"Emosi juga bisa menjadi bentuk perjalanan waktu. Bagaimana nostalgia membawamu ke masa lalu? Bagaimana antisipasi mendorongmu ke masa depan?" sang penjelajah waktu meneruskan. "Pertimbangkan juga perjalanan kolektif umat manusia melalui waktu. Gambaran peristiwa-peristiwa besar yang telah membentuk sejarah manusia—perang, penemuan, revolusi, dan gerakan. Mural garis waktu dapat menjadi cara yang ampuh menggambarkan aspirasi masa lalu dan masa depan kita bersama. Nostalgia merupakan emosi kuat yang membawa kita kembali ke momen-momen tertentu di masa lalu. Kerap dipicu oleh pengalaman sensorik semisal aroma yang familiar, alunan musik, atau foto lama. Saat kita mengalami nostalgia, pada dasarnya kita melakukan perjalanan kembali ke masa lalu untuk menghidupkan kembali kenangan-kenangan yang berharga, membangkitkan perasaan hangat, bahagia, dan terkadang kerinduan yang pahit manis.
Kebalikan dari Nostalgia adalah Antisipasi. Antisipasi mendorong kita maju, saat kita membayangkan dan mempersiapkan diri untuk kejadian di masa depan. Emosi ini kerap ditandai dengan kegembiraan, harapan, dan terkadang kecemasan. Antisipasi adalah cara kita secara mental dan emosional bepergian ke momen masa depan, membayangkan kemungkinan dan hasilnya.
Dalam The Psychology of Time Perception (2016, Palgrave Macmillan), John Wearden membahas bagaimana model persepsi waktu berbasis jam internal kita dipengaruhi oleh proses kognitif dan kondisi emosional. Emosi yang kuat, baik positif maupun negatif, dapat mendistorsi persepsi kita tentang waktu. Misalnya, waktu mungkin terasa berlalu begitu cepat saat kita bersenang-senang atau terasa lambat saat kita bosan atau cemas. Fenomena ini sering disebut 'time dilation' atau 'time compression'. Ingatan kita terkait erat dengan emosi kita. Peristiwa yang membangkitkan emosi yang kuat sering diingat dengan lebih jelas dan tampak berlangsung lebih lama daripada yang sebenarnya. Hal ini dapat memunculkan perasaan subjektif bahwa waktu telah berlalu secara berbeda untuk peristiwa yang bermuatan emosi dibandingkan dengan peristiwa yang netral. Emosi dapat mempengaruhi tingkat perhatian kita, yang pada gilirannya mempengaruhi persepsi kita tentang waktu. Saat kita sangat fokus pada pengalaman emosional, kita mungkin kehilangan jejak waktu, yang menyebabkan perasaan yang menyimpang tentang berlalunya waktu.
Wearden juga meneliti bagaimana proses kognitif berinteraksi dengan emosi untuk membentuk persepsi kita terhadap waktu. Misalnya, ekspektasi dan prediksi kita tentang peristiwa masa depan dapat memengaruhi cara kita memandang perjalanan waktu. Jika kita mengantisipasi sesuatu dengan penuh semangat, waktu mungkin terasa lambat hingga hal itu terjadi, sedangkan jika kita takut akan suatu peristiwa, waktu mungkin terasa lebih cepat saat kita mendekatinya.
Singkatnya, emosi dan kognisi saling terkait erat dalam membentuk persepsi kita tentang waktu. Memahami hubungan ini dapat membantu kita memahami mengapa waktu tampak bergerak secara berbeda dalam berbagai situasi dan bagaimana pengalaman emosional kita meninggalkan kesan abadi pada persepsi kita tentang waktu.
Menurut 'Why Life Speeds Up as You Get Older: How Memory Shapes Our Past' oleh Douwe Draaisma (2004, Cambridge University Press), ingatan kita dan cara kita mengingat peristiwa masa lalu secara signifikan mempengaruhi persepsi kita tentang waktu, terutama seiring bertambahnya usia.
