Minggu, 22 Desember 2024

Mengapa Sebuah Bangsa Harus Berusaha Berkembang? (6)

"Sepasang suami istri sedang bertengkar hebat. Mereka gak saling bicara saat berkendara di jalan pedesaan sejauh beberapa mil, dan gak ada yang mau ngomong duluan.
Dikala mereka melewati kandang kuda, babi, kambing, domba, dan sapi, sang istri bertanya dengan nada sarkastis, "Keluargamu kaan?"
"Iya," jawab sang suami, "mertua dan ipar!"

"Pembangunan nasional merujuk pada pertumbuