Kamis, 26 Desember 2024

Mesin Waktu (3)

"Kehidupan sering membuat kita berharap agar mengulang kembali disaat kita melakukan kekeliruan, seperti misalnya setiap Senin pagi, dan mesin waktu dapat memungkinkan kita menulis ulang sejarah," lanjut sang penjelajah saat ia telah membalikkan timer pasirnya. "Ada beberapa alasan mengapa hari Senin sering terasa seperti bencana yang menunggu agar terjadi. Usai berakhir pekan yang penuh dengan relaksasi atau keceriaan, beralih kembali ke pola pikir bekerja bisa jadi mengagetkan. Otak kita butuh waktu menyesuaikan diri dari 'mode akhir pekan' ke 'mode kerja'.
Banyak orang cenderung begadang dan tidur lebih lama di akhir pekan. Hal ini mengganggu jam internal tubuh, sehingga lebih sulit bangun pagi dan tetap terjaga di Senin pagi. Tugas dan email yang menumpuk selama akhir pekan dapat membuat Senin pagi terasa melelahkan. Masuknya pekerjaan secara mendadak dapat menyebabkan kesalahan dan stres. Secara budaya, hari Senin kerap dipandang sebagai hari terburuk dalam seminggu. Persepsi negatif ini, dapat memunculkan ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya, membuat kita lebih rentan melakukan kesalahan hanya karena kita mengharapkannya.
Rasa horror akan dimulainya minggu kerja dapat meningkatkan kecemasan, yang mempengaruhi konsentrasi dan kinerja. Tingkat stres yang tinggi dapat menyebabkan lebih banyak kesalahan dan perasaan kewalahan. Mungkin alam semesta memiliki selera humor yang buruk, mengatur bencana kecil hanya untuk melihat bagaimana kita mengatasinya. Kunci hilang, kopi tumpah, dan alarm yang tak berbunyi—cara hari Senin membuat kita tetap bersiaga!
Pada kenyataannya, hari Senin hanyalah hari biasa dalam seminggu, tetapi pola pikir dan kebiasaan kita sering membuat kita mengalami awal yang sulit. Sedikit persiapan dan sikap positif dapat sangat membantu dalam mengubah kekacauan hari Senin menjadi kesalahan kecil.

Mesin waktu merepresentasikan kemungkinan mengubah takdir sebuah negara dengan mengoreksi kesalahan masa lalu atau mempercepat kemajuan teknologi dan sosial. Bayangkan jika sebuah negara dapat melewati masa-masa gelapnya atau meninjau kembali masa keemasannya guna menumbuhkan masa depan yang lebih sejahtera. Para penguasa, jika dilengkapi dengan mesin waktu, akan mencoba merekayasa pemerintahan yang sempurna dengan menghapus kebijakan atau pesaing yang tak populer. Namun, seperti halnya kehidupan, mengutak-atik waktu dapat menyebabkan konsekuensi yang tak terduga. Alih-alih utopia yang ideal, mereka mungkin secara tak sengaja memunculkan garis waktu distopia (pikirkan efek kupu-kupu tetapi dengan skandal politik). Pada tingkat pribadi, mesin waktu dapat memungkinkan individu menghidupkan kembali momen favorit mereka atau memperbaiki kesalahan terburuk mereka. Dalam skema yang lebih besar, kehidupan adalah perjuangan dan kemenangan sehari-hari yang membentuk pengalaman kolektif sebuah bangsa.
Kemajuan bukanlah tentang melompat maju secara ajaib, tetapi belajar dari masa lalu. Sebuah bangsa berkembang melalui percobaan, kesalahan, dan terobosan. Jika para penguasa mencoba mempercepat kemajuan dengan mesin waktu, mereka mungkin akan kehilangan pelajaran penting, yang mengakibatkan sebuah bangsa tak memiliki ketahanan untuk mempertahankan kemajuannya.
Di dunia tempat bangsa, penguasa, dan warga negara menggunakan mesin waktu. Para penguasa menjadi DJ historis, yang mengubah alur waktu tetapi seringkali menggores rekaman yang keliru. Bangsa-bangsa mengalami deja vu, terus-menerus memutar ulang tapi tak pernah menyempurnakan lagu-lagu terbaik mereka. Kemajuan adalah tarian canggung dimana setiap orang terus saling menginjak kaki, mengira mereka bergerak maju tetapi sering berputar-putar. Pada akhirnya, baik di tangan para penguasa atau bangsa itu sendiri, mesin waktu berfungsi sebagai pengingat bahwa meskipun daya tarik mempercepat langkah menuju masa depan utopis itu menggoda, perjalanan melalui kerutan waktulah yang membentuk esensi sejati kehidupan dan kemajuan. Dan bukankah ketidakpastian itulah yang membuat semuanya begitu... indah dan kacau?

