Sabtu, 30 Maret 2024

Ramadan Mubarak (14)

“Seorang nyonya tua sedang curhat dengan sahabatnya tentang kebiasaan buruk sang suami.
'Bayangin coba, udah bertahun-tahun, suami gua gak mau berhenti ngegigitin kukunya,' jelas sang nyonya.
'Suami gua juga giituuu,' jelas sang bestie, 'tapi udah gua benerin kok. Gua sembunyiin tuh gigi.'"

“Di Indonesia, ada film yang akan beredar bertajuk 'Kiblat', mungkin hendak meniru 'the Last Exorcism', namun akibatnya, film ini justru melecehkan dan menghasut cara beribadah umat Islam, sehingga mengarah pada intoleransi. Oleh karenanya, mengutip ucapan Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, 'Mari kita terus bekerjasama memajukan nilai-nilai bersama yaitu inklusi, toleransi, dan saling pengertian—nilai-nilai yang merupakan inti dari semua agama besar dan Piagam PBB', pemerintah Indonesia haruslah mencabut izin edarnya dan melarang penayangannya dimana pun juga," kata Yasmin sembari mengamati 'Kiblat' sejati, Ka'bah, sebuah struktur berbentuk kubik di Mekkah dan salah satu situs paling suci umat Islam.

“Menurut PBB, Islamofobia adalah ketakutan, prasangka dan kebencian terhadap umat Islam yang mengarah pada provokasi, permusuhan dan intoleransi melalui ancaman, pelecehan, perlakukan keji, hasutan dan intimidasi terhadap umat Islam dan non-Muslim, baik di dunia online maupun offline. Dimotivasi oleh permusuhan institusional, ideologis, politik dan agama yang melampaui rasisme struktural dan budaya, gerakan ini menargetkan simbol dan penanda menjadi seorang Muslim.
Definisi ini menekankan hubungan antara Islamofobia pada tingkat institusional dan manifestasi sikap tersebut, yang dipicu oleh terlihatnya identitas Muslim yang dirasakan oleh korban. Pendekatan ini, menafsirkan pula Islamofobia sebagai bentuk rasisme, dimana agama, tradisi dan budaya Islam dipandang sebagai ‘ancaman’ terhadap nilai-nilai Barat.
Beberapa pakar lebih memilih label 'kebencian anti-Islam', karena khawatir istilah 'Islamofobia' berisiko mengutuk semua kritik terhadap Islam dan, oleh sebab itu, dapat menghambat kebebasan berekspresi. Namun hukum hak asasi manusia internasional melindungi individu, bukan agama. Dan Islamofobia juga dapat mempengaruhi non-Muslim, berdasarkan persepsi latar belakang kebangsaan, ras atau etnis. [https://www.un.org/en/observances/anti-islamophobia-day, diretrif pada tanggal 30.03.2024]

Di dalam sebuah buku karya pelukis Etienne Dinet pada tahun 1918, muncul dalam bentuk bahasa Perancis, 'Islamophobie'. Kata 'Islamofobia' bukanlah hal baru, meskipun faktanya akan sulit sekali menemukan banyak contohnya sebelum tahun 1990an. Jim Wolfreys mengemukakan bahwa di seluruh Eropa, prasangka anti-Islam telah diperkuat oleh ‘perang melawan teror’ global, stigmatisasi terhadap Islam, dan menuntut kewaspadaan, pemantauan, dan peningkatan keamanan. Di Prancis, Islamofobia telah dipupuk oleh elit politik yang terpecah dan menggunakan sekularisme republik, atau laïcité, sebagai alat untuk menempatkan umat Islam di bawah pengawasan dan mempertanyakan kesetiaan mereka terhadap nilai-nilai Republik. Di era kesenjangan yang intens dan meningkat, konstruksi kepanikan moral, ketidakamanan, dan kambing hitam telah mendapat perhatian di antara kelompok-kelompok sosial yang cemas akan kehilangan status dan mencari pihak yang dapat disalahkan. Di sini radikalisasi sekularisme, yang secara historis dikaitkan dengan kekuatan progresif yang melawan reaksi, telah membantu memecah-belah dan menetralisir kelompok dan institusi anti-rasis, sehingga menghambat upaya untuk menghadapi meningkatnya sentimen anti-Islam.
Rodd H. Green menulis bahwa kata Islamofobia telah menjadi bagian integral dari wacana politik dan publik. Ia sebagian besar disebabkan oleh penelitian yang banyak dikutip, yang dilakukan oleh lembaga pemikir Inggris, Runnymede Trust, pada tahun 1997. Studi tersebut mendefinisikan Islamofobia sebagai 'rasa takut setengah mati atau benci terhadap Islam' dan sebagai 'permusuhan yang tak berdasar terhadap Islam.' Definisi ini juga menetapkan Islamofobia berdasarkan ekspresi nyata dari permusuhan ini, seperti pengucilan yang disengaja terhadap umat Islam dari kehidupan sosial dan politik arus utama. Definisi inilah yang paling sering digunakan dalam perdebatan mengenai sentimen anti-Muslim di Barat. Green menambahkan bahwa Islamofobia merupakan kebencian, permusuhan, dan ketakutan terhadap Islam dan umat Islam, serta praktik diskriminatif yang diakibatkannya.
Ada orang-orang yang memang dengan sengaja membangkitkan permusuhan terhadap umat Islam, kata Green, agar memobilisasi pemilih, meningkatkan peringkat, menghasilkan traffic ke blog dan situs web, menjual buku, atau membenarkan perang. Dengan kata lain, ada orang-orang yang berperan dalam bisnis yang memproduksi Islamofobia demi keuntungan pribadi atau profesional, dan mereka pantas mendapat 'special condemnation.'

