Senin, 16 Desember 2024

Mengapa Sebuah Bangsa Harus Berusaha Berkembang? (1)

Di negeri Kepulauan Sabuk Khatulistiwa, hiduplah seorang Barbie yang gemar mengamati dunia dan bercerita. Ia memulai kisahnya dengan, "Selamat datang di Dunia Barbie, tempat mimpi menjadi kenyataan dan tak terbatasnya posibilitas! Di bawah bayang-bayang 'sang penyelamat muka' memutuskan berinvestasi di IKN, bukan karena ia percaya pada proyek tersebut, melainkan karena ia ingin menyelamatkan 'Prabu Petruk Surogendelo' dari konferensi pers yang tak mengenakkan. Ketika sang Prabu mengumumkan 'Partai Perseorangan'-nya, 'sang penyelamat muka' tak kuasa menahan tawa, berpikir, 'Yah, setidaknya ia konsisten dengan penampilan solo-kariernya.' 'The Face Saviour' bercanda bahwa satu-satunya terobosan yang terjadi di IKN adalah kemampuan berkelit sang 'Prabu Surogendelo' menghindari jawaban langsung. 'Prabu Petruk Surogendelo' membentuk 'Partai Perseorangan' ibarat 'sang penyelamat muka' berinvestasi di IKN—keduanya aksi yang berusaha menyelamatkan muka.

Seperti dalam tembang Aqua, 'Barbie Girl,' 'life in plastic is fantastic', hidup dalam plastik itu fantastis, aku penasaran dan selalu ingin tahu jawaban, 'Mengapa sebuah bangsa harus berkembang?' Sekarang, mari selami dunia nyata dan lihat bagaimana pembangunan membentuk kehidupan dan negara kita.
Di Dunia Barbie, semuanya dimulai dengan sebuah visi. Bayangkan sebuah dunia dimana kota-kotanya hidup, masyarakatnya berkembang, dan peluangnya berlimpah. Pembangunan nasional dimulai dengan sebuah mimpi, seperti ketika aku memimpikan petualangan berikutku di Dreamhouse-ku. Semuanya tentang menetapkan tujuan dan bekerjasama dalam mencapainya.
Sebuah negara seyogyanya berupaya keras melakukan pembangunan guna memastikan "well-being" setiap warga negaranya dan mengamankan tempatnya di dunia yang berubah dengan cepat. Alasan pertama mengapa pembangunan nasional sangat penting ialah untuk meningkatkan kualitas hidup. Pembangunan memastikan layanan kesehatan, pendidikan, perumahan, dan akses yang lebih baik terhadap air bersih dan sanitasi. Pertumbuhan ekonomi menghasilkan pendapatan yang lebih baik, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan standar hidup. Misalnya, ketika sebuah negara berinvestasi dalam pendidikan, angka literasi meningkat, dan individu dapat mengakses peluang kerja yang lebih baik.
Amartya Sen, dalam karyanya yang berpengaruh "Development as Freedom", menyajikan pandangan yang menarik dan transformatif tentang pembangunan, dengan menekankan bahwa pembangunan pada dasarnya adalah tentang memperluas 'real freedom' (kemerdekaan atau kebebasan nyata) yang dinikmati individu. Pendekatannya bergerak melampaui ukuran ekonomi tradisional semisal pertumbuhan PDB dan tingkat pendapatan untuk berfokus pada peningkatan kemampuan dan peluang manusia.
Sen mendefinisikan pembangunan sebagai proses perluasan kemerdekaan yang dihargai dan menjadi alasan bagi masyarakat untuk menghargainya. Kemerdekaan, menurutnya, merupakan sarana dan tujuan pembangunan. Dengan ini, ia berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi bukanlah tujuan akhir, melainkan alat meningkatkan kebebasan individu, yang memungkinkan masyarakat menjalani kehidupan yang menjadi alasan bagi mereka agar memilih dan menghargainya.
Sen mengidentifikasi lima kategori 'freedom' yang saling terkait dan sangat penting bagi pembangunan:
  • Political Freedoms: Kemampuan berpartisipasi dalam proses demokrasi dan menyampaikan pendapat tanpa rasa takut.
  • Economic Facilities: Akses ke sumber daya dan peluang ekonomi, semisal pekerjaan dan pendapatan.
  • Social Opportunities: Akses ke pendidikan, layanan kesehatan, dan layanan sosial lainnya.