Waktu dan kehidupan telah menjadi topik yang saling terkait erat dalam filosofi, dengan banyak filsuf yang menawarkan wawasan menarik tentang hubungan keduanya. Heraclitus pernah berkata, "Engkau tak dapat melangkah ke sungai yang sama dua kali, karena air yang lain terus mengalir masuk." Hal ini menyoroti gagasan bahwa waktu terus berubah, seperti halnya kehidupan. Keduanya selalu berubah, dan tiada yang tetap sama.
Namun, tak ada pulak siang tanpa malam. Pandangan Parmenides tentang perubahan sangat kontras dengan pandangan Heraclitus, menawarkan perspektif filosofis unik yang menyoroti nuansa perdebatan mereka. Parmenides berpendapat bahwa perubahan itu ilusi dan bahwa realitas tak berubah dan abadi. Ia percaya bahwa apa yang kita rasakan sebagai perubahan hanyalah hasil dari indera kita yang terbatas dan menipu. Menurutnya, 'Apa yang ada, ya ada; dan apa yang gak ada, tiada,' menyiratkan bahwa keberadaan sejati bersifat konstan dan tak dapat diubah (Parmenides of Elea: Fragments by Parmenides, translated by David Gallop, 1991, University of Toronto Press). Dalam puisinya, 'On Nature,' Parmenides membedakan antara 'Jalan Kebenaran' (pemahaman bahwa realitas itu satu dan tak berubah) dan 'Jalan Pendapat' (dunia pengalaman indrawi yang menipu dimana perubahan dan pluralitas tampak nyata). Ia berpendapat bahwa yang terakhir mengarah pada keyakinan yang salah. Parmenides memperkenalkan gagasan bahwa "keberadaan" adalah satu-satunya realitas dan bahwa ketidakberadaan (atau ketiadaan) tak mungkin. Dengan demikian, perubahan, yang menyiratkan transisi dari ketiadaan menjadi ada atau sebaliknya, secara logis absurd.
Sebaliknya, Heraclitus berpendapat bahwa perubahan adalah sifat dasar realitas. Pernyataannya yang masyhur, 'Engkau tak dapat melangkah ke sungai yang sama dua kali,' menekankan bahwa segala sesuatu selalu berubah. Sementara Heraclitus memandang dunia sebagai sesuatu yang dinamis dan selalu berubah, Parmenides melihatnya sebagai sesuatu yang statis dan tak berubah. Perbedaan mendasar ini memberikan titik balik yang menarik: ketika Heraclitus melihat harmoni dalam ketegangan dan interaksi hal-hal yang berlawanan, Parmenides melihat kebenaran tunggal yang tak berubah di balik ilusi perubahan.
Perdebatan antara Heraclitus dan Parmenides meletakkan dasar bagi sebagian besar filsafat Barat. Pandangan mereka yang bertentangan tentang perubahan versus kekekalan mempengaruhi filsuf-filsuf berikutnya seperti Plato dan Aristoteles, yang berusaha mendamaikan gagasan-gagasan ini. Teori bentuk Plato, misalnya, dapat dilihat sebagai upaya menjembatani dunia Heraclitus yang berubah dan realitas abadi Parmenides. Penolakan Parmenides terhadap perubahan memaksa kita mempertanyakan keandalan indra kita dan hakikat realitas itu sendiri. Dengan demikian, gagasannya mempertajam kontras dengan perayaan perubahan Heraclitus, menjadikan dialog mereka sebagai landasan penyelidikan filosofis. Dengan menelaah kedua perspektif tersebut, kita memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang kompleksitas keberadaan dan pencarian kebenaran yang berkelanjutan. Penolakan Parmenides terhadap perubahan berakar pada keyakinan metafisiknya tentang hakikat realitas. Falsafahnya mengajak kita mempertanyakan keandalan persepsi kita dan mempertimbangkan kemungkinan adanya kebenaran yang lebih dalam dan tak berubah yang mendasari perubahan yang tampak di dunia. Argumen Parmenides berpusat pada hakikat keberadaan dan realitas. Ia berpendapat bahwa realitas sejati bersifat kekal dan tak berubah. Ini berarti bahwa apa yang kita rasakan sebagai perubahan di dunia fisik hanyalah ilusi. Fokusnya adalah pada pemahaman hakikat keberadaan yang mendasar dan tak berubah daripada menganjurkan mempertahankan kondisi masyarakat saat ini.
Dalam puisinya, 'On Nature,' Parmenides membedakan antara 'Jalan Kebenaran' (pemahaman bahwa realitas itu satu dan tak berubah) dan 'Jalan Pendapat' (dunia pengalaman indrawi yang memperdaya). Penolakannya terhadap perubahan merupakan sikap metafisik yang menantang keandalan persepsi indrawi, bukan pernyataan politik atau sosial. Sementara ide-ide Parmenides mungkin digunakan oleh beberapa orang untuk membenarkan penolakan terhadap perubahan dalam konteks masyarakat, ini merupakan penerapan sekunder dari prinsip-prinsip metafisiknya. Tujuan utamanya adalah mengeksplorasi hakikat keberadaan dan menantang asumsi yang dibuat oleh indra dan persepsi kita.
Filosofi Parmenides membuat konsep mesin waktu terdengar seperti latihan yang paradoks. Bayangkan seorang ilmuwan menciptakan mesin waktu, hanya untuk mengetahui bahwa mesin itu tak berfungsi karena waktu tiada! Atau pikirkan seorang pembicara motivasi yang berusaha menjual 'rahasia menuju kebahagiaan' berdasarkan ide-ide Parmenides, 'Jangan terlalu khawatir tentang masa depan atau masa lalu. Apa kiat pengembangan diri yang utama? Kiat-kiatnya kagak ada!'

