"Keadilan (adl) merupakan landasan utama pemerintahan Islam. Legitimasi seorang pemimpin terkait dengan komitmennya dalam menegakkan keadilan, sebagaimana tercermin dalam Al-Qur'an dan Sunnah," lanjut Nifty. “Al-Qur’an menekankan pentingnya keadilan sebagai kualitas yang melekat pada kepemimpinan:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ ۚ اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَاۗ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰٓى اَنْ تَعْدِلُوْا ۚ وَاِنْ تَلْوٗٓا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
"Wahai orang-orang beriman, jadilah kamu penegak keadilan dan saksi karena Allah, walaupun kesaksian itu memberatkan dirimu sendiri, ibu bapakmu, atau kerabatmu. Jika ia (yang diberatkan dalam kesaksian) kaya atau miskin, Allah lebih layak tahu (kemaslahatan) keduanya. Maka, janganlah mengikuti hawa nafsumu karena ingin menyimpang (dari kebenaran). Jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau berpaling (enggan menjadi saksi), sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan." [QS. An-Nisa, (4):135]
Kekuasaan, jika disalahgunakan, akan berubah menjadi tirani (zulm), dosa besar dalam Islam. Al-Quran berulangkali mengutuk penindasan, baik oleh individu maupun penguasa. Penyalahgunaan kekuasaan oleh Firaun merupakan contoh utama tirani, menindas dan menolak petunjuk ilahi. Kejatuhannya menjadi peringatan bagi para penguasa yang menindas (Surat Al-Qasas, 28:4). Beberapa khalifah dalam sejarah Islam dikritik oleh para ulama Islam karena terlibat dalam tirani dan mengabaikan keadilan, semisal Yazid bin Muawiyah pada tragedi Karbala. Umat Islam didorong agar menentang tirani dan menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang tidak adil:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ " . أَوْ " أَمِيرٍ جَائِرٍ
“Perjuangan (jihad) yang paling baik di jalan Allah adalah (mengucapkan) kata-kata keadilan kepada penguasa yang menindas.” [Sunan Abi Dawud 4344, Sahih oleh Al-Albani]
Para ulama Islam menganjurkan adanya pengawasan terhadap kepemimpinan guna mencegah kerusakan dan tirani. Ini termasuk Syura (Musyawarah): Para pemimpin disarankan agar bermusyawarah dengan rakyat dan penasihat mereka dalam pengambilan keputusan,"...(juga lebih baik dan lebih kekal bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb mereka dan melaksanakan shalat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka..." (QS. Asy-Syura, 42:38); Akuntabilitas Publik: Umar bin Khattab mencontohkan hal ini ketika ia secara terbuka menerima kritik dari rakyatnya selama masa kekhalifahannya. Batasan Otoritas Absolut: Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sultaniyyah menekankan bahwa otoritas seorang penguasa tidaklah mutlak dan seyogyanya mematuhi prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan Islam.
Kekuasaan, bila digunakan untuk keadilan, sejalan dengan perintah ilahi guna menegakkan perdamaian dan keadilan. Namun, kekuasaan yang tak terkendali akan menjadi kekuatan yang merusak. Keindahan otoritas yang seimbang dalam Islam terletak pada pengakuannya terhadap potensi kekuasaan untuk kebaikan dan keburukan, dan desakannya pada akuntabilitas, keadilan, dan kesejahteraan publik.
