Alkisah, di bawah bayang-bayang tuntutan agar potret Raja Petruk Surogendolo dicetak pada mata uang kerajaan, dan seusai kasak-kusuk tentang anonim Vavavivi serta diperkenalkannya partai baru, ParCok, yang aktif di tengah ramainya pilkada serentak tahun 2024 di dunia yang tak semata hitam dan putih, hiduplah dua kutu rambut di kepala yang berisi otak yang boleh dibilang cukup cerdas. Sebut saja mereka Nifty dan Nate. Bila dirimu seorang fotografer, engkau pasti sudah tak asing lagi dengan nama Nifty. Julukan "Nifty fifty" diperuntukkan bagi "lensa fix" 50mm dengan aperture lebar ibarat mata yang terbelalak. Lensa ini disebut pula prime lens, yang berarti engkau tak dapat memperbesar gambar, tetapi mampu menggunakan aperture lebar semisal f/1.8, f/1.4, atau f/1.2 guna beroleh bokeh. Bagi kamera dengan sistem mirrorless, lensa 50mm sebenarnya adalah lensa 25mm karena crop factor-nya 2x. Lalu, bagaimana dengan Nate? Nate merupakan sebutan bagi orang yang cerdas tapi bertingkah bodoh dan selalu berusaha membuat orang tertawa. Namun jika kata "Nate" berubah "Nates", maknanya menjadi bagian tubuh manusia yang engkau duduki a.k.a bokong. Konon, sebelum berada di kepala yang sekarang, Nate hidup di atas kepala yang tak berisi alias kopong.
Hidup di kepala yang tak berisi itu, yah, agak monoton dan tak memberi inspirasi. Nate mendapati dirinya berada di atas kepala dimana tak banyak hal yang terjadi. Percakapan membosankan, ide atau pemikiran yang itu-itu saja, dan kurangnya rangsangan intelektual membuat kehidupannya suram. Kepala yang kopong ini tak menawarkan banyak nutrisi atau sukacita. "Ah, hari-hariku melayang tanpa tujuan," keluh Nate, mengingat gurun tandus tengkorak tanpa otak itu.
Suatu hari, dalam suatu kejadian langka tak terduga, dua kepala berbenturan. Kepala yang penuh semangat yang cukup berisi bertemu dengan kekosongan suram dari tengkorak melompong. Dalam suatu kesempatan, Nate melompat dari padang pasir kebosanan ke hutan lebat yang rimbun dengan kepala yang cukup berisi. Seketika itulah kehidupan Nate berubah jadi "kutu loncat".
Hidup dengan otak penuh merupakan peningkatan dramatis, meskipun tidak tanpa kekhasannya. Otak sebagai toolbox menjadikan rambutnya yang indah bagaikan surga labirin. Nate menemukan banyak sudut dan celah yang bisa disebut miliknya. Populasi kutu setempat beragam, dan gosip harian cukup membuat rahang kutu mana pun tergelak oleh sukacita. Nutrisi berlimpah, dan cakaran serta garukan yang terus-menerus hanyalah ketidaknyamanan kecil dibanding dengan masyarakat dinamis yang telah ia masuki.
Namun, sifat rambut yang berantakan terkadang membingungkan Nate. Siapa yang tahu bahwa ada begitu banyak jenis sampo dan kondisioner berbeda, yang masing-masing menimbulkan reaksi berbeda pula? Kadarullah, ia beruntung bertemu dengan Nifty, seorang penghuni lama kepala yang berisi.
Nifty, dengan pengalamannya yang luas dan pemahaman mendalam tentang medan berbahaya, menjadi mentor bagi Nate. Ia membimbingnya melalui suka duka kehidupan di kepala yang berisi, berbagi kisah tentang bertahan hidup melawan sisir anti-kutu yang menakutkan dan badai air misterius yang dikenal sebagai "wis mambu lebus" yang singkatnya bermakna "wayae adus atau saatnya mandi."
Kehidupan Nate sedikit membaik, tetapi persahabatan dan bimbingan dari Nifty-lah yang membuatnya sungguh berharga. Bersama-sama, mereka melewati suka dan duka, memanfaatkan sebaik-baiknya dunia mereka yang kecil dan penuh sumringah di bawah deretan rambut di kepala yang berisi.
"Indahkah kekuasaan itu?" tanya Nate suatu ketika kepada Nifty.
"Keindahan kekuasaan amatlah bergantung pada bagaimana ia didefinisikan, digunakan, dan dipersepsikan, sobatku" jawab Nifty. "Manakala kekuasaan digunakan secara bertanggungjawab untuk melayani, memajukan atau meninggikan, dan melindungi orang lain, kekuasaan itu memang dapat dipandang sebagai sesuatu yang indah. Seorang pemimpin yang menjalankan kekuasaannya demi keadilan, kesetaraan, dan perbaikan masyarakatnya, mencerminkan nilai-nilai yang menurut banyak orang, mengagumkan dan menginspirasi.
