"Ini bukan omon-omon soal lope lope, tetapi tentang seekor gajah yang mencoba berdansa. Betewe, apa iya gajah bisa berjoged Tiktok?" kata Cangik melanjutkan. 'Secara teknis, apa pun masuk akal jika dirimu udah muak dengan wiski Hibiki dan bersedia mendefinisikan ulang struktur realitas. Namun, dengan asumsi kita beroperasi dalam batasan fisika Newton yang diterima secara umum dan akal sehat, kemungkinan seekor gajah berdansa waltz atau pun joged Tiktok, berada di antara 'babi yang secara spontan mengembangkan kemampuan terbangnya' dan 'Mulyono yang gak ngibul tanpa pencitraan.'
'Ya, sang gajah bisa berdansa jika seseorang mendefinisikan 'dansa' itu sebagai 'serangkaian gerakan tak terkendali dan menggetarkan bumi yang samar-samar menyerupai Macarena, yang dilakukan saat gempa bumi ringan'.
Sembari menunggu apakah sang Gajah bisa berdansa, mari kita baca beritanya. Pertama, para pengendara bermotor di seluruh Indonesia sedang garuk-garuk kepala (dan mungkin pula blok mesin mereka) menyusul rumor yang terus-menerus beredar bahwa bahan bakar premium nasional, Pertamax, mungkin punya hubungan amat dekat dengan saudaranya yang lebih terjangkau, Pertalite.
Bisik-bisik tetangga mulai beredar beberapa minggu lalu, dipicu oleh bukti anekdotal tentang akselerasi yang lambat, suara mesin yang tak biasa, dan keinginan yang tak dapat dijelaskan tentang makan nasi goreng di setiap terminal. Beberapa pengemudi bahkan melaporkan mobil mereka secara spontan menyukai musik dangdut–sebuah fenomena yang oleh para ahli disebut 'Ndut-ndut Pertaliation.'
'Dulu sih rasanya seperti Valentino Rossi dalam perjalanan ke kantor,' keluh seorang pengendara. 'Sekarang, rasanya seperti... mmm, versi Valentino Rossi yang naek onthel.'
Raksasa energi milik negara, Pertamina, dengan tegas membantah melakukan kesalahan, dan mengeluarkan pernyataan yang meyakinkan publik bahwa Pertamax memenuhi semua spesifikasi yang dipersyaratkan. "Pertamax kami berkualitas terbaik," demikian sang pembuat pernyataan seraya membaca teksnya, "dan jelas, mutlak, dan pasti tak dicampur dengan bahan bakar lain. Kecuali, mungkin, dalam jumlah yang sangat kecil, hampir tak terlihat, kecuali mungkin, dengan alsan tertentu.'
Sumber di dalam Pertamina, yang berbicara dengan syarat anonim (dan mengenakan kacamata Groucho Marx), menyatakan bahwa setiap kesamaan yang dirasakan antara Pertamax dan Pertalite hanyalah kebetulan. 'Anggap saja seperti saudara kembar,' canda seorang sumber. 'Keduanya mungkin punya beberapa kesamaan, tetapi yang satu kuliah dan yang lainnya... mungkin, punya minat dalam distribusi bahan bakar.'
Kantor Kejaksaan Agung Indonesia telah meluncurkan penyelidikan skala penuh atas masalah ini, dengan janji takkan membiarkan satu pun jalur bahan bakar tak diperiksa. Para ahli sedang diajak konsultasi, sampel bahan bakar sedang dianalisis dengan saksama, dan pejabat pemerintah menghadiri retret 'kinerja mesin' yang intensif (yang sebagian besar terdiri dari menatap dengan saksama grafik dyno).
'Kami akan menyelidiki ini sampai tuntas,' janji Jaksa Agung, sambil dengan curiga mengamati Kijang Innova miliknya. 'Masyarakat Indonesia berhak tahu apakah mereka benar-benar mendapatkan bahan bakar premium yang mereka bayar, atau cuman... enthusiastic Pertalite.'