Seiring bertambahnya usia, ingatan kita cenderung menjadi lebih padat. Peristiwa penting dari masa lalu kita yang jauh, dapat tampak sama jelas dan nyata dengan kejadian baru-baru ini. Kompresi ini dapat membuat kita merasa waktu berjalan lebih cepat karena lebih sedikit ingatan baru yang terbentuk dibandingkan dengan sebelumnya dalam hidup.Orang dewasa yang lebih tua sering mengingat peristiwa yang sarat emosi atau penting, sementara detail yang kurang penting memudar. Memori selektif ini dapat memberi kesan waktu berlalu dengan cepat karena momen yang paling berkesan lebih menonjol. Kita membangun narasi kehidupan kita, dan kisah-kisah ini membentuk cara kita memandang waktu. Seiring bertambahnya usia, kita mungkin lebih fokus pada keseluruhan cerita kehidupan kita daripada momen-momen individual, yang dapat membuat waktu terasa berlalu lebih cepat.
Draaisma membahas gagasan bahwa seiring bertambahnya usia, masing-masing tahun merepresentasikan proporsi yang lebih kecil dari keseluruhan rentang hidup kita. Misalnya, satu tahun pada usia 5 tahun merupakan bagian penting dari kehidupan seseorang, tetapi pada usia 50 tahun, itu merupakan bagian yang jauh lebih kecil. Perubahan proporsional ini dapat membuat waktu terasa berjalan lebih cepat.
Eksplorasi Draaisma tentang memori autobiografi memberikan wawasan berharga tentang mengapa waktu terasa semakin cepat seiring bertambahnya usia. Dengan memahami bagaimana memori membentuk persepsi kita tentang waktu, kita dapat memperoleh apresiasi yang lebih dalam tentang cara pikiran kita membangun alur waktu pribadi kita.
Dalam Mindset: Changing the Way You Think to Fulfill Your Potential (2006, Random House), Dr. Carol S. Dweck mengeksplorasi konsep pola pikir 'Fixed' versus 'Growth' dan bagaimana perspektif ini mempengaruhi kesuksesan pribadi dan profesional. Orang dengan pola pikir tetap (fixed mindset) percaya bahwa kemampuan, kecerdasan, dan bakat bersifat statis dan tak dapat diubah. Mereka menganggap kesuksesan merupakan cerminan bakat bawaan, bukan usaha atau pembelajaran. Mereka sering menghindari tantangan untuk melindungi harga diri mereka dan takut gagal, karena hal itu menegaskan keterbatasan mereka.
Orang dengan pola pikir berkembang (growth mindset) percaya bahwa kemampuan dan kecerdasan dapat dikembangkan melalui usaha, pembelajaran, dan kegigihan. Mereka berpikir, 'Aku dapat berkembang dengan usaha dan strategi.' Tantangan adalah peluang untuk tumbuh. Kegagalan dipandang sebagai kesempatan belajar dan berkembang, bukan sebagai ukuran harga diri.
Menurut Dweck, pujian atau kritikan selama masa kanak-kanak dapat membentuk pola pikir seseorang. Misalnya, memuji usaha mendorong pola pikir berkembang, sementara memuji kemampuan bawaan menumbuhkan pola pikir tetap. Orang berbeda dalam cara mereka memandang tantangan, kemunduran, dan usaha. Sekolah, tempat kerja, dan lingkungan sosial mungkin lebih menekankan kinerja (pola pikir tetap) daripada pembelajaran (pola pikir berkembang), yang membentuk individu sesuai dengan itu. Dialog internal mempengaruhi cara orang menghadapi rintangan dan kemunduran.
Orang dengan pola pikir tetap mungkin menganggap waktu sebagai sesuatu yang terbatas dan kaku, menekankan hasil yang langsung. Mereka sering takut "membuang-buang waktu" pada upaya yang mungkin tak menghasilkan keberhasilan dengan cepat, karena mereka menyamakan kegagalan dengan kurangnya kemampuan secara permanen. Mereka akan berkutat pada kegagalan masa lalu atau fokus pada mempertahankan citra kompetensi mereka saat ini, menghindari risiko di masa depan yang memerlukan upaya yang lama. Pola pikir tetap dapat menyebabkan seseorang menghindari tantangan jika mereka tak melihat hasil langsung, memandang waktu yang dihabiskan untuk berjuang sebagai tanda kegagalan. Dalam lingkungan dengan pola pikir tetap (misalnya, tempat kerja atau sekolah yang berorientasi pada kinerja), persepsi waktu mungkin menekankan hasil dan tenggat waktu jangka pendek, sehingga menghambat proses pembelajaran berulang.
Mereka yang memiliki pola pikir berkembang memandang waktu sebagai sekutu dalam perkembangan. Mereka percaya bahwa usaha dan pembelajaran terakumulasi seiring waktu, yang mengarah pada peningkatan. Para individu yang berpikiran berkembang lebih cenderung berinvestasi dalam tujuan jangka panjang, memahami bahwa kesuksesan dan penguasaan adalah proses bertahap yang membutuhkan kesabaran dan usaha berkelanjutan. Pola pikir berkembang mendorong kegigihan, merangkul gagasan bahwa keterampilan berkembang secara bertahap. Waktu yang dihabiskan untuk menghadapi tantangan dianggap berharga, meskipun kemajuan tak langsung terlihat. Lingkungan yang berorientasi pada pertumbuhan menghargai waktu untuk refleksi, eksperimen, dan kemajuan bertahap, memperkuat gagasan bahwa upaya dari waktu ke waktu menghasilkan peningkatan.
Dweck menekankan bahwa tiada kata terlambat untuk beralih dari pola pikir tetap ke pola pikir berkembang. Keyakinan ini terkait dengan persepsi waktu sebagai sesuatu yang terbuka dan penuh dengan peluang untuk penemuan kembali dan pertumbuhan. Pola pikir atau mindset mempengaruhi cara orang memandang waktu, dan sebaliknya. Pola pikir tetap dapat mengarah pada pandangan waktu yang terbatas dan berjangka pendek, sementara pola pikir berkembang membuka persepsi waktu sebagai kontinum untuk pengembangan dan potensi. Merangkul pola pikir berkembang memungkinkan individu menghadapi tantangan dengan ketahanan dan optimisme, memanfaatkan sepenuhnya peluang yang diberikan waktu.
Dweck menyajikan dua interpretasi berbeda tentang 'kegagalan', tergantung pada apakah seseorang memiliki pola pikir tetap atau pola pikir berkembang. Dalam pola pikir tetap, kegagalan dipandang sebagai cerminan keterbatasan atau kekurangan bawaan seseorang. Orang dengan pola pikir tetap memandang kegagalan sebagai bukti bahwa mereka tak cerdas, berbakat, atau cakap. Hal ini kerapkali menimbulkan rasa malu, menghindari tantangan, dan takut mengambil risiko untuk melindungi citra diri. Kegagalan bersifat final dan personal, bukan sesuatu yang dapat diperbaiki atau dipelajari.
Dalam pola pikir berkembang, kegagalan dipandang sebagai bagian alami dari proses pembelajaran dan kesempatan untuk berkembang. Kegagalan tak dipandang sebagai ukuran nilai seseorang, tetapi sebagai umpan balik tentang cara untuk berkembang. Orang dengan pola pikir berkembang melihat kegagalan sebagai sesuatu yang sementara dan sebagai batu loncatan menuju penguasaan dan kesuksesan. Mereka menerima kegagalan sebagai bagian penting dari pencapaian tujuan jangka panjang.