Di luar perdebatan filosofis yang hebat, orang dapat menggunakan mesin waktu untuk tujuan yang lebih umum—semisal menghindari potongan rambut yang jelek atau memastikan mereka menonton acara TV favoritnya. Perubahan-perubahan yang remeh ini menunjukkan betapa tertanamnya keinginan kita mengendalikan waktu dan perubahan. Dengan mesin waktu, para penguasa korup dapat memastikan kekuasaan mereka yang abadi. Mereka dapat kembali dan memanipulasi pemilihan umum, menyingkirkan calon pesaing sebelum mereka bangkit, dan menulis ulang undang-undang untuk mengamankan cengkeraman mereka pada kekuasaan tanpa batas.
Coba bayangin, pejabat korup yang bisa mengakses mesin waktu. Mereka dapat kembali untuk menutupi jejak, menghapus skandal, dan mengubah bukti. Setiap kali seorang whistleblower muncul, perjalanan singkat ke masa lalu membungkam mereka bahkan sebelum mereka membocorkan rahasia.
Isu tentang memaafkan para koruptor mengembalikan uang yang mereka gelapkan merupakan masalah rumit dan punya banyak sisi. Masalah ini melibatkan pertimbangan hukum, etika, dan sosial. Dalam banyak sistem hukum, pengembalian dana yang ditilep dapat dianggap sebagai faktor yang meringankan, tetapi hal itu tak serta-merta membebaskan individu dari kejahatannya. Proses hukum kerap tak hanya menuntut ganti rugi, melainkan juga hukuman guna mencegah kekeliruan di masa mendatang dan menegakkan keadilan. Secara etika, pengembalian uang merupakan langkah memperbaiki kesalahan, tetapi takkan cukup untuk mendapatkan pengampunan penuh. Kerugian yang disebabkan oleh korupsi melampaui kerugian finansial; hal itu mengikis kepercayaan, merusak lembaga, dan merusak integritas masyarakat. Akuntabilitas sejati sering kali membutuhkan lebih dari sekadar ganti rugi finansial—pertanggungjawaban yang tulus dan upaya memperbaiki kerusakan yang lebih luas yang telah terjadi.