Saat penyelidikan berlangsung, satu pertanyaan tetap mumbul: apakah kebenaran tentang Pertamax akan terungkap? Atau Indonesia akan selamanya bertanya-tanya mengendarai mobil dengan bahan bakar jagoankah mereka, atau cuma pilihan murah yang disamarkan dengan licik? Hanya waktu, dan mungkin beberapa kamera tersembunyi yang ditempatkan secara strategis di kilang-kilang minyak milik Pertamina, yang akan menjawabnya. Sementara itu, para pengendara disarankan agar menyimpan struk pembelian bahan bakar mereka, dan mungkin berinvestasi pada sepasang penyumbat telinga yang bagus untuk momen-momen dangdut spontan.
Berita kedua, lukisan 'Tikus dalam Garuda' karya Rokhyat. Rupanya, seniman berusia 60 tahun asal Banjarmasin ini, berani menghebohkan publik lewat karyanya, 'Tikus dalam Garuda.' Lukisan yang dipamerkan dalam pameran 'Ironi Negeri' awal Februari 2025 di Badrigallery Banjarmasin itu menampilkan Garuda, lambang kebanggaan dan kekuatan nasional Indonesia, dengan sedikit perubahan: ada tikus di dalamnya.
Nah, sebelum engkau mulai membayangkan seekor tikus kartun yang lucu mengemudikan Garuda semacam versi aneh Ratatouille versi Indonesia, mari kita bersikap realistis. Ini bukan tentang hewan pengerat yang menggemaskan; ini tentang 'tikus' laen – para pejabat korup yang konon menggerogoti fondasi negara. Mereka cuman jual tampang doang. Yang punya tas kerja mewah dan rekening luar negeri yang lebih mewah lagi. Karya Rokhyat adalah komentar tentang 'Masalah tersembunyi di balik kemegahan, atau bahkan ketidakberesan dalam sistem yang semestinya kuat.'
Tak mengherankan, beberapa pejabat pemerintah gak gitu bahagia dengan mahakarya Rokhyat. Mereka gak hepi dengan gagasan disamakan dengan hama, dan siapa yang bisa menyalahkan mereka? Maksudku, dijuluki 'tikus berdasi' bukanlah pujian. Beberapa pejabat mengecam lukisan Rokhyat. Namun, banyak orang menghargai keberanian Rokhyat dalam mengekspresikan realitas di Indonesia melalui karya seninya.
Aku tak semestinya punya pendapat, tetapi jika punya, diriku akan mengatakan bahwa lukisan ini adalah karya satire yang brilian. Inilah komentar yang berani dan provokatif tentang korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, menggunakan simbolisme yang cerdas dan langsung dapat dikenali. Inilah jenis karya seni yang membuatmu berpikir, membuatmu bertanya, dan mungkin bahkan membuatmu tertawa gagap saat engkau melihat sekeliling, melihat apakah ada yang mendengarkan.
Suka atau tidak, 'Tikus dalam Garuda' tentu saja telah memicu perbincangan, dan itulah yang semestinya dilakukan oleh karya seni yang bagus. Sekarang, jika engkau berkenan, diriku tiba-tiba merasa perlu menonton Ratatouille. Tentu saja karena alasan artistik semata.
Nah, sekarang mari kita beralih ke topik kita tentang Oligarki. Indonesia sering digambarkan sebagai 'Oligarki Patrimonial'—sistem dimana elit kaya, dinasti politik, dan taipan bisnis mendominasi pemerintahan. Oligarki ini berkembang dari era Suharto (1966–1998) dan bertahan dalam berbagai bentuk hingga saat ini. Selama rezim Orde Baru Suharto (Kapitalisme Kroni Suharto, 1966–1998), Indonesia dikendalikan oleh elit bisnis-militer. Suharto menciptakan 'oligarki konglomerat'—taipan bisnis yang memperoleh kekayaan dengan mendukung pemerintahannya. Liem Sioe Liong (Salim Group) merupakan salah satu sekutu terdekat Suharto. Pemerintah memberikan monopoli, kontrak, dan perusahaan milik negara kepada para kroni.