Dalam Economy and Society (aslinya diterbitkan dalam bahasa Jerman sebagai Wirtschaft und Gesellschaft pada tahun 1922, disunting secara anumerta oleh istrinya Marianne Weber), Max Weber menguraikan teorinya yang berpengaruh tentang otoritas dan legitimasi kekuasaan. Ia mengidentifikasi tiga jenis otoritas yang sah (Herrschaft), yang masing-masing didasarkan pada sumber legitimasi yang berbeda. Jenis-jenis ini penting dalam memahami dasar aturan dan tatakelola masyarakat. Jenis pertama adalah Otoritas Tradisional. Otoritas ini dilegitimasi oleh adat istiadat, tradisi, atau status warisan yang sudah lama ada. Otoritas ini bergantung pada kepercayaan yang mapan pada kesucian tradisi dan legitimasi mereka yang mewarisi otoritas dalam kerangka ini. Kepemimpinan seringkali bersifat turun-temurun atau berdasarkan adat istiadat, dan kekuasaan dijalankan dalam batas-batas tradisional. Otoritas ini umum dalam monarki, sistem kesukuan, atau masyarakat feodal.Masyarakat feodal adalah sistem pemerintahan dan ekonomi hierarkis yang muncul secara menonjol di Eropa abad pertengahan antara abad ke-9 dan ke-15. Masyarakat feodal dicirikan oleh desentralisasi kekuasaan, kekayaan berbasis lahan, dan kewajiban timbal balik antara kelas sosial yang berbeda. Sistem feodal berputar di sekitar tanah, yang merupakan sumber utama kekayaan dan kekuasaan. Tuan tanah memiliki tanah yang luas dan memberikan sebagian (wilayah kekuasaan) kepada pengikut sebagai imbalan atas kesetiaan dan dinas militer [lihat Marc Bloch, Feudal Society, 1961, University of Chicago Press]
Masyarakat ini terbagi ke dalam kelas-kelas yang kaku: Raja atau Monarki: berotoritas nominal atas suatu wilayah; Bangsawan atau Tuan Tanah: Mengendalikan lahan-lahan yang luas dan bertindak sebagai penguasa daerah; Bawahan atau Ksatria: Memberikan layanan militer sebagai ganti lahan; Petani atau Budak: Mengolah lahan dan menyediakan tenaga kerja, sering terikat dengan lahan milik tuan tanah mereka. Kekuasaan dalam masyarakat feodal terpecah-pecah, karena tuan tanah setempat memegang otoritas yang lebih besar atas lahan mereka daripada raja [lihat Henri Pirenne Medieval Cities: Their Origins and the Revival of Trade, Princeton University Press, 1925). Hukum feodal didasarkan pada adat istiadat daripada undang-undang yang dikodifikasi. Tuan tanah bertindak sebagai hakim, dan perselisihan diselesaikan secara lokal [lihat Susan Reynolds, Fiefs and Vassals: The Medieval Evidence Reinterpreted (Oxford University Press, 1994. Karya ini mengevaluasi kembali kompleksitas hukum hubungan feodal].
Ekonomi feodal sebagian besar bersifat agraris dan terlokalisasi, dengan perdagangan jarak jauh yang terbatas selama periode awal. Mitra ekonomi feodalisme, manorialisme, melibatkan perkebunan pertanian swasembada yang dikelola oleh tuan tanah dan dikerjakan oleh budak. Para budak terikat pada lahan dan menyediakan tenaga kerja sebagai imbalan atas perlindungan dan akses ke lahan untuk pertanian subsisten.
Struktur feodal serupa ada di Jepang selama periode Kamakura dan Muromachi (1185–1600). Samurai adalah padanan ksatria Jepang, melayani daimyo (tuan tanah) mereka dengan imbalan tanah atau gaji [lihat John Whitney Hall, Japan: From Prehistory to Modern Times (University of Michigan Press, 1970].
Tipe kedua adalah Otoritas Kharismatik yang berasal dari kualitas pribadi luar biasa dari seorang pemimpin individu, yang mengilhami pengabdian dan kesetiaan. Otoritas karismatik seringkali sulit melembagakan dirinya usai kematian atau kemunduran pemimpin tersebut. Karisma pada dasarnya tak stabil dan bergantung pada demonstrasi kualitas hebat yang berlanjut. Tipe ketiga adalah otoritas Rasional-legal yang didasarkan pada aturan, hukum, dan prosedur yang diformalkan, di mana kekuasaan dikaitkan dengan posisi resmi daripada individu. Ini berakar pada keyakinan akan legalitas aturan yang diberlakukan dan hak mereka yang diangkat ke otoritas berdasarkan aturan tersebut untuk mengeluarkan perintah. Lembaga dan birokrasi mendominasi, dengan kekuasaan yang didepersonalisasi dan prosedural. Ini umum dalam demokrasi modern dan organisasi birokrasi.
Masyarakat feodal mewakili periode penting dalam sejarah dunia, yang dicirikan oleh kekuasaan yang terdesentralisasi, ekonomi berbasis lahan, dan struktur sosial hierarkis. Meskipun sebagian besar telah menghilang, warisan mereka terus membentuk pemerintahan modern, sistem hukum, dan narasi budaya. Cita-cita kesatria tetap diromantisir dalam literatur dan media. Meskipun Indonesia bukan lagi masyarakat feodal, ciri-ciri sosial, ekonomi, dan budaya tertentu yang berakar pada struktur feodal historisnya masih ada hingga saat ini. Ciri-ciri ini, meskipun dimodifikasi, mencerminkan aspek hierarki, patronase, dan hubungan berbasis lahan yang menjadi ciri sistem feodal tradisional. Di Indonesia pra-kolonial, kerajaan semisal Majapahit dan Mataram beroperasi di bawah sistem hierarkis dimana kekuasaan terpusat di antara raja, bangsawan, dan penguasa lokal (raja, sultan). Kepemilikan tanah dan hubungan kerja menjadi pusat pemerintahan, dengan petani menggarap lahan dan memberikan tria bute kepada tuan mereka sebagai imbalan atas perlindungan.