Korupsi sesungguhnya punya konsekuensi yang luas, yang melampaui kerugian finansial langsung. Ada beberapa kerusakan yang tak terlihat dan tak tertakar, yang disebabkan oleh korupsi. Korupsi merusak kepercayaan warga negara terhadap pemerintah dan institusinya. Ketika orang percaya bahwa pejabat korup, mereka kehilangan kepercayaan pada keadilan dan integritas sistem, yang mengarah pada sinisme dan ketidakpedulian. Korupsi melemahkan efektivitas lembaga, membuat mereka kurang mampu melayani kepentingan publik. Hal ini dapat menyebabkan inefisiensi, pemberian layanan yang buruk, dan kurangnya akuntabilitas. Korupsi dapat mengikis moral masyarakat dan standar etika. Ketika praktik korupsi menjadi hal yang normal, hal itu memunculkan lingkungan dimana ketidakjujuran dan perilaku tak beretika ditoleransi atau bahkan diharapkan. Korupsi dapat mengalihkan sumber daya dari layanan penting semisal pendidikan, perawatan kesehatan, dan infrastruktur, menghambat pembangunan keseluruhan sebuah negara dan melanggengkan kemiskinan dan ketidaksetaraan. Korupsi dapat mendistorsi proses demokrasi dengan mempengaruhi pemilihan umum, pembuatan kebijakan, dan administrasi publik. Hal ini merusak prinsip-prinsip demokrasi, seperti keadilan, transparansi, dan representasi. Dampak psikologis dari hidup dalam masyarakat yang korup bisa sangat besar. Hal ini dapat menyebabkan perasaan tak berdaya, frustrasi, dan kekecewaan di antara warga negara.
Korupsi merusak tatanan sosial dan kepercayaan pada institusi. Bagi banyak orang, sekadar mengembalikan dana yang dicolong mungkin tak cukup memulihkan kepercayaan ini. Perlu ada komitmen yang nyata terhadap transparansi, akuntabilitas, dan perubahan sistemik membangun kembali kepercayaan pada lembaga publik. (untuk lebih detail, silahkan lihat Susan Rose-Ackerman and Bonnie J. Palifka, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 2016, Cambridge University Press).
Jika kita punya mesin waktu, para koruptor dapat melakukan perjalanan kembali dan membatalkan perbuatan mereka sepenuhnya. Namun karena kita tak memilikinya, mereka harus menghadapi kenyataan di masa sekarang, yang memerlukan lebih dari sekadar mengembalikan hasil curiannya. Ini seperti membersihkan kekisruhan—perlu mengambil kain pel dan sapu, tapi bukan hanya menyapu kotoran di bawah karpet. Budaya dan sistem hukum yang berbeda menangani masalah ini dengan cara yang bervariasi. Ada yang mungkin berfokus pada keadilan restoratif, sementara yang lain menekankan pembalasan. Catatan sejarah menunjukkan bahwa sekadar mengembalikan dana yang ditilep, tak cukup untuk menghapus dampak korupsi yang lebih luas.

Anti-corruption in History: From Antiquity to the Modern Era karya Ronald Kroeze, André Vitória, dan Guy Geltner (2018, Oxford University Press) mengeksplorasi evolusi historis praktik dan wacana antikorupsi. Para penulis menyoroti kontras yang penting dalam cara korupsi dipersepsikan di zaman kuno dibandingkan dengan saat ini. Dalam masyarakat kuno, korupsi sering dipandang sebagai kegagalan moral atau pelanggaran hukum ilahi dan alam. Korupsi bukan tentang kode hukum, tetapi lebih tentang pelanggaran etika yang mengganggu keharmonisan masyarakat dan tatanan kosmik. Contoh, di Mesopotamia kuno, Mesir, dan China, para penguasa menggambarkan diri mereka sebagai penjaga keseimbangan moral dan kosmik. Korupsi merusak keseimbangan ini dan dipandang sebagai pengkhianatan terhadap kehendak ilahi atau keadilan alamiah.
Praktik seperti patronase, pemberian hadiah, dan perdagangan bantuan, yang mungkin dianggap korup saat ini, sering diterima dan bahkan didorong dalam banyak budaya kuno. Praktik-praktik tersebut dipandang sebagai cara untuk menjaga kohesi sosial dan memperkuat loyalitas. Korupsi biasanya dipahami dalam konteks penyalahgunaan kekuasaan pribadi atau favoritisme dalam sistem politik atau administratif kecil, seperti negara-kota atau pengadilan kekaisaran. Korupsi biasanya tak terkait dengan masalah sistemik atau struktural.