Apa hubungan antara Islamofobia saat ini dan kegelisahan terhadap Islam yang menjadi ciri sebagian besar sejarah Barat? Bagaimana dan mengapa permusuhan terhadap Islam berkembang dalam sejarah Barat? Green menjelaskan bahwa gambaran negatif awal tentang Islam di kalangan umat Kristen Eropa berkembang tatkala kerajaan Islam menyebar dan menimbulkan ancaman politik dan militer terhadap wilayah Kristen. Islam muncul pada awal abad ketujuh di bawah kepemimpinan Rasulullah (ﷺ), pada saat wafat beliau (ﷺ) pada tahun 632, sebagian besar Jazirah Arab telah menganut ajaran Islam. Para penerus beliau (ﷺ) membangun kesuksesan beliau (ﷺ) dan memperluas cakupan dan pengaruh Islam. Pada pertengahan abad kedelapan, Islam mencakup sebagian besar Asia Tengah, Afghanistan, Pakistan, Afrika Utara, dan Spanyol. Dalam kurun waktu sekitar satu abad, sebagian besar wilayah yang dulunya merupakan Kekaisaran Romawi Kristen, telah jatuh ke tangan umat Islam.
Umat Islam tak memonopoli penaklukan wilayah-wilayah strategis. Ketika Islam mengantongi negeri-negeri Kristen, para penguasa Eropa dan pemimpin gereja menanggapinya dengan seruan melakukan perang salib dan penaklukan. Paus Urbanus II memerintahkan Perang Salib Pertama pada tahun 1095. Perang salib ini, pada awalnya merupakan tanggapan atas permintaan bantuan dari kaisar Bizantium dikala ia berusaha melawan invasi Turki Seljuk, namun perang salib tersebut akhirnya berfokus pada perebutan Yerusalem dan 'the Holy Land' dari tangan umat Islam. Pada tahun 1099, Yerusalem jatuh ke tangan tentara Kristen. Tentara ini membantai hampir semua orang Yahudi dan Muslim di kota tersebut dan kemudian mendirikan Kerajaan Yerusalem. Selama Perang Salib Pertama, tentara Kristen Eropa mendirikan tiga negara tambahan. Mempertahankan hadiah utama, Yerusalem, terbukti cukup sulit bagi para penakluk Kristen. Sebagian besar wilayah kerajaan ditaklukkan kurang dari satu abad kemudian oleh jenderal dan sultan Islam terkemuka, Saladin.

Perang Salib Pertama disusul oleh banyak Perang Salib lainnya, acapkali dipicu oleh penaklukan Muslim atas wilayah yang dikuasai oleh kekuatan Kristen Eropa. Sebagian besar perang salib ini, gagal. Pada akhir abad ke-13, benteng penting Eropa terakhir di 'Holy Land', Acre, telah jatuh ke tangan umat Islam. Perebutan wilayah dan kekuasaan politik memicu hubungan Muslim-Kristen di Abad Pertengahan, namun apa dampak perebutan kekuasaan terhadap umat Kristen yang hidup di bawah pemerintahan Muslim dan sebaliknya? Baik penguasa Muslim maupun Kristen merancang cara menghadapi kelompok agama minoritas. Dalam hal pemerintahan Islam, Al-Qur'an tak menetapkan parameter yang jelas tentang cara memerintah non-Muslim, meskipun Al-Qur'an melarang umat Islam memaksa para 'Ahli Kitab'—yakni, Yahudi dan Kristen—agar masuk Islam. Hukum Islam pada akhirnya akan menguraikan tempat kelompok minoritas yang dilindungi, yang dikenal sebagai dzimmi.
Pembatasan yang diterapkan pada kelompok minoritas non-Muslim, mungkin dipandang tak toleran oleh para pembaca modern. Namun, pada kenyataannya, orang-orang Yahudi dan banyak pembangkang Kristen di wilayah Kekaisaran Bizantium dan Persia, kerapkali menikmati kebebasan yang lebih besar di bawah pemerintahan Islam ketimbang di bawah pemerintahan kekaisaran Kristen. Dalam konteks sejarah awal pertemuan Muslim-Kristen, Islam, bukan Kristen, yang seringkali terbukti lebih menerima keberagaman agama.

