan orang yang tepat, yaitu Kronisme. Hal ini menyiratkan bahwa favoritisme dan nepotisme terjadi dalam kasus-kasus dimana patron yang diberi kekuasaan, mendorong sang favorit atau sang nepot agar naik jenjang kariernya, terlepas dari pengalaman, pengetahuan, layanan, dan kemajuannya.
Menurut Safina, akibat dari favoritisme dan nepotisme, dapat berupa: demotivasi personel; sikap apatis personel, hilangnya kepercayaan diri dan kemampuan; keterasingan sosial, perasaan tak berguna dalam organisasi; ketakutan yang terus-menerus dan pemikiran antisipatif yang negatif (takut diturunkan jabatan, rightizing, dan lain-lain); pemecatan terhadap rekan kerja berpotensi besar yang nekat menduduki jabatan yang diinginkan karena sudah ditempati oleh sang favorit; solusi kebijakan ketenagakerjaan yang tak efisien, misalnya. penugasan pada suatu posisi pegawai yang sama sekali tak pantas mendapatkannya menurut kriteria moral dan profesionalnya; pembatasan atau kurangnya persaingan mengenai proyek-proyek yang menjanjikan atau posisi senior di antara rekan kerja; perilaku tak bertanggungjawab dari kelompok favorit dan nepot karena adanya kepastian 'Gue gak bakalan di apa=apain, soalnya gua anak emas atau saudara'; perilaku sang favorit yang tak terkendali membahayakan keamanan ekonomi kegiatan organisasi; menghancurkan fondasi kerja sama tim; menciptakan budaya organisasi yang lemah ('tidak sehat') yang ditandai dengan intrik dan maraknya pengeroyokan, yaitu teror psikologis dan dalam beberapa kasus ekstrim secara fisik oleh sang favorit karena rasa impunitasnya; pengaruh negatif sang favorit terhadap pengambilan keputusan manajerial terlihat jelas dalam kenyataan bahwa sang favorit yang mengeluarkan kepentingannya memaksakan pertimbangannya kepada pemimpin tentang siapa yang harus dipekerjakan, dikontrak, menutup transaksi atau tidak, dll. Safina menilai, berkembangnya favoritisme dan nepotisme secara keseluruhan membahayakan perkembangan organisasi.
Favoritisme dan nepotisme menghambat persaingan yang efektif untuk mendapatkan posisi-posisi superior dan menghambat kemajuan karir para karyawan berkinerja tinggi, yang ternyata menjadi salah satu penyebab terjadinya 'brain drain' di suatu negara. Tentu saja, para ilmuwan berbakat, para profesional berketerampilan tinggi, dan wirausahawan meninggalkan negerinya, karena berbagai alasan, di antaranya lingkungan kelembagaan yang tak mendukung operasi bisnis, rendahnya upah tenaga kerja, peralatan yang tak memadai, keterbelakangan teknologi, dan lingkungan kerja yang tak mendukung. Favoritisme, dan khususnya kronisme, memfasilitasi korupsi. Oleh karenanya, harus ditarik kesimpulan bahwa favoritisme dan nepotisme berdampak buruk terhadap pembangunan organisasi dan ekonomi.

Penelitian selama puluhan tahun di bidang ilmu politik, ekonomi, dan antropologi, kata Jone L. Pearce, telah menunjukkan bahwa nepotisme dan kronisme berdampak buruk bagi kinerja organisasi. Nepotisme dan kronisme merusak jenis hubungan sosial yang menciptakan tempat kerja yang manusiawi dan dapat ditoleransi serta mendorong kinerja organisasi. Tak ada bukti bahwa nepotisme dan kronisme memfasilitasi jenis hubungan pribadi yang dicari oleh para psikolog I-O, dan terdapat bukti penelitian yang substansial (serta kesimpulan pribadi dari siapa pun yang pernah melihat nepotisme dan kronisme beroperasi di organisasi sebenarnya) bahwa nepotisme dan kronisme melemahkan organisasi dan orang-orang yang bekerja di dalamnya. Nepotisme dan kronisme buruk bagi karyawan yang dipaksa mempertimbangkan kewajiban yang bertentangan, buruk bagi rekan kerja yang kehilangan semangat ketika mereka mencurigai hal terburuk, dan buruk bagi kinerja organisasi.

Nepotisme dapat didefinisikan sebagai favoritisme terhadap kerabat, biasanya dalam bentuk menawarkan pekerjaan kepada mereka, tulis Rimvydas Ragauskas dan Ieva Valeškaitė. Di sektor publik, ia dipandang sebagai fenomena yang sangat beracun lantaran bertentangan dengan kepentingan publik: masyarakat pada umumnya berharap bahwa pegawai negeri berhak mendapatkan pekerjaan mereka, dan dipekerjakan sesuai dengan kriteria berdasarkan prestasi. Nepotisme memutus hubungan antara lapangan kerja dan meritokrasi, serta dapat membuka peluang eksploitasi negara. Dengan kata lain, nepotisme menimbulkan kerugian pada masyarakat, mulai dari persaingan tak sehat dalam mendapatkan kesempatan kerja, hingga penggelapan dana publik.
Nepotisme di sektor publik merupakan masalah yang menonjol, para peneliti telah memberikan sejumlah bukti mengenai dampak negatif nepotisme di sektor publik pada tingkat mikro dan makro. Pada tingkat mikro, terlihat bahwa menjadi kerabat politisi atau pegawai sektor publik, memberikan keuntungan yang cukup besar di pasar tenaga kerja. Kerabat dekat pegawai negeri dan politisi, cenderung bekerja di sektor publik, atau bahkan swasta, dan memperoleh gaji yang lebih tinggi. Nepotisme mencerminkan pula, tergerusnya meritokrasi, sebab individu yang kurang memenuhi syarat, terbukti paling diuntungkan dari praktik perekrutan dan peningkatan karier yang korup.
Para peneliti, juga telah menunjukkan bagaimana dampak nepotisme berpengaruh pada perekonomian yang lebih luas. Ia dapat mengganggu distribusi kekayaan dan status, yang dalam kasus ekstrim dapat menyebabkan keresahan sosial. Selain itu, berpotensi menurunkan kualitas pelayanan publik. Ditambah lagi, menimbulkan pula dampak negatif terhadap kesejahteraan melalui pemborosan atau bahkan penggelapan dana publik secara langsung.

Nepotisme lebih banyak terjadi manakala gaji sektor publik ditetapkan di atas tingkat optimal dan keputusan perekrutan berada di tangan individu, bukan di tangan komite perekrutan. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Geys (2017) menunjukkan bahwa para pemilih memprioritaskan meritokrasi dibanding menjadi anggota dinasti politik, sementara politisi cenderung lebih memilih anggota keluarga—meskipun jika kurang memenuhi syarat—saat mengambil keputusan perekrutan.
Di sisi lain, literatur yang lebih luas mengenai patronase memberikan beberapa petunjuk mengenai kemungkinan faktor penentu nepotisme. Para peneliti telah menunjukkan bahwa lapangan kerja publik seringkali lebih tinggi di daerah-daerah yang kurang berkembang. Pekerjaan publik kemudian dapat dilihat sebagai kebijakan redistributif, yang menyebabkan terjadinya kelebihan lapangan kerja di sektor publik tapi dapat mengurangi masalah pengangguran dan ketidakamanan ekonomi di daerah-daerah yang kurang berkembang. Penjelasan lain menunjukkan bahwa lapangan kerja publik yang berlebihan bukanlah kebijakan yang dimaksudkan agar memaksimalkan kesejahteraan sosial, melainkan sebuah alat menarik rente yang digunakan sebagai respons terhadap tuntutan kelompok-kelompok penekan. Tekanan menciptakan lapangan kerja publik lebih tinggi ketika kesempatan kerja lain langka.

Maraknya nepotisme memunculkan narasi alternatif, yang menunjukkan bahwa membengkaknya sektor publik mungkin disebabkan oleh birokrat yang memanfaatkan posisi mereka guna mengambil keuntungan. Dalam skenario ini, pegawai negeri yang sudah mendapat manfaat dari pembayar pajak memperoleh manfaat tambahan dengan membagikan pekerjaan kepada kerabat dekat mereka. Ada argumen yang menyatakan bahwa kelebihan lapangan kerja publik mungkin disebabkan oleh perilaku oportunistik para politisi dan birokrat yang tak bereaksi terhadap kebutuhan publik, atau tekanan dari kelompok lobi, namun hanya melayani kepentingan sempit mereka sendiri. Di kota-kota dimana kesempatan kerja sangat langka, kerabat pegawai negeri mempunyai lebih sedikit alternatif mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi, dan birokrat merasakan tekanan yang lebih besar mempekerjakan mereka.
Para peneliti telah menunjukkan bahwa patronase menyebabkan kelebihan staf; rendahnya kualitas pelayanan publik; dan bahkan menghambat pertumbuhan ekonomi yang disebabkab pengalihan sumber daya yang tak berguna bagi investasi produktif. Penelitian tentang nepotisme menunjukkan pula bahwa nepotisme menyebabkan alokasi pekerjaan di sektor publik, menjadi tak optimal dan menimbulkan dampak negatif terhadap kesejahteraan karena rendahnya kualitas layanan publik, pemborosan, atau sekadar fraud.

Nepotisme merupakan mekanisme perekrutan yang umum terjadi di perusahaan (keluarga) dimana keluarga menggunakan kendali mereka mempekerjakan anggota keluarga—sehingga melanggengkan keterlibatan keluarga dari waktu ke waktu dan lintas generasi. Oleh karenanya, praktik nepotismelah yang memfasilitasi tujuan umum keluarga mewariskan kepemimpinan yang kuat kepada generasi berikutnya. Namun, karena nepotisme mendiskriminasi orang yang bukan anggota keluarga, maka nepotisme dipandang merugikan masyarakat. Bahkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa nepotisme dapat merugikan perusahaan itu sendiri.
Peter Jaskiewicz [dkk] mengemukakan bahwa berdasarkan kondisi keluarga yang menunjukkan jenis hubungan pertukaran sosial antar anggota keluarga, jenis nepotisme dapat dibedakan. Perekrutan yang didasarkan pada ikatan kekeluargaan tanpa mempertimbangkan kondisi keluarga, disebut dengan entitlement nepotism. Entitlement nepotism (nepotisme pemberian hak) dapat terjadi, stabil dan didukung oleh pihak lain berdasarkan tradisi keluarga atau budaya. Karena nepotisme ini tertanam begitu dalam, maka nepotisme jenis ini, juga dapat menimbulkan disfungsi, berbahaya, dan merugikan perusahaan. Entitlement nepotism mencerminkan model manusia yang mendasari literatur altruisme asimetris, teori keagenan, dan ekonomi biaya transaksi dalam bisnis keluarga. Asumsi yang mendasarinya ialah bahwa hubungan agen antara anggota keluarga dapat melibatkan tujuan egosentris, asimetri informasi, rendahnya tingkat kepercayaan, dan akhirnya eksploitasi mitra perdagangan. Sang nepot yang diberikan hak, lebih besar kemungkinannya mengeksploitasi sumber daya perusahaan keluarga demi keuntungan pribadi ketimbang menggunakannya bagi keuntungan kolektif pemilik perusahaan keluarga saat ini dan di masa depan.
Nepotisme yang dikaitkan dengan kondisi keluarga yang saling ketergantungan, interaksi sebelumnya, dan norma budaya yang mendukung kewajiban terhadap anggota keluarga, disebut sebagai nepotisme timbal-balik (reciprocal nepotism). Nepotisme timbal-balik memperluas perspektif yang telah ada sebelumnya mengenai dampak nepotisme dan membantu menjelaskan potensi kinerja unggul dari perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan pertukaran umum di antara anggota keluarga dalam kebijakan ketenagakerjaan mereka. Meskipun hubungan pertukaran keluarga sangat bervariasi, hubungan tersebut berpotensi yang lebih besar dibandingkan hubungan non-keluarga terhadap hubungan pertukaran sosial jangka panjang, stabil, dan umum serta timbal-balik tak langsung. Tindakan nepotisme dapat memilih anggota keluarga yang berbagi pertukaran umum dengan pengambil keputusan keluarga. Dalam kasus seperti ini, sang nepot akan merasa berhutang budi kepada anggota keluarga yang telah mempekerjakannya.

Carol L. Vinton memaparkan bahwa Nepotisme merupakan praktik sumber daya manusia yang mempengaruhi segala jenis organisasi keluarga dan non-keluarga. Nepotisme berdampak pada beberapa permasalahan manajerial.
Menurut Alma Shehu Lokaj, nepotisme adalah suatu bentuk diskriminasi dimana anggota keluarga atau teman, dipekerjakan bukan karena bakat, atau pengalamannya, melainkan semata karena mereka itu kerabat pemilik atau eksekutif perusahaan. Nepotisme merupakan masalah umum di hampir semua organisasi dan mempengaruhi moral, budaya, dan kinerja organisasi secara keseluruhan. Nepotisme dianggap sebagai bentuk korupsi dan tindakan harus diambil agar memberantas fenomena ini, walaupun masyarakat mengatakan tak mungkin memberantas nepotisme.