Kewenangan yang berdaulat, ketika berakar pada kearifan, kasih sayang, dan keadilan, dapat melambangkan ketertiban dan stabilitas. Namun, kekuasaan yang tak terkendali atau menindas dapat mengarah pada tirani, yang sama sekali tak indah melainkan kezaliman.
Kekuasaan pada dasarnya netral— dapat menjadi alat bagi kebajikan atau keburukan yang luar biasa. Keindahannya terletak pada niat dan tindakan orang yang menggunakannya. Contoh, kekuasaan yang membebaskan, mendidik, dan memberdayakan orang lain selalu dipandang sebagai sesuatu yang mulia, sedangkan kekuasaan yang digunakan mengeksploitasi atau mendominasi dipandang sebagai sesuatu yang korup atau berbahaya.
Jika pernyataan tersebut merujuk pada dimensi estetika—mengagumi, dampak, atau keagungan kekuasaan—ia memang dapat memikat imajinasi manusia. Namun, kekaguman estetika ini hendaknya diimbangi dengan refleksi etika.
Kekuasaan menjadi indah ketika dipandang sebagai sarana meninggikan derajat dan memberi manfaat bagi orang lain. Kekuasaan yang bertanggungjawab menekankan pengelolaan, pelayanan, dan akuntabilitas. Kepemimpinan Nelson Mandela di Afrika Selatan merupakan contoh mendalam tentang kekuasaan yang bertanggungjawab. Ia menggunakan wewenang menyatukan bangsa yang terpecah, mendorong rekonsiliasi dan keadilan.
Dalam The Republic karya Plato, raja-filsuf adalah pemimpin ideal yang memerintah bukan demi keuntungan pribadi, melainkan demi kepentingan rakyat. Kekuasaan merupakan tanggungjawab, dan keindahannya terletak pada ketidakegoisan dan kearifan penggunaannya. Kekuasaan adalah tema utama dalam The Republic karya Plato, yang dieksplorasi dalam konteks pemerintahan, moralitas, dan keadilan. Plato meneliti kekuasaan melalui lensa kepemimpinan, wewenang, dan tanggungjawab etis yang menyertai pemerintahan.
Plato berpendapat bahwa kekuasaan hendaknya digunakan oleh mereka yang berilmu dan berkearifan teragung, yang ia sebut sebagai para raja-filsuf. Para penguasa ini, yang dituntun oleh akal-sehat dan mengejar "Kebajikan," adalah yang paling memenuhi syarat dalam memerintah.
Plato menyatakan, "Sampai para filsuf berkuasa sebagai raja atau mereka yang sekarang disebut raja dan orang-orang terkemuka berfilosofi dengan sungguh-sungguh dan memadai... kota-kota takkan pernah lepas dari kejahatan." Hal ini menyoroti keyakinan Plato bahwa kekuatan sejati terletak pada kemampuan membedakan apa yang adil dan baik, ketimbang mengejar kepentingan pribadi atau golongan.
Raja-filsuf menggunakan kekuasaan bukan demi keuntungan pribadi, melainkan demi kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Bagi Plato, kekuasaan menjadi indah ketika sejalan dengan pengejaran keadilan dan cita-cita kebenaran dan kebajikan yang lebih tinggi.
Kekuasaan, dalam pandangan Plato, sah dan efektif hanya ketika digunakan oleh mereka yang memahami dan mewujudkan prinsip-prinsip keadilan dan kebajikan. Pertanyaan kunci dalam The Republic adalah: Apa itu keadilan, dan bagaimana kaitannya dengan kekuasaan? Plato menyimpulkan bahwa keadilan melibatkan setiap individu dan kelas yang menjalankan peran mereka dengan tepat dalam masyarakat. Plato membayangkan masyarakat yang harmonis dengan tiga kelas: Penguasa (kearifan): Para raja-filsuf yang memerintah; Para pembantunya (keberanian): Para prajurit yang menegakkan keputusan penguasa dan melindungi negara; dan Produsen (kebersahajaan): Para petani, pengrajin, dan pekerja yang menyediakan kebutuhan material masyarakat. Kekuasaan dalam struktur ini didistribusikan secara hierarkis, tetapi setiap kelas memiliki peran khusus yang berkontribusi pada kebajikan yang lebih besar. Plato mendefinisikan keadilan sebagai keadaan harmoni dimana setiap individu dan kelas memenuhi peran yang ditentukan tanpa mengganggu tugas orang lain. Penyalahgunaan kekuasaan muncul ketika peran menjadi kabur, yang menyebabkan kekacauan. Bagi Plato, kekuasaan itu adil dan indah ketika memastikan harmoni dan melayani kebajikan kolektif, bukan ambisi atau keserakahan individu.
