Selasa, 17 Desember 2024

Mengapa Sebuah Bangsa Harus Berusaha Berkembang? (2)

"The Competitive Advantage of Nations (1998, Free Press) karya Michael E. Porter membahas mengapa beberapa negara lebih kompetitif dan bagaimana mereka mencapai keberhasilan ekonomi yang berkelanjutan. Porter memperkenalkan the Diamond Model (Model Berlian), yang menyoroti faktor-faktor utama pendorong daya saing global sebuah negara. Pembangunan memainkan peran utama dalam mendorong faktor-faktor ini.
Pertama, kondisi faktor merupakan masukan dan sumber daya dasar sebuah negara, semisal lahan, tenaga kerja, modal, infrastruktur, dan pengetahuan. Pembangunan berinvestasi dalam infrastruktur canggih, seperti transportasi, komunikasi, dan sistem energi, yang mendukung industri. Pembangunan mendorong pendidikan dan pelatihan agar membangun sumber daya manusia yang terampil, beralih dari ketergantungan pada faktor-faktor dasar (misalnya, sumber daya alam) ke faktor-faktor canggih (misalnya, inovasi dan keahlian teknis). Pembangunan mendorong penelitian dan pengembangan (R&D) guna meningkatkan kemampuan teknologi. Investasi Jepang dalam pendidikan dan teknologi memungkinkannya unggul dalam industri elektronik dan otomotif, meskipun sumber daya alamnya terbatas.
Kedua, kondisi permintaan, mengacu pada sifat dan kecanggihan pelanggan domestik. Tingkat permintaan domestik yang tinggi dapat merangsang inovasi dan peningkatan kualitas. Pembangunan meningkatkan daya beli, menciptakan pasar domestik yang lebih cerdas dan menuntut. Pembangunan mendorong kesadaran dan penerapan standar global, mendorong perusahaan agar meningkatkan produk mereka guna memenuhi harapan lokal dan internasional. Permintaan domestik yang tinggi terhadap kualitas di sektor otomotif Jerman (misalnya, BMW, Mercedes-Benz) telah mendorong keunggulan global dalam bidang teknik dan desain.
Ketiga, industri terkait dan pendukung. Industri yang kompetitif seringkali berkelompok bersama, saling menguntungkan melalui dukungan dan inovasi. Misalnya, pemasok, distributor, dan sektor terkait berkontribusi pada keberhasilan. Pembangunan mendorong pertumbuhan klaster industri dengan berinvestasi di pusat inovasi, seperti Silicon Valley di AS.
Pembangunan mendukung usaha kecil dan menengah (UKM) guna mengintegrasikannya ke dalam rantai pasokan perusahaan yang lebih besar, sehingga mendorong saling ketergantungan dan pertumbuhan. Pembangunan meningkatkan kolaborasi melalui platform jaringan dan kebijakan perdagangan yang memungkinkan kemitraan. Industri mode dan tekstil Italia berkembang pesat berkat jaringan pengrajin, desainer, dan produsen yang terampil.
Keempat, strategi, struktur, dan persaingan perusahaan. Cara perusahaan diorganisasikan, pendekatan manajemennya, dan intensitas persaingan di antara mereka mempengaruhi daya saing globalnya.
Pembangunan mendorong kebijakan yang mempromosikan kewirausahaan dan persaingan yang sehat, menghindari monopoli. Pembangunan menciptakan lingkungan yang mendukung inovasi dan pengambilan risiko melalui perlindungan hukum (misalnya, hak kekayaan intelektual). Pembangunan juga berinvestasi dalam akses pasar global dan perjanjian perdagangan guna memungkinkan perusahaan lokal bersaing secara internasional. Persaingan yang ketat di antara perusahaan teknologi AS (misalnya, Google, Microsoft, Apple) telah memacu inovasi dan memposisikan AS sebagai pemimpin teknologi global.
