Sabtu, 28 Desember 2024

Mesin Waktu (4)

Sang penjelajah waktu berkata, "Satire dapat dilihat sebagai mesin waktu metaforis yang mengkritik umat manusia dengan menjelajahi berbagai bentang waktu, entah meninjau kembali masa lalu, berspekulasi tentang masa depan, atau menafsirkan ulang masa kini berdasarkan kebenaran abadi. Jeremy Irons berkata, 'Kita semua punya mesin waktu. Sebagian membawa kita kembali; itu disebut kenangan. Sebagian membawa kita maju; itu disebut impian.' Setiap orang merindukan masa lalu. Mesin waktu kita membawa kita ke tahun 1950-an, saat semuanya hitam dan putih, secara harfiah. Siapa yang tak merindukan masa-masa telepon dial-up dan ketimpangan sosial yang amat lebar?
Idenya adalah bahwa kembali ke masa ketika 'uang memiliki nilai riil' akan memperbaiki perekonomian. Seolah-olah mesin waktu dapat secara ajaib menstabilkan pasar saham, membuat setiap sen bernilai saat kita menukar mata uang kripto untuk membayar kopi pagi kita. Tom Hanks sebagai Forrest Gump berkata, 'Hidup itu kek sekotak coklat. Loe gak pernah tahu apa yang bakal loe dapetin.'
Melompat ke masa depan dimana teknologi seharusnya menyelesaikan segala masalah kita. Sebaliknya, kita diperbudak oleh peralatan pintar kita sendiri—lemari es yang ngomelin kita karena kita milih makanan menurut keinginan kita sendiri dan mobil yang memaksa kita mengambil rute pemandangan indah di tengah kemacetan lalu lintas. Mesin waktu hanya memperburuk ketergantungan kita pada 'better living through gadgetry.'
Perjalanan ke masa depan bertemu dengan anak-cucu kita, mengungkap bahwa mereka masih mengenakan gaya katastropik yang sama tetapi sekarang dengan aksesori yang bahkan lebih tak praktis—semisal tas pinggang jetpack dan mullet holografik. Mesin waktu membawa kita ke era yang berbeda, hanya untuk menyadari bahwa setiap generasi menganggap generasi sebelumnya adalah bencana besar dan masa depan pasti akan menjadi bencana. Inilah pusaran ketidakpuasan abadi.

Satire, seperti mesin waktu, memungkinkan kita menjelajahi berbagai era dan aspek masyarakat melalui lensa kritis yang kerap menggelikan—menunjukkan kepada kita bahwa mungkin saja, mungkin, persepsi kita tentang 'kemajuan' sama terdistorsinya dengan kontinum waktu itu sendiri. Konsep 'mesin waktu' dan 'satire' boleh jadi tampak berbeda, tetapi ada hubungan metaforis yang kuat antara keduanya, terutama disaat kita melihat satire sebagai bentuk kritik temporal. Satire sering mengkritik norma, perilaku, atau lembaga masyarakat dengan merefleksikan masa lalu. Satire bertindak sebagai 'mesin waktu' yang meninjau kembali peristiwa sejarah, praktik budaya, atau ideologi masa lalu guna menyoroti absurditas atau kekurangannya. Animal Farm karya George Orwell merupakan satire yang meninjau kembali peristiwa sejarah Revolusi Rusia, mengungkap kemunafikan dan kegagalannya. Pembaca dibawa kembali ke momen sejarah untuk menganalisis dan mengkritiknya melalui lensa alegori.
Sama seperti mesin waktu yang memungkinkan penjelajahan kemungkinan masa depan, satire membayangkan realitas alternatif guna memperingatkan terhadap lintasan saat ini. Karya satire seringkali membesar-besarkan tren saat ini untuk menunjukkan kemana tren tersebut akan mengarah, yang berfungsi sebagai bentuk futurisme spekulatif. A Modest Proposal karya Jonathan Swift membayangkan masa depan yang mengerikan dimana ketidaksetaraan masyarakat mengarah pada komodifikasi kehidupan manusia. Proposal yang dibesar-besarkan tersebut mengkritik apatisme masyarakat yang ada.
Satire bergerak bebas melintasi waktu, menyandingkan masa lalu, masa kini, dan masa depan potensial untuk mengungkap kebodohan perilaku manusia. Fleksibilitas temporal ini memungkinkannya menarik hubungan antara pola historis dan isu terkini. Acara televisi satire seperti The Daily Show sering menarik persamaan antara peristiwa historis dan politik masa kini, menyoroti pola kebodohan manusia yang berulang. Mesin waktu melambangkan kebebasan imajinatif, sama seperti satire. Kekuatan satire terletak pada kemampuannya melampaui batas temporal, mengundang pembaca atau pemirsa mempertimbangkan kembali keadaan mereka saat ini dengan menempatkannya dalam konteks temporal yang lebih luas. Dalam satire fiksi ilmiah, seperti The Hitchhiker’s Guide to the Galaxy karya Douglas Adams, absurditas masyarakat futuristik berfungsi sebagai kritik terhadap nilai-nilai kemanusiaan kontemporer.
Sementara mesin waktu mungkin menunjukkan pergerakan linear melalui waktu, satire menunjukkan bahwa kelemahan manusia dan masalah sosial selalu tak lekang oleh waktu. Satire bertindak sebagai cermin yang memantulkan realitas historis dan masa kini, yang menunjukkan bahwa kecenderungan manusia tertentu tetap ada terlepas dari konteks waktu.