Di Eropa, Gereja Katolik memainkan peran penting dalam membingkai korupsi sebagai masalah moral dan spiritual. Gerakan reformasi seperti yang dilakukan oleh ordo Cluniac berusaha mengatasi kemerosotan moral para pendeta dan pemimpin. Pemerintahan Islam menekankan keadilan (adl) dan akuntabilitas, dengan para pemimpin diharapkan memerintah sesuai dengan prinsip-prinsip Ilahi dan menegakkan kepercayaan publik. Dalam masyarakat feodal, penyalahgunaan kekuasaan sering dikaitkan dengan sifat pemerintahan yang terdesentralisasi. Korupsi ditangani melalui loyalitas pribadi dan kewajiban timbal balik. Birokrasi awal, seperti yang dilakukan oleh Kekhalifahan Abbasiyah atau Dinasti Tang, memperkenalkan sistem formal untuk memantau pejabat, termasuk para inspektur dan mekanisme pelaporan.

Seiring munculnya negara-negara yang tersentralisasi, korupsi mulai dipandang sebagai ancaman terhadap integritas dan efisiensi pemerintahan. Periode ini memperlihatkan peningkatan penekanan pada profesionalisasi dan akuntabilitas. Misalnya, selama Renaisans di Eropa, Republik Venesia dan negara-kota lainnya menerapkan sistem pengawasan dan keseimbangan formal untuk membatasi penyalahgunaan dana publik.
Munculnya budaya literasi dan cetak memfasilitasi diskusi publik yang lebih luas tentang korupsi. Pemikir Pencerahan seperti Montesquieu dan Rousseau mengkritik korupsi sebagai penghalang bagi cita-cita republik dan meritokrasi.

Di era modern, korupsi sebagian besar didefinisikan dalam terma hukum dan institusi, dengan fokus pada penyalahgunaan kekuasaan publik demi keuntungan pribadi. Korupsi dianggap sebagai pelanggaran hukum dan peraturan yang dikodifikasikan, bukan semata-mata pelanggaran moral atau etika. Korupsi kini diakui sebagai masalah sistemik dengan konsekuensi ekonomi, politik, dan sosial yang luas. Korupsi terkait dengan isu-isu seperti kemiskinan, ketidaksetaraan, dan melemahnya lembaga negara.
Persepsi modern tentang korupsi menekankan prinsip-prinsip seperti transparansi, akuntabilitas, dan meritokrasi. Praktik-praktik yang dulunya dapat diterima secara budaya, seperti nepotisme atau patronase, kini secara luas dicela karena merusak keadilan dan pemerintahan demokratis.
Kini, korupsi ditangani dalam kerangka global, dengan organisasi internasional, kelompok nonpemerintah, dan pemerintah berkolaborasi dalam inisiatif antikorupsi. Alat-alat modern seperti pengawasan digital dan analisis data juga berperan dalam deteksi dan pencegahan.

Dalam satire distopia ini, mesin waktu di tangan pejabat korup menjadi alat kekuasaan dan manipulasi yang tiada habisnya. Pada akhirnya, penyalahgunaan mesin waktu untuk korupsi hanya menggarisbawahi biaya sebenarnya: hilangnya kepercayaan, kemajuan, dan harapan bagi masyarakat yang adil dan makmur. Inilah pengingat yang menyentuh bahwa integritas dan transparansi adalah nilai-nilai abadi yang tak dapat digantikan oleh perjalanan waktu sebanyak apa pun.

Dan sekarang, aku harus membalikkan timer pasirku lagi buat perpanjang bincang kita."