Kelima, peran pemerintah. Porter menekankan bahwa pemerintah bertindak sebagai fasilitator, bukan pengarah dari daya saing nasional. Mereka membangun lingkungan bagi industri agar berkembang. Pembangunan menetapkan kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti insentif pajak untuk inovasi dan subsidi untuk R&D. Pembangunan mengembangkan kerangka hukum yang memastikan persaingan yang adil dan mengurangi korupsi. Pembangunan berinvestasi dalam pendidikan, infrastruktur, dan teknologi pendukung daya saing jangka panjang. Pemerintah Singapura secara aktif menggalakkan perdagangan bebas, pendidikan berkualitas tinggi, dan inovasi teknologi, menjadikannya pusat keuangan global.
Keenam, kejadian tak terduga. Kejadian tak terduga (misalnya, terobosan teknologi dan krisis global) juga dapat mempengaruhi daya saing dengan mengubah dinamika ekonomi. Pembangunan memastikan bahwa sebuah negara tangguh dan adaptif melalui infrastruktur yang kuat, ekonomi yang beragam, dan kebijakan proaktif. Pembangunan mendorong inovasi dan kesiapan dalam memanfaatkan peluang yang tak terduga. Meningkatnya teknologi energi terbarukan memunculkan peluang bagi negara-negara seperti Denmark menjadi pemimpin dalam energi angin.
Ketujuh, peran pembangunan dalam meningkatkan daya saing. Porter berpendapat bahwa pembangunan nasional merupakan landasan untuk mencapai dan mempertahankan daya saing. Pembangunan mendorong R&D, yang sangat penting untuk menciptakan produk dan layanan baru. Negara yang maju menarik dan mempertahankan bakat, karena individu lebih menyukai lingkungan dengan standar hidup yang tinggi. Sistem transportasi, komunikasi, dan energi yang efisien menurunkan biaya dan meningkatkan produktivitas. Pembangunan mengatasi tantangan lingkungan, memastikan kelangsungan hidup jangka panjang di pasar global.
Daya saing sebuah negara dibentuk oleh kemampuannya beradaptasi dengan dinamika global yang terus berubah dan terus berinvestasi pada sumber daya manusia, industri, dan infrastrukturnya. Daya saing tak hanya bergantung pada sumber daya alam, melainkan pula pada bagaimana negara menggunakan dan mengembangkan sumber dayanya. Pembangunan mendorong terciptanya kondisi yang diperlukan bagi inovasi, produktivitas, dan pengaruh global.

Dalam 7 Powers: The Foundations of Business Strategy (2016 Deep Strategy, LLC.), Hamilton W. Helmer memperkenalkan cara sistematis untuk memahami apa yang menciptakan kesuksesan bisnis jangka panjang. Kerangka kerjanya berfokus pada konsep kekuatan, yang ia definisikan sebagai kondisi yang memungkinkan bisnis mencapai keunggulan kompetitif berkelanjutan dan memperoleh laba besar dari waktu ke waktu. Helmer berpendapat bahwa tanpa kekuatan, kesuksesan bisnis apa pun akan cepat berlalu—persaingan pada akhirnya mengikis nilai. Untuk membantu para pemimpin dan ahli strategi mengenali dan menciptakan kesuksesan yang langgeng ini, Helmer mengidentifikasi tujuh jenis "kekuatan" yang berbeda, yang masing-masing memainkan peran unik dalam memastikan perusahaan tetap unggul dari para pesaing.
Gagasan utama Helmer adalah bahwa keunggulan kompetitif bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan, melainkan hasil dari kondisi yang disengaja, yang membuat pesaing sulit menantang bisnis. Setiap "kekuatan" bertindak sebagai penghalang persaingan, baik dengan membuat pesaing lebih sulit masuk atau bersaing di pasar, atau dengan meningkatkan nilai yang dirasakan pelanggan dalam penawaran perusahaan. Kekuatan-kekuatan ini bersifat dinamis; kekuatan-kekuatan ini tak semata ada, tetapi harus dibangun, diperkuat, dan dipertahankan dari waktu ke waktu.
