Sabtu, 21 Desember 2024

Mengapa Sebuah Bangsa Harus Berusaha Berkembang? (5)

"Seorang lelaki pergi berlibur untuk pertama kalinya, dan hal pertama yang didengarnya setiap hari adalah seorang wanita dengan suara mengerikan, yang bernyanyi dengan keras. Ia berusaha bersantai di pantai—ia mendengar wanita itu bernyanyi—makan siang—wanita itu nyanyi lagi—ia mencoba tidur. Ternyata gak bisa karena wanita itu bernyanyi. Pada hari ketiga, ia merasa kesal dan mendatangi manajer.
'Sudah cukup! Tolong hentikan wanita itu bernyanyi?' pintanya.
'Gak bisa pak! kata sang manajer. 'Rasanya gak enak banget kalo doi berhenti nyanyi!'
'Emang knapa?' tanya sang lelaki.
'Kalo doi berhenti nyanyi, doi main gitar!'"

"Pertumbuhan ekonomi kerap membutuhkan investasi besar dalam infrastruktur, pendidikan, perawatan kesehatan, dan teknologi. Misalnya, membangun jalan raya, rel kereta api, dan sistem energi membutuhkan modal finansial, material, dan tenaga kerja. Namun, investasi ini disertai biaya peluang (opportunity costs); dana yang dialokasikan bagi infrastruktur dapat membatasi pengeluaran guna perawatan kesehatan atau pendidikan. Demikian pula, berinvestasi dalam industri berteknologi tinggi akan memerlukan biaya penelitian dan pengembangan yang signifikan, serta program pelatihan khusus bagi tenaga kerja.
Tenaga kerja sebuah negara merupakan landasan pembangunannya. Pendidikan dan pelatihan penduduk menimbulkan biaya langsung, semisal membangun sekolah, membayar guru, dan menyediakan materi pendidikan. Di samping itu, ada biaya sosial yang terkait dengan pengangguran atau migrasi tenaga kerja terampil (brain drain). Sektor kesehatan juga menuntut sumber daya guna memastikan populasi yang produktif. Meskipun peningkatan sistem kesehatan publik memerlukan pendanaan untuk rumah sakit, vaksin, dan program, mengabaikan area ini akan menyebabkan biaya jangka panjang yang lebih tinggi dalam hal hilangnya produktivitas dan pengelolaan penyakit.
Pembangunan juga bergantung pada sistem tatakelola yang kuat, yang mampu menerapkan kebijakan, menegakkan hukum, dan mengelola sumber daya secara efektif. Membangun kapasitas kelembagaan—semisal membangun sistem pajak yang transparan atau badan antikorupsi—membutuhkan waktu, keahlian, dan investasi finansial. Tiadanya tatakelola yang baik dapat memperburuk biaya dengan menyebabkan inefisiensi, salah urus, atau korupsi, yang melemahkan upaya pembangunan.
Menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan perlindungan lingkungan merupakan sumber biaya pembangunan yang signifikan. Ekstraksi sumber daya alam, perluasan industri, dan urbanisasi seringkali merusak ekosistem, sehingga memerlukan tindakan pemulihan dan mitigasi yang mahal. Perubahan iklim memperbesar biaya ini, sehingga mengharuskan negara-negara berinvestasi dalam infrastruktur adaptif, energi terbarukan, dan praktik berkelanjutan guna memastikan ketahanan terhadap bencana semisal banjir, kekeringan, dan badai.
Mengatasi ketimpangan dan memastikan pertumbuhan yang inklusif disertai dengan tantangan finansial dan sosial. Investasi di masyarakat yang terpinggirkan—seperti proyek pembangunan pedesaan, perumahan, dan program perlindungan sosial—sangat penting tetapi membutuhkan banyak sumber daya. Kegagalan dalam mempromosikan kesetaraan dapat menyebabkan keresahan, berkurangnya kohesi sosial, dan hilangnya potensi ekonomi, yang selanjutnya akan meningkatkan biaya pembangunan.
Globalisasi dan hubungan internasional juga membentuk biaya pembangunan. Partisipasi dalam pasar global memerlukan kepatuhan terhadap peraturan perdagangan, peningkatan teknologi, dan peningkatan daya saing, yang dapat membebani sumber daya yang terbatas. Demikian pula, konflik atau ketegangan geopolitik dapat mengalihkan dana dari pembangunan ke belanja pertahanan. Negara-negara yang bergantung pada bantuan atau pinjaman asing akan menghadapi biaya jangka panjang yang terkait dengan pembayaran utang, yang membatasi ruang fiskal mereka untuk prioritas lain.
Lintasan budaya dan sejarah sebuah negara dapat mempengaruhi struktur biaya pembangunannya. Misalnya, negara-negara yang sedang memulihkan diri dari eksploitasi kolonial, konflik, atau ketidakstabilan politik sering menanggung biaya yang tak proporsional dalam membangun kembali infrastruktur, lembaga, dan kepercayaan publik. Faktor budaya juga dapat membentuk sikap terhadap pendidikan, inovasi, dan tatakelola, yang mempengaruhi efisiensi dan efektivitas investasi pembangunan.
Mengadopsi dan meningkatkan skala teknologi baru sangat penting bagi pembangunan modern, tetapi memerlukan biaya awal pengadaan, adaptasi, dan pelatihan. Selain itu, teknologi yang ketinggalan zaman dan kesenjangan digital dapat menghambat daya saing, sehingga memerlukan investasi lebih lanjut guna menjembatani kesenjangan ini.