Selama pemerintahan kolonial Belanda, Sistem Tanam Paksa (1830-1870) semakin memperkuat sistem seperti feodal. Elit lokal bertindak sebagai perantara bagi pemerintah kolonial, mempertahankan kendali atas petani dan tanah [lihat Elson, R.E. Village Java under the Cultivation System, 1994, Allen & Unwin].
Di lingkungan pedesaan dan politik, hubungan yang menyerupai perbudakan feodal seringkali terjadi. Anggota masyarakat bersekutu dengan tokoh-tokoh yang berkuasa (misalnya, kepala desa, dan politisi lokal) dengan imbalan sumber daya, peluang, atau perlindungan. Dalam politik kontemporer, elit lokal terkadang menggunakan sumber daya untuk mendapatkan kesetiaan, mencerminkan penguasa historis yang memberikan tanah atau hak istimewa [lihat Edward Aspinall, Patronage and Clientelism in Indonesian Politics, 2014, Routledge]. Peran tradisional yang terkait dengan kaum bangsawan, seperti Kraton (istana kerajaan) di Yogyakarta dan Surakarta, tetap ada, dimana penguasa lokal mempertahankan otoritas seremonial dan pengaruh sosial. Masyarakat di beberapa wilayah Indonesia, seperti Bali, mempertahankan sistem seperti kasta dengan ritual dan peran yang terkait dengan strata sosial historis.
Kendati Indonesia telah melangkah maju dari masa lalu feodalnya, ciri-ciri tertentu—hubungan patron-klien, kesenjangan tanah, dan hierarki sosial—tetap tertanam dalam struktur sosial-politiknya. Mengatasi tantangan ini memerlukan keseimbangan antara rasa hormat terhadap tradisi budaya dengan upaya menggalakkan kesetaraan, transparansi, dan partisipasi demokratis.
Masyarakat feodal mengekalkan hierarki yang kaku dimana sumber daya, kekuasaan, dan hak istimewa terpusat di kalangan elit. Kaum mayoritas, termasuk petani dan buruh, tetap dirugikan dengan mobilitas sosial yang terbatas. Ketimpangan ini memperburuk keresahan dan kecemburuan sosial, menghambat persatuan nasional dan kohesi sosial [lihat James C. Scott, Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance, 1985, Yale University Press].
Tania Murray Li [Land’s End: Capitalist Relations on an Indigenous Frontier, 2014, Duke University Press] membahas bagaimana konsentrasi lahan historis masih ada dalam konteks modern seperti Indonesia. Sistem feodal seringkali mengalokasikan sumber daya secara tidak merata, khususnya lahan, sehingga membatasi kesempatan bagi masyarakat yang terpinggirkan. Kepemilikan lahan yang terkonsentrasi membuka ketergantungan pada kaum elit dan mempertahankan kesenjangan ekonomi. Akses terbatas terhadap lahan menghambat pembangunan pertanian, memperburuk kemiskinan di pedesaan, dan mendorong migrasi perkotaan.
Francis Fukuyama [Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, 1995, Free Press, 1995] menyoroti bagaimana meritokrasi mendorong pertumbuhan ekonomi, sementara sistem hierarkis menghambatnya. Sistem feodal memprioritaskan hak istimewa turun-temurun daripada bakat atau prestasi. Hal ini menghambat inovasi dan kewirausahaan, karena peluang didistribusikan berdasarkan kesetiaan atau garis keturunan daripada kompetensi. Karenanya akan terjadi stagnasi ekonomi dan berkurangnya daya saing di pasar global.
Edward Aspinall Patronage and Clientelism in Indonesian Politics, 2014, Routledge] meneliti bagaimana patronase mempengaruhi tatakelola ekonomi. Hubungan patron-klien, yang mengingatkan pada sistem feodal, dapat membuat ketergantungan dan inefisiensi. Manfaat ekonomi didistribusikan secara tak merata, yang mengarah pada korupsi dan salah alokasi sumber daya. Hal ini merusak stabilitas ekonomi dan praktik pasar yang adil.