  • Transparency Guarantees: Adanya kepercayaan, keterbukaan, dan mekanisme mencegah korupsi dalam pemerintahan.
  • Protective Security: Jaring pengaman sosial untuk melindungi masyarakat dari kekurangan yang ekstrem selama krisis.
  • Freedom bukan semata tujuan akhir pembangunan; freedom juga merupakan pendorong penting proses pembangunan. Misalnya, individu yang berpendidikan lebih siap membuat pilihan yang tepat, sementara individu yang sehat lebih produktif dan mampu turut-serta dalam kegiatan ekonomi.
Sen menggarisbawahi bahwa peningkatan layanan kesehatan, pendidikan, dan standar hidup merupakan alat dan hasil dari perluasan kemerdekaan. Akses terhadap layanan kesehatan meningkatkan kemampuan individu, sehingga orang dapat hidup lebih lama dan lebih sehat. Peningkatan well-being ini memungkinkan individu berpartisipasi lebih aktif dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan politik. Misalnya, mengurangi angka kematian anak atau memerangi penyakit senisal malaria secara langsung meningkatkan kemampuan orang menjalani kehidupan yang memuaskan dan berkontribusi pada produktivitas masyarakat yang lebih luas.
Pendidikan memberdayakan individu dengan ilmu dan keterampilan yang diperlukan membuat keputusan yang tepat dan meraih peluang yang berarti. Bagi Sen, literasi dan pendidikan dasar bukan hanya sarana untuk produktivitas ekonomi, tapi juga penting untuk partisipasi politik dan inklusi sosial.
Meningkatkan kondisi kehidupan—semisal akses ke air bersih, makanan bergizi, dan perumahan yang layak—secara langsung memerangi ketidakmerdekaan seperti kemiskinan dan kesehatan yang buruk, yang membatasi pilihan dan agensi individu.
Kemiskinan, menurut Sen, bukan hanya pendapatan rendah; ia merupakan perampasan kemampuan dasar. Orang miskin mungkin tak penya kebebasan mengakses pendidikan, perawatan kesehatan, atau air bersih, yang membatasi kemampuan mereka menjalani kehidupan yang sejahtera.
Investasi dalam perawatan kesehatan dan pendidikan sangat penting dalam memutus siklus kemiskinan. Misalnya, negara yang menyediakan pendidikan dasar universal memungkinkan warganya menjadi pemilih yang terinformasi, pekerja yang inovatif, dan peserta yang efektif dalam masyarakat.
Sen menyoroti kasus-kasus seperti Kerala, India, dimana investasi dalam pendidikan dan perawatan kesehatan telah menghasilkan tingkat literasi yang tinggi, hasil kesehatan yang lebih baik, dan pengurangan kemiskinan meskipun pendapatan per kapita rendah. Ini kontras dengan negara-negara yang lebih kaya dengan kesenjangan pendapatan yang lebih besar dan metrik pembangunan sosial yang lebih rendah.
Sen mengkritik model pembangunan tradisional yang hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi, dengan menyatakan bahwa model-model tersebut mengabaikan ketidaksetaraan, pengucilan sosial, dan penindasan politik. Sebagai contoh, mungkin sebuah negara mengalami pertumbuhan PDB yang tinggi sementara sebagian besar penduduknya masih kekurangan akses terhadap layanan kesehatan atau pendidikan dasar. Dalam kasus seperti itu, kemajuan ekonomi tak menghasilkan pembangunan yang sesungguhnya.
Konsep Amartya Sen tentang pembangunan sebagai kemerdekaan merevolusi pemahaman kita tentang apa makna pembangunan. Dengan berfokus pada perluasan kesempatan nyata bagi masyarakat agar menjalani kehidupan yang bermakna, pendekatannya menekankan pentingnya perawatan kesehatan, pendidikan, dan standar hidup sebagai hal yang utama dalam pembangunan. Ini bukan sekadar tujuan sampingan, melainkan aspek intrinsik dari kebebasan manusia, yang menggarisbawahi bahwa kemajuan sejati terletak pada pemberdayaan individu dan peningkatan kemampuan mereka membuat pilihan tentang kehidupannya.

Dalam The End of Poverty (2005, the Penguin Press), Jeffrey Sachs menekankan peran penting yang dimainkan oleh inisiatif pembangunan yang terarah dalam mengangkat masyarakat keluar dari kemiskinan ekstrem dan meningkatkan kesejahteraan manusia. Argumennya berkisar pada gagasan bahwa kemiskinan dapat diatasi melalui intervensi strategis dan terarah yang mengatasi hambatan khusus yang mencegah orang mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan kondisi kehidupan yang lebih baik.