The Rise of Capital (1986, Allen & Unwin) karya Richard Robison meneliti kemunculan dan pengaruh kelas kapitalis di Indonesia pada akhir abad ke-20. Ia mengeksplorasi bagaimana kapital menjadi kekuatan signifikan yang mempengaruhi negara, pejabatnya, dan kebijakannya, menganalisis perpecahan internal dalam kelas kapitalis dan hubungannya dengan pejabat negara. Robison meneliti fusi pejabat negara dan kelas kapitalis, menyoroti potensi pembentukan kelas penguasa baru. Ia juga membahas tantangan yang dihadapi oleh kapital karena segmentasinya menjadi golongan domestik dan internasional, golongan negara dan swasta, serta golongan Tionghoa dan pribumi. Dinamika ini dikontekstualisasikan dalam pengaruh internasional seperti fluktuasi ledakan minyak, peran Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD) dan Dana Moneter Internasional (IMF), penurunan pendapatan ekspor, dan tantangan fiskal negara.
Robison berpendapat bahwa munculnya modal di Indonesia sangat terkait erat dengan kekuasaan negara. Para oligarki konglomerat tak semata entitas bisnis independen, melainkan pula sering dikaitkan dengan pejabat pemerintah, termasuk rezim Orde Baru Suharto. Para elit bisnis ini mendapatkan keuntungan dari perlindungan negara, kebijakan yang menguntungkan, dan akses istimewa ke sumber daya, yang menjadikan mereka pilar penting ekonomi politik.
Robinson menjelaskan bagaimana dukungan negara terhadap elit bisnis tertentu menciptakan lingkungan kapitalisme kroni, dimana keberhasilan ekonomi sering ditentukan oleh koneksi politik daripada kekuatan pasar. Negara memberikan monopoli, lisensi impor, dan kontrak pemerintah untuk memilih konglomerat, yang mengonsolidasikan kekuasaan mereka.
Robison menekankan bahwa kelas kapitalis Indonesia tak monolitik. Kelas ini terbagi sepanjang beberapa garis, termasuk bisnis yang terkait dengan negara, konglomerat sektor swasta, dan elit bisnis Chinese-Indonesia. Para konglomerat ini sering beroperasi dalam kerangka etnis dan politik, dengan beberapa di antaranya mendapat lebih banyak keuntungan dibanding yang lain dari patronase negara. Meskipun para konglomerat ini berkontribusi terhadap pesatnya ekspansi ekonomi Indonesia, ketergantungan mereka pada bantuan negara dan pembiayaan eksternal membuat ekonomi rentan terhadap guncangan. Hal ini menjadi jelas selama Krisis Keuangan Asia (1997–98), ketika banyak perusahaan oligarki bangkrut karena utang yang berlebihan dan salah urus keuangan.
Robison meneliti bagaimana penggabungan pejabat negara dan elit bisnis menunjukkan munculnya kelas penguasa baru, tempat kekuatan ekonomi dan politik menyatu. Dinamika ini menciptakan tantangan bagi reformasi ekonomi jangka panjang dan transisi demokrasi.
Selama rezim Orde Baru Suharto, kekuatan ekonomi terpusat di kalangan segelintir taipan bisnis yang memiliki hubungan dekat dengan negara. Para konglomerat ini berkembang pesat karena perlakuan istimewa, termasuk proyek-proyek yang didanai negara, monopoli, lisensi impor, dan akses ke kredit murah.
Banyak dari elit bisnis ini pensiunan perwira militer, birokrat, atau individu yang punya hubungan pribadi langsung dengan Suharto dan lingkaran dalamnya. Hubungan yang erat ini bermakna bahwa kebijakan negara seringkali dirancang menguntungkan kelompok-kelompok tertentu daripada mendorong pasar yang kompetitif.