Jeffrey A. Winters [Oligarchy, 2011, Cambridge University Press] menganalisis persistensi dominasi elit di negara-negara seperti Indonesia. Ciri-ciri feodalisme terwujud dalam dinasti politik, dimana kekuasaan diwariskan alih-alih diperoleh melalui proses demokrasi. Jabatan politik dimonopoli oleh keluarga elit, menyingkirkan pemimpin yang cakap, dan memperkuat kecenderungan otoriter. Dalam kondisi ini, lembaga-lembaga demokrasi akan melemah, mengurangi kepercayaan publik, dan membatasi efektivitas pemerintahan.
Michel Foucault membahas bagaimana sistem hierarkis menegakkan kontrol dan menekan perlawanan. Struktur yang mirip feodal menghambat kebebasan berbicara dan perbedaan pendapat, karena kesetiaan kepada otoritas diutamakan. Warga negara menghadapi penindasan karena mengkritik otoritas atau menuntut reformasi. Kemajuan politik dan erosi kebebasan sipil bakal mandek.
Clifford Geertz [The Religion of Java,1960, University of Chicago Press] menyoroti bagaimana hierarki tradisional mempengaruhi praktik budaya modern. Nilai-nilai feodal, seperti kesetiaan tanpa syarat dan rasa hormat terhadap otoritas, dapat menghambat pemikiran kritis dan agensi individu. Hal ini akan menciptakan resistensi terhadap nilai-nilai modern seperti kesetaraan, keadilan, dan tata kelola partisipatif. Selain itu, hal ini akan memperlambat kemajuan budaya dan intelektual, sehingga menciptakan hambatan terhadap inovasi.
Benedict Anderson [Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, Verso, 1983] menekankan pentingnya identitas nasional bersama atas kesetiaan lokal. Para elit daerah yang mempertahankan struktur kekuasaan bergaya feodal dapat menciptakan perpecahan dalam negara. Kesetiaan mungkin lebih berpihak pada penguasa lokal daripada pada identitas nasional. Hal ini melemahkan upaya membangun persatuan dan identitas nasional yang kohesif.
Amartya Sen dalam Development as Freedom membahas bagaimana sistem ketimpangan melemahkan hak asasi manusia dan pembangunan. Sistem feodal sering mengeksploitasi buruh dan penyewa, membatasi hak dan kebebasan mereka. Hasilnya adalah populasi yang rentan menghadapi ketidakadilan sistemik, termasuk upah yang tidak adil dan kesempatan yang terbatas. Akan terjadi pelanggaran hak asasi manusia dan martabat dasar.
Bertahannya ciri-ciri feodalisme di Indonesia akan menghambat kemajuan sosial, ekonomi, dan politik, serta melanggengkan ketimpangan, korupsi, dan penindasan. Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini diperlukan pengembangan tata pemerintahan yang demokratis, distribusi sumber daya yang adil, dan sistem meritokratis. Modernisasi dan komitmen Indonesia terhadap reformasi yang berkelanjutan sangat penting dalam membongkar sisa-sisa feodalisme ini.
Hubungan antara ciri-ciri feodal dan dinasti politik di Indonesia merupakan topik yang menarik minat akademisi. Dinasti politik ini kerap menyerupai sistem hierarkis dan patronase masyarakat feodal, dimana kekuasaan diwariskan atau dipusatkan dalam keluarga daripada didistribusikan secara demokratis. Masyarakat feodal dicirikan oleh sistem hierarkis dimana kekuasaan terpusat di tangan elit penguasa, sering berdasarkan garis keturunan. Dinasti politik meniru struktur ini dengan menciptakan monopoli keluarga atas jabatan politik. Misalnya, posisi kepemimpinan daerah selalu diwariskan dalam keluarga, sehingga membatasi akses bagi orang luar. Sistem feodal bergantung pada patronase, dimana kesetiaan dihargai dengan perlindungan atau manfaat. Dinasti politik memelihara jaringan patronase untuk mendapatkan dukungan pemilih, menawarkan bantuan atau insentif ekonomi sebagai imbalan atas kesetiaan politik. Dalam masyarakat feodal, kekuasaan selalu diwariskan, dengan kepemimpinan yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam satu keluarga. Di Indonesia, keluarga politik mendominasi politik lokal dan nasional. Kekuasaan yang diwariskan merusak prinsip-prinsip demokrasi dan meritokrasi, membatasi kesempatan bagi individu-individu yang cakap di luar keluarga elit.