Pembiayaan pembangunan mengacu pada sumber daya yang dimobilisasi untuk mendanai inisiatif ekonomi, sosial, dan lingkungan yang mendorong kemajuan sebuah negara. Sumber-sumber ini beragam, meliputi saluran domestik, internasional, publik, dan swasta, masing-masing dengan peran, tantangan, dan dampak yang unik. Menjelajahi luasnya sumber-sumber ini memerlukan pemahaman tentang keterkaitannya dan konsekuensi yang ditimbulkannya.
Pemerintah berperan penting dalam pembiayaan pembangunan melalui pendapatan publik yang diperoleh dari perpajakan, tarif, dan sumber daya nonpajak semisal perusahaan milik negara. Perpajakan menyediakan dasar bagi pembiayaan berkelanjutan, yang memungkinkan pemerintah mengalokasikan dana bagi infrastruktur, pendidikan, perawatan kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Sistem perpajakan progresif juga dapat membantu mengurangi ketimpangan. Namun, tantangan seperti penghindaran pajak, inefisiensi, dan kapasitas kelembagaan yang lemah dapat membatasi pengumpulan pendapatan, khususnya di negara-negara berpendapatan rendah.
Peminjaman publik, seringkali dalam bentuk penerbitan obligasi pemerintah, melengkapi kekurangan pendapatan. Sementara pasar utang domestik dapat menyediakan mekanisme pembiayaan yang stabil, ketergantungan yang berlebihan dapat menyebabkan kesulitan utang, khususnya jika persyaratan pembayaran tak selaras dengan lintasan pertumbuhan ekonomi.
Sektor swasta memainkan peran penting dalam pembangunan dengan berinvestasi di berbagai industri, membuka lapangan kerja, dan mendorong inovasi. Bisnis domestik, mulai dari perusahaan kecil hingga perusahaan besar, berkontribusi melalui investasi, pembayaran pajak, dan kemitraan dalam inisiatif publik-swasta. Pasar keuangan juga berfungsi sebagai sumber modal melalui investasi ekuitas dan pinjaman bank.
Namun, pembiayaan swasta sering condong ke proyek-proyek dengan keuntungan tinggi, yang berpotensi mengabaikan sektor-sektor penting tetapi kurang menguntungkan semisal pendidikan atau pembangunan pedesaan. Pemerintah mungkin perlu memberikan insentif, jaminan, atau kebijakan yang menguntungkan guna menyelaraskan investasi swasta dengan tujuan pembangunan.

Buku karya Jeffrey Delmon, Private Sector Investment in Infrastructure: Project Finance, PPP Projects and Risk (2009, Kluwer Law International) menawarkan kajian mendalam tentang peran penting sektor swasta dalam pembiayaan infrastruktur. Delmon meneliti bagaimana sektor swasta berkontribusi dalam mengatasi kesenjangan pendanaan yang cuup berarti, yang sering dihadapi pemerintah dalam mengembangkan dan memelihara infrastruktur. Tulisannya secara khusus memberikan wawasan dalam menjelaskan mekanisme yang dapat digunakan investasi swasta untuk melengkapi sumber daya dan keahlian publik, semisal melalui Project Finance dan Public-Private Partnerships (PPP).
Delmon berpendapat bahwa keterlibatan sektor swasta bukan hanya tentang suntikan modal, tetapi juga tentang peningkatan efisiensi, inovasi, dan manajemen risiko. Ia menekankan bahwa investor swasta membawa pengetahuan khusus dan keahlian operasional yang dapat meningkatkan hasil proyek secara signifikan, terutama ketika sektor publik menghadapi kendala kapasitas. Lebih jauh, penulis menguraikan struktur pembiayaan proyek dan KPS sebagai alat untuk menyelaraskan insentif, memastikan bahwa risiko dan imbalan didistribusikan secara efektif di antara semua pemangku kepentingan.
Tema yang berulang dalam analisis Delmon adalah alokasi risiko. Ia menyoroti perlunya kerangka kontraktual yang jelas yang mengalokasikan risiko kepada pihak-pihak yang paling mampu mengelolanya. Alokasi yang cermat ini sangat penting untuk menarik investasi swasta sekaligus memastikan bahwa kepentingan publik terlindungi. Delmon juga menekankan pentingnya menciptakan lingkungan hukum dan peraturan yang mendukung untuk menumbuhkan kepercayaan investor dan mengamankan komitmen jangka panjang.

Bantuan pembangunan internasional, semisal hibah dan pinjaman lunak dari organisasi bilateral dan multilateral, memberikan dukungan penting bagi negara-negara berkembang. Lembaga seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan bank pembangunan regional menawarkan sumber daya keuangan, bantuan teknis, dan panduan kebijakan. Bantuan bilateral, yang diberikan oleh negara-negara donor, kerap menargetkan sektor atau wilayah tertentu, melengkapi upaya domestik.
Meskipun bantuan dapat menjembatani kesenjangan sumber daya, bantuan tersebut sering dikritik karena risiko ketergantungan, persyaratan, dan potensi ketidakselarasan dengan prioritas negara penerima. Selain itu, penurunan kontribusi donor atau pergeseran prioritas global dapat mengganggu perencanaan jangka panjang.
Buku karya Finn Tarp dan Peter Hjertholm berjudul Foreign Aid and Development: Lessons Learned and Directions for the Future, yang diterbitkan oleh Routledge pada tahun 2000, merupakan eksplorasi komprehensif tentang hubungan rumit antara bantuan asing dan pembangunan. Para penulis memberikan analisis mendalam tentang efektivitas bantuan dalam mengatasi kesenjangan pendanaan di negara-negara berkembang, dengan menawarkan pemahaman yang bernuansa tentang potensi manfaat dan keterbatasannya.
Argumen utama berkisar pada peran ganda bantuan asing sebagai katalisator pembangunan dan pengaruh yang berpotensi mengganggu. Tarp dan Hjertholm secara kritis menilai hipotesis kesenjangan keuangan, yang menyatakan bahwa bantuan asing dapat menutupi defisit tabungan dan investasi, sehingga memungkinkan pertumbuhan ekonomi. Mereka berpendapat bahwa meskipun bantuan memang dapat meringankan kekurangan dana langsung dan menyediakan modal penting untuk proyek pembangunan, kemanjurannya dalam jangka panjang bergantung pada beberapa faktor, termasuk kualitas tatakelola, kapasitas lembaga penerima, dan keselarasan tujuan bantuan dengan prioritas lokal.
Para penulis menekankan bahwa dampak bantuan tidaklah seragam dan sangat bervariasi berdasarkan variabel kontekstual seperti stabilitas politik, kebijakan ekonomi, dan kerangka kelembagaan. Mereka menyoroti bahwa bantuan yang efektif memerlukan penyesuaian yang cermat terhadap kebutuhan dan kondisi khusus negara penerima, yang melampaui pendekatan satu ukuran untuk semua. Lebih jauh, mereka menganjurkan pergeseran fokus dari sekadar meningkatkan volume bantuan ke peningkatan kualitas dan keberlanjutannya.
Foreign Aid and Development menggarisbawahi perlunya pendekatan yang seimbang dan kritis terhadap bantuan asing. Tarp dan Hjertholm menyoroti potensinya sebagai alat yang ampuh untuk mengatasi kesenjangan pendanaan dan mendorong pembangunan, asalkan dilaksanakan dengan pemahaman yang mendalam tentang konteks lokal dan komitmen terhadap keberlanjutan jangka panjang. Karya mereka tetap menjadi sumber daya yang berharga bagi para pembuat kebijakan, peneliti, dan praktisi pembangunan yang berusaha menavigasi kompleksitas bantuan asing di abad ke-21.