Kekuatan pertama adalah Skala ekonomi, yang muncul ketika biaya per unit perusahaan menurun seiring dengan peningkatan volume produksi. Keuntungan ini terjadi karena biaya tetap—seperti pabrik, peralatan, atau sistem distribusi—dibagi ke lebih banyak unit. Perusahaan dengan skala ekonomi mendominasi pasar karena pesaing yang lebih kecil kesulitan menyamai biaya yang lebih rendah tanpa investasi besar-besaran. Semakin besar perusahaan tumbuh, semakin sulit bagi pesaing mengejar ketertinggalan. Coba pikirkan Amazon. Dengan memperluas pusat pemenuhan dan jaringan logistiknya ke skala yang sangat besar, Amazon mengurangi biaya pengiriman per pesanan, menciptakan efisiensi operasional yang tak dapat dengan mudah ditiru oleh para pesaing. Pemain yang lebih kecil tak dapat menyamai keuntungan ini tanpa menimbulkan biaya yang melumpuhkan.
Kedua, efek jaringan, terjadi ketika suatu produk atau layanan menjadi lebih berharga karena semakin banyak orang menggunakannya. Hal ini menciptakan siklus umpan balik positif: semakin banyak pengguna yang bergabung, platform tersebut menjadi semakin menarik, yang pada gilirannya mengambil lebih banyak pengguna. Bagi para pesaing, memasuki pasar yang didominasi oleh efek jaringan sangatlah menantang karena nilai produk perusahaan lama sudah jauh melampaui apa yang dapat ditawarkan oleh pemain baru.
Ambil contoh Facebook. Seiring dengan jutaan pengguna yang bergabung, nilai Facebook sebagai alat koneksi sosial meroket. Bagi pesaing, memulai dari awal dan meyakinkan pengguna agar meninggalkan Facebook demi platform baru sangatlah sulit karena jaringan itu sendiri merupakan sumber nilai.
Ketiga, Counter-positioning, terjadi ketika bisnis baru mengadopsi model bisnis disruptif yang tidak mau atau tidak dapat diadopsi oleh pelaku usaha lama karena hal itu akan menggerogoti aliran pendapatan mereka yang sudah ada. Pada dasarnya, pendatang baru memposisikan dirinya secara berbeda, mengeksploitasi kelemahan dalam model pelaku usaha lama.
Contoh yang sangat bagus adalah Netflix versus Blockbuster. Netflix memperkenalkan model streaming sementara Blockbuster mengandalkan biaya sewa, termasuk denda keterlambatan pengembalian, sebagai sumber pendapatan utama. Blockbuster menolak mengadopsi streaming karena akan menghancurkan bisnisnya yang sudah ada, sementara Netflix membangun keunggulannya.
Keempat, biaya peralihan, merujuk pada biaya finansial, emosional, atau berbasis waktu yang dihadapi pelanggan saat mereka beralih dari satu produk atau layanan ke produk atau layanan lain. Saat biaya peralihan tinggi, pelanggan cenderung bertahan dengan penyedia lama, meskipun ada alternatif.
Contoh, Apple menciptakan biaya peralihan yang signifikan melalui ekosistemnya. Jika engkau memiliki iPhone, Apple Watch, dan MacBook, dirimu berinvestasi besar dalam ekosistem Apple. Beralih ke merek lain berarti kehilangan akses ke integrasi yang lancar di antara perangkat, serta mempelajari sistem baru dan berpotensi meninggalkan aplikasi atau media yang dibeli. Efek "lock-in" ini melindungi posisi pasar Apple.