Dweck merujuk pada individu-individu sukses seperti Edison, yang terkenal karena membingkai ulang kegagalannya sebagai eksperimen yang mengarah pada kesuksesan ('Gue gak gagal. gue cuman menemukan 10.000 cara yang gak bakalan berhasil'). Ini merupakan lambang pendekatan pola pikir berkembang terhadap kegagalan. Dalam penelitian, siswa yang dipuji atas usaha mereka (pola pikir berkembang) menangani kegagalan dengan lebih baik dan tekun, sedangkan mereka yang dipuji atas kemampuan bawaan (pola pikir tetap) sering menyerah ketika menghadapi kegagalan. Jadi, dalam pola pikir tetap, kegagalan adalah jalan buntu—konfirmasi ketidakmampuan. Dalam pola pikir berkembang, kegagalan adalah kesempatan belajar—kesempatan untuk memperbaiki, menyesuaikan diri, dan tumbuh.
Dweck menantang keyakinan konvensional tentang kemampuan dan prestasi melalui penelitiannya tentang pola pikir. Dweck menegaskan bahwa kemampuan bukanlah sifat statis yang dikau miliki sejak lahir. Sebaliknya, kemampuan dapat dibina dan dikembangkan melalui usaha, pembelajaran, dan kegigihan. Ia menggunakan bukti psikologis dan neurosains untuk menunjukkan bahwa otak dapat tumbuh dan berubah seiring pengalaman, memperkuat gagasan bahwa orang dapat meningkatkan kemampuan mereka seiring berjalannya waktu. Upaya, latihan, dan ketahanan merupakan pendorong utama pencapaian, bukan semata bakat atau kecerdasan alami. Meskipun kemampuan bawaan dapat memberikan keuntungan, itu bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan. Terlalu menekankan bakat dapat menyebabkan rasa puas diri (dalam pola pikir tetap) atau takut gagal.
Dweck berpendapat bahwa kegagalan adalah bagian alami dari kemajuan. Menghadapi tantangan, membuat kesalahan, dan belajar darinya sangat penting bagi perbaikan. Pencapaian berasal dari kemauan untuk menangani tugas-tugas sulit dan bertahan melewati rintangan, melihatnya sebagai peluang untuk berkembang.
Dweck mendorong kita agar mengubah pemahaman kita tentang kegagalan, melihatnya bukan sebagai vonis atas kemampuan kita tetapi sebagai bagian penting dari pengembangan pribadi dan profesional. Pola pikir tetap dapat menghambat kemajuan dengan membuat individu menghindari tantangan atau menyerah saat menghadapi kesulitan. Sebaliknya, pola pikir berkembang mendorong ketahanan, kemampuan beradaptasi, dan inovasi. Percaya pada potensi perbaikan sangatlah penting. Mereka yang mengadopsi pola pikir berkembang melihat usaha sebagai jalan menuju penguasaan. Prestasi sejati datang dari usaha yang konsisten dan fokus pada pembelajaran, bukan dari upaya membuktikan diri melalui hasil. Prestasi yang dibangun atas dasar pertumbuhan dan kegigihan cenderung lebih bertahan lama daripada kesuksesan yang hanya bergantung pada bakat atau keberuntungan. Kesuksesan bukan tentang siapa dikau, tetapi tentang siapa dirimu nantinya. Dengan mengadopsi pola pikir berkembang, orang dapat membuka potensi mereka, mengatasi keterbatasan, dan mencapai tingkat yang lebih tinggi daripada yang pernah mereka kira memungkinkan.
Seni abstrak sangat cocok untuk mengekspresikan perjalanan emosional ini, karena memungkinkan berbagai macam interpretasi dan koneksi personal. Dengan mengeksplorasi dan mengekspresikan perjalanan emosional ini melalui seni abstrak, dirimu dapat memunculkan representasi visual yang kuat tentang cara emosi menghubungkan kita dengan berbagai titik waktu. Pendekatan ini tak hanya memungkinkan refleksi personal tetapi juga mengajak para viewer agar terhubung dengan pengalaman emosional mereka sendiri.
KIta sambung lagi bahasan kita usai semua kembang apinya telah di terbangkan. Biidznillah."