Penanaman Modal Asing Langsung (PMA) melibatkan investasi oleh entitas asing di industri, infrastruktur, atau pasar sebuah negara. Penanaman modal asing langsung tak semata mendatangkan sumber daya keuangan, tetapi juga transfer teknologi, keahlian, dan akses pasar global. Sektor-sektor seperti manufaktur, jasa, dan energi terbarukan seringkali memperoleh manfaat signifikan dari PMA.
Namun, dampak pembangunan PMA bergantung pada keselarasannya dengan prioritas nasional. Ketergantungan yang berlebihan pada industri ekstraktif atau peraturan lingkungan dan ketenagakerjaan yang longgar dapat merusak pembangunan berkelanjutan. Memastikan bahwa PMA mendorong penambahan nilai, penciptaan lapangan kerja, dan penyebaran teknologi memerlukan pembuatan kebijakan yang strategis.

Uang yang dikirim pulang oleh pekerja migran merupakan sumber pembiayaan yang penting bagi banyak negara berkembang. Remitansi memberikan dukungan langsung kepada rumah tangga, meningkatkan hasil pendidikan, perawatan kesehatan, dan perumahan. Remitansi sering melebihi bantuan pembangunan resmi dalam hal volume, sehingga menjadi aliran masuk keuangan yang andal dan tangguh.
Meskipun bermanfaat, remitansi biasanya diarahkan untuk konsumsi daripada investasi produktif. Para pembuat kebijakan dapat memanfaatkan potensinya dengan menciptakan instrumen keuangan atau insentif yang mendorong tabungan dan investasi dalam bisnis atau infrastruktur lokal.

Yayasan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pelaku filantropi memberikan kontribusi melalui hibah dan proyek yang menargetkan tantangan sosial, ekonomi, atau lingkungan tertentu. Kontribusi ini sering berfokus pada bidang-bidang yang kurang terlayani, seperti kesehatan, pendidikan, dan bantuan bencana.
Meskipun filantropi itu berharga, skalanya biasanya lebih kecil bila dibandingkan dengan investasi publik atau swasta. Selain itu, dampaknya dapat terfragmentasi atau berjangka pendek jika tak diintegrasikan ke dalam strategi pembangunan yang lebih luas.

Pendanaan campuran menggabungkan dana publik dan swasta untuk mengurangi risiko investasi dan menarik sumber daya tambahan. Mekanisme seperti obligasi hijau, obligasi dampak sosial, dan instrumen pendanaan iklim muncul sebagai cara inovatif dalam mengatasi tantangan pembangunan. Misalnya, obligasi hijau membiayai proyek energi terbarukan atau adaptasi iklim, sementara obligasi sosial menargetkan hasil kesehatan atau pendidikan.
Instrumen ini memperluas opsi pendanaan tetapi memerlukan tatakelola, transparansi, dan pemantauan yang kuat guna memastikan akuntabilitas dan efektivitas.