Pada episode selanjutnya, kita akan perbincangkan kembali topik Safar. Bi 'idznillah."

Kenanga kemudian berdendang,

Dimana oh dimana, cinta yang sejati?
Kucari, kucari, telah lama kucari
Ternyata oh ternyata, tak perlu mencari
Karena, karena, kamulah orangnya *)
Kutipan & Rujukan:
- Fiona Robertson-Snape, Corruption, Collusion and Nepotism in Indonesia, The New Politics of Corruption, Third World Quarterly Vol. 20, No. 3, 1999, Taylor & Francis, Ltd.
- Dinara Safina, Favouritism and Nepotism in an Organization: Causes and Effects, Procedia Economics and Finance, 23, 2015, Elsevier
- Jone L. Pearce, Cronyism and Nepotism Are Bad for Everyone: The Research Evidence, Industrial and Organizational Psychology Volume 8 Issue 01 pp 41 - 44, March 2015, Cambridge Journals
- Rimvydas Ragauskas & Ieva Valeškaitė, Nepotism, Political Competition and Overemployment, Political Research Exchange Volume 2; Issue 1, 2020, Informa
- Peter Jaskiewicz, Klaus Uhlenbruck, David B. Balkin and Trish Reay, Is Nepotism Good or Bad? Types of Nepotism and Implications for Knowledge Management, Family Business Review, 24 January 2013, SAGE
- Karen L. Vinton, Nepotism: An Interdisciplinary Model, Family Business Review Volume 11; Issue 4, 1998, John Wiley and Sons
- Alma Shehu Lokaj, Nepotism as a Negative Factor in Organization Performance, Academic Journal of Interdisciplinary Studies Vol 4 No 2 S1, August 2015, MCSER Publishing
*) "Kamulah Orangnya (Sendiri)" dibawakan oleh Indra Oktiana

Senin, 29 April 2024

Cerita dari Pohon Kenanga (8)

"Seorang lelaki sedang mengunjungi sahabatnya yang bekerja di luar negeri sebagai tukang kebun di rumah seorang yang amat kaya. Mereka diperbolehkan berkeliling melihat-lihat rumah dan akhirnya sampai di sebuah sudut ruangan dimana terdapat sebuah timbangan badan.
'Apapun yang terjadi,' kata sang rekan kepadanya, 'tolong jangan berdiri di atasnya!'
'Emang k'napa?' tanya sang lelaki.
'Soalnya, setiap kali nyonya majikan gue bediri di situ, doi langsung njerit!'”

“Kita semua mengalami momen-momen yang menentukan—pengalaman bermakna yang selalu melekat dalam ingatan kita. Momen-momen ini, sepertinya merupakan hasil dari takdir, keberuntungan, atau mungkin campur tangan kekuatan yang lebih tinggi, yang tak mampu kita kendalikan. Hidup kita diukur dalam momen-momen, dan momen-momen menentukan itu, momen-momen yang bertahan dalam kenangan kita. Ketika kita menghargai momen-momen indah itu, kita mungkin duduk di pantai sambil merasakan sinar matahari menyinari kulit kita. Atau duduk di beranda memandangi bintang dan bulan," berkata Kenanga sambil memperhatikan tiga buku yang tertumpuk di atas meja. Buku pertama bertajuk 'Perjuangan Kita' karya Sutan Sjahrir, salah seorang founding fathers Indonesia. Buku kedua, 'Madilog', ditulis oleh Tan Malaka, seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Dan buku ketiga, 'Catatan Seorang Demonstran', sebuah buku harian aktivis Tionghoa Indonesia, Soe Hok Gie. Kemudian Kenanga membuka Surat Keputusan lima hakim yang menyatakan tidak ada nepotisme—walaupun semuanya tahu bahwa ada yang masuk lewat pintu belakang, tidak ada politik 'pork barrel'—biarpun semua orang tahu itu terjadi, seluruh lembaga terkait telah menjalankan tugasnya dengan baik—kendati semua orang telah tahu bahwa 'it was all set', dan menurut mereka, semuanya baik-baik saja—dan semua orang pun tahu bahwa thaghut akan membahayakan demokrasi. Hal ini membuktikan pula keprihatinan Levitsky dan Ziblatt bahwa 'demokrasi terkikis perlahan-lahan, dalam langkah-langkah yang nyaris tak terlihat.'
Kalau saja ketiga penulis buku tersebut membacanya, dikau takkan habis pikir. Tan Malaka bakalan membanting Madilog-nya dan angkat bicara, 'Buruk dan baik itu, ialah buruk dan baik buat masyarakat itu sendiri. Asalnya masyarakat itu sendiri, dari pergaulan antara manusia dan manusia dalam masyarakat itu sendiri. Perbuatan yang baik mendatangkan akibat yang baik. Perbuatan yang buruk menimbulkan akibat yang buruk pula buat masyarakat itu sendiri. Hukum buruk dan baik, boleh dipetik dan dibentuk dari sejarahnya segala bangsa dan Negara yang dulu dan sekarang. Tak perlu lagi Hantu atau Dewa sebagai awal dan akhirnya manusia dan moralnya. Malah Hantu dan Dewa itu menemui akhirnya pada manusia dan moralnya yang nyata, yang berdasarkan masyarakat. Ingatlah bahwa dari alam kubur, suara saya akan lebih keras daripada di atas bumi.'
Sutan Sjahrir akan berkata, 'Negara Republik Indonesia yang kita perjuangkan sebagai alat di dalam revolusi kerakyatan kita mendapat harga yang penuh, jika kita isi dengan kerakyatan yang tulen. Bagi kita, kemenangan yang berarti itu ialah kemenangan yang berisi, bukan kemenangan nama dan kehormatan semata saja. Pedoman yang sebenarnya untuk perjuangan politik kita harus ditujukan kepada isi itu. Perjuangan kebangsaan pada umumnya, tak luput dari bahaya terlalu terpengaruh oleh nama dan rupa. Oleh karena itu, kerapkali apa yang dinamakan kemenangan kebangsaan itu, terbukti kosong untuk rakyat banyak. Jika kita hargakan Indonesia Merdeka kita dengan harga demokrasi yang tulen, maka di dalam perjuangan politik kita terhadap dunia isinya itu yang dipertarungkan. Negara Republik Indonesia hanya nama yang kita berikan pada isi yang kita maksudkan dan kehendakkan itu.'
Lalu, bagaimana dengan Soe Hok Gie? Apa yang akan dilakukannya? Tampaknya ia takkan ngomong apa-apa, melainkan langsung bergabung dengan para demonstran untuk kali ketiga.
Orang berkecenderungan alami menolak tatkala mereka merasa dipaksa. Disaat paksaan dan renggutan yang reaktif dihentikan dan dicari cara agar memanfaatkan kekuatan kita, serta membiarkan orang lain melakukan hal yang sama, aliran energi dan solusi yang saling menguntungkan akan tercapai. Berkapasitas atau berkemampuan mengarahkan atau mempengaruhi perilaku orang lain, atau jalannya peristiwa, sebagaimana ketiga orang yang disebutkan tadi, melakukannya, itulah kekuasaan. Setiap orang punya kendali atas kekuasaannya—bila tidak, ia bakal jadi pecundang.

"Siklus matahari, bulan, dan bintang tetap ada, terlepas dari apakah manusia yang menghuni planet kita, merasa tertantang atau tidak menggunakan siklus tersebut untuk mengukur waktu. Namun jika mereka melakukannya, seperti yang biasa terjadi, penataan waktu yang dapat diamati masyarakat akan dan didasarkan pada hal-hal tentang astronomi: rangkaian siang dan malam yang diselingi oleh terbit dan terbenamnya bulan, pergerakan matahari dan ritme musim atau kombinasi keduanya. Selebihnya, manipulasi, penjabaran konstruksi mental yang bersifat abstrak.
Manusia paling awal di planet ini, pasti mengenali siklus gerakan astronomi paling dasar. Matahari dan Bulan terbit dan terbenam setiap hari, dan bergerak melintasi angkasa dengan pola yang dapat diprediksi, dan iklim mengikuti siklus yang berkaitan dengan pergerakan Matahari terhadap bintang-bintang. Satuan hari, bulan, dan tahun mengikuti secara alami. Dengan pengamatan lebih lanjut, mereka yang mengamati langit dapat memvisualisasikan pola bintang dan membedakan komet dan 'bintang' yang 'berkeliaran' di antara yang lain.
Peristiwa dramatis seperti terlihatnya gerhana matahari dan bulan, dan, dalam beberapa kejadian, dicatat dan diprediksi, serta 'maknanya' ditafsirkan. Pengamatan dan pengukuran siklus ini penting bagi kehidupan sehari-hari, praktik keagamaan, dan pertanian, dan menjadi dasar ketepatan waktu dan kalender.
Perkembangan kalender bervariasi, sangat bergantung pada agama, budaya, politik, dan ekonomi. Praktik keagamaan dan hari raya serta siklus pertanian telah didefinisikan dalam istilah penampakan bulan, pergerakan matahari, dan kemunculan bintang-bintang di langit. Oleh sebab itu, kalender didasarkan pada pergerakan bulan atau matahari, atau kombinasi keduanya. Sayangnya, tahun, bulan, dan hari bukanlah kelipatan integral satu sama lain, dan hal ini menyebabkan kerumitan dalam pembuatan kalender.

Terdapat variasi historis dan kontekstual yang amat besar di antara kalender, kata Barbara Freyer Stowasser, yang mungkin tak terlalu mengejutkan dibanding kesamaan yang juga bisa terjadi di antara sistem kalender peradaban yang sangat berbeda (seperti fakta bahwa kalender peradaban Maya, Aztec, Sumeria, Babilonia, Mesir, India dan China pada suatu waktu, berakar pada sistem angka seksagesimal). Ada paralelisme kalender dan kesamaan antar peradaban terjadi secara kebetulan, sementara yang lain menunjukkan adanya pengaruh budaya yang seringkali bersifat jangka panjang namun sering kali tak jelas.
Menurut Stowasser, 'Waktu' selalu disusun untuk suatu tujuan, dan biasanya lebih dari satu tujuan. Secara historis, hal-hal tersebut merupakan campuran dari aspek ekonomi, politik, dan, dalam makna yang lebih luas, ideologis. Yang disebut terakhir, terutama menyertakan agama; sebagian besar kalender sepertinya berkembang dari dorongan keagamaan, sementara beberapa kalender sekuler modern (seperti kalender Perancis pasca-revolusi) dirancang dengan cara anti-agama yang agresif dan biasanya berumur simpan yang pendek. (Kalender revolusioner Perancis, yang diperkenalkan pada tahun 1793, memiliki zaman, atau titik awalnya, ditetapkan pada tanggal 22 September 1792, hari proklamasi republik dan tanggal ekuinoks musim gugur; 13 tahun kemudian, semuanya selesai, tatkala Napoleon menerapkan kembali kalender Gregorian, mulai 1 Januari 1806).
Dengan latar belakang ini, kalender lunisolar Arab pra-Islam (yang dimulai dan berakhir pada musim gugur) dihapuskan. Metode interkalasi pagan secara berkala menyelipkan satu bulan tambahan di antara dua bulan suci Dzulhijjah dan Muharram, sehingga mengganggu urutan empat bulan suci musim semi (Dzulqaidah, Dzulhijjah, Muharram , dan Rajab) pada tahun lunisolar.

Faktor sains dan Kalender Islam, berkaitan-erat. Pengukuran waktu memegang tempat yang menonjol di antara aturan dan regulasi ritual umat Islam. Tugas-tugasnya dapat dicapai tanpa ilmu astronomi dan teknologi canggih. Tapi, pentingnya memprediksi dan menentukan siklus bulan dan waktu shalat harian (dan pula menghitung kiblat setempat yang benar, arah shalat menuju Ka'bah di Mekah) menjadikan astronomi sebagai ilmu Islam yang bermanfaat secara praktis. Kecanggihan ilmu dan penemuan astronomi dan matematika, bahkan pada awal sejarah Islam, sebagian berasal dari hubungan erat dengan agama yang seringkali menjamin pendanaan pekerjaan-pekerjaan ilmiah, yang diberkahi untuk kebaikan moral dan spiritual masyarakat. Hal ini juga berasal dari fakta bahwa wilayah Islam, melalui penaklukan dan perluasan, merupakan warisan dari beberapa peradaban yang jauh lebih tua, yang bertradisi keilmuan panjang dalam bidang teori dan ilmu terapan. Di antara alasan-alasan untuk menerima warisan kuno dan asing ini, motif keagamaan juga berlaku bagi banyak atau sebagian besar ilmuwan Muslim, yang bermakna bahwa motivasinya berakar yang lebih dalam ketimbang sekedar kegunaan praktis. Para astronom melihat studi mereka sebagai cara memahami rencana Allah bagi dunia dan mengagungkan-Nya dengan meninggikan ciptaan-Nya. Bagi yang lain, manfaat utama dari ilmu astronomi, barangkali keterampilan yang diberikannya kepada ahli astrologi. Mungkin dorongan yang paling konstan dan penting mempelajari astronomi atau sains lainnya di dunia Islam pada saat itu, ialahh cita-cita sains itu sendiri. Sejak awal, budaya Islam Arab sudah menjadi budaya ilmiah, dan perpindahan sumber-sumber India, Persia, dan Helenistik ke dalam bahasa Arab, lebih merupakan konsekuensi dan bukan sumber dari ketertarikan ini.
Sistem waktu ‘terbesar’, kronografi Islam, mendapat perhatian paling sedikit dalam literatur Islam dan waktu. Kalender tahun Islam ditetapkan dengan lajak dan lebih dini, serta dengan cepat menjadi sebuah fakta sejarah, dan bahwa hal ini memang seharusnya terjadi, sungguh luar biasa dan amat penting . Seketika setelah wafatnya Rasulullah (ﷺ), wilayah Islam meluas hingga mencakup seluruh Kekaisaran Persia, sebagian besar provinsi Kekaisaran Bizantium di Utara dan Selatan Laut Mediterania, dan sebagian besar Semenanjung Iberia, sebuah negara baru yang berfokus pada Islam. Peradaban terbentuk di wilayah luas yang mengutamakan agama Islam dan bahasa Arab ketimbang kesetiaan budaya asli dan warisan linguistik yang lebih tua.