Alegori Gua karya Plato yang masyhur mengeksplorasi kekuatan transformatif dari ilmu dan pencerahan. Plato menggambarkan para tahanan di sebuah gua yang salah mengira bayangan sebagai kenyataan. Ketika seorang tahanan melarikan diri dan melihat dunia luar, ia memperoleh ilmu sejati. Setelah kembali ke gua, ia menghadapi perlawanan karena tahanan lain tak mau menerima pemahaman barunya.
Orang yang tercerahkan melambangkan filsuf yang telah memperoleh ilmu sejati (sebuah bentuk kebajikan). Kembali ke gua melambangkan tugas filsuf untuk membimbing dan memerintah, walaupun menjumpai permusuhan.
Kekuasaan sejati tak terletak pada paksaan atau dominasi, melainkan pada kemampuan mencerahkan orang lain dan menuntun mereka menuju kebenaran. Raja-filsuf hendaknya menuntun masyarakat menuju ilmu dan keadilan, biarpun jika itu membutuhkan pengorbanan. Kekuasaan, dalam bentuk tertingginya, adalah kemampuan menerangi kebenaran dan menuntun orang lain menuju kehidupan yang adil dan berbudi-pekerti. Plato memperingatkan tentang penyalahgunaan kekuasaan dan kemerosotan negara ketika para penguasa lebih memprioritaskan keuntungan pribadi daripada keadilan. Ia menguraikan lima jenis pemerintahan dan bagaimana kemerosotannya: Aristokrasi (pemerintahan orang bijak): Negara ideal dimana kekuasaan didasarkan pada kearifan; Timokrasi (pemerintahan kehormatan): Negara dimana para penguasa lebih menghargai kehormatan tetapi kurang bijak; Oligarki (pemerintahan orang kaya): Kekuasaan terpusat di antara orang kaya, yang menyebabkan ketidaksetaraan; Demokrasi (pemerintahan banyak orang): Kebebasan yang berlebihan menyebabkan kekacauan dan kekuasaan massa; Tirani (pemerintahan satu orang): Bentuk pemerintahan terburuk, dimana kekuasaan digunakan untuk ambisi pribadi dan menindas.
Plato menyoroti bagaimana kekuasaan dapat merusak ketika para penguasa mengabaikan kearifan dan keadilan demi ambisi pribadi atau kekayaan materi. Tirani, misalnya, didorong oleh keinginan yang tak terkendali dan mengarah pada penindasan. Plato menyadari potensi bahaya kekuasaan ketika kekuasaan dipisahkan dari kearifan dan keadilan, yang mengarah pada kemunduran negara dan masyarakat. Konsep Plato tentang "Bentuk Kebajikan" berfungsi sebagai sumber utama kekuasaan yang sah. Segala kewenangan dan keputusan hendaklah selaras dengan cita-cita transenden ini. Ia membandingkan Kebajikan dengan Matahari, yang menerangi dan memberi kehidupan. Sama seperti sang mentari memungkinkan penglihatan, Kebajikan memungkinkan ilmu dan keadilan. Para penguasa seyogyanya berusaha memahami Kebajikan untuk menjalankan kekuasaan dengan benar. Kebajikan melampaui kepentingan material dan egois, menyediakan standar objektif untuk keadilan.
Kekuasaan hanya benar-benar indah dan sah ketika dipandu oleh Bentuk Kebajikan, memastikan bahwa ia melayani kebenaran, keadilan, dan kebajikan yang lebih besar. Visi kekuasaan Plato dalam The Republic menekankan bahwa kekuasaan tidak secara inheren baik atau buruk—itu tergantung pada siapa yang menggunakannya dan untuk tujuan apa. Kekuasaan sejati berakar pada kearifan, keadilan, dan pengejaran Kebajikan. Kekuasaan paling indah ketika menciptakan harmoni, melayani kesejahteraan kolektif, dan mencerahkan masyarakat. Namun, kekuasaan juga tak pasti dan rentan terhadap kerusakan ketika dipisahkan dari kebajikan dan kebijakan.
Dari perspektif Islam, Rasulullah ﷺ bersabda, "Sayyidul qawmi khādimuhum" (Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka) yang menegaskan bahwa kekuasaan sejati melayani orang lain. Riwayat ini terkadang dirujuk dalam karya-karya seperti Sunan Abi Dawud (2858). Akan tetapi, rantai periwayatan dan keasliannya telah dinilai secara kritis (da'if atau lemah karena masalah dalam rantai periwayatnya). Meskipun kata-kata yang tepat dari hadis ini lemah, makna umumnya didukung oleh riwayat-riwayat otentik lainnya yang menekankan sifat kerendahan hati dan kepemimpinan yang berorientasi pada pelayanan dalam Islam. Misalnya, "Seorang pemimpin adalah seorang gembala dan bertanggungjawab atas kawanannya..." (Sahih Muslim, 1829). Hadis ini menggarisbawahi bahwa kepemimpinan adalah bentuk pengabdian dan tanggungjawab terhadap mereka yang berada di bawah asuhan seseorang.