Robison menyoroti bagaimana elit bisnis dan pejabat pemerintah menjadi semakin tak dapat dibedakan. Individu yang sama, yang mengendalikan lembaga negara juga merupakan pemain utama di sektor swasta, baik sebagai mitra diam, pemegang saham, atau pemilik langsung konglomerat besar. Akibatnya, kebijakan ekonomi seringkali dibentuk bukan oleh efisiensi pasar tetapi oleh kepentingan elit, yang memperkuat sistem kapitalisme kroni dimana pengaruh politik menentukan keberhasilan ekonomi.
Karya Robinson juga membahas dimensi etnis dari penggabungan ini. Banyak konglomerat bisnis terbesar di Indonesia dikendalikan oleh pengusaha beretnis China tetapi kelangsungan hidup mereka bergantung pada aliansi politik dengan elit negara. Untuk mempertahankan akses ke sumber daya dan perlindungan dari tekanan nasionalis, para taipan Chinese-Indonesia membentuk kemitraan dengan pejabat tinggi pemerintah dan militer, yang selanjutnya memperkuat perpaduan kekuatan politik dan ekonomi.
Seiring berjalannya waktu, perpaduan kepentingan negara dan bisnis menciptakan kelas elit yang saling memperkuat yang mengendalikan pengambilan keputusan politik dan sumber daya ekonomi. Hal ini bermakna bahwa kekuasaan politik mengamankan hak istimewa ekonomi, yang memastikan dominasi berkelanjutan dari elit penguasa. Dominasi ekonomi memperkuat pengaruh politik, karena elit bisnis dapat mendanai kegiatan politik, mempengaruhi kebijakan, dan mempertahankan status istimewa mereka.
Penggabungan kekuasaan ini menghambat reformasi ekonomi dan politik yang sesungguhnya karena perubahan yang mengancam kepentingan elit dihalangi. Ketika upaya liberalisasi atau demokratisasi muncul, elit bisnis-negara menemukan cara beradaptasi, kerap mengkooptasi reformasi untuk mempertahankan kendali mereka daripada mencabut hak istimewa mereka.
Analisis Robison menunjukkan bahwa kelas penguasa Indonesia tak sepenuhnya politis atau ekonomis, tetapi gabungan keduanya. Tak seperti kelas penguasa feodal atau militer tradisional, elit baru ini mengendalikan kekuasaan melalui dominasinya atas aparatur negara dan ekonomi. Struktur ini bertahan bahkan setelah jatuhnya Suharto, karena banyak elit bisnis dan politik yang sama tetap berpengaruh di Indonesia pasca-Orde Baru.
Dinamika yang dijelaskan Richard Robison dalam Indonesia: The Rise of Capital terus membentuk ekonomi politik modern Indonesia, bahkan setelah jatuhnya Suharto pada tahun 1998. Meskipun beberapa reformasi telah dilakukan, perpaduan kekuatan ekonomi dan politik masih mengakar kuat. Setelah Suharto jatuh, demokrasi dipulihkan, tetapi oligarki tetap berkuasa dengan mengendalikan partai politik, media, dan kebijakan ekonomi.
Jatuhnya Suharto pada tahun 1998 tak menghilangkan hubungan negara-bisnis; sebaliknya, banyak elit bisnis yang sama bertransisi ke era demokrasi dengan bersekutu dengan para pemimpin politik baru. Alih-alih bergantung pada negara otoriter yang tersentralisasi, para oligarki beradaptasi dengan sistem baru dengan menyusup ke partai politik, membiayai kampanye pemilu, dan membentuk aliansi dengan politisi regional dan nasional.