Salah satu institusi mendasar yang membantu peradaban baru ini dalam membangun kesatuan budaya dalam jarak yang belum pernah terjadi sebelumnya, ialah kewajiban ritual bagi setiap Muslim dewasa yang bebas, jika mampu, melakukan setidaknya sekali dalam seumur hidupnya, berhaji ke Rumah Allah di Mekkah. Mobilitas yang diamanatkan oleh agama ini, membagun dan memfasilitasi terpeliharanya kontak teratur antara populasi Muslim yang terpisah jauh dan menumbuhkan rasa identitas peradaban dalam jarak geografis yang luas.
Institusi lain yang menyatukan dunia Islam adalah kalender Islam. Salah satu keuntungan terbesarnya mungkin ialah perawatannya yang sangat rendah. Dengan mengadopsi sistem lunar yang ketat, awal (dan akhir) dari 12 bulan dalam satu tahun, dan juga tahun secara keseluruhan, dapat ditentukan secara empiris, dimana saja, dengan cara melihat bulan baru yang menandakan tanggal awal. Hal ini menghasilkan bulan-bulan yang panjangnya tak merata dalam setahun.
Dengan memilih menggunakan kalender lunar, kalender resmi Islam, tentu saja dipisahkan dari musim. Hal ini memunculkan masalah administratif dan, khususnya, perpajakan, yang sejak awal ingin diselesaikan oleh negara-negara Islam dengan mengadopsi semacam kalender sekunder, yang bervariasi dari satu daerah ke daerah lain, yang biasanya berasal dari zaman pra-Islam atau di luar Islam. Namun manfaat terbesar dari kesederhanaan sistem kalender lunar Islam–kendati berubah-ubahnya kalender lunar–bahwa kalender ini, menghilangkan kebutuhan akan aturan penyesuaian kalender yang rumit, seperti yang terjadi pada semua kalender solar.

Di Mesir kuno, hari baru dimulai saat fajar. Bagi orang Babilonia, dimulai saat senja. Meskipun hari alami mereka dimulai saat matahari terbit dan berakhir saat matahari terbenam, dan jamnya bersifat musiman, orang-orang Romawi memulai hari sipil mereka pada tengah malam, yang merupakan perhitungan yang mendasari kalender Julian dan sekarang kalender Gregorian. Sejak tahun 1925, para astronom secara universal menghitung hari dari tengah malam. Ketika pada tahun 1972 stasiun-stasiun radio di seluruh dunia mulai menyiarkan waktu mereka dalam terma 'Coordinated Universal Time' yang didasarkan pada waktu rata-rata Greenwich, sudah menjadi praktik global memulai hari ‘resmi’ pada tengah malam.
Karena hari Islam dimulai saat matahari terbenam, maka malam (lail) merupakan bagian pertama dari yaum ('sehari penuh') (kecuali bahwa yaum juga dapat berarti 'siang hari', yaitu bagian siang hari dari 24 jam, 'sehari penuh'). Konvensi yang menggunakan datangnya malam sebagai garis tanggal sangat sesuai dengan keunggulan siklus bulan dalam kalender Islam secara keseluruhan, karena 12 bulan dalam tahun Islam, dan juga tahun itu sendiri, dihitung dalam bentuk siklus bulan.
Visi Al-Qur'an tentang waktu berpusat pada Allah. Waktu adalah ciptaan Allah. Tak mungkin ada waktu yang abstrak karena Allah, Penguasa alam semesta yang melampaui waktu, merupakan Rabb sepanjang zaman dari awal hingga akhir Penciptaan. Meskipun waktu adalah fungsi dari Kemahakuasaan Allah, maka pengukurannya juga merupakan karunia ilahi yang diciptakan Allah untuk kemaslahatan umat manusia. Al-Qur'an menyajikan contoh-contoh yang dirancang dengan kaya yang membuktikan suratan Allah atas seluruh gerakan langit dan kegunaannya bagi umat manusia sebagai alat pengukur (tetapi bukan untuk mengendalikan) waktu. Malam dan siang dan 12 bulan lunar dalam setahun, merupakan ‘waktu yang ditentukan bagi orang-orang beriman’. Membaca langit untuk shalat sehari-hari dan 12 bulan dalam setahun merupakan pengingat akan Kekuasaan dan Ketetapan Allah.

Waktu bukanlah kekuatan abstrak. Konsep 'dahr' pra-Islam, bahwa kematian terikat oleh waktu, merupakan sebuah kekeliruan masyarakat jahiliyyah. Allah berfirman,
وَقَالُوْا مَا هِيَ اِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوْتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَآ اِلَّا الدَّهْرُۚ وَمَا لَهُمْ بِذٰلِكَ مِنْ عِلْمٍۚ اِنْ هُمْ اِلَّا يَظُنُّوْنَ
''Mereka berkata, 'Kehidupan ini tak lain hanyalah kehidupan di dunia, kita mati dan kita hidup [yaitu, ada yang mati dan yang lain hidup, menggantikan mereka], dan tiada yang membinasakan kita selain waktu.' Padahal, mereka tak mempunyai ilmu (sama sekali) tentangnya. Mereka cuma berasumsi.' [QS. Al-Jasiyah (45):24]
Perhitungan hari, bulan, dan tahun berakar pada kehendak Allah. Dia, Subhanahu wa Ta'ala, berfirman,
اَلشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍۙ وَّالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ
''Matahari dan bulan (beredar) sesuai dengan perhitungan yang tepat, dan tetumbuhan dan pepohonan tunduk (kepada-Nya) [mereka tunduk dengan patuh pada hukum-hukum Allah].' [QS. Ar-Rahman (55):5-6]
Dalam ayat lain, Allah berfirman,
اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ يَسْجُدُ لَهٗ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَمَنْ فِى الْاَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُوْمُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَاۤبُّ وَكَثِيْرٌ مِّنَ النَّاسِۗ وَكَثِيْرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُۗ وَمَنْ يُّهِنِ اللّٰهُ فَمَا لَهٗ مِنْ مُّكْرِمٍۗ اِنَّ اللّٰهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاۤءُ
'Tidakkah engkau melihat [yakni mengetahu] bahwa bersujud kepada Allah siapa yang ada di langit dan siapa yang ada di bumi, juga matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, hewan melata, dan kebanyakan manusia? Akan tetapi, banyak (manusia) yang pantas mendapatkan azab [dan karenanya ditakdirkan]. Siapa yang dihinakan Allah tak seorang pun yang akan memuliakannya. Sesungguhnya, Allah melakukan apa yang Dia kehendaki.' [QS. Al-Hajj (22):18]
Ummah ​​akan selalu memperhatikan waktu, dan Allah memberi mereka arahan,
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاۤءً وَّالْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَهٗ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ مَا خَلَقَ اللّٰهُ ذٰلِكَ اِلَّا بِالْحَقِّۗ يُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ
'Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya. Dialah pula yang menetapkan tempat-tempat orbitnya agar engkau mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tak menciptakan demikian itu, kecuali dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada kaum yang mengetahui.' [QS. Yunus (10):5]
Dan pula,
يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْاَهِلَّةِ ۗ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِاَنْ تَأْتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ ظُهُوْرِهَا وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقٰىۚ وَأْتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ اَبْوَابِهَا ۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
'Mereka bertanya kepadamu (duhai Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, 'Itu mawaqit (penunjuk waktu) bagi manusia dan (ibadah) haji.' Dan bukanlah al-birr (kebajikan) memasuki rumah dari belakangnya, melainkan al-birr itu, orang yang bertaqwa. Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya, dan bertaqwalah kepada Allah agar engkau beruntung.' [QS. Al-Baqarah (2):189]
Safar adalah bulan kedua dalam kalender lunar Islam, dalam bahasa Arab bermakna bepergian, bersafar, atau bermigrasi. Bepergian dapat bermakna seseorang meninggalkan rumahnya dengan niat menyelesaikan suatu urusan, dan setelah urusannya usai, maka segera pulang ke rumah. Bepergian dapat pula bermakna seseorang meninggalkan rumah tanpa pembatasan waktu, namun begitu urusannya selesai, ia segera pulang ke rumah. Bepergian dapat juga berarti bahwa seseorang meninggalkan rumah dan kampung halamannya, untuk selamanya, dan menetap di kota atau negara lain.
Dalam perspektif Islam, bepergian dapat menjadi wajib bila seseorang melakukan perjalanan dengan maksud berhaji, menuntut ilmu, atau mengunjungi orangtua. Dianjurkan atau Sunnah, bila melakukan amalan seperti mengunjungi kerabat dan sahabat, umroh dan menolong sesama. Dibolehkan atau Mubah, jika hendak berekreasi atau sejenisnya. Tak disukai atau Makruh, bila diniatkan semata untuk memperbanyak harta dan kesenangan duniawi. Dan Haram apabila ditujukan untuk bermaksiat. Maka, keutamaan bepergian tergantung pada niat dan tujuannya.
Bepergian punya beberapa manfaat, Imam Syafi'i (رحمه الله) berkata, 'Berkelanalah dari kampungmu untuk mencari keutamaan. Lakukanlah safar karena di dalamnya ada lima faedah: menghilangkan kesumpekan dan mengais rezeki, memperoleh ilmu, adab, dan teman yang baik.' Karenya, Fikih juga mengatur tatacara ibadah selama bepergian.

Kita teruskan lagi perbincangan kita pada episode berikutnya, bi 'idznillah."

Lalu, Kenanga pun bersenandung:

Everybody knows the deal is rotten
[Semua orang tahu kesekapakatannya bangsai]
Old Black Joe's still picking cotton
[Si hitam tua Joe tetap saja memetik kapas]
For your ribbons and bows
[Untuk pita dan busur-panahmu]
And everybody knows *)
[Semua orang juga tahu]
Kutipan & Rujukan:
- Sutan Sjahrir, Perjuangan Kita, 1991, Rumah Syahrir
- Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika dan Logika (1943), 1951, Widjaya
- Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, 1989, LP3ES
Barbara Freyer Stowasser, The Day Begins at Sunset: Perceptions of Time in the Islamic World, 2014, I.B.Tauris
- Dennis D. McCarthy & P. Kenneth Seidelmann, Time: From Earth Rotation to Atomic Physics, 2018, Cambridge University Press
*) "Everybody Knows" karya Leonard Cohen

Sabtu, 27 April 2024

Cerita dari Pohon Kenanga (7)

"Suatu pagi, seorang ayah ngomong pada putri remajanya, 'Kalau gak salah, papa denger jamnya berdentang empat kali sewaktu kamu pulang semalem sayang?'
'Oh, sebenarnya jam sembilan pa,' jawab putrinya, 'tapi aku matiin, supaya papa gak kebangun.'"