Kekuasaan yang berdaulat, jika dijalankan dengan adil dan jujur, akan mendatangkan ketertiban dan stabilitas, yang dapat dilihat sebagai sesuatu yang indah. Akan tetapi, penyalahgunaannya dapat merusak keindahan ini. Pemerintahan Umar bin Khattab radhiyallahu anhu, Khalifah Islam kedua, dipuji karena keadilan dan kesetaraannya. Pemerintahannya memadukan kewenangan dengan akuntabilitas, sehingga membangun era kemakmuran dan keadilan.
John Locke, dalam Two Treatises of Government (1690, diterbitkan oleh Awnsham Churchill) dan A Letter Concerning Toleration (1689, juga diterbitkan oleh Awnsham Churchill), menekankan bahwa otoritas kedaulatan hanya sah jika sejalan dengan hukum alam dan melindungi hak-hak alami individu—hidup, kebebasan, dan harta benda. Ia juga berpendapat bahwa pemerintahan yang adil dan sah menghormati martabat dan kebebasan manusia, menjadikannya "indah" secara moral dan filosofis.
Dalam karya pentingnya, Two Treatises of Government, Locke meletakkan dasar bagi pemerintahan yang sah dengan mendasarkannya pada hak-hak alami. Ia berpendapat bahwa individu dilahirkan dengan hak-hak bawaan, yang seyogyanya dilindungi oleh otoritas kedaulatan. Ia menggambarkan "kondisi alamiah" sebagai kondisi dimana individu bebas, setara, dan diatur oleh hukum alam. Hukum ini mengamanatkan bahwa tak seorang pun boleh membahayakan kehidupan, kebebasan, atau harta milik orang lain. "Kondisi alamiah memiliki hukum alam untuk mengaturnya, yang mewajibkan setiap orang: dan akal budi, yang merupakan hukum itu, mengajarkan kepada seluruh umat manusia... bahwa karena semuanya setara dan independen, tak seorang pun boleh membahayakan orang lain dalam kehidupan, kesehatan, kebebasan, atau harta miliknya."
Otoritas yang berdaulat muncul ketika individu secara kolektif sepakat membentuk pemerintahan guna melepaskan diri dari ketidakpastian keadaan alamiah. Legitimasi otoritas ini bergantung pada kepatuhannya terhadap tujuan pemerintahan: perlindungan hak asasi manusia.
Bagi Locke, kepemilikan merupakan perpanjangan dari kehidupan dan kebebasan karena individu menginvestasikan tenaga mereka ke dalam sumber daya. Dengan demikian, perlindungan kepemilikan merupakan tugas inti dari pemerintahan yang adil. “Tujuan utama dan agung... dari manusia yang bersatu dalam negara-negara, dan menempatkan diri mereka di bawah pemerintahan, adalah pelestarian properti mereka.”
Kedaulatan tidaklah mutlak. Jika suatu pemerintahan melanggar hak asasi manusia yang seharusnya dilindungi, maka ia kehilangan legitimasinya dan dapat digulingkan dengan adil. “Setiap kali para legislator berusaha merampas dan menghancurkan properti rakyat, atau menjadikan mereka budak di bawah kekuasaan yang sewenang-wenang, mereka menempatkan diri mereka dalam keadaan perang dengan rakyat.”
Otoritas kedaulatan yang selaras dengan perlindungan hak asasi manusia mewujudkan keadilan, yang mencerminkan martabat dan rasionalitas manusia. "Keindahannya" terletak pada keselarasan moralnya dengan kebebasan dan kesetaraan manusia. Locke menggambarkan otoritas kedaulatan sebagai "indah" ketika otoritas itu menghormati kebebasan batin individu, selaras dengan nalar moral, dan menghindari paksaan dalam hal keyakinan. Kekuasaan kedaulatan hanya sah jika ia berfungsi untuk menjaga kehidupan, kebebasan, dan harta benda. Pemerintah yang menindas atau mengingkari hak-hak ini pada dasarnya tidak adil dan tidak sah. Otoritas kedaulatan Locke selaras dengan hukum alam, menjadikannya adil dan menyenangkan secara estetika dalam makna moral. Ia mencerminkan keseimbangan antara kekuasaan dan kebebasan, tugas dan kebebasan, nalar dan moralitas."