Sachs menjelaskan bahwa orang-orang yang berada dalam kemiskinan ekstrem selalu terperangkap dalam "poverty traps (perangkap kemiskinan)" dimana mereka tak memiliki sumber daya dan peluang dasar yang dibutuhkan memperbaiki keadaan mereka. Misalnya, tanpa akses ke air bersih, layanan kesehatan, atau pendidikan, masyarakat tak dapat lepas dari siklus penyakit, buta huruf, dan pengangguran. Inisiatif pembangunan yang terarah—semisal menyediakan kelambu untuk memerangi malaria, meningkatkan produktivitas pertanian, atau berinvestasi dalam infrastruktur dasar—dapat mematahkan perangkap ini dan menyiapkan panggung bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.
Sachs berpendapat bahwa investasi kecil yang terfokus pada perawatan kesehatan, pendidikan, pertanian, infrastruktur, dan teknologi menghasilkan peningkatan yang tak proporsional dalam kesejahteraan manusia. Misalnya, dalam Perawatan Kesehatan, menyediakan vaksin dan perawatan bagi penyakit yang dapat dicegah mengurangi angka kematian dan meningkatkan produktivitas. Pendidikan, memastikan akses ke pendidikan dasar membantu individu mengembangkan keterampilan yang dapat meningkatkan potensi penghasilan mereka. Pertanian, mendukung petani dengan benih, peralatan, dan pengetahuan yang lebih baik dapat meningkatkan ketahanan pangan dan pendapatan. Tema utama dalam karya Sachs adalah perlunya meningkatkan upaya pembangunan melalui tindakan terkoordinasi oleh pemerintah, nirlaba, dan organisasi internasional. Ia berpendapat bahwa ketika inisiatif pembangunan dilaksanakan secara komprehensif dan dalam skala besar, mereka menghasilkan efek sinergis. Misalnya, kesehatan yang lebih baik mengarah pada peningkatan kehadiran di sekolah, yang pada gilirannya mengarah pada produktivitas dan pendapatan yang lebih tinggi, menciptakan siklus pembangunan yang baik.
Sachs menyoroti bahwa tujuan akhir pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan manusia, yang ia definisikan secara luas meliputi kesehatan, pendidikan, dan kualitas hidup secara keseluruhan. Ia menyoroti kisah sukses historis—semisal the Green Revolution dan kampanye pemberantasan penyakit—sebagai bukti bahwa upaya yang terarah dapat mencapai hasil dramatis dalam mengurangi penderitaan manusia dan mendorong kemajuan.
Sachs juga berpendapat bahwa negara-negara kaya punya tanggung jawabmoral dan praktis membantu negara-negara berkembang melalui bantuan keuangan dan keahlian. Ia percaya bahwa bantuan yang ditargetkan dapat menjadi katalis, yang memungkinkan negara-negara mencapai "titik kritis" dimana mereka dapat mempertahankan pertumbuhan tanpa dukungan eksternal lebih lanjut.
Singkatnya, Sachs menyajikan inisiatif pembangunan yang terarah sebagai cara yang sangat efektif untuk mengatasi hambatan khusus terhadap kesejahteraan manusia. Dengan memecah masalah kompleks menjadi intervensi yang dapat dikelola dan meningkatkannya dengan kerjasama global, ia berpendapat, kemiskinan ekstrem dapat diberantas, dan kesejahteraan manusia dapat ditingkatkan secara berarti.

Alasan kedua mengapa pembangunan nasional amat penting ialah untuk memastikan Keamanan Nasional. Ekonomi yang kuat mendukung infrastruktur pertahanan yang tangguh, teknologi canggih, dan kemandirian sumber daya. Pembangunan mengurangi kemungkinan pertikaian internal yang disebabkan oleh ketimpangan dan kemiskinan, yang keduanya dapat memicu ketidakstabilan. Karya Paul Collier, The Bottom Billion: Why the Poorest Countries Are Failing and What Can Be Done About It (2007, Oxford University Press) mengkaji penderitaan negara-negara termiskin di dunia dan mengeksplorasi bagaimana keterbelakangan ekonomi berkontribusi terhadap ketidakstabilan, perang saudara, dan melemahnya keamanan nasional. Collier mengidentifikasi empat 'perangkap' utama yang membuat negara-negara ini tetap miskin dan rentan terhadap konflik internal dan eksternal.