Selama satu dekade terakhir, orang Indonesia telah diperdaya oleh 'mitos orang baik', dan kisah Petruk melawan Lembu Suro segera dimulai. Mitos dapat dilihat sebagai mesin waktu naratif, yang merangkum kebenaran abadi sekaligus memungkinkan manusia merenungkan masa lalunya, membentuk masa kininya, dan membayangkan masa depannya. Kedua konstruksi tersebut mengajak kita melakukan perjalanan melintasi waktu—bukan hanya sebagai pengamat tetapi juga sebagai peserta aktif dalam warita yang terus berkembang. Mitos dan mesin waktu berfungsi sebagai alat untuk memahami identitas manusia. Mitos menawarkan pola dasar dan kebenaran abadi yang mendefinisikan manusia, sementara mesin waktu memungkinkan introspeksi dengan menyaksikan evolusi manusia lintas waktu. Mitos perjalanan Odysseus mencerminkan eksplorasi mesin waktu terhadap diri melalui cobaan dan transformasi, yang menekankan ketahanan dan penemuan lintas 'waktu' yang berbeda.
Metafora 'Mesin waktu' dan 'mitos orang baik' bertemu saat keduanya mengeksplorasi hakikat kebajikan manusia lintas waktu dan budaya. Keduanya mengajak kita merenungkan kualitas kebaikan yang terus berkembang namun abadi, yang memungkinkan kita menelusuri akar moralitas, menyaksikan penerapannya di berbagai era, dan memproyeksikan maknanya ke masa depan.
Penggambaran para penguasa sebagai 'orang baik' merupakan tema yang berulang dalam mitologi, sastra, dan sejarah. Para penguasa ini berperan sebagai perwujudan kebajikan, yang selalu bertugas menyeimbangkan kekuasaan dan moralitas sembari menuntun rakyatnya melewati berbagai tantangan. Seorang penguasa yang awalnya merupakan simbol kebaikan tetapi kemudian menunjukkan sifat-sifat yang lebih gelap atau menyerah pada kerusakan, menawarkan narasi yang menarik tentang kerapuhan moralitas di bawah tekanan kekuasaan. Kisah-kisah ini mengeksplorasi dualitas sifat manusia, godaan otoritas, dan kesulitan mempertahankan kebajikan ketika dihadapkan dengan tanggungjawab yang sangat besar.