Pergeseran Indonesia ke sistem demokrasi tak serta merta melemahkan dominasi oligarki. Sebaliknya, persaingan politik telah membuat partai-partai politik lebih bergantung pada pendukung orang kaya, yang memperkuat pengaruh elit bisnis. Kandidat presiden dan anggota parlemen sering bergantung pada pendanaan perusahaan kampanye, sehingga menciptakan demokrasi berbasis patronase dimana pejabat terpilih membayar kembali pendukung finansial mereka dengan kebijakan, kontrak, dan perlindungan hukum yang menguntungkan. Banyak pemilihan kepala daerah (pilkada) yang sebagian besar dibiayai oleh elit bisnis, yang mengharapkan izin pertambangan, perkebunan, atau proyek infrastruktur sebagai imbalannya.
Meskipun Indonesia telah mengalami diversifikasi ekonomi dan reformasi regulasi, kebijakan negara masih cenderung lebih memihak konglomerat mapan daripada mendorong persaingan yang adil. Industri-industri utama seperti minyak kelapa sawit, pertambangan, perbankan, dan telekomunikasi masih didominasi oleh segelintir kelompok bisnis yang kuat, yang banyak di antaranya berakar pada era Suharto. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sering digunakan sebagai alat politik, dengan memberikan kontrak kepada perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan politik. Industri minyak kelapa sawit dikendalikan oleh sejumlah kecil konglomerat kuat yang berhubungan dekat dengan politisi, yang membentuk kebijakan ekspor, regulasi lingkungan, dan penggunaan lahan.
Gagasan Robison tentang kelas penguasa hibrida (dimana elit bisnis dan politik bergabung) telah berkembang menjadi pembentukan dinasti politik. Banyak politisi berasal dari latarbelakang bisnis yang kaya, sementara yang lain membangun kerajaan bisnis setelah memasuki dunia politik, yang semakin mengaburkan batasan antara layanan publik dan akumulasi kekayaan pribadi. Misalnya, keluarga Mulyono telah memperluas kepentingan bisnisnya sejak ia memasuki dunia politik, dengan putra dan menantunya mengamankan posisi politik yang strategis. Selama 10 tahun pemerintahannya, Mulyono menghadapi tuduhan beberapa 'dosa' yang menyebabkan seruan agar ia diadili dan berpotensi dipenjara. Organisasi masyarakat sipil telah menunjuk pada tindakan negara yang represif, semisal perusakan lingkungan dan pembatasan hak-hak bagi perempuan, pekerja, dan warga sipil. Para kritikus berpendapat bahwa undang-undang seperti Omnibus Law dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) membatasi kebebasan berekspresi dan memberdayakan pasukan keamanan untuk membungkam perbedaan pendapat.
Mulyono digugat merusak prinsip-prinsip demokrasi melalui kebijakan dan tindakannya, termasuk memanipulasi undang-undang dan mempengaruhi penunjukan hakim. Beberapa kritikus mengatakan bahwa ia berusaha mempertahankan kekuasaannya, melanggar konstitusi dengan mendukung putranya.
Para kritikus memandang bahwa Mulyono tak berbuat banyak untuk melindungi komisi antikorupsi (KPK) dari serangan, sehingga lembaga itu melemah. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa pemberantasan korupsi mencapai titik terburuknya selama sepuluh tahun masa jabatan Mulyono.
Pemerintahan Mulyono dikritik karena tak menangani masalah lingkungan yang besar, seperti penggundulan hutan dan pembakaran lahan gambut.
Ada tuduhan kekerasan, penganiayaan, kriminalisasi, dan diskriminasi terhadap orang-orang yang menuntut hak-hak mereka, serta impunitas atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Amnesty International menyatakan bahwa melanjutkan eksekusi akan menempatkan pemerintahan Mulyono 'di sisi sejarah yang gelap.'
Man of Contradictions' (2020, Penguin) karya Ben Bland adalah biografi politik yang menganalisis kepemimpinan Mulyono. Ia menggambarkan Mulyono sebagai pemimpin yang penuh kontradiksi, yang mencerminkan sejarah pascakemerdekaan Indonesia. Buku ini menekankan sifat Mulyono yang kontradiktif, dengan menonjolkan kontras antara citra dan tindakannya. Ia digambarkan sebagai 'orang yang penuh kontradiksi' yang menavigasi kekuatan politik Indonesia yang beragam.