Collier menjelaskan bahwa perang saudara merupakan penyebab sekaligus akibat dari kemiskinan. Negara-negara dengan tingkat pendapatan rendah dan pertumbuhan ekonomi yang stagnan lebih mungkin mengalami konflik internal, yang kemudian semakin menghancurkan perekonomian mereka. Ia mencatat perang saudara menghancurkan infrastruktur, mengurangi produktivitas, dan menciptakan ketidakstabilan jangka panjang. Perang saudara juga menakut-nakuti investor asing, yang memperburuk keterbelakangan. Begitu sebuah negara mengalami perang saudara, negara tersebut cenderung akan kembali terjerumus dalam konflik karena pelemahan institusi dan ketidakstabilan ekonomi. Siklus yang saling memperkuat ini disebut "perangkap konflik". Misalnya, penelitian Collier menunjukkan bahwa negara yang mengalami perang saudara berpeluang hampir 50% kembali terjerumus dalam konflik dalam waktu lima tahun.
Collier menyoroti bagaimana negara-negara yang kaya akan sumber daya alam sering menderita akibat apa yang dikenal sebagai "resource curse (kutukan sumber daya)." Meskipun kekayaan sumber daya mungkin tampak seperti anugerah, di negara-negara terbelakang, kekayaan sumber daya selalu menyebabkan korupsi, tatakelola yang buruk, dan pertikaian internal. Poin-poin utamanya meliputi: kendali atas sumber daya berharga semisal minyak, berlian, atau mineral menjadi titik pertikaian, yang memicu pemberontakan internal atau perebutan kekuasaan yang keras; kekayaan sumber daya dapat menyebabkan ketergantungan yang berlebihan pada satu sektor, mengabaikan bidang ekonomi lainnya. Kurangnya diversifikasi ini dapat membuat sebuah negara rentan terhadap guncangan harga dan memperburuk ketimpangan; kekayaan sumber daya kerap mengurangi kebutuhan akan perpajakan, yang melemahkan akuntabilitas pemerintah terhadap warga negaranya. Collier menunjukkan bagaimana negara-negara dengan kekayaan sumber daya yang besar dan institusi yang lemah, rentan terhadap ketidakstabilan dan kekerasan.
Geografi memainkan peran penting dalam pembangunan. Collier berpendapat bahwa negara-negara terkurung daratan yang dikelilingi oleh negara-negara tetangga yang tidak stabil atau kurang memiliki tatakelola yang baik menghadapi tantangan unik. Negara-negara ini bergantung pada negara-negara tetangga mendapatkan akses ke pelabuhan dan pasar internasional. Jika negara-negara tetangga terlibat dalam konflik atau menderita korupsi, hal itu akan membatasi kemampuan negara terkurung daratan tumbuh secara ekonomi. Konflik di negara-negara tetangga dapat meluas hingga ke perbatasan, sehingga mengganggu stabilitas negara-negara yang tadinya damai. Krisis pengungsi, pemberontakan lintas batas, dan gangguan ekonomi merupakan hal yang umum terjadi. Misalnya, banyak negara Afrika menghadapi masalah ini karena realitas geografis mereka dan kerja sama regional yang lemah.
The Bottom Billion karya Paul Collier menggambarkan bagaimana keterbelakangan ekonomi sangat terkait erat dengan perang saudara dan ketidakamanan. Negara-negara miskin yang terjebak dalam siklus konflik, tatakelola yang buruk, dan kerugian geografis menghadapi hambatan besar untuk mencapai pertumbuhan. Guna mengatasi tantangan ini, diperlukan kombinasi reformasi internal dan dukungan eksternal, dengan fokus pada upaya memutus perangkap yang membuat negara-negara ini tetap miskin dan tidak stabil.

Karya Barry Buzan, People, States, and Fear: The National Security Problem in International Relations (1983, Wheatsheaf Books), menyajikan analisis komprehensif tentang konsep keamanan, dengan menyatakan bahwa konsep tersebut melampaui ancaman militer dan mencakup dimensi politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Analisisnya menyoroti keterkaitan keamanan nasional dengan stabilitas politik dan ekonomi.
Buzan berpendapat bahwa keamanan nasional tak boleh didefinisikan secara sempit sebagai perlindungan negara dari ancaman militer eksternal. Sebaliknya, hal ini merupakan konsep multidimensi yang mencakup Keamanan politik: Stabilitas sistem pemerintahan, lembaga, dan ideologi negara; dan Keamanan ekonomi: Kapasitas sebuah negara mempertahankan ekonomi yang kuat dan mandiri.