Kelima, branding. Kekuatan branding berasal dari reputasi perusahaan dan nilai emosional atau fungsional yang dirasakan terkait dengan produknya. Merek yang kuat memungkinkan perusahaan mengenakan harga premium dan mendapatkan loyalitas pelanggan. Yang terpenting, branding lebih dari sekadar pemasaran—ia tentang terus-menerus memenuhi janji kepada pelanggan.
Contoh, Coca-Cola menikmati kekuatan branding yang luar biasa. Orang tak semata membeli Coca-Cola karena rasanya; mereka membeli karena keakraban, konsistensi, dan hubungan emosional yang terkait dengan merek tersebut. Bersaing dengan Coca-Cola tak hanya membutuhkan replikasi produknya tetapi juga mengatasi kepercayaan konsumen selama puluhan tahun.
Keenam, cornered resource. Kekuatan ini muncul ketika sebuah perusahaan memiliki akses eksklusif ke sumber daya yang berharga—baik itu kekayaan intelektual, bakat, aset geografis, atau masukan penting lainnya—yang tak dapat diperoleh dengan mudah oleh pesaing. Cornered resource sering tak dapat diperoleh secara hukum atau praktis, sehingga memberikan perusahaan keuntungan signifikan.
Contoh umum adalah industri farmasi, dimana paten eksklusif memberikan perusahaan monopoli sementara atas obat-obatan yang menyelamatkan jiwa. Selama periode ini, pesaing dilarang secara hukum mereplikasi produk, yang memungkinkan pemegang paten menghasilkan keuntungan yang sangat besar.
Ketujuh, kekuatan proses, mengacu pada pengembangan proses unik dan unggul yang tak dapat dengan mudah ditiru oleh pesaing. Tak seperti kekuatan lainnya, kekuatan proses kerap tak berwujud, karena muncul dari peningkatan bertahap, pengetahuan, dan budaya perusahaan selama bertahun-tahun. Misalnya, Toyota menyempurnakan sistem produksi rampingnya selama beberapa dekade, yang menghasilkan efisiensi yang tak tertandingi, biaya yang lebih rendah, dan kualitas yang lebih tinggi. Keunggulan proses ini tertanam dalam operasi Toyota, sehingga sulit ditiru oleh pesaing.
Meskipun masing-masing kekuatan itu berbeda, mereka sering bekerjasama menciptakan keunggulan kompetitif yang tangguh. Misalnya, perusahaan semisal Apple memanfaatkan pencitraan merek, biaya peralihan, dan skala ekonomi untuk mendominasi pasar. Demikian pula, Amazon menggabungkan skala ekonomi, kekuatan proses, dan efek jaringan guna mempertahankan kepemimpinannya.
Helmer menekankan bahwa membangun kekuatan bukanlah tentang keuntungan jangka pendek, tetapi tentang menciptakan kondisi yang bertahan lama yang sulit diatasi oleh pesaing. Dengan memahami ketujuh kekuatan ini, bisnis dapat secara sengaja merancang strategi untuk menangkap dan mempertahankan nilai.

Dalam The World is Flat: A Brief History of The Twenty-First Century (2005 oleh Farrar, Straus and Giroux), Thomas Friedman melukiskan gambaran yang jelas tentang sifat saling terhubung ekonomi global, dengan menggambarkan bagaimana kemajuan teknologi dan globalisasi telah "meratakan" dunia. Dengan perataan, Friedman mengacu pada penghapusan hambatan tradisional yang pernah membatasi persaingan dan kolaborasi antarnegara, perusahaan, dan individu. Perataan ini telah menciptakan sistem tunggal yang terintegrasi dimana peluang didistribusikan secara lebih merata di seluruh dunia.