“Dalam masyarakat pra-modern, satuan waktu yang paling umum—hari, bulan, dan tahun—ditentukan oleh tiga pengatur waktu alami—bumi, bulan, dan matahari,” lanjut Kenanga.
“Rotasi bumi pada porosnya, menentukan pembagian alami pertama—terang dan gelap—dan periode dua puluh empat jam merupakan unit terpendek dari petanda-waktu alami. Kebanyakan masyarakat selanjutnya membagi waktu siang hari dengan pergerakan matahari yang nampak melintasi langit (di khatulistiwa). Lantaran sumbu bumi miring pada 23,5 derajat, jumlah cahaya dalam periode dua puluh empat jam bervariasi menurut musim (kecuali di ekuator). Hanya pada ekuinoks (malam yang sama)—Vernal [berkenaan dengan musin semi; 21 Maret) dan Autumnal (musim gugur; 21 September)—masing-masing siang dan malam tepat dua belas jam.
Pencatat waktu alami kedua, bulan, berputar mengelilingi bumi dan bersiklus melalui fase-fasenya dalam waktu sekitar 29,5 hari. Hal yang menarik tentang bulan yalah perubahan bentuknya. Disaat berada tepat di antara bumi dan matahari, ia tak terlihat; namun saat ia mengorbit, ia membesar, menjadi penuh, lalu mengecil, kemudian menghilang seluruhnya. Siklus ini, berulang lagi dan lagi. Karena perubahan-perubahan ini—dari seirisan, menjadi setengah, lalu bulat penuh, dan berulang lagi—begitu jelas terlihat dan karena periode sekitar tiga puluh hari tersebut meniru interval alami lainnya—periode menstruasi dan perilaku siklus makhluk laut tertentu—siklus tersebut diasumsikan sangat penting di dunia kuno dan merupakan dasar dari banyak kalender awal.
Pencatat waktu alami ketiga adalah matahari. Kendati bumi membutuhkan waktu sekitar 365,25 hari mengelilingi matahari, para astronom menentukan lamanya tahun matahari dengan dua cara yang sedikit berbeda. Tahun matahari tropis, yang digunakan oleh para astronom tradisi Islam, merupakan waktu yang dibutuhkan matahari, dalam pergerakan nyatanya, agar kembali ke titik acuan yang sama di ekliptika—365 hari, 5 jam, 48 menit, dan 46 detik. Titik rujukannya, secara khusus pada Ekuinoks Vernal, tempat ekuator langit memotong ekliptika (bidang orbit bumi mengelilingi matahari). Dalam terminologi astrologi, inilah titik awal Aries dan biasanya bertanggal 21 Maret (walaupun terkadang jatuh pada tanggal 19 atau 20). Sebaliknya, tahun matahari sidereal yang digunakan dalam tradisi astronomi India, mengukur gerak semu matahari dengan mengacu pada bintang di latar belakang yang tetap. Kedua penetapan tersebut, sedikit berbeda dalam hal lamanya tahun matahari—tahun sideris sekitar dua puluh menit lebih lama dibandingkan tahun tropis.

Kata 'kalender' berasal dari bahasa Latin 'calendarium', yang berarti daftar hal-hal yang penting atau buku akun. Pada dasarnya, kalender merupakan cara mencatat pembagian waktu alami pertama—Hari. Metode abstrak ini menamakan hari dengan mengalokasikan masing-masing hari menjadi satu minggu, satu bulan, dan satu tahun. Sebagai panduan bagi aktivitas sehari-hari, kalender memungkinkan masyarakat memperbaiki ritual dan hari perayaan penting mereka. Ia menawarkan cara mencatat dan mengatur peristiwa masa lalu serta menghitung komitmen bagi masa depan. Menghasilkan sistem temporal yang abstrak merupakan dorongan di balik sebagian besar upaya awal mengamati dan mencatat posisi benda-benda langit.
Pelacakan waktu, pada dasarnya, merupakan perhatian utama, bukan hanya masyarakat modern, namun juga peradaban manusia secara umum. Proses pembuatan dan penyempurnaan perangkat penunjuk waktu telah menjadi salah satu pendorong kemajuan sains dan teknologi selama ribuan tahun: mulai dari penanda titik balik matahari Neolitik, hingga jam tangan mekanis hingga standar frekuensi laser yang sangat presisi, kitalah, dan akan selalu, menjadi spesies pembuat jam.

Pada tingkat paling dasar, kata Chat Orzel, jam itu sesuatu yang berkeletik. 'Berkeletik' di sini dapat berupa bunyi dentang fisik yang kita kaitkan dengan jam mekanis seperti yang ada di Union’s Memorial Chapel, yang disebabkan oleh benturan antara gigi-gigi roda saat pendulum berat berayun maju mundur. Ia dapat pula berupa efek fisik yang lebih lembut, semisal tegangan bolak-balik yang memberikan sinyal waktu jam dinding elektronik di ruang kelas kita. Ia bisa sangat cepat, laksana osilasi gelombang mikro sembilan miliar kali per detik yang digunakan dalam jam atom, yang memberikan sinyal waktu, terkirimkan ke ponsel pintar melalui internet, atau sangat lambat bagaikan perubahan posisi matahari terbit di bumi. cakrawala. Namun, di setiap jam ini, ada tanda keletik: gerakan teratur dan berulang yang dapat dihitung, menandai berlalunya waktu.
Bagi masyarakat modern, penanda titik balik matahari dan kalender bukanlah objek pertama yang kita bayangkan manakala topik ketepatan waktu muncul. Dikala kita memikirkan teknologi penunjuk waktu, sebagian besar kita membayangkan sesuatu yang lebih cepat dan lebih mencolok. Apa yang langsung terlintas di benak kebanyakan orang ketika beralih ke teknologi penunjuk waktu ialah jam: perangkat mengukur waktu dengan interval yang jauh lebih pendek daripada satu hari. Kita menggunakan jam untuk berbagai tujuan: membatasi jam kerja atau kompetisi olahraga, mengoordinasikan pertemuan dengan teman dan kolega, atau melacak perkembangan peristiwa yang berubah dengan cepat, dan sebagainya. Pembuat jam menggunakan beragam tampilan agar mencapai tujuan ini, mulai dari tampilan yang menyala, bel yang berbunyi, hingga alarm musik.
Jam mekanis yang bunyinya 'tik-tok' memberi kita terma bagi proses berulang yang merupakan inti dari metode penunjuk waktu apa pun. Saat ini, sangat umum bagi para ilmuwan dan penulis sains berbicara tentang cara kerja alam semesta dalam istilah 'clockwork'. Tata surya, galaksi, dan bahkan alam semesta, secara keseluruhan berperan sebagai jam mekanis: sebuah sistem rumit dengan bagian-bagian kecil yang tak terhitung jumlahnya, bergerak dengan cara yang rumit dan terus berdetak dengan mulus dan andal dari masa lalu, yang diketahui hingga masa depan yang dapat diprediksi. Ia beroperasi berdasarkan aturan dan prinsip sederhana, dan berbagai pola serta siklusnya tak memerlukan intervensi dari luar agar hal tersebut terus berulang.

'Ummah' memulai harinya saat matahari terbenam, sebab penanggalannya lunar dan bulan-bulan dimulai dengan terlihatnya bulan sabit seusai tenggelamnya matahari. Saat matahari terbenam (waktu Maghrib) menandai awal periode dua puluh empat jam (Yaum) atau 'Hari' yang baru. Contoh, pada hari Kamis di waktu Maghrib, sudah terhitung masuk hari Jumat (malam Jumat atau Lailatul Jumu'ah) dan waktu Subuh di hari Jumat merupakan awal Jumat siang (Naharul Jumu'ah) dan berlangsung hingga Maghrib berikutnya. Hal yang sama berlaku bagi hari-hari lainnya.
Ada lima waktu shalat; dimana waktu shalat malam ditentukan berdasarkan ufuk dan gejala senja, sedangkan waktu shalat siang ditentukan berdasarkan panjang bayangan. Shalat lima waktu terdapat di banyak ayat Al-Quran. Shalat Isya' dan Subuh disebut secara langsung. Allah berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِيْنَ مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ وَالَّذِيْنَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلٰثَ مَرّٰتٍۗ مِنْ قَبْلِ صَلٰوةِ الْفَجْرِ وَحِيْنَ تَضَعُوْنَ ثِيَابَكُمْ مِّنَ الظَّهِيْرَةِ وَمِنْۢ بَعْدِ صَلٰوةِ الْعِشَاۤءِۗ ثَلٰثُ عَوْرٰتٍ لَّكُمْۗ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌۢ بَعْدَهُنَّۗ طَوَّافُوْنَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلٰى بَعْضٍۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
'Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah mereka yang dimiliki tangan-kananmu [semisal seorang pelayan kontrak, atau diksi di masa lalu selagi umat Islam awal masih memperjuangkan kebebasan para budak, merujuk pada seorang budak yang berpotensi membeli dirinya sendiri dari perbudakan] dan orang-orang yang belum balig (dewasa) di antaramu, meminta izin kepadamu (sebelum masuk) tiga kali, yaitu sebelum shalat Subuh, disaat engkau menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah hari, dan seusai shalat Isya'. (Itulah) tiga (waktu yang biasanya) aurat (terbuka) bagimu [maksudnya, tiga waktu dikala aurat sering terbuka atau waktu privasi. Oleh sebab itu, Allah melarang para pelayan dan anak-anak di bawah umur, masuk ke kamar tidur orang dewasa tanpa izin, pada ketiga waktu tersebut]. Tiada dosa bagimu dan tidak (pula) bagi mereka selain dari (tiga waktu) itu, sebab (mereka) sering keluar masuk menemuimu. Sebagian diantaramu (memang sering keluar masuk) atas sebagian yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat kepadamu. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.' [QS. An-Nur (24):58]
Al-Qur'an tak menyebutkan pukul berapa tepatnya shalat dilaksanakan, namun memberikan petunjuknya. Salah satu ayat menyebutkan,
اَقِمِ الصَّلٰوةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ اِلٰى غَسَقِ الَّيْلِ وَقُرْاٰنَ الْفَجْرِۗ اِنَّ قُرْاٰنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوْدًا
'Dirikanlah shalat sejak matahari tergelincir [saat mulai terbenamnya matahari dari garis bujurnya; periode yang mencakup shalat Zuhur dan Ashar] sampai gelapnya malam [yakni Maghrib, dan Isya'] dan (laksanakan pula shalat) Subuh [dimana pembacaan Al-Qur'an-nya dipanjangkan]. Sesungguhnya, shalat Subuh itu disaksikan (oleh para malaikat).' [QS. Al-Isra (17):78]
Singkatnya, shalat Isya', selepas senja; shalat Subuh, saat fajar; shalat Zuhur, saat tergelincirnya matahari; Shalat Ashar, matahari masih tinggi, putih, dan jernih; shalat Maghrib, ketika matahari telah menghilang di ufuk.
Shalat mingguan yang amat penting—shalat siang pada hari Jumat—dijadwalkan pada momen tertentu, bukan pada rentang waktu tertentu, dan minat terhadap metode penghitungan waktu yang lebih tepat seketika berkembang. Pada awal abad ketiga belas, seorang muwaqqit (pencatat waktu) mulai muncul di banyak masjid. Pada waktu yang hampir bersamaan, nama spesialis waktu lainnya (miqati), yaitu seorang munajjim yang berspesialisasi dalam astronomi dan ketepatan waktu astronomi namun bukan merupakan pengurus masjid, menjadi semakin umum dalam literatur astronomi.
Pada awal abad ke-15, jam air telah menyebar ke seluruh dunia Islam dan menjadi instrumen pilihan para muwaqqit dan muazin. Ketertarikan pada ketepatan waktu yang lebih akurat tercermin dalam nama baru disiplin ilmu ini—ilmu muwaqqit (ilmu penetapan waktu).

Pada dekade pertama setelah wafatnya Rasulullah (ﷺ), masyarakat Muslim awal memasuki era baru. Dalam 'Kronologi'-nya, Al-Biruni menulis, '...Dari apa yang telah diungkapkan di atas mengenai bulan, sisipan, dan tahun kabisat, jelas bahwa yang terakhir ini ada dua ragamnya, yang pertama, sederhana, berbentuk dari 12 bulan seperti yang digunakan oleh umat Islam, Turki, dan Oriental, masing-masing rata-rata 354 hari, tetapi kadang-kadang 353 dan 355, kelebihan dan kekurangan ini berada di luar kendali manusia. Yang kedua, dimana dilakukan interkalasi, dan hasilnya 13 bulan seperti yang terjadi pada umat Hindu dan Yahudi, serta Yunani pada zaman dahulu dan Arab pra-Islam. Sebaliknya, tahun matahari 365 hari dan sebagian kecilnya yaitu hampir seperempat; digunakan oleh orang-orang Yunani, Suriah, Mesir, Persia, dan Sogdian (atau Sogdiana: peradaban Iran kuno antara Amu Darya dan Syr Darya), tetapi berbeda metodenya dalam menangani bilangan pecahan [sebelum membicarakan tentang Astronomi dalam karyanya, Al-Biruni terlebih dahulu mengulas tentang Geometri dan Aritmetika].
'Tarikh' [bilangan hari, bulan, dan tahun; tanggal] merupakan suatu titik waktu yang telah ditetapkan dimana telah terjadi suatu ilmu yang sampai dan tersebar di kalangan masyarakat, misalnya terbentuknya suatu agama atau sekte baru, atau suatu kejadian di suatu negara yang, misalnya. sebuah peperangan besar atau badai dahsyat, telah menarik perhatian sedemikian rupa sehingga dianggap sebagai titik tolak buatan menghitung tahun, bulan, atau hari, sehingga kapan pun diinginkan, jumlah waktu yang telah berlalu dapat diketahui, atau tanggal-tanggal relatif dari peristiwa-peristiwa yang ditetapkan, baik sebelum atau sesudahnya.
Era Mussulman [at-taqwim al-hijri; dinotasikan dengan AH (Anno Hegirae)] dimulai pada tahun ketika Rasulullah (ﷺ) hijrah dari Mekah ke Madinah [16 Juli 622 M]: tahun-tahunnya semuanya lunar. Yang dimaksud dengan Ahli Kitab adalah zaman Yunani yang dikenal sebagai zaman Alexander, meskipun sejak awal tahun ketika Seleucus diangkat menjadi Raja Antiokhia [1 September 311 SM], umat Kristiani menggunakan tahun Suriah atau Yunani, sementara orang-orang Yahudi menggunakan tahun lunar mereka dengan selingan yang diperlukan, dan orang-orang Harran, yang menyebut diri mereka Sabian mempunyai kebiasaan yang mirip dengan orang-orang Yahudi. Era lain yang diketahui Ahli Kitab seperti penciptaan Adam (عليه السلام) dan banjir Nuh (عليه السلام), tenggelamnya Firaun (عليه لعنة الله), didirikannya Bait Suci oleh Sulaiman (عليه السلام) di Yerusalem, dan penghancuran kuil tersebut oleh Nebukadnezar (Bukhtnasar), namun terdapat kontroversi mengenai hal ini, akibatnya disepakati bahwa era Alexander adalah yang paling memuaskan karena lebih sedikit kesulitan dalam mengikutinya, dan lebih sedikit jumlah tahun yang disangkutpautkan.
Pada masa jahiliah, orang-orang Arab memperhitungkan peperangan yang mereka rayakan di antara mereka sendiri, dan sebelum Hijrah, tahun Gajah ketika bangsa Abyssinia datang dari Yaman untuk menghancurkan Kabah dikalahkan dan dimana Rasulullah (ﷺ) dilahirkan.
Bangsa Persia sudah terbiasa menghitung tanggal dari awal masa pemerintahan raja mereka, dan setelah kematiannya, menggunakan tanggal penerusnya. Pada saat kekaisaran mereka dihancurkan, mereka berasal dari Yazdeger ibnu Syahriar bin Khusrou Parviz yang terakhir dari Khusrows, tahun-tahun tanpa interkalasi mayoritas orang Majusi, berasal dari pembunuhannya, 20 tahun setelah naik takhta.
Sebaliknya, orang-orang Mesir berasal dari Nabonassar, sebuah praktik yang diikuti oleh Ptolemeus dalam Almagest, untuk menentukan pergerakan rata-rata planet-planet, sedangkan mengenai bintang-bintang, tetap, ia berasal dari Antoninus, Raja Yunani saat itu. Namun saat ini, orang-orang Mesir modern yang bergabung dengan Roma berasal dari Kaisar Augustus pertama. Dalam buku-buku astronomi selalu ditemukan zaman Diokletianus. Ia Kaisar Romawi kafir yang terakhir; setelah dirinya, mereka masuk Kristen.
Di kalangan umat Hindu, banyak era yang digunakan, ada yang lama, ada yang baru. Yang paling terkenal dan terkini adalah Shakalala yang berarti zaman Shaka, orang yang menjadi pemenang dan mahakuasa pada saat itu, dan menzalimi rakyatnya; ketika mereka membunuhnya, mereka menjadikan era ini dari tahun penyerahan mereka darinya.
Tentu saja, setiap bangsa mempunyai satu atau lebih era; cuma ada dua jenis, apakah ilmunya sudah sampai kepada kita atau belum. Namun, ceritanya panjang dan telah ditangani dengan lebih mudah di tempat lain.'

Bagi umat Islam, posisi matahari memegang peranan penting dalam menentukan waktu shalat. Menemukan arah paling akurat dari Ka'bah di Makkah, telah menjadi bagian integral dari sains Islam sejak awal berdirinya. Dalam hal seperti ini, astronomi selalu memainkan peran penting. Para polimat Islam, semisal Al-Biruni, Al Battuni, Al Khawarizmi, Tsabit bin Qurra, dan Ali Al Qusyji, hingga Ulugh Bey, selalu membantu berinovasi dan memperluas disiplin ilmu ini. Namun tak semata kaum lelaki Muslim yang berkontribusi. Pada abad ke-10, seorang Muslimah, Maryam Al-Ijlya—juga dikenal sebagai Mariam Al-Astrulabi—mengubah selamanya wajah astronomi dengan mempelopori astrolab. Kontribusinya terhadap astronomi diakui pada tahun 1990 ketika Henry H. Holy menemukan asteroid terbaik di Observatorium Palomar dan menamakannya 7069 Al-Ijliyye. Astrolab digunakan sebagai alat observasi astronomi, ketepatan waktu, dan navigasi. Inovasi Mariam menjadikan pula landasan pengelolaan jalur transportasi dan komunikasi. Ia berkontribusi dalam melacak posisi matahari, bulan, bintang, dan planet, membantu menentukan arah kiblat, serta memastikan waktu shalat dan tanggal Ramadhan. Mariam dipandang sebagai salah satu dari 200 astronom paling kondang dalam sejarah.
Astronomi berkaitan dengan studi tentang langit dalam upaya memahami prinsip-prinsip dasar yang mengatur perilaku planet, bintang dan galaksi serta alam-semesta secara umum. Mempelajari peredaran bintang-bintang dan pergerakan benda-benda langit pada kejadian-kejadian yang berdasarkan ketetapan dan takdir Allah, diperbolehkan, seperti kesimpulan dokter terhadap kesehatan dan penyakit dengan memeriksa denyut nadi. Namun jika seseorang mempelajari ilmu perbintangan, misalnya meramal-nasib, sedang ia tak mengimani ketetapan dan takdir Allah (terhadap pengaruh apa pun) dan mengaku mengetahui hal ghaib itu sendiri, maka ia telah berbuat kemusyrikan. Hal ini terlarang dalam sudut pandang Islam. Belajarlah dari bintang-bintang yang menjadi petunjukmu, lalu bermawas-dirilah. Sesungguhnya, tanda-tanda Allah itu, ada dimana-nama, tak semata di angkasa, melainkan pula di laut dan di darat, pada tetumbuhan dan margasatwa, bahkan pada dirimu sendiri.

Dalam bulan-bulan Islam, setiap bulan dari dua belas bulan itu, pada mulanya sama dengan bulan yang lain, dan tiada kekudusan yang melekat pada salah satu bulan tersebut dibanding bulan-bulan lain. Ketika Allah memilih waktu tertentu atas berkah istimewa-Nya, maka waktu tersebut beroleh kesucian karena rahmat-Nya. Abu Hurairah (رضي الله عنه) meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) ditanya tentang shalat mana yang paling utama setelah shalat wajib, dan puasa mana yang paling utama setelah bulan Ramadhan. Beliau (ﷺ) bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ الْمَكْتُوبَةِ الصَّلاَةُ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ وَأَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ صِيَامُ شَهْرِ اللَّهِ الْمُحَرَّمِ
'Shalat terafdal selepas shalat maktubah [shalat wajib lima waktu] ialah shalat di tengah malam dan puasa terafdal seusai bulan Ramadan ialah puasa pada bulan Allah, Al-Muharram.' [Sahih Muslim]
Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa puasa yang paling utama ialah pada bulan Muharram, puasa pada bulan Muharram merupakan puasa yang paling berpahala diantara puasa-puasa yang dijalankan. Meski puasa di bulan Muharram tidaklah wajib, namun siapa pun yang berpuasa pada hari-hari tersebut oleh kemauan dan pilihannya sendiri, berhak beroleh pahala yang besar dari Allah. Hadits ini bukan berarti pahala yang dijanjikan di akhir Muharram hanya semata diraih dengan berpuasa sebulan penuh. Sebaliknya, setiap puasa di bulan ini, ada pahalanya. Oleh sebab itu, seseorang hendaknya memanfaatkan kesempatan ini semaksimal mungkin.

Menurut Ibnu Rajab (رحمه الله), karena bulan ini khusus dikaitkan dengan Allah dan puasa merupakan salah satu amalan yang dikaitkan dengan Allah, maka dipandang layak menentukan suatu amalan pada bulan ini yang dikaitkan dengan-Nya dengan suatu amalan yang dikaitkan dengan-Nya dan dilaksanakan semata-mata untuk-Nya, yakni puasa. Disebutkan bahwa bahwa latarbelakang mensucikan bulan ini kepada Allah, agar menunjukkan bahwa kesuciannya milik Allah dan tiada yang berhak mengubahnya sebagaimana kebiasaan orang-orang jahiliyah yang pernah mengubah kesuciannya dan menggeserkannya ke Safar. Allah lalu merujuk pada kenyataan bahwa bulan inilah bulan Allah yang disucikan-Nya, dan tak seorang pun dari makhluk-Nya berhak mengubahnya.
Kendati bulan Muharram secara keseluruhan merupakan bulan suci, namun tanggal 10 Muharram merupakan hari yang tersuci diantara seluruh hari-harinya. Hari ini diberi nama Asyura'. Sebaiknya puasa Asyura diawali atau diakhiri dengan puasa lainnya. Maksudnya, berpuasa dua hari pada tanggal 9 dan 10 Muharram atau tanggal 10 dan 11 Muharram.
Orang shalih dikenal karena puasanya yang berlimpah, kata Ibnu Rajab menjelaskan salah satu alasan mengapa umat Islam disyariatkan berpuasa. 'Aroma orang yang berpuasa lebih semerbak di sisi Allah daripada wangi kesturi,' sabda Rasulullah (ﷺ). Betapapun kerasnya orang yang berpuasa berusaha menyembunyikan baunya, akan menyebar ke dalam qalbu, dan jiwa-jiwa akan menghirup aroma ini. Ia bakalan muncul setelah kematiannya dan pada hari kiamat.

Orang shalih umumnya banyak berpuasa. Seisi dunia merupakan bulan puasa bagi orang-orang yang bertaqwa. Hari Iednya pada hari bertemu Rabbnya. Sebagian besar hari puasa telah berlalu dan Ied bertemu Allah telah dekat. Karena puasa seharusnya menjadi rahasia antara hamba dan Rabbnya, maka orang-orang yang ikhlas berusaha menyembunyikannya dengan segala cara agar tak ada yang mengetahuinya. Ia berdiri di Masjid Jami' pada hari Jum'at, memegang kendi berisi air di tangannya, menempelkan ujungnya ke mulutnya, dan berbuat seolah-olah sedang meminum air tersebut. Orang-orang akan meliriknya, akan tetapi, tiada yang masuk ke tenggorokannya. Ia melakukannya demi menghilangkan popularitas puasanya. Salah seorang ulama di masa lalu berpuasa selama empat puluh tahun dan tak seorang pun yang mengetahuinya. Ia punya toko. Ia mengambil dua potong roti setiap hari dari rumahnya dan berangkat menuju tokonya. Dalam perjalanan, ia menyumbangkan kedua roti itu untuk sedekah. Anggota keluarganya beranggapan bahwa ia makan roti di pasar, sedangkan orang-orang di pasar berasumsi bahwa ia makan di rumah sebelum pergi ke toko. Betapapun kerasnya orang-orang jujur berupaya menyembunyikan keadaan itu, harumnya kebenaran akan membelot. Apabila seseorang menyembunyikan sebuah rahasia, niscaya Allah akan membukanya.
Terakhir, ada sebuah pintu di surga yang bernama ar-Rayyan. Tak seorang pun kecuali orang-orang yang biasa berpuasa, yang boleh masuk melaluinya. Begitu mereka masuk, pintunya bakalan dikunci dan tiada orang lain yang dapat melewatinya. Puasa itu, perisai terhadap api Neraka laksana perisai yang digunakan oleh salah seorang di antaramu dalam peperangan.

Muharram bermakna 'sakral', bulan pertama dalam kalender Islam dengan hari paling banyak tiga puluh hari. Perang pada bulan Muharram terlarang dan telah terjadi sejak sebelum masuknya Islam. Kata Muharram, kependekan dari Muharram Safar, yang dalam penanggalan Arab kuno membedakan antara Safar I yang dpandang sakral, dan Safar II yang tidak khalis.
Safar adalah bulan kedua dalam kalender lunar Islam. Kata Arab safar bermakna 'perjalanan, migrasi', sesuai dengan periode waktu Arab pra-Islam ketika umat Islam menghindarkan diri dari penindasan Quraisy di Mekah dan melakukan perjalanan, sebagian besar tanpa alas kaki, ke Madinah. Perbincangan tentang Safar akan kita lanjutkan di episode berikutnya, bi 'idznillah."
Kutipan & Rujukan:
- Stephen P. Blake, Time in Early Modern Islam: Calendar, Ceremony, and Chronology in the Safavid, Mughal, and Ottoman Empires, 2013, Cambridge University Press
- Chat Orzel, A Brief History of Time Keeping: The Science of Marking Time, from Stonehenge to Atomic Clocks, 2022, BenBella Books
- Abu'l Rayhan Muhammad Ibn Ahmad Al-Biruni, The Book of Instruction in the Elements of the Art of Astrology, written in Ghaznah, 1029 A.D., The Translation facing the Text by
R.Ramsay Wright, M.A. Edin., LL.D. Tor. and Edin., 1934, published in 2007 by Antioch Gate.