Bland menggambarkan Mulyono saat menjabat sebagai orang yang bermasalah, dengan mencatat kelemahan dalam proyek infrastruktur dan kecenderungan membuat penilaian cepat tanpa analisis yang tepat. Mulyono digambarkan sebagai 'naluriah dan keras kepala', yang kontras dengan pendahulunya, yang 'mendengarkan nasihat'.
Buku ini menawarkan evaluasi kritis terhadap Mulyono, terutama jika dibandingkan dengan kegembiraan seputar pemilihannya pada tahun 2014. Buku ini menunjukkan bahwa tindakan Mulyono telah berkontribusi pada kemunduran demokrasi di Indonesia. Beberapa ulasan menunjukkan bahwa buku ini mencerminkan apa yang telah dicatat oleh banyak pengamat tentang kurangnya tindakan reformis Mulyono, terutama setelah masa jabatan pertamanya. Buku ini memuat komentar dari para penasihat dan pejabat Mulyono (yang tak disebutkan namanya), yang mengungkap kontradiksi dalam lingkaran dalamnya. Seorang penasihat mencatat, 'Mulyono tak suka analisis,'. Mulyono digambarkan lebih mengutamakan tindakan dan hubungan masyarakat daripada kualitas dan perencanaan.
Kepemimpinan Mulyono tergolong otoriter karena beberapa faktor. Banyak sumber yang menunjukkan adanya kemunduran dalam lembaga-lembaga demokrasi Indonesia selama masa jabatannya. Pemerintahan Mulyono dianggap mengambil 'arahan otoriter', terutama terlihat menjelang pemilu 2019. Hal ini melibatkan manipulasi lembaga penegak hukum dan keamanan untuk tujuan partisan.
Peraturan perundang-undangan seperti Omnibus Law dan UU ITE telah dikritik karena membatasi kebebasan berekspresi dan memberdayakan pasukan keamanan untuk menekan perbedaan pendapat. Pemerintahan Mulyono juga memperkenalkan kewenangan hukum baru untuk melarang organisasi masyarakat sipil.
Para kritikus berpendapat bahwa Mulyono tidak melindungi badan antikorupsi nasional (KPK) secara memadai, yang menyebabkan penurunan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia. Tindakan Mulyono, seperti mendukung putranya sebagai calon wakil presiden, telah dipandang sebagai upaya mengonsolidasikan kekuasaan dan mempertahankan pengaruh politiknya, yang berpotensi melindungi dirinya dari pengawasan hukum. Upaya mengonsolidasikan posisi politiknya telah melanggar norma-norma demokrasi yang fundamental. Beberapa pihak berpendapat bahwa tindakan Mulyono mencerminkan pemikiran jangka pendek dan pengambilan keputusan ad hoc, sehingga menciptakan preseden yang berbahaya bagi demokrasi Indonesia. Kemunduran demokrasi telah dikaitkan dengan praktik oligarki lama, dengan Mulyono dipengaruhi oleh elit politik lama.
Pemerintahan Mulyono ditengarai secara terbuka dan sistematis menggunakan instrumen hukum untuk keuntungan politik. Penunjukan tokoh partisan pada posisi kunci, semisal jaksa agung, telah menyebabkan melemahnya partai oposisi melalui penangkapan atas tuduhan korupsi. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah digunakan untuk memanipulasi perpecahan faksi dalam partai politik, yang melemahkan koalisi oposisi.
Mulyono memperkenalkan kekuatan hukum baru melalui keputusan presiden (Perppu) untuk melarang organisasi masyarakat sipil, yang secara efektif membatasi kebebasan berserikat. Pemerintah menggunakan ketentuan hukum untuk membatasi ruang sipil dan untuk menghindari penyertaan berbagai kelompok sosial dalam kebijakan dan pembuatan undang-undang. Undang-undang yang dirancang untuk mengekang pencemaran nama baik dan berita palsu digunakan untuk mengintimidasi jurnalis, aktivis, dan akademisi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dituduh menyerah pada campur tangan politik, dengan politisi terkenal tampaknya terlindungi dari penyelidikan. Laporan menunjukkan bahwa polisi dan lembaga lain menekan para pemimpin masyarakat untuk memobilisasi suara bagi kandidat pilihan Mulyono.