Jantung dari sistem yang saling terhubung ini adalah teknologi, khususnya inovasi semisal internet, komunikasi pita lebar, dan perangkat lunak kolaboratif. Alat-alat ini telah merevolusi cara bisnis beroperasi, sehingga memungkinkan pekerjaan dilakukan hampir dimana saja. Contoh, sebuah perusahaan di Amerika Serikat dapat mengalihdayakan layanan pelanggan ke pusat panggilan di India atau mengandalkan pabrik manufaktur di China untuk memproduksi barang-barangnya. Rantai pasokan yang saling terhubung dari sesuatu yang sederhana seperti telepon pintar menggambarkan hal ini dengan baik—desainnya mungkin berasal dari California, pengembangan perangkat lunaknya di Eropa Timur, dan manufakturnya di Asia. Setiap mata rantai bergantung pada yang lain, yang menunjukkan bagaimana ekonomi sekarang saling bergantung dalam menciptakan nilai.
Friedman berpendapat bahwa agar negara-negara dapat berkembang dalam sistem yang saling terhubung ini, pembangunan menjadi penting. Pembangunan di sini tak terbatas pada pertumbuhan ekonomi tetapi mencakup kemajuan dalam pendidikan, infrastruktur, tatakelola, dan teknologi. Di dunia dimana pengetahuan dan inovasi menjadi pendorong utama keberhasilan, negara-negara harus membekali warga negaranya dengan keterampilan yang tepat. Pendidikan, terutama dalam sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM), menjadi landasan bersaing secara global. Friedman menyoroti India sebagai contoh penerapan prinsip ini. Dengan berinvestasi besar-besaran dalam pendidikan STEM, India telah menghasilkan tenaga kerja yang mampu unggul dalam industri seperti pengembangan perangkat lunak dan layanan TI. Hasilnya, negara tersebut telah menjadi pemain utama dalam ekonomi global, yang diuntungkan oleh pekerjaan alih daya dan kolaborasi teknologi.
Namun, teknologi saja tidak cukup; negara-negara juga memerlukan infrastruktur yang tepat agar ikut serta dalam ekonomi global. Konektivitas pita lebar, sistem transportasi modern, dan perangkat digital memungkinkan negara-negara berintegrasi secara lebih efektif ke dalam pasar global. Pada saat yang sama, tatakelola pemerintahan yang baik memainkan peran penting. Kebijakan yang mendorong keterbukaan, menarik investasi asing, dan mengurangi korupsi menciptakan lingkungan yang mendukung pembangunan. Liberalisasi ekonomi India pada tahun 1990-an, misalnya, membuka pintunya bagi perdagangan dan investasi global, sehingga memungkinkannya muncul sebagai pemain penting di pasar global.

Perlu dicatat bahwa liberalisasi ekonomi sebuah negara—didefinisikan sebagai pengurangan kontrol negara atas kegiatan ekonomi, yang memungkinkan kekuatan pasar dan investasi asing yang lebih besar—punya keuntungan besar sekaligus kerugian yang nyata. Proses ini kerap menandai perubahan penting bagi negara-negara berkembang, seperti yang terlihat dalam reformasi ekonomi India pada tahun 1990-an, ketika pemerintah menghapus pembatasan perdagangan, mengurangi tarif, dan menyambut investasi asing guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, dampaknya tak selalu menguntungkan secara merata dan telah memicu perdebatan berkelanjutan di antara para ekonom, pembuat kebijakan, dan para pemikir.
Manfaat utama liberalisasi adalah meningkatnya aliran modal, gagasan-gagasan, dan teknologi ke sebuah negara. Dengan membuka diri terhadap investasi asing dan perdagangan global, negara-negara memperoleh akses ke teknologi modern dan praktik bisnis yang dapat mendorong inovasi dan pertumbuhan industri. Hal ini khususnya terlihat dalam reformasi China di bawah Deng Xiaoping pada akhir abad ke-20, dimana perusahaan asing membantu memodernisasi sektor manufakturnya, mengubah negara tersebut menjadi pusat kekuatan ekonomi global. Liberalisasi memungkinkan persaingan yang lebih besar, yang dapat mengarah pada peningkatan efisiensi, produk yang lebih baik, dan harga yang lebih rendah bagi konsumen. Milton Friedman, dalam Capitalism and Freedom (1962), menyoroti aspek pasar liberal ini, dengan menyatakan bahwa persaingan merupakan kekuatan pendorong bagi inovasi dan kemakmuran ekonomi, yang mendorong alokasi sumber daya yang lebih efisien.