Menurut Buzan, dimensi-dimensi ini bersifat mendasar karena kerentanan dalam ranah politik atau ekonomi dapat secara langsung berubah menjadi ancaman terhadap keamanan nasional.
Stabilitas politik sangat penting bagi keamanan nasional. Negara dengan lembaga politik yang stabil dan mekanisme pemerintahan yang diterima secara luas, tak mudah rentan terhadap perbedaan pendapat internal, pemberontakan, atau manipulasi eksternal. Sistem politik yang stabil memastikan keberlanjutan dan efektivitas dalam menanggapi ancaman keamanan. Sistem politik yang lemah atau terpecah-pecah, akan kesulitan mengoordinasikan pertahanan, diplomasi, dan langkah-langkah keamanan internal. Ketidakstabilan politik, semisal perebutan otoritas atau keretakan ideologis, dapat mengundang campur tangan eksternal atau eksploitasi oleh musuh. Sebagai contoh, negara-negara yang mengalami perang saudara atau kekacauan politik selalu menghadapi tantangan dalam mempertahankan kedaulatan dan integritas teritorial, seperti di Suriah atau Somalia.
Stabilitas ekonomi berkaitan erat dengan keamanan nasional. Ekonomi yang stabil memastikan pendanaan yang memadai bagi infrastruktur pertahanan dan keamanan. Krisis ekonomi dapat menyebabkan berkurangnya anggaran militer dan melemahnya postur pertahanan. Kesejahteraan ekonomi mengurangi ketidakpuasan internal, yang dapat bermanifestasi sebagai keresahan, radikalisasi, atau gerakan separatis. Keamanan ekonomi sangat penting dalam dunia yang saling terhubung. Ketergantungan pada sumber daya atau rantai pasokan asing dapat menciptakan kerentanan, seperti selama sanksi ekonomi atau gangguan perdagangan. Krisis ekonomi seperti Depresi Besar atau keruntuhan keuangan secara historis telah menyebabkan ketidakstabilan politik yang meluas, yang seringkali memicu masalah keamanan, seperti yang terlihat di Eropa sebelum Perang Dunia II.
Buzan menyoroti bahwa stabilitas politik dan ekonomi saling memperkuat. Ketidakstabilan politik dapat menghalangi investasi asing, mengganggu pasar, dan menyebabkan stagnasi ekonomi. Kesulitan ekonomi dapat memperburuk ketegangan politik, memicu populisme, atau memberdayakan ideologi ekstremis. Hubungan siklus ini bermakna bahwa kelemahan di kedua domain dapat memilliki efek berjenjang pada keamanan nasional. Krisis keuangan global 2008 memicu ketidakstabilan ekonomi yang berkontribusi pada pergolakan politik di berbagai wilayah, termasuk Arab Spring.
Dalam dunia yang saling terhubung saat ini, wawasan Buzan bahkan lebih relevan. Keamanan nasional dibentuk tak semata oleh faktor internal tapi juga oleh dinamika global, seperti krisis keuangan global dan ideologi politik. Negara-negara rentan terhadap guncangan ekonomi transnasional yang mengganggu stabilitas ekonomi dan masyarakat lokal. Munculnya otoritarianisme atau tantangan demokrasi liberal secara global dapat mempengaruhi stabilitas politik negara-negara tetangga atau sekutu.
Karya Buzan menyiratkan bahwa negara hendaknya mengadopsi pendekatan holistik terhadap keamanan nasional, menangani kerentanan politik dan ekonomi di samping kesiapan militer. Beberapa hal penting yang dapat diambil oleh para pembuat kebijakan meliputi memprioritaskan reformasi politik yang meningkatkan ketahanan dan legitimasi kelembagaan; berinvestasi dalam diversifikasi ekonomi dan kemandirian guna mengurangi kerentanan terhadap guncangan eksternal; mengakui dampak sosial-politik dari keputusan ekonomi dan memastikan pembangunan yang adil untuk mencegah kerusuhan.

Alasan ketiga adalah daya saing global. Pembangunan memungkinkan sebuah negara berinovasi, menghasilkan barang dan jasa yang kompetitif, serta menarik investasi asing. Dalam dunia yang mengglobal, tetap kompetitif akan memastikan ketahanan ekonomi dan pengaruh dalam urusan internasional."
[Bagian 2]