Senin, 22 April 2024

Cerita dari Pohon Kenanga (6)

"Di persidangan, hakim bertanya kepada terdakwa, 'Anda mengatakan bahwa Anda benar-benar menodongkan pistol ke arahnya, namun Anda tidak menembak. Kenapa?'
'Begini Yang Mulia,' jawab tertuduh, 'sewaktu saya menodongkan pistol ke arahnya, ia bilang, 'Mau gak, pestol loe itu gua beli?'
Sekarang, saya bertanya kepada Yang Mulia, bolehkah saya membunuh seseorang, yang lagi nawarin bisnis?'"

“Mendefinisikan perang itu, kurang lebih tentang apa yang dikecualikan dan apa yang termasuk di dalamnya. Perang merupakan salah satu bentuk kekerasan, namun ada banyak bentuk kekerasan yang tak lazim digolongkan sebagai perang. Perang adalah bentuk kekerasan spesifik, yang terutama ditentukan berdasarkan sifat politiknya. Ia dapat menjadi tantangan nyata bagi komunitas politik, meskipun hanya sebagian kecil dari masyarakat yang berperang atau mengarahkan upaya perang,” Kenanga meneruskan sambil menatap Senja di ufuk, waktu antara siang dan malam. Usai matahari terbenam, ada masa dimana langit berangsur-angsur gelap.

"Perang terjadi ketika ancaman atau penggunaan kekuatan bersenjata terhadap lawan ditanggapi dengan respons bersenjata. Ia merupakan aktivitas yang disepakati secara sosial, meskipun alasan untuk melakukan perang, telah berubah seiring berjalannya waktu dan diterima (setidaknya oleh mereka yang mengobarkannya) sebagai kegiatan yang legal, kendati banyak hal yang dilakukan dalam perang, melanggar norma-norma sosial di masa damai. Perang biasanya dibedakan dari kehidupan sehari-hari–masa damai– meskipun apa yang membedakan keduanya telah berubah seiring sejarah, serta ia memerlukan sosialisasi kordinasi yang penting dalam hal pengorganisasian dan perencanaan, walaupun keraguan dan disorganisasi telah menjadi ciri khas konflik sepanjang sejarah.
Perang itu, pembunuhan massal, kata Ian Morris, namun mungkin, dalam paradoks terbesar dalam sejarah, perang tetap menjadi musuh terburuk bagi pengurus pemakaman. Perang bukanlah kawan bagi pengurus jenazah. Perang bermanfaat: dalam jangka panjang, perang telah membuat umat manusia lebih aman dan kaya. Perang itu, neraka, namun—sekali lagi, dalam jangka panjang—alternatifnya akan lebih buruk. Kedengarannya seperti klaim yang kontroversial, namun Morris menjelaskan.

Dengan berperang, masyarakat telah membangun masyarakat yang lebih besar dan terorganisir sehingga mengurangi risiko kematian akibat kekerasan di antara anggotanya. Pengamatan ini bertumpu pada salah satu temuan utama para arkeolog dan antropolog selama satu abad terakhir, bahwa masyarakat Zaman Batu, pada umumnya berukuran kecil. Terutama karena tantangan dalam mencari makanan, orang-orang menetap dalam kelompok yang terdiri dari beberapa lusin orang, desa yang terdiri dari beberapa ratus orang, atau (sangat jarang) kota yang berpenduduk beberapa ribu orang. Komunitas-komunitas ini, tak memerlukan banyak organisasi internal dan cenderung hidup dalam kecurigaan atau bahkan permusuhan dengan pihak luar.
Masyarakat pada umumnya menyelesaikan perbedaan mereka dengan damai, namun jika seseorang memutuskan menggunakan kekerasan, maka hambatan terhadap dirinya, jauh lebih sedikit dibanding yang biasa dialami oleh warga negara modern. Sebagian besar pembunuhan terjadi dalam skala kecil, karena balas dendam dan penggerebekan yang tiada henti, meskipun kadangkala kekerasan bisa sangat mengganggu seluruh kelompok atau desa, sehingga penyakit dan kelaparan memusnahkan seluruh anggotanya. Akan tetapi, lantaran populasinya juga kecil, kekerasan tingkat rendah yang terus menerus, menimbulkan korban yang sangat besar. Berdasarkan perkiraan, sebagian besar, 10 hingga 20 persen dari seluruh orang yang hidup dalam masyarakat Zaman Batu, mati di tangan manusia lain.

Abad ke-20 menunjukkan perbedaan yang tajam. Terjadi dua perang dunia, serangkaian genosida, dan kelaparan yang disebabkan oleh pemerintah, yang menewaskan antara 100 juta dan 200 juta orang. Bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki menewaskan lebih dari 150.000 orang—mungkin lebih banyak daripada jumlah orang yang hidup di seluruh dunia pada tahun 50.000 SM. Namun pada tahun 1945, terdapat sekitar 2,5 miliar orang di bumi, dan selama abad ke-20, terdapat sekitar 10 miliar nyawa yang hidup—yang berarti bahwa 100-200 juta kematian akibat perang pada abad ini hanya menambah 1 hingga 2 persen dari populasi planet kita. Jika engkau cukup beruntung dilahirkan di abad ke-20, yang merupakan negara industri maju, maka rata-rata, dirimu sepuluh kali lebih kecil kemungkinan meninggal karena kekerasan (atau akibat kekerasan) dibanding jika dikau dilahirkan dalam masyarakat Zaman Batu.
Mungkin statistik ini, mengejutkan, namun penjelasannya lebih membagongkan. Apa yang membuat dunia jauh lebih aman ialah perang itu sendiri. Dimulai sekitar sepuluh ribu tahun yang lalu di beberapa bagian dunia, kemudian menyebar ke seluruh dunia, para pemenang perang memasukkan pihak yang kalah ke dalam masyarakat yang lebih besar. Satu-satunya cara agar masyarakat yang lebih besar ini dapat berfungsi adalah dengan membuat para penguasanya mengembangkan pemerintahan yang lebih kuat, dan salah satu hal utama yang harus dilakukan oleh pemerintahan-pemerintahan tersebut, jika hendak tetap berkuasa, ialah dengan membenamkan kekerasan ke dalam masyarakat.
Orang-orang yang menjalankan pemerintahan ini, hampir tak pernah menerapkan kebijakan perdamaian semata-mata karena kebaikan hati mereka. Mereka menindak pembunuhan karena rakyat yang berkelakuan baik lebih mudah diatur dan dikenai pajak ketimbang rakyat yang pemarah dan suka membunuh. Namun, akibat yang tak diharapkan adalah angka kematian akibat kekerasan turun sebesar 90 persen antara zaman Batu dan abad ke-20.
Prosesnya gak cakep. Entah itu orang Romawi di Inggris atau orang Inggris di India, para pembawa perdamaian bisa sama brutalnya dengan kebiadaban yang mereka basmi. Prosesnya juga gak mulus: dalam waktu singkat di tempat-tempat tertentu, kematian akibat kekerasan dapat melonjak hingga ke tingkat Zaman Batu. Antara tahun 1914 dan 1918, misalnya, hampir satu dari enam orang Serbia meninggal karena kekerasan, penyakit, atau kelaparan. Dan, tentu saja, tak semua pemerintahan berkemampuan yang sama dalam mewujudkan perdamaian. Demokrasi mungkin berantakan, tapi mereka jarang menelantarkan anak-anak mereka; pemerintahan diktator menyelesaikan segala sesuatunya, namun mereka cenderung menembak, membuat kelaparan, dan membasmi dengan gas pada banyak orang. Namun terlepas dari semua variasi, kualifikasi, dan pengecualian, dalam jangka waktu sepuluh ribu tahun, perang memunculkan negara, dan negara membangun perdamaian.

Selain membuat masyarakat lebih aman, menurut Morris, masyarakat yang lebih luas yang tercipta akibat perang—sekali lagi, dalam jangka panjang—juga membuat kita semakin kaya. Perdamaian membangun kondisi untuk pertumbuhan ekonomi dan peningkatan standar hidup. Proses ini juga berantakan dan tak seimbang: para pemenang perang sering melakukan pemerkosaan dan penjarahan, menjual ribuan orang yang selamat sebagai budak dan menggarong lahan mereka. Pihak yang dirugikan, mungkin akan menjadi miskin selama beberapa generasi. Bisnis inilah yang buruk dan mengerikan. Namun, seiring berjalannya waktu—mungkin berpuluh-puluh tahun, mungkin berabad-abad—terbangunnya masyarakat yang lebih besar, cenderung membuat semua orang, baik keturunan pemenang maupun yang kalah, menjadi lebih baik. Pola jangka panjangnya, sekali lagi tak salah. Dengan membuat masyarakat yang lebih besar, pemerintahan yang lebih kuat, dan keamanan yang lebih baik, perang telah memperkaya dunia.
Jadi, perang telah menghasilkan, kata Morris, masyarakat yang lebih besar, yang dipimpin oleh pemerintahan yang lebih kuat, yang memaksakan perdamaian dan menimbulkan prasyarat bagi kemakmuran. Sepuluh ribu tahun yang lalu, hanya ada sekitar enam juta orang di bumi. Rata-rata, mereka hidup sekitar tiga puluh tahun dan menghidupi diri mereka sendiri dengan penghasilan kurang dari dua dolar Amerika modern per hari. Saat ini, jumlah penduduk kita seribu kali lebih banyak (bahkan tujuh miliar), yang hidup dua kali lebih lama (rata-rata global adalah enam puluh tujuh tahun) dan berpenghasilan belasan kali lebih banyak (saat ini rata-rata global adalah $25 per hari).

Morris menambahkan bahwa perang memang membawa dampak baik—saking baiknya sehingga perang kini membuat dirinya gulung-tikar. Selama ribuan tahun, perang (dalam jangka panjang) telah membangun perdamaian, dan kehancuran telah membuat kekayaan, namun di zaman kita ini, umat manusia telah amat mahir dalam berperang—senjata kita sangat merusak, organisasi kita sangat efisien—sehingga perang mulai memperburuk keadaan. perang seperti ini, mustahil terjadi.
Kita manusia telah terbukti sangat baik dalam beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Kita pernah berperang dalam jumlah yang tak terhitung jumlahnya di masa lalu, sebab peperangan membuahkan hasil, namun pada abad ke-20, ketika dampak kekerasan menurun, kita menemukan cara menyelesaikan permasalahan kita tanpa menimbulkan Armageddon. Tentu saja, tiada jaminan, menurut Morris, namun ada kecenderungan menghargai perilaku paradoks dan mengalahkan tindakan logis, sehingga berbuah hasil yang ironis.
Segala sesuatu tentang perang bersifat paradoks. Dalam perang, paradoks semakin berlanjut. Menurut Basil Liddell Hart, salah satu pendiri taktik tank abad ke-20, intinya ialah 'perang selalu berarti melakukan kejahatan dengan harapan akan menghasilkan kebaikan.' Dari perang muncullah perdamaian; dari kerugian, ada keuntungan. Perang membawa kita melewati kaca pembesar, ke dalam dunia yang kacau-balau dan jungkir-balik, dimana segala sesuatunya tak seperti apa yang terlihat. Morris menggunakan proposisi 'the lesser-evil' dalam argumennya, salah satu bentuk paradoks klasik. Sangat mudah membuat daftar semua dampak buruk perang, dengan pembunuhan berada di urutan teratas. Namun perang, dalam pandangan Morris, tetap menjadi 'the lesser evil', sebab sejarah menunjukkan bahwa perang tak seburuk alternatif lain—kekerasan yang terus-menerus terjadi setiap hari seperti Zaman Batu, yang merenggut banyak nyawa dan membawa kita ke alam kefakiran.

Menurut Francis Bacon, ada tiga hal baru yang membawa modernitas: bubuk mesiu, navigasi laut, dan mesin cetak. Dan jika faktor pertama berhubungan langsung dengan perang, maka dua faktor lainnya, berdampak yang sama besarnya. Sejarawan teknologi dan ekonomi, kata Azar Gat, telah mengungkapkan kemajuan yang terus-menerus dalam teknik pertanian, pemanfaatan kuda, pekerjaan besi, dan pertambangan, munculnya dan penyebaran kincir air dan kincir angin, kompas, dan layar segitiga, serta kemajuan dalam bidang teknologi pembendungan air dan pembangunan kanal—semuanya menghasilkan pertumbuhan produktivitas dan populasi yang berkelanjutan di seluruh daratan.
Kekuatan militer merupakan komponen kunci kekuasaan negara. Namun terlepas dari semua perhatian yang diberikan negarawan, tentara, dan cendekiawan terhadap kekuatan militer, konsep ini masih tetap longgar, kata John A. Gentry. Suatu aktor mempunyai kekuatan militer jika aktor tersebut, pertama, secara akurat mengidentifikasi kerentanan yang dapat dieksploitasi pada musuh, sasaran dalam dimensi apa pun, dan kedua, berhasil mengeksploitasi satu atau lebih kerentanan kritis target, yang menyebabkan kekalahan fisik militer atau gangguan kekuatan proses produksi, yang mengarah pada keputusan tak melakukan atau menghentikan pertempuran, sehingga menimbulkan perdebatan.