Gambaran singkat kebangkitan Islam dan pertarungan antara umat Islam dan Kristen, dapat memberikan kesan bahwa hubungan keduanya cuma bercirikan konflik dan konfrontasi. Namun tak selalu. Upaya kolaboratif dan pertukaran manfaat juga terjadi antara umat Islam dan Kristen. Misalnya, di Cordoba, umat Islam dan Kristen pernah berbagi ruang ibadah di Katedral Cordoba. Salah satu pertukaran terbesar adalah terjemahan teks-teks ilmiah dan filosofis dari zaman kuno. Berkat upaya para cendekiawan Muslim, tulisan-tulisan Plato, Aristoteles, Galen, dan Hippocrates, untuk pertama kalinya dapat diakses secara luas oleh para cendekiawan Eropa abad pertengahan.
Dampak dunia Islam terhadap perkembangan Eropa, tak sekedar mentransmisikan dan menerjemahkan teks-teks lawas. Sains, matematika, seni, arsitektur, sastra, filsafat, dan teologi Eropa, semuanya mendapat inspirasi dari sumber-sumber Islam dan Arab. Abū Bakr Muhammad bin Zakariyya al-Rāzi menulis Liber continens, salah satu buku teks kedokteran yang paling sering digunakan dan dihormati di Eropa selama Abad Pertengahan. Abū Ali al-Hassan ibnu al-Haytsam mengoreksi teori penglihatan kuno yang dikembangkan oleh orang-orang seperti Euclid dan Ptolemy, dengan dalil bahwa penglihatan dimungkinkan karena pembiasan cahaya melalui lensa mata. Abū Abdullah Muhammad ibnu Mūsa al-Khwārizmi berkontribusi pada pembentukan disiplin matematika khas yang sekarang dikenal sebagai aljabar; kata aljabar dalam bahasa Arab berarti 'restorasi' atau 'penyelesaian' dan ditemukan dalam judul buku al-Khwārizmi yang beredar luas, Ringkasan Perhitungan dengan Restorasi dan Penyeimbangan. Arsitektur Romawi pada gereja-gereja di Prancis selatan mengadopsi bentuk dan teknik arsitektur Islam, seperti lengkungan tapal kuda dan penggabungan keramik pada bahan bangunan. Fabel dan cerita asal Arab menginspirasi penulis mulai dari Geoffrey Chaucer hingga Miguel de Cervantes. Filsuf Muslim Abū al-Walīd Muhammad bin Ahmad ibnu Rusyd, yang hanya disebut sebagai Averroës dalam tulisan-tulisan Eropa, mengembangkan serangkaian komentar atas karya-karya Aristoteles yang membuka jalan bagi pemikiran Aristotelian agar dijadikan sebagai sumber penting refleksi filosofis dan teologis. Memang benar, teolog Kristen paling berpengaruh pada Abad Pertengahan, Thomas Aquinas, mendalami filsafat Averroës, walaupun ia mengkritiknya.