Akan tetapi, liberalisasi bukannya tanpa kekurangan. Satu kekhawatiran yang signifikan adalah bahwa meskipun liberalisasi dapat mendorong pertumbuhan, manfaatnya sering tak terdistribusi secara merata, yang memperburuk kesenjangan kekayaan. Dalam Globalization and its Discontents (2002), Joseph Stiglitz mengkritik bagaimana liberalisasi dapat meninggalkan populasi yang terpinggirkan, terutama ketika reformasi dilaksanakan dengan tergesa-gesa atau didikte oleh lembaga eksternal semisal IMF. Ia berpendapat bahwa pasar jika dibiarkan tak diatur, takkan sanggup memenuhi kebutuhan dasar manusia, karena motif yang didorong oleh keuntungan kerap membayangi masalah kesejahteraan sosial. Contoh, pembukaan ekonomi terkadang mengarah pada ketergantungan pada perusahaan asing yang memprioritaskan keuntungan mereka, yang dapat menyebabkan bisnis lokal rontok di bawah tekanan persaingan.
Risiko lain liberalisasi ialah kerentanan yang ditimbulkannya di negara-negara berkembang, terutama yang sangat bergantung pada pasar global. Negara-negara dapat mengalami ketidakstabilan ekonomi karena mereka terpapar pada fluktuasi investasi asing dan permintaan global. Hal ini ditunjukkan dalam Krisis Keuangan Asia tahun 1997, dimana liberalisasi modal yang berlebihan menyebabkan investasi spekulatif, gelembung ekonomi, dan penarikan modal asing secara tiba-tiba. Krisis semacam itu menunjukkan bahwa tanpa kerangka regulasi yang kuat, ekonomi yang diliberalisasi dapat mengalami volatilitas dan keruntuhan finansial.
Selain itu, liberalisasi selalu memicu masalah lingkungan dan ketenagakerjaan. Dalam upaya menarik investasi asing, beberapa negara melonggarkan standar lingkungan atau perlindungan ketenagakerjaan agar tetap kompetitif, yang berujung pada eksploitasi dan degradasi lingkungan. Naomi Klein, dalam The Shock Doctrine (2007), mengkritik bagaimana reformasi ekonomi, khususnya yang didorong selama krisis, sering mengutamakan kepentingan perusahaan daripada masalah sosial dan lingkungan, yang mengakibatkan kerugian jangka panjang bagi masyarakat setempat.
Meskipun ada tantangan-tantangan ini, dampak jangka panjang liberalisasi sangat bergantung pada seberapa baik sebuah negara mengelola prosesnya. Negara-negara yang menggabungkan keterbukaan ekonomi dengan tatakelola yang kuat, sistem regulasi, dan investasi dalam pendidikan dan infrastruktur lebih siap menuai manfaat liberalisasi. Misalnya, reformasi India pada tahun 1990-an menyebabkan pertumbuhan pesat di sektor TI dan jasa, mengangkat jutaan orang keluar dari kemiskinan. Namun, proses tersebut juga menghadapi kritik karena meninggalkan masyarakat pedesaan dan pertanian, yang menggarisbawahi pentingnya kebijakan inklusif di samping reformasi ekonomi.
Pada dasarnya, liberalisasi dapat menjadi alat yang ampuh bagi pertumbuhan ekonomi dan integrasi ke dalam ekonomi global, seperti yang disorot oleh para pemikir seperti Milton Friedman dan Thomas Friedman (dalam The World is Flat), tetapi itu bukanlah solusi yang cocok bagi semua orang. Seperti yang diperingatkan Stiglitz, keberhasilan liberalisasi bergantung pada keseimbangan kebebasan pasar dengan keadilan sosial, memastikan bahwa pertumbuhan menguntungkan seluruh sektor masyarakat dan bahwa ekonomi tetap tangguh dalam menghadapi tantangan global.