Macbeth karya Shakespeare diperkenalkan sebagai seorang pejuang yang gagah berani dan setia, yang berjuang untuk Raja Duncan, dan mendapatkan pujian sebagai orang yang mulia dan terhormat. Keberanian dan komitmennya terhadap kerajaan menggambarkannya sebagai rakyat yang layak dan calon pemimpin. Tergoda oleh ambisi dan didorong oleh ramalan para penyihir, serta pengaruh Lady Macbeth, Macbeth membunuh Raja Duncan merebut takhta. Tindakan ini memicu serangkaian keputusan yang semakin tirani dan penuh kekerasan, yang menunjukkan keserakahan dan kompromi moralnya. Macbeth karya Shakespeare menggambarkan bagaimana ambisi yang tak terkendali dapat merusak bahkan mereka yang berhati mulia. Transformasinya dari orang baik menjadi seorang tiran menjadi kisah peringatan tentang bahaya kekuasaan dan kompromi moral.
Napoleon Bonaparte sebagai contoh historis, bangkit menjadi pemimpin revolusioner yang menjanjikan penegakan cita-cita kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Ia dipandang sebagai seorang reformis, yang memperkenalkan Napoleonic Code, yang mempromosikan kesetaraan hukum dan meritokrasi. Seiring berjalannya waktu, hasrat Napoleon akan kekuasaan tumbuh, dan ia menobatkan dirinya sendiri sebagai Kaisar Prancis. Pemerintahannya ditandai oleh perang ekspansionis, pertumpahan darah besar-besaran, dan kontrol otoriter. Meskipun awalnya menjadi juara cita-cita revolusioner, ia menjadi penguasa yang tindakannya bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut. Lintasan Napoleon menyoroti bagaimana bahkan pemimpin visioner dapat menjadi otoriter ketika termakan oleh daya tarik dominasi dan kontrol.
Dalam Star Wars, Anakin Skywalker dimulai sebagai seorang Jedi muda yang berbakat dan penyayang, yang ditakdirkan untuk membawa keseimbangan pada the Force. Ia digambarkan sebagai sosok yang heroik, idealis, dan berkomitmen pada kebaikan yang lebih besar. Dimanipulasi oleh Kaisar Palpatine dan dikuasai oleh rasa takut, amarah, dan keinginan untuk mengendalikan, Anakin menyerah pada sisi gelap, menjadi Darth Vader. Ia berbalik melawan Jedi Order, berbuat kekejaman, dan menjadi penegak tirani. Kejatuhan Anakin dari kekuasaan menggambarkan bahaya membiarkan rasa takut dan keinginan berkuasa membayangi kompas moral seseorang, menunjukkan bagaimana niat baik pun dapat menyebabkan kehancuran jika diselewengkan oleh keegoisan.
Commodus, putra Kaisar Marcus Aurelius, awalnya dipandang sebagai pewaris yang menjanjikan dari warisan kearifan dan keadilan ayahnya. Dalam film Gladiator, Marcus Aurelius berusaha memulihkan Republik dan mempercayai Commodus untuk membagikan visinya. Secara historis dan fiksi, Commodus menjadi penguasa yang manja dan egois. Ia menuruti hawa nafsu, mengabaikan tata pemerintahan, dan memberlakukan kebijakan brutal untuk mempertahankan cengkeramannya pada kekuasaan. Tindakannya menodai warisan ayahnya dan menimbulkan ketidakstabilan pada Kekaisaran Romawi. Commodus mencontohkan bagaimana hak istimewa dan merasa berhak, jika tak dicegah, dapat merusak seorang penguasa dan mengubahnya dari pemimpin yang menjanjikan menjadi kekuatan yang merusak.