Pada pertemuan awal antara umat Kristen dan Islam, kurangnya kesadaran tentang Islam dapat dengan mudah dijelaskan. Orang-orang Kristen tak menunjukkan rasa ingin tahu yang besar dalam mempelajari Islam lantaran sebagian besar penulis Kristen pada awalnya memandang Muslim sebagai momok yang diutus Sang Ilahi untuk menghukum orang-orang Kristen karena dosa-dosa mereka. Kita dapat melihat fenomena yang sama dalam pertemuan awal antara umat Kristen dan Islam di Barat. Ketika umat Islam menaklukkan sebagian besar wilayah Spanyol, umat Kristen memandang penakluk mereka sebagai hukuman Ilahi atas dosa-dosa mereka. Permasalahannya ada pada umat Kristiani, dan oleh sebab itu, solusinya, yaitu pertobatan, hanya dapat ditemukan dalam komunitas Kristiani. Baru setelah sejumlah besar umat Kristen masuk Islam, para penulis Kristen mulai memandang umat Islam bukan hanya sebagai musuh militer yang ditetapkan Sang Ilahi, namun juga sebagai saingan agama.
Dengan kemenangan Perang Salib Pertama, umat Kristen menjadi lebih dekat dengan umat Islam dan mengetahui bahwa umat Islam bukanlah penyembah berhala, melainkan monoteisme. Kronik-kronik yang ditulis pada masa Perang Salib kemudian kurang memberikan perhatian pada penggambaran kaum Saracen sebagai penyembah berhala. Kendati demikian, gambaran penyembah berhala Saracen tetap hidup dalam imajinasi prang Eropa.
Penggambaran umat Islam sebagai pagan dan penyembah berhala pada akhirnya digantikan oleh keyakinan bahwa Islam merupakan salah satu bentuk ajaran sesat Kristen seusai Perang Salib Pertama. Persepsi ini, yang menonjol pada abad ke-12, sebenarnya sudah terekspresikan pada abad pertama perjumpaan Kristen dengan Islam dalam tulisan John dari Damaskus. John lebih peduli dengan ikonoklasme, perusakan ikon, dibandingkan dengan Islam, namun ia tetap menjadi salah satu pemikir Kristen paling awal yang mengembangkan pandangan Islam sebagai versi sesat dari agama Kristen.

Para sejarawan sering memisahkan Abad Pertengahan dari perubahan budaya dan intelektual yang dimulai pada abad keempat belas dan kelima belas dengan Renaisans dan berlanjut pada abad keenam belas dengan Reformasi. Baik Renaisans maupun Reformasi menandai perubahan dan inovasi signifikan dalam pemikiran Eropa, namun dalam konteks topik yang dibahas, kita hanya akan menemukan sedikit hal baru. Banyak pemikir dalam gerakan-gerakan ini, terus mendaur ulang gambaran dan stereotip tentang Muslim dan Islam yang beredar selama Abad Pertengahan.
Akhir Abad Pertengahan mempersaksikan munculnya tiga kerajaan besar Islam: Kekaisaran Mughal di India, Kekaisaran Safawi di Iran, dan Kekaisaran Ottoman di Turki. Kesultanan Utsmaniyah merupakan kesultanan yang terkuat dan bertahan lama di antara ketiga kesultanan tersebut. Dengan pesatnya kemajuan Kesultanan Utsmaniyah pada periode ini, maka dapat dipahami mengapa penyebutan umat Islam pada abad pertengahan sebagai 'Saracen' atau 'Ismailiyat' digantikan dengan sebutan 'Turks' yang hampir ada dimana-mana. Para penulis Kristen seringkali mengangkat masalah 'ancaman Turki' guna menggalang dukungan bagi perang salib atau perang melawan Ottoman, namun sebutan 'Turk' berfungsi pula untuk merendahkan lawan dari komunitas Kristen lainnya. Istilah ini, seperti pendahulunya pada abad pertengahan, berdimensi etnis, politis, dan agama.

Masa Pencerahan, sebuah gerakan budaya dan intelektual abad ketujuh belas dan kedelapan belas di Barat yang menekankan pada nalar, merupakan sebuah gerakan budaya dan intelektual yang muncul menjelang akhir abad ketujuh belas dan mencapai puncaknya pada abad kedelapan belas. Gerakan ini menekankan keutamaan nalar dalam pencarian manusia guna memperoleh ilmu dan menemukan kebenaran. Penekanan pada zaman Pencerahan terhadap nalar berkontribusi pada iklim dimana para filsuf dan intelektual semakin menyerang agama Kristen tradisional, baik dalam bentuk Protestan maupun Katolik, sebagai agama yang tak rasional dan bersifat takhayul.
Namun, Abad Pencerahan tidak menyaksikan ditinggalkannya prasangka-prasangka lama. Baik dalam tulisan-tulisan filosofis maupun populer, gambaran buruk tentang Muslim dan Islam masih terus ada. Faktanya, kita mempunyai banyak contoh filsuf Pencerahan yang mengulangi stereotip negatif meskipun mereka mengartikulasikan penilaian yang lebih positif.
Penggambaran Islam yang simpatik pada masa Pencerahan mungkin telah mempermasalahkan narasi abad pertengahan, namun tak menghilangkannya. Islam hidup dalam imajinasi Eropa sebagai agama yang berakar pada penipuan, kekerasan, dan kebencian terhadap wanita. Sekalipun argumen-argumen teologis yang mendorong konstruksi polemik Islam kehilangan sebagian potensinya pada akhir Pencerahan, argumen-argumen tersebut masih bertahan hingga era modern. Ketakutan terhadap umat Islam sebagai 'orang lain' menjadi hambatan dan ancaman terhadap kekuasaan dan hegemoni Eropa tak memudar, namun semakin meningkat seiring dengan kemunduran Ottoman dan meningkatnya minat Eropa terhadap ekspansi kolonial pada abad kesembilan belas.