Dalam masyarakat feodal, penguasa lokal menjalankan kendali yang penting atas wilayah-wilayah tertentu. Di Indonesia, dinasti politik regional mendominasi provinsi, kabupaten, dan kota, kerap memperlakukan wilayah-wilayah ini sebagai wilayah kekuasaan pribadi. Hal ini menghambat desentralisasi yang demokratis dan pemerintahan yang adil.
Dinasti politik merusak demokrasi dengan membatasi persaingan elektoral. Pemilih sering menghadapi pilihan yang terbatas antara anggota keluarga elit yang sama. Hal ini mengikis kepercayaan publik terhadap proses demokrasi dan memperkuat ketimpangan. Dinasti politik selalu bergantung pada jaringan patronase, yang dapat menyebabkan korupsi dan penyalahgunaan sumber daya publik. Korupsi melemahkan tatakelola, mengalihkan sumber daya dari layanan publik, dan mengakar dalam kemiskinan.
Politik dinasti selalu menguntungkan kaum elit, yang menyebabkan distribusi sumber daya dan peluang yang tak merata. Kesenjangan ekonomi terus berlanjut karena manfaat politik dan ekonomi terkonsentrasi di antara keluarga elit dan sekutunya.
Penghormatan yang mengakar terhadap hierarki dan kesetiaan dalam budaya Indonesia mencerminkan nilai-nilai feodal, yang membuat politik dinasti dapat diterima secara sosial di banyak daerah. Sistem pemilihan umum Indonesia tak secara efektif mencegah dinasti politik, sehingga memungkinkan dinasti politik tetap ada meskipun ada reformasi demokrasi.
Mematahkan struktur kekuasaan feodal dan membubarkan dinasti politik memerlukan kombinasi reformasi hukum, perubahan budaya, dan keterlibatan masyarakat secara aktif. Contoh-contoh historis dari berbagai negara menunjukkan bahwa adalah mungkin mengurangi pengaruh elit yang mengakar dan beralih ke sistem yang mempromosikan kesetaraan, meritokrasi, dan akuntabilitas.
Samuel P Huntington [Political Order in Changing Societies, 1968, Yale University Press, 1968] menyoroti bagaimana reformasi kelembagaan membantu menstabilkan demokrasi dengan membatasi kendali elit. Memperkenalkan atau menegakkan batasan masa jabatan untuk jabatan politik secara ketat dapat mencegah monopoli kekuasaan oleh keluarga elit. Misalnya di Amerika Serikat, pengenalan Amandemen ke-22 pada tahun 1951, yang membatasi masa jabatan presiden menjadi dua periode, membantu mengekang potensi kendali politik dinasti. Di Indonesia, memperkuat undang-undang untuk mencegah pemilihan ulang anggota keluarga secara berturut-turut dalam yurisdiksi yang sama dapat mengurangi prevalensi dinasti politik. Undang-undang serupa seperti Undang-Undang Anti-Dinasti di Filipina dapat mengganggu siklus suksesi dinasti dalam politik lokal dan nasional. Ketentuan anti-dinasti dalam Konstitusi Filipina, meskipun ditegakkan secara tidak konsisten, berfungsi sebagai model untuk menangani politik dinasti dalam sistem demokrasi.
Pippa Norris [Why Elections Fail, 2015, Cambridge University Press, 2015] menyoroti pentingnya pemilu yang transparan dalam mempromosikan kepemimpinan berbasis prestasi. Memperkuat komisi pemilu untuk memastikan pemilu yang bebas dan adil, mengurangi pengaruh uang dan patronase. Reformasi pemilu di India, khususnya melalui pemantauan ketat Komisi Pemilihan Umum terhadap pengeluaran kampanye dan proses pemungutan suara, telah membantu mengurangi pengaruh elit yang mengakar. Peningkatan transparansi dan pemantauan yang lebih ketat terhadap keuangan kampanye dapat mengurangi keuntungan kandidat dinasti.
Robert A Dahl [On Democracy, 1998, Yale University Press] mengeksplorasi peran kesadaran politik dalam memperkuat sistem demokrasi. Mendidik pemilih tentang bahaya politik dinasti dan pentingnya memilih kandidat berdasarkan prestasi daripada ikatan kekeluargaan. Kampanye pendidikan akar rumput dapat memberdayakan pemilih agar menuntut akuntabilitas dan prestasi dalam kepemimpinan. Gerakan sipil di Korea Selatan menekankan pendidikan politik, yang mengarah pada pembubaran dinasti politik yang didukung militer pada tahun 1980-an.
Chalmers Johnson [MITI and the Japanese Miracle, 1982, Stanford University Press] membahas bagaimana kebijakan ekonomi melemahkan kekuatan elit tradisional. Mendorong diversifikasi ekonomi untuk mengurangi ketergantungan pada industri atau sektor yang didominasi oleh keluarga elit. Kebijakan yang mendorong kewirausahaan dan usaha kecil dapat mengurangi ketergantungan ekonomi pada keluarga elit. Reformasi ekonomi pada tahun 1960-an dan 1970-an di Korea Selatan, yang dipimpin oleh Park Chung-hee, mengurangi pengaruh elit tradisional dengan menciptakan peluang ekonomi baru.
Mematahkan struktur kekuasaan feodal dan membubarkan dinasti politik memerlukan upaya komprehensif di seluruh ranah hukum, budaya, dan ekonomi. Dengan belajar dari contoh-contoh historis, Indonesia dapat melakukan reformasi yang memperkuat demokrasi, mempromosikan meritokrasi, dan memberdayakan masyarakat yang terpinggirkan. Pendekatan yang beragam ini akan memungkinkan bangsa ini mengatasi pengaruh sifat-sifat feodal yang masih ada dan merangkul masa depan yang lebih inklusif dan adil.
Beberapa pemikir berpendapat bahwa kekuasaan merupakan bagian intrinsik dari sifat manusia dan merupakan pusat dari keinginan dan motivasi kita. Dalam Escape from Freedom [1965, Avon Books], Erich Fromm membandingkan kekuasaan sebagai dominasi dengan kekuasaan sebagai pertumbuhan dan penguasaan. Ia membedakan antara "kekuasaan atas orang lain" dan "kekuasaan untuk bertindak" secara kreatif dan bertanggungjawab. Fromm mendefinisikan dominasi sebagai bentuk kekuasaan eksternal dan koersif. Dominasi melibatkan pengendalian orang lain, kerap melalui rasa takut, manipulasi, atau kekerasan, guna menegaskan keinginan seseorang.
Kekuasaan sebagai pertumbuhan dan penguasaan berakar pada pengembangan pribadi, kreativitas, dan pemenuhan potensi seseorang. Kekuasaan merupakan kekuatan internal dan konstruktif. Kekuasaan atas orang lain memerlukan penggunaan kendali atau dominasi agar mencapai kepatuhan atau penyerahan. Fromm meneliti mekanisme psikologis yang menyebabkan individu tunduk pada figur otoriter. Bentuk kekuasaan ini tumbuh subur karena rasa takut dan kecenderungan manusia melepaskan beban kebebasan dengan melepaskan tanggungjawab. Kekuasaan untuk bertindak mengacu pada kapasitas terlibat dengan dunia secara kreatif, bertanggungjawab, dan autentik.
Fromm mengkritik kekuasaan sebagai dominasi karena efeknya yang tak manusiawi, dengan menyatakan bahwa kekuasaan melemahkan baik penindas maupun yang tertindas. Ia menganjurkan kekuasaan sebagai pertumbuhan dan penguasaan, dengan menekankan keselarasannya dengan martabat manusia dan kehidupan yang etis.
Kekuasaan untuk bertindak secara kreatif dan bertanggungjawab merupakan inti dari konsepsi Fromm tentang kebebasan positif. Kebebasan sejati bukanlah ketiadaan kendala, tetapi kehadiran pilihan yang bermakna dan kapasitas untuk bertindak berdasarkan kendala tersebut. Sebaliknya, kekuasaan atas orang lain mencerminkan kebebasan negatif—penolakan tanggungjawab dan kemunduran ke dalam otoritarianisme.
Dalam konteks kontemporer, analisis Fromm tetap relevan dengan pembahasan tentang kepemimpinan, ketidaksetaraan sistemik, dan pemberdayaan pribadi. Perbedaan antara dominasi dan pertumbuhan selaras dengan gerakan yang mengadvokasi tatakelola yang etis, demokrasi partisipatif, dan agensi individu.
Dimensi etika kekuasaan, terutama dalam konteks masyarakat pluralistik modern, sangatlah kompleks, yang melibatkan pertanyaan tentang keadilan, kesetaraan, hak asasi manusia, dan penggunaan wewenang secara bertanggungjawab. Dalam fragmen berikutnya, kita akan mengeksplorasi bagaimana kekuasaan bersinggungan dengan etika dalam masyarakat pluralistik, bi'idznillah."