Kekayaan biasanya diperlukan untuk menopang kekuatan militer, dan kekuatan militer biasanya diperlukan memperoleh dan melindungi kekayaan, kata Paul Kennedy. Namun, jika terlalu banyak sumber daya negara yang dialihkan memperoleh kekayaan dan dialokasikan bagi keperluan militer, maka kemungkinan besar akan menyebabkan melemahnya kekuatan nasional dalam jangka panjang. Dengan cara yang sama, jika suatu negara melakukan ekspansi strategis secara berlebihan—misalnya dengan penaklukan wilayah yang luas atau melancarkan perang yang memakan banyak biaya—hal ini akan menimbulkan risiko bahwa manfaat potensial dari ekspansi eksternal mungkin tak sebanding dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan ekspansi tersebut—sebuah dilema yang menjadi akut jika negara yang bersangkutan telah memasuki masa relatif kemunduran ekonomi. Sejarah kebangkitan dan kemudian kejatuhan negara-negara utama dalam sistem Kekuatan Besar sejak kemajuan Eropa Barat pada abad keenam belas—yakni negara-negara seperti Spanyol, Belanda, Perancis, Kerajaan Inggris, dan saat ini Amerika Serikat Negara—menunjukkan korelasi yang sangat signifikan dalam jangka panjang, antara kapasitas produktif dan peningkatan pendapatan di satu sisi, dan kekuatan militer di sisi lain.
Menurut Kennedy, kekuatan relatif negara-negara terkemuka dalam urusan dunia, tak pernah tetap, terutama oleh tingkat pertumbuhan yang tak merata di antara masyarakat yang berbeda, dan oleh terobosan teknologi dan organisasi yang membawa keuntungan lebih besar bagi suatu masyarakat dibanding masyarakat lainnya. Misalnya, kedatangan kapal layar bersenjata jarak jauh dan kebangkitan perdagangan Atlantik setelah tahun 1500, tak memberikan manfaat yang sama bagi semua negara di Eropa—justru memberikan keuntungan yang lebih besar bagi beberapa negara dibandingkan negara lainnya. Dengan cara yang sama, perkembangan tenaga uap serta sumber daya batubara dan logam, yang menjadi andalan negara tersebut secara besar-besaran meningkatkan kekuatan relatif suatu negara, dan dengan demikian menurunkan kekuatan relatif negara-negara lain. Tatkala kapasitas produktifnya ditingkatkan, negara-negara biasanya akan merasa lebih mudah menanggung beban pembayaran persenjataan skala besar di masa damai dan mempertahankan serta memasok pasukan dan armada dalam jumlah besar di masa perang.

KIta cukupkan dulu percakapan kita tentang perang, pada episode berikut, kita lanjutkan dengan topik Kalender Islam, bi 'idznillah."

Lalu, Kenanga bersenandung,

Oh! There is fire in the air that I'm breathing
[Duhai! Ada nyala-api di udara yang kuhirup]
There is blood where the battles rage
[Ada darah dimana pertempuran berkecamuk]
These are faces I will not remember
[Inilah rupa-wajah yang takkan kuingat]
Will I fight for the Queen or the Slave? *)
[Akankah kuberjuang demi sang Rani atau sang Kawula?]
A treacherous part to play with our heart of courage *)
[Bagian berbahaya bila dimainkan dengan keberanian hati kita]
Kutipan & Rujukan:
- Azar Gat, War In Human Civilization, 2006, Oxford University Press
- John A. Gentry, How Wars Are Won and Lost: Vulnerability and Military Power, 2012, Praeger
- Paul Kennedy, The Rise and Fall of the Great Powers: Economic Change and Military Conflict from 1500 to 2000, 1989, Vintage Books
- Ian Morris, War: What Is It Good For?, 2014, Profile Books
*) "Battleborne" karya Nick Phoenix & Thomas Bergersen

Minggu, 21 April 2024

Cerita dari Pohon Kenanga (5)

“Seorang siswa sekolah diminta gurunya bercerita di depan kelas, ia pun berkata, 'Aku gak kiding lho. Tadinya sih, aku pingin nyeritain lelucon tentang time travel. Tapi, kalian semua, gak ada yang suka kaan!' lalu balik ke tempat duduknya."

“Perang, pada dasarnya, cenderung berlangsung relatif singkat. Perang menggunakan sumber-daya, menghabiskan tenaga-kerja, dan bangsa-bangsa yang turut-serta, jadi lemah,” berkata Kenanga sembari mengamati sebuah potret ikonik enam Marinir yang mengibarkan sebuah bendera di puncak Gunung Suribachi selama pertempuran Iwo Jima dalam Perang Dunia II, diambil oleh fotografer kombat Associated Press, Joe Rosenthal. Pengibaran bendera tersebut, juga direkam oleh Sersan Marinir Bill Genaust, seorang juru kamera film tempur. Ia mengabadikan peristiwanya memakai film berwarna, saat berdiri di samping Rosenthal. Rekaman Genaust menunjukkan bahwa pengibaran bendera kedua tak dilakukan. Pada tanggal 4 Maret 1945, Genaust dibunuh oleh Jepang usai memasuki sebuah gua di Iwo Jima dan jazadnya tak pernah ditemukan.
Saat pertama kali melihat potret itu, pematung Felix de Weldon membuat maketnya berdasarkan foto pada suatu akhir pekan di Pangkalan Udara Angkatan Laut Sungai Patuxent di Maryland, tempatnya bertugas di Angkatan Laut. Ia dan arsitek Horace W. Peaslee merancang sebuah tugu peringatan. Usulan mereka diajukan ke Kongres AS, namun pendanaan tak memungkinkan selama perang. Pada tahun 1947, sebuah yayasan federal didirikan guna pengumpulan dana. Monumen disetujui oleh Kongres AS dan komisi peringatan diberikan pada tahun 1951, setelah disetujui dan diterima oleh Liga Korps Marinir yang juga memilih De Weldon sebagai pematungnya. De Weldon menghabiskan tiga tahun membangun model master berukuran penuh terbuat dari plester, setinggi 32 kaki (9,8 m).

“Sebagian besar bamgsa, tak mampu berperang dalam jangka waktu yang panjang. Perang Dunia I berlangsung selama empat tahun, Perang Dunia II berlanjur selama enam tahun, dan kedua konflik tersebut, berakibat memporak-porandakan seluruh negara yang berperang. Walau demikian, selama apa yang dikenal sebagai the Age of Chivalry (Era Ksatria), serangkaian konflik antara dua negara terkuat di Eropa berlanjut hingga lima generasi raja dan selama lebih dari seratus tahun. Apa yang kemudian dikenal sebagai 'Perang Seratus Tahun' itu, merupakan konflik antara Wangsa Plantagenet, dinasti yang berkuasa di Inggris, dan Wangsa Valois, penguasa kerajaan Perancis. Perang ini, dimulai pada tahun 1337 dan baru berakhir pada tahun 1453. Perseteruan ini, kontak-senjata yang amat menonjol dan berlarut-larut pada Abad Pertengahan, dan memberikan kontribusi langsung terhadap pembuatan dan kemunculan identitas nasional Inggris dan Prancis modern.

Sebelum melanjutkan pembicaraan kita, barangkali—dalam konteks 'perang'—dirimu dan diriku kepo, trus ngajuin kalimat galau, 'Kenapa sih kita berantem?' atau 'Buat apa sih perang?'
'Ini bukanlah pertanyaan yang gue harepin buat ditanya atau dijawab', kata Christopher Blattman. 'Tapi, begitu ellu menyaksikan betapa kejamnya kekerasan yang berlebihan, sulit mempedulikan hal lain. Bahkan pun jika dilihat dari posisi jarak jauh tertentu yang aman. Segala sesuatu yang lain, jadi semakin penting.'
'Gue mempelajari bahwa keberhasilan sebuah masyarakat, bukan semata soal memperluas kekayaannya,” imbuh Blattman. 'Ini tentang kelompok pemberontak yang tak memperbudak anak gadis loe yang berusia sebelas tahun sebagai istri. Ini tentang duduk di depan rumah loe tanpa rasa takut akan tembakan saat berkendara dan peluru nyasar. Ini tentang kemampuan menemui petugas polisi, pengadilan, atau walikota dan mendapatkan keadilan. Ini tentang pemerintah yang tak diperbolehkan mengusir loe dari lahan milikmu dan masukin loe ke dalam kamp konsentrasi. Ekonom lainnya, Amartya Sen, menyebutnya sebagai 'development as freedom'. Sulit membayangkan sesuatu yang lebih penting agar terbebas dari kekerasan. Ternyata, baik berantem—maupun dalam skala besar, perang—itu, bikin kita miskin. Gak ada sesuatu yang dapat menghancurkan kemajuan semisal konflik—meluluhlantakkan perekonomian, melumatkan infrastruktur, atau membunuh, melukai, dan memundurkan seluruh generasi. Perang melemahkan pula pertumbuhan ekonomi secara tak langsung.

Kebanyakan orang dan dunia usaha, gak bakalan melakukan hal-hal mendasar yang mengarah pada pembangunan manakala mereka memperkirakan akan adanya pemboman, pembersihan etnis, atau kesewenang-wenangan terhadap keadilan; mereka gak akan berspesialisasi dalam tugas-tugasnya, berdagang, menginvestasikan kekayaannya, atau mengembangkan teknik dan ide baru. Banyak literatur yang menunjukkan bagaimana perang mengoyak-ngoyak perekonomian. Ambil contoh perang saudara, yang terjadi di Uganda. Paruh kedua abad ke-20 menyaksikan lebih banyak konflik internal ketimbang yang pernah tercatat. Dampaknya sangat buruk, menyebabkan pendapatan anjlok seperlimanya. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana perang mempengaruhi kesehatan, pendidikan, dan hasil lainnya, dengan memperhatikan bentangan negara dan perang, Mueller dan ekonom lainnya, menunjukkan bahwa setiap tahun perang mungkin dikaitkan dengan penurunan pendapatan nasional sebesar 2 atau 3 persen terhadap perekonomian di Amrik, namun hanya didasarkan pada jumlah orang yang tampaknya bersedia membayar harga di dalam negeri untuk menghindari kekerasan.

Ekonom dan filsuf moral Adam Smith memprediksi hal yang sama lebih dari dua setengah abad yang lalu, 'Tiada hal lain yang diperlukan agar membawa suatu negara ke tingkat kemewahan tertinggi dari barbarisme terendah,' tulisnya pada tahun 1755, 'melainkan perdamaian, pajak yang ringan, dan administrasi peradilan yang dapat ditoleransi.' Jelasnya, kalau gue peduli pada kemakmuran, persamaan hak, dan keadilan, gue kudu peduli pada perang,' kata Blattman.
'Perang' dalam pandangan Blattman, bukan saja berarti negara-negara yang saling 'tukaran'. Yang ia maksudkan, yalah segala jenis upaya yang berkepanjangan dan penuh kekerasan antar kelompok. Itu mencakup desa, klan, geng, kelompok etnis, sekte agama, faksi politik, dan negara. Meski sangat berbeda, asal-usulnya punya banyak kesamaan. Kita akan melihat hal ini terjadi pada kelompok fanatik Irlandia Utara, kartel Kolombia, tiran Eropa, pemberontak Liberia, oligarki Yunani, geng Chicago, gerombolan India, genosida Rwanda, hooligan sepak bola Inggris, dan, menurut Blattman, penjajah Amerika.