Kolonialisme bukanlah penemuan modern Eropa, namun telah menjadi ciri yang berulang dalam sejarah manusia. Kolonisasi Eropa dimulai dengan 'penemuan' benua Amerika oleh Christopher Columbus dalam ekspedisinya pada tahun 1492. Spanyol dan Portugis mengembangkan jaringan kolonial yang luas di Amerika Utara dan Selatan pada abad berikutnya. Pada abad ketujuh belas, antara lain Inggris, Prancis, dan Belanda, bergabung dengan mereka. Kekuatan Eropa juga mulai memperluas jangkauan mereka di Belahan Bumi Timur pada abad keenam belas—Portugis merebut Goa di India pada tahun 1510 dan Malaka di Malaysia pada tahun 1511. Penaklukan Eropa di kedua belahan bumi dimungkinkan oleh inovasi dalam pelayaran dan kendali yang lebih besar atas jalur pelayaran. Pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas, Revolusi Industri memberikan dorongan terhadap teknologi dan kemampuan militer Eropa yang sangat memudahkan proyek-proyek kolonial.
Upaya kolonial membuat banyak wilayah mayoritas Muslim tak tersentuh sebelum abad kesembilan belas, meskipun umat Islam di wilayah seperti anak benua India sudah merasakan dampak kolonialisme pada abad keenam belas. Dengan invasi Napoleon ke Mesir pada tahun 1798, kita menyaksikan dimulainya upaya serius Eropa menaklukkan wilayah Muslim di Afrika Utara dan Timur Tengah. Upaya Napoleon gagal, sebagian karena intervensi Inggris, namun Perancis berhasil menginvasi dan menduduki Aljazair pada tahun 1830. Aljazair menjadi koloni Eropa permanen pertama di Afrika Utara, dan penaklukannya menandai awal dari sebuah perjalanan yang panjang, penuh gejolak, dan terkadang terjadi konflik berdarah antara penjajah dan terjajah. Prancis menjadikan Tunisia dan Maroko protektorat masing-masing pada tahun 1881 dan 1912, dan pada tahun 1923 Liga Bangsa-Bangsa memberikan mandat Suriah dan Lebanon saat ini, kepada Prancis.

Pada awal abad ke-20, sebagian besar dunia Islam berada di bawah kekuasaan Eropa, dan cuma segelintir negara di Timur Tengah—Iran, Arab Saudi, Turki, dan Yaman—yang lolos dari dominasi kolonial Eropa setelah Perang Dunia I berakhir. Menjelang Perang Dunia I, negara-negara Eropa berkekuasaan politik dan ekonomi yang besar di sebagian besar dunia, termasuk dunia Islam.
Dampak kolonialisme dan neokolonialisme terhadap hubungan antara Islam dan Barat tak boleh dianggap remeh. Banyak umat Islam di Timur Tengah dan wilayah mayoritas Islam lainnya, menyalahkan perjuangan politik dan ekonomi mereka saat ini akibat campur tangan Barat di masa lalu dan saat ini. Sentimen anti-Barat yang ditemui di negara-negara ini, tak dapat dipahami terlepas dari warisan kolonialisme, seperti halnya analisis yang memadai terhadap wacana Barat kontemporer tentang Muslim dan Islam hendaknya mempertimbangkan usaha kolonial dan rancangan imperial Barat di masa lalu dan masa kini di dunia Islam.

Konflik Israel-Palestina dan Orientalisme bisa dikatakan juga berperan dalam Islamofobia, dan akan kita percakapkan di episode berikut. Bahasan tentang organ dan fungsi negara dari perspektif Islam, kita bicarakan seusai topik Islamophobia, bi 'idznillah."

Disaat rehatnya, Yasmin bersenandung,

I walked in the room, eyes are red,
[Kuberjalan di kamar itu, mata memerah,]
and I don't smoke banga
[dan aku tak menghisap ganja]
Did you check on me? *)
[Sudahkah engkau mengecek diriku?]
Kutipan & Rujukan:
- Todd H. Green, The Fear of Islam: An Introduction to Islamophobia in the West, 2015, Fortress Press
- Jim Wolfreys, Republic of Islamophobia: The Rise of Respectable Racism in France, 2018, Oxford University Press
*) "People" karya Libianca Fonji & Orhue Odia