Dalam kasus lain, di mata sebagian orang Indonesia, Presiden Turki Erdogan (wong bule melafalkannya Erdowan) dipandang sebagai tokoh hebat. Namun berdasarkan wawasan dari buku-buku referensi dan penelitian, kepemimpinannya ditandai oleh pembongkaran sistematis lembaga-lembaga demokrasi, penindasan perbedaan pendapat, dan sentralisasi kekuasaan. Sementara pemerintahan Erdoğan mempertahankan beberapa fitur demokrasi elektoral, semisal pemilihan umum reguler, sifat kompetitif dan pluralistik dari proses-proses ini telah dirusak secara signifikan. Erdoğan semakin memusatkan otoritas di kursi kepresidenan, mengesampingkan lembaga-lembaga negara lainnya. Peradilan telah dikritik karena ditundukkan oleh eksekutif, merusak pengawasan dan keseimbangan. Suara-suara oposisi di media, akademisi, dan masyarakat sipil telah menghadapi pembatasan yang berarti. Setelah upaya kudeta 2016, Erdoğan menggunakan kekuatan darurat untuk membersihkan lembaga-lembaga negara dari suara-suara yang berbeda pendapat dan memperketat kontrol. Ya, karakterisasi Presiden Turki Erdoğan sebagai otoriter didukung oleh banyak karya ilmiah.
Tentu saja, banyak yang akan membela Erdogan, dan salah satu dari mereka berkata, "Tapi kaan doi seorang otoriter yang baik!"
Rasanya, 'Otoriter yang Baik' merupakan frasa yang seperti oxymoron, iya kaan? Konsep otoriter yang 'baik' dapat menjadi lahan subur bagi satire, mencibir kontradiksi yang melekat dan upaya yang kerap tak masuk akal untuk membenarkan otoriterisme dengan kedok kebajikan. Namun, mari selami lebih dalam ke dunia satire seperti berikut ini, 'Di negeri yang kebebasannya tersimpan rapi di kamar loteng, dan kebebasan sipil dianggap sebagai sisa-sisa peninggalan yang aneh, muncullah seorang pemimpin yang disanjung sebagai "Yang baik hati." Tak seperti pemimpin otoriter pada umumnya, pahlawan kita memerintah dengan tangan yang halus—lebih tepatnya tangan besi yang dibalut dengan kain kasmir yang paling lembut.
'Jangan takut!' teriaknya sambil tersenyum lebih lebar daripada senyum yang dibolehkan negara. 'Karena aku di sini untuk melindungi kalian—dari diri kalian sendiri!'
Rakyat mengangguk patuh, kepala mereka mengangguk serempak, lantaran tiada yang lebih menenangkan daripada kehangatan penindasan yang bermaksud baik. Jam malam diberlakukan dengan kedok untuk mempromosikan kebiasaan tidur yang baik, dan penduduk selalu dapat tidur nyenyak karena tahu bahwa setiap pendangan yang berbeda akan segera dipadamkan atas nama perdamaian.
Di bawah pengawasan ketat sang orang baik, inovasi tumbuh subur—selama itu tak melibatkan ide-ide baru. Sekolah mengajarkan pemikiran kritis, tetapi hanya jenis yang dibolehkan. 'Bayangkan dengan bebas, tetapi dalam batasan yang dibuat dengan secermat mungkin,' saran pamflet pendidikan negara dengan riang.
Maka, dalam utopia keseragaman ini, rakyat menjalani kehidupan mereka dengan bahagia, tak menyadari bayang-bayang penguasa mereka yang baik hati. Tiada hadiah yang lebih besar daripada ilusi kebebasan, terbungkus dalam dekapan tangan beludru yang menenangkan.
Di istana agung sang baik hati, terdapat sebuah ruangan yang dikenal sebagai 'Ruang Kotak Saran'—mungkin terinspirasi oleh konsep Indonesia 'Lapor Mas Wapres!'. Ruangan itu merupakan tempat warga dapat menyuarakan pikiran dan gagasan mereka, asalkan sesuai dengan pedoman yang disetujui negara. Kotak saran, peninggalan emas agung, berkilauan dengan janji perubahan yang takkan pernah tiba.
Suatu hari, seorang warga muda memberanikan diri menyampaikan saran, 'Bagaimana kalau kita punya hari dimana rakyat dapat mengekspresikan pikiran mereka dengan bebas?' Sang orang baik hati membaca saran itu sambil tersenyum geli dan berkata, 'Gagasan menyenangkan! Kita akan menyebutnya 'Hari Berpikir Bebas yang di Pre-Approved!' Entah mengutip rujukan atau nasihat dari siapa, sang penguasa menyamakannya dengan konsep 'Kartu Kredit.'
And so, rakyat berkumpul di alun-alun kota, siap menyampaikan gagasan-gagasan mereka yang telah di pre-approved. Mereka mengenakan seragam terbaiknya dan membawa plakat bertuliskan slogan-slogan seperti "Inovasi dalam Batasan!" dan "Berpikir Bebas... Tapi Jangan Terlalu Bebas!"
Banyak penguasa yang awalnya berniatan mulia, rontok oleh ambisi mereka, yang jika tak dikekang, dapat mengaburkan nilai-nilai keutamaannya. Sifat kekuasaan yang merusak merupakan tema utama. Bahkan 'orang baik' pun dapat goyah ketika dihadapkan pada godaan dan tanggungjawab otoritas. Kisah-kisah ini mengingatkan kita bahwa tiada pemimpin yang kebal terhadap kelemahan manusia. Kesombongan, ketakutan, kecemburuan, rasa tak aman hingga panik, dapat mengikis hingga fondasi moral yang paling kuat sekalipun. Kendati keadaan dan tekanan eksternal berperan, para penguasa ini kerap membuat pilihan sadar yang menyebabkan kemerosotan moral mereka, menekankan pentingnya kesadaran diri dan akuntabilitas. Narasi tentang kejatuhan seorang penguasa dari kebaikan menjadi kejahatan berfungsi sebagai eksplorasi abadi tentang kompleksitas kekuasaan, yang menawarkan pelajaran tentang kewaspadaan, yang diperlukan demi menegakkan nilai-nilai adiluhung dalam posisi otoritas.

Pada akhirnya, kita menyadari bahwa satire, seperti mesin waktu, memungkinkan kita menjelajahi berbagai era dan aspek masyarakat. Ia memaksa kita menghadapi sifat menyimpang dari persepsi kita tentang kemajuan dan mengingatkan kita bahwa mungkin, hanya mungkin, absurditas kehidupan manusia tak lekang oleh waktu.
Jadi, saat kita melangkah keluar dari mesin waktu satire kita, mari kita ingat untuk menertawakan masa kini, mengkritik masa lalu, dan mendekati masa depan dengan skeptisisme dan humor yang sehat. Dikau takkan pernah tahu apa yang akan engkau dapatkan, namun dengan satire, setidaknya kita dapat menikmati perjalanannya."