Salah satu kekeliruan paling umum yang dilakukan orang ialah salah mengartikan dalil mengapa persaingan menjadi sengit dan penuh permusuhan dengan argumen mengapa persaingan berubah menjadi kekerasan. Soalnya, persaingan sengit merupakan hal yang wajar, namun kekerasan antar kelompok yang berkepanjangan, bukanlah hal yang wajar. Perang seharusnya tak terjadi, dan seringkali, memang hal itu tak terjadi. Faktanya, bahkan musuh yang paling sengit sekalipun lebih memilih saling tak menyukai dalam situasi yang damai. Hal tersebut mudah dilupakan. Perhatian kita tertuju pada perang yang terjadi. Laporan berita dan buku sejarah melakukan pula hal yang sama—mereka fokus pada konflik-konflik kekerasan yang terjadi. Hanya sedikit orang yang menulis buku tentang seberapa banyak konflik yang dapat dihindari. Namun kita tak bisa cuma melihat permusuhan yang terjadi seperti seorang mahasiswa kedokteran yang hanya mempelajari orang-orang yang sakit parah dan lupa akan banyaknya orang yang sehat.
Para ilmuwan politik, kata Blattman, telah menghitung semua kelompok etnis dan sektarian di negara-negara seperti Eropa Timur, Asia Tengah, Asia Selatan, dan Afrika, dimana kerusuhan dan pembersihan dianggap mewabah. Mereka menghitung jumlah pasangan yang cukup dekat saling bersaing, dan kemudian mereka melihat jumlah pasangan yang benar-benar berseteru. Di Afrika, mereka menghitung sekitar satu kasus besar kekerasan etnis per tahun dari dua ribu kemungkinan kasus kekerasan etnis. Di India, mereka menemukan kurang dari satu kerusuhan per sepuluh juta orang per tahun, dan tingkat kematian paling banyak enam belas per sepuluh juta orang. Kita juga melihat hal ini di tingkat internasional. Terjadi konfrontasi panjang antara Amerika dan Soviet, yang berhasil membagi Eropa (bahkan dunia) menjadi dua bagian tanpa saling menuklir.
Namun, entah bagaimana, kita cenderung melupakan peristiwa-peristiwa ini. Kita menulis buku tebal tentang perang besar dan mengabaikan perdamaian yang adem. Kita menaruh perhatian pada peristiwa-peristiwa berdarah, peristiwa-peristiwa yang amat menonjol. Sementara itu, momen-momen kompromi yang lebih tenang hilang dari ingatan. Fokus pada kegagalan inilah semacam bias seleksi, sebuah kesalahan logis yang rentan terjadi pada kita semua. Kekeliruan ini, punya dua konsekuensi penting. Salah satunya yalah kita melebih-lebihkan seberapa sering kita berantem. Dikau mulai mendengar hal-hal seperti 'dunia ini penuh dengan konflik,' atau 'keadaan alami umat manusia itu, perang,' atau 'konfrontasi bersenjata antara [dengan memasukkan kekuatan-kekuatan besar di sini] tak terdihindarkan.' Akan tetapi, tak satu pun dari pernyataan tersebut, kata Blattman, yang bener.

Agar menemukan akar konflik yang sebenarnya, atau untuk menjawab 'mengapa kita berantem?', kita perlu memperhatikan upaya-upaya damai. Jika menyangkut perang, kita cenderung mengalami pilihan yang berlawanan—kita terlalu memperhatikan saat gagalnya perdamaian. Seakan seperti para insinyur militer AS cuma melihat pada pesawat pengebom yang jatuh. Pesawat-pesawat itu, dipenuhi tembakan dari moncong hingga ekor. Disaat kita melakukannya, sulit mengetahui tembakan mana yang berakibat fatal sebab kita tak membandingkannya dengan pesawat yang selamat. Hal yang sama terjadi dikala engkau mengkaji sebuah perang dan menelusurinya sampai ke akar-akarnya. Setiap sejarah persaingan, penuh dengan rentetan peluru, bagaikan keluhan kemiskinan dan senjata. Namun mereka yang dirugikan jarang memberontak, para pemuda pemberontak yang miskin, sebagian besar tak melakukan perlawanan
Namun, mengabaikan seluruh konflik yang terjadi, akan menimbulkan kerugian kedua dan lebih besar; kita keliru memahami akar perang dan jalan menuju perdamaian. Itu bukan berarti bahagia dan harmonis. Persaingan bisa bersifat bermusuhan dan kontroversial. Kelompok-kelompok boleh jadi terpolarisasi. Mereka seringkali bersenjata lengkap. Mereka saling meremehkan dan mengancam, dan mereka dengan terang-terangan mengacungkan senjatanya. Itu semua normal. Tapi, pertumpahan darah dan pengrusakan, tak boleh terjadi.
Ketika orang memusatkan perhatian pada saat-saat gagalnya perdamaian dan menelusuri kembali keadaan dan peristiwa yang terjadi guna menemukan penyebabnya, mereka kerapkali menemukan serangkaian hal yang lazim: para pemimpin yang tak layak, ketidakadilan sejarah, kemiskinan yang parah, para pemuda yang murka, senjata-senjata murahan, dan peristiwa-peristiwa bencana besar. Perang sepertinya menjadi akibat yang tak bisa dihindari.

Dari sudut pandang Jack McDonald's, apa yang menjadi ciri perang saat ini, merupakan ketegangan antara keseragaman dan keberagaman. Di satu sisi, perang kontemporer terjadi dalam sistem internasional yang lebih seragam dibanding sebelumnya. Sistem tersebut terdiri dari negara-negara teritorial berdaulat yang saling mengakui dan melegitimasi sebagai unit politik utama dalam politik internasional dan mereka juga memiliki seperangkat aturan yang sama—hukum internasional—yang memberikan standar global mengatur perang dan peperangan. Di sisi lain, terdapat lebih banyak keragaman dalam perang kontemporer ketimbang sebelumnya: negara-negara harus berjuang melawan gerakan pemberontak transnasional yang memanfaatkan Internet bagi keuntungan mereka. Perang dilancarkan dengan teknologi, mulai dari senjata api dasar hingga jet tempur siluman yang menggunakan rudal yang dipandu satelit. Cara-cara perang lama seperti membunuh, meneror, dan membuat warga sipil kelaparan demi mendapatkan efek strategis hidup berdampingan dengan cara-cara perang Barat, yang memanfaatkan senjata presisi untuk meminimalkan kerugian warga sipil, dan dalam banyak peristiwa, menghilangkan kemungkinan bahaya terhadap kombatan mereka sendiri, dengan menggunakan drone yang dikendalikan dari jarak jauh.
Perang dan peperangan telah menyebabkan kematian dan kehancuran sepanjang sejarah manusia, kata McDonald. Perang berkisar dari penyerangan pemukiman prasejarah hingga pembantaian industri pada Perang Dunia Kedua, serta pembunuhan selektif dengan senjata berpemandu presisi di masa kini. Perang memusnahkan manusia, harta benda, dan lingkungan hidup, karena biasanya, tak mungkin membatasi dampak perang terhadap pihak-pihak yang bersenjata. Potensi terjadinya kematian, kerusakan, dan eskalasi inilah yang menjadi dalil mengapa kemungkinan terjadinya perang sangat membebani pikiran para pemimpin politik dan masyarakat sipil.

Perang bertujuan politik, sebab dalam beberapa keadaan, kekuatan militer punya kegunaan politik bagi para pemimpin negara atau kelompok bersenjata. Prajurit Prusia dan ahli teori militer abad kesembilan belas, Carl von Clausewitz, mendefinisikan perang sebagai ‘tindakan kekerasan untuk memaksa musuh menuruti keinginan kita’. Perang dalam sejarah, berkisar dari kegiatan yang sangat ritual antara kelompok-kelompok politik yang serupa hingga pembantaian tanpa batas antara kelompok-kelompok yang berusaha saling melenyapkan. Clausewitz menjelaskan bahwa berperang itu, sama dengan berduel, meskipun dalam skala besar, yang mencerminkan fakta bahwa perang pada dasarnya bersifat permusuhan: perang melibatkan lawan yang mengancam akan melakukan kekerasan fisik. Hal ini juga bersifat strategis, dalam artian bahwa pemerintah pada akhirnya, tak dapat mendikte atau mengendalikan tindakan lawannya. Mengingat bahwa perang acapkali melibatkan lebih dari dua pihak yang bertikai, McDonald mendefinisikan perang sebagai ‘penggunaan kekuatan bersenjata terorganisir antara dua pihak atau lebih demi tujuan politik’, dengan menekankan kriteria penting mengenai kekerasan terorganisir yang dilakukan oleh kelompok sosial.
Tujuan politik dan strategis dari pihak-pihak yang bertikai, tak sepenuhnya menjelaskan dampak perang yang sebenarnya. Minimal, kita juga perlu mempertimbangkan jenis entitas yang menjadi pihak-pihaknya—baik kelompok bersenjata negara atau non-negara ['kelompok bersenjata non-negara’ mengacu pada berbagai kelompok sosial yang menimbulkan ancaman militer dalam politik internasional dan yang secara formal bukan merupakan bagian dari angkatan bersenjata sebuah negara. Jumlah mereka beragam, mulai dari milisi kecil hingga angkatan bersenjata terorganisir yang mampu melakukan operasi militer canggih. Pentingnya kelompok bersenjata non-negara ialah bahwa, kendati mereka kurang mendapat pengakuan formal dan legitimasi di mata negara, mereka menggunakan kekerasan fisik yang terorganisir sehingga harus ditanggapi dengan serius oleh lawan-lawan negara mereka. Seringkali kelompok bersenjata non-negara saling berkonflik atau membentuk aliansi dengan negara-negara yang ikut campur dalam perang saudara]—serta kemampuan sosial mereka melakukan kekerasan, dan tingkat pengendalian yang dapat dilakukan oleh elit politik dan pemimpin militer. Oleh alasan terakhir inilah, hubungan pihak-pihak yang berseberangan dalam perang, sebagian menentukan keganasan dan batas-batas konflik. Perang saudara, yang mengakibatkan masyarakat terpecah oleh dua atau lebih faksi yang bertikai, kerap sangat brutal, sebab tak semata memecah-belah masyarakat berdasarkan etnis dan agama, melainkan pula, menimbulkan kondisi yang menguntungkan kelompok bersenjata yang tak terorganisir.

Perang di alam kekinian, sangat bervariasi dalam hal cakupan dan konsekuensinya. Coba bayangin, perang Nagorno-Karabakh tahun 2020 antara Armenia dan Azerbaijan yang mengakibatkan kematian lebih dari lima ribu personel militer. Bandingkan dengan perang Tigray (2020–2022) di Ethiopia utara, yang telah menewaskan hingga setengah juta orang—kebanyakan warga sipil—akibat pertempuran, kelaparan, dan kurangnya akses terhadap layanan kesehatan, atau dengan perang Rusia yang terjadi pada tahun 2022. Perang Ukraina telah mengakibatkan lebih dari 5,6 juta pengungsi Ukraina dan membuat 7,1 juta orang jadi pengungsi internal.
Perang masa kini juga sangat bervariasi dalam hal siapa yang berperang dan bagaimana caranya. Konflik yang berlangsung lama dan berintensitas rendah, seperti berbagai konflik yang sedang berlangsung di wilayah Sahel, terjadi bersamaan dengan perang saudara yang memusnahkan, seperti yang terjadi di Suriah, Libya, dan Myanmar. Beragamnya cara dan metode peperangan berkontribusi pada beragamnya karakter peperangan kontemporer. Beberapa konflik melibatkan negara-negara yang saling menyerang secara langsung; yang lain melibatkan serangan tak langsung melalui proxy.

'Perang bermain dalam dunia kontemporer', mungkin bisa menjadi jawaban atas bahasa galau kita, 'Buat apa sih perang?' Secara khusus, kata McDonald, inilah alasan mengapa perang masih bermanfaat bagi banyak pemerintahan dan kelompok bersenjata non-negara. Kendati ada batasan hukum internasional dalam perang, penggunaan kekuatan militer masih merupakan kemungkinan laten dalam perselisihan internasional dan konflik internal—dan terkadang kemungkinan laten tersebut, jadi kenyataan. Begitulah dampak destruktif perang sehingga ancaman perang pun bisa menjadi alat tawar-menawar yang berguna. Bagi pembangkang dan pemberontak yang hendak menguasai atau mendirikan sebuah negara, boleh jadi, kekuatan militer merupakan satu-satunya cara mencapai tujuan politik mereka.
Negara seringkali mati-matian menjelaskan dan melegitimasi penggunaan kekuatan militer kepada warga negaranya dan negara lain. Cara terjadinya perang acapkali tak ada hubungannya dengan gambaran populer tentang perang, yang dibentuk oleh perang industri abad ke-20, yang menewaskan puluhan juta orang. Dalil lain mengapa mereka bersusah-payah, menurut McDonald, yaitu adanya kesenjangan antara cara perang dilakukan dalam praktiknya dan cara perang dibingkai dan diatur dalam politik internasional. Kesenjangan tersebut, dapat dimanipulasi dengan argumen strategis demi memperoleh keuntungan melawan lawan yang taat hukum. Memahami bagaimana dan mengapa perbedaan ini terjadi, dan apa yang dapat dilakukan guna mengatasinya, merupakan kunci memahami cara kerja perang dan kegunaannya saat ini.

Kita masih memperbincangkan topik tentang 'perang' ini, pada episode selanjutnya. Bi 'idznillah."

Dan sebelum melangkah ke dalam fragmen berikutnya, Kenanga bersenandung,

Jejak kaki para pengungsi bercerita pada penguasa
Bercerita pada penguasa tentang
ternaknya yang mati, tentang temannya yang mati,
tentang adiknya yang mati, tentang abangnya yang mati,
tentang ayahnya yang mati, tentang anaknya yang mati,
tentang neneknya yang mati, tentang pacarnya yang mati,
tentang istrinya yang mati, tentang harapannya yang mati *)
Kutipan & Rujukan:
- Christopher Blattman, Why We Fight: The Roots of War and the Paths to Peace, 2022, Viking
- Jack McDonald, What is War for?, 2023, Bristol University Press
- At Hourly History, The Hundred Years War: A History from Beginning to End, 2019, Hourly History
*) "Puing II" karya Virgiawan Listanto