Dalam pandangan Friedman, globalisasi tak semata tentang persaingan, melainkan pula tentang kolaborasi. Negara-negara, meskipun bersaing, sering bekerjasama untuk menciptakan nilai ekonomi bersama. Keterkaitan ini dapat saling menguntungkan: negara-negara maju dapat mengalihdayakan pekerjaan padat karya ke negara-negara berkembang guna menurunkan biaya, sementara negara-negara berkembang memperoleh pekerjaan, pendapatan, dan kesempatan mengembangkan keterampilan baru. Negara-negara semisal China telah memanfaatkan keterkaitan ini dengan berinvestasi dalam infrastruktur manufaktur, memposisikan dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari rantai pasokan global.
Namun, Friedman juga memperingatkan bahwa globalisasi menuntut kemampuan beradaptasi. Laju kemajuan teknologi dan perubahan ekonomi berarti negara-negara harus terus berinovasi agar tetap relevan. Pembangunan bukanlah upaya satu kali; pembangunan membutuhkan investasi berkelanjutan dalam pendidikan, infrastruktur, dan kebijakan yang menumbuhkan kreativitas dan kemajuan. Negara-negara yang menolak perubahan atau tak mampu beradaptasi, berisiko tertinggal dalam ekonomi yang serba cepat dan saling terhubung ini.
Pada akhirnya, Friedman menunjukkan kepada kita bahwa ekonomi global berfungsi seperti jaringan kolaboratif yang luas, tempat negara-negara saling bergantung agar berkembang. Pembangunan memungkinkan negara-negara memanfaatkan manfaat globalisasi, alih-alih kewalahan olehnya. Dengan berinvestasi pada rakyatnya, membangun infrastruktur teknologi, dan mendorong inovasi, negara-negara tak hanya dapat bersaing di dunia yang datar ini, tapi juga tumbuh dan makmur bersama negara lain. Dengan cara ini, Friedman mengungkap bagaimana keterhubungan dan pembangunan berjalan beriringan, yang memungkinkan negara-negara berkembang dalam sistem global yang dinamis.

Alasan keempat mengapa sebuah negara harus berusaha berkembang ialah Sustainability (Keberlangsungan). Sustainable development memastikan bahwa sumber daya dilestarikan bagi generasi mendatang. Sustainable development mengatasi masalah semisal polusi, perubahan iklim, dan energi terbarukan, serta menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan pengelolaan lingkungan.
Dalam Our Common Future (1987, Oxford University Press), Gro Harlem Brundtland dan the World Commission on Environment and Development (WCED) menyoroti konsep pembangunan berkelanjutan sebagai kerangka kerja utama untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian lingkungan. Brundtland menekankan bahwa pembangunan hendaknya memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Visi ini mendorong kemajuan ekonomi tetapi menegaskan bahwa kemajuan tersebut tak boleh mengorbankan lingkungan atau menghabiskan sumber daya alam.
Dokumen tersebut mengkritik model pembangunan tradisional yang hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi, yang kerap mengabaikan keberlanjutan lingkungan. Sebaliknya, dokumen tersebut menganjurkan pendekatan holistik dimana pembangunan ekonomi dilakukan dengan cara yang menghormati batasan ekologis, menekankan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati, mengurangi polusi, dan mengelola sumber daya secara bertanggungjawab. Dengan mengaitkan pembangunan ekonomi dengan integritas lingkungan, Our Common Future menyerukan kebijakan yang mempromosikan kesehatan ekologis jangka panjang sambil mendorong keadilan dan kemakmuran sosial. Gagasan ini sejak saat itu menjadi dasar dalam perbincangan tentang pembangunan berkelanjutan secara global."