Sementara Robison berfokus pada kapitalis domestik, ekonomi politik Indonesia saat ini juga dibentuk oleh investor asing, khususnya dari China, AS, dan Jepang. Proyek infrastruktur skala besar, platform digital, dan ekstraksi sumber daya alam melibatkan kemitraan antara modal global, perusahaan negara, dan oligarki lokal. Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, yang didanai China, menunjukkan bagaimana hubungan negara-bisnis kini melampaui batas-batas nasional, dengan elit Indonesia mendapatkan keuntungan dari modal global sambil mempertahankan kendali atas urusan dalam negeri.
Analisis Robison menunjukkan bahwa kelas penguasa Indonesia tak sepenuhnya politis atau ekonomis, tetapi gabungan keduanya. Tak seperti kelas penguasa feodal atau militer tradisional, elit baru ini mengendalikan kekuasaan melalui dominasinya atas aparatur negara dan ekonomi. Struktur ini bertahan bahkan setelah jatuhnya Suharto, karena banyak elit bisnis dan politik yang sama tetap berpengaruh di Indonesia pasca-Orde Baru.
Apa saja jenis-jenis Oligarki di Indonesia? Pertama, Oligarki Bisnis (Plutokrasi). Siapa pemegang kekuasaan? Konglomerat, perusahaan besar, dan dinasti keluarga. Oligarki bisnis mempengaruhi kebijakan pemerintah melalui sumbangan, lobi, dan kontrol atas media (Oligarchy in Indonesia oleh Jeffrey A. Winters, 2011).
Berikutnya, Oligarki politik (Kontrol Partai Elit). Siapa pemegang kekuasaan? Dinasti politik, mantan jenderal militer, dan keluarga elit. Partai politik di Indonesia dikendalikan oleh beberapa keluarga elit (Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia oleh Edward Aspinall & Ward Berenschot, 2019).
Ketiga, Oligarki Media (Penguasaan Informasi). Siapa yang memegang kekuasaan? Para taipan media dan pemilik partai politik. Para oligarki mengendalikan televisi, surat kabar, dan portal berita daring untuk membentuk opini publik (Media Power in Indonesia oleh Ross Tapsell, 2017).
Indonesia BUKAN demokrasi penuh, melainkan demokrasi-oligarki hibrida dimana elit politik dan pengusaha mendominasi pembuatan kebijakan. Oligarki sangat kuat dalam bisnis, media, dan politik, mengendalikan pemilihan umum, kebijakan, dan perusahaan milik negara. Meskipun pemilihan umum demokratis, kekuatan ekonomi dan politik terpusat di tangan segelintir orang.
Pada bagian mendatang, kita akan membandingkan Oligarki Indonesia dengan Negara-negara Asia Tenggara lainnya, bi'idznillah."
Dan sebelum melanjutkan, Cangik mengajak Limbuk menyanyikan lagu Penny Lane-nya the Beatles,
In Penny Lane, there is a barber showing photographs
[Di Penny Lane, ada tukang cukur yang memamerkan potret]
Of every head he's had the pleasure to know
[dari setiap kepala yang dengan senang hati pernah dikenalnya]
And all the people that come and go
[Dan semua orang yang lalu lalang]
Stop and say hello
[Berhenti sejenak untuk menyapa]
On the corner is a banker with a motorcar
[Di sudut jalan, seorang bankir dengan mobilnya berdiri]
And little children laugh at him behind his back
[Anak-anak kecil tertawa cekikikan di belakangnya]
And the banker never wears a mac in the pouring rain
[Dan sang bankir gak pernah pakai jas hujan saat hujan lebat]
Very strange
[Aneh sekali]