Bagi negara-negara yang kaya sumber daya, pendapatan dari minyak, gas, dan mineral dapat menjadi sumber utama pembiayaan pembangunan. Jika dikelola secara efektif, kekayaan sumber daya dapat mendanai infrastruktur, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Sovereign wealth funds (SWF) sering digunakan untuk mengelola pendapatan ini secara berkelanjutan.
Namun, "the resource curse (kutukan sumber daya)" menghadirkan tantangan yang signifikan. Salah urus, korupsi, dan ketergantungan berlebihan pada harga komoditas yang tidak stabil dapat merusak stabilitas dan tujuan pembangunan.
Escaping the Resource Curse yang disunting oleh Macartan Humphreys, Jeffrey D. Sachs, dan Joseph E. Stiglitz (2007 Columbia University Press) membahas paradoks dimana negara-negara yang kaya akan sumber daya alam sering mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat, institusi-institusi yang lemah, dan ketidakstabilan politik—sebuah fenomena yang disebut "resource curse." Karya tersebut menggabungkan wawasan dari ekonomi, ilmu politik, dan kebijakan untuk meneliti penyebab yang mendasari dan solusi potensial untuk masalah ini.
Para editor dan kontributor mengeksplorasi tantangan utama: meskipun kekayaan sumber daya alam berpotensi mendorong pembangunan berkelanjutan, kekayaan tersebut sering menyebabkan salah urus, korupsi, dan stagnasi ekonomi. Karya ini mengidentifikasi faktor-faktor utama yang berkontribusi terhadap paradoks ini dan menawarkan jalur mitigasi. Ia menekankan bahwa pengelolaan pendapatan sumber daya alam secara efektif memerlukan penanganan masalah tatakelola, volatilitas ekonomi, dan perencanaan pembangunan jangka panjang.
Negara-negara yang kaya sumber daya alam seringkali bergulat dengan institusi-institusi lemah yang tak bisa mengelola kekayaan sumber daya alam secara efektif. Masuknya pendapatan sumber daya alam dapat melemahkan akuntabilitas, mendorong korupsi, dan mengarah pada perilaku mencari keuntungan, dimana para elit memprioritaskan pengayaan pribadi daripada kesejahteraan publik. Para kontributor berpendapat bahwa sistem tatakelola yang transparan dan inklusif sangat penting untuk memutus siklus ini.
Pendapatan sumber daya alam bergantung pada fluktuasi harga global, yang menyebabkan ketidakstabilan ekonomi. Volatilitas ini mempersulit perencanaan fiskal dan kerap mengakibatkan siklus naik-turun. Karya ini menyoroti pentingnya mekanisme stabilisasi, seperti dana kekayaan negara, untuk mengurangi dampak guncangan harga.
Fenomena Dutch Disease—dimana lonjakan sumber daya alam menyebabkan apresiasi mata uang, yang melemahkan daya saing sektor ekonomi lainnya—menimbulkan tantangan yang signifikan. Ketergantungan yang berlebihan pada ekspor sumber daya alam ini dapat menyingkirkan sektor manufaktur dan pertanian, sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi yang beragam. Kekayaan sumber daya alam selalu memicu konflik terkait distribusi pendapatan, khususnya di masyarakat yang terfragmentasi secara etnis atau politik.
Para editor dan kontributor menganjurkan pendekatan multi-cabang agar keluar dari kutukan sumber daya alam. Membangun lembaga yang transparan dan akuntabel yang mampu mengelola pendapatan sumber daya alam secara efektif. Ini termasuk menerapkan kerangka hukum yang kuat dan langkah-langkah antikorupsi; Menyimpan pendapatan surplus selama masa kemakmuran sumber daya alam untuk melindungi dari kemerosotan ekonomi dan mendukung investasi jangka panjang; Mempromosikan sektor-sektor di luar ekstraksi sumber daya alam untuk mengurangi ketergantungan pada harga komoditas yang tidak stabil; Mengadopsi mekanisme seperti the Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) untuk memastikan pengawasan publik atas pendapatan sumber daya alam; memprioritaskan pendidikan, perawatan kesehatan, dan infrastruktur untuk membangun tenaga kerja yang tangguh dan produktif.

Pajak memainkan peran mendasar dalam pembangunan sebuah negara dengan menyediakan landasan keuangan yang diperlukan bagi pemerintah agar berfungsi dan memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Pajak merupakan pilar utama keuangan publik, yang mendukung pembangunan infrastruktur, layanan publik, program kesejahteraan sosial, dan stabilitas ekonomi. Namun, peran pajak tak semata terbatas pada perolehan pendapatan; pajak juga penting untuk membentuk perilaku masyarakat, mengurangi kesenjangan, dan mendorong tatakelola dan akuntabilitas.

Pada bagian selanjutnya akan dibahas mengenai peranan pajak dalam pembangunan dan hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan oleh para pengambil kebijakan dalam menentukan besaran pajak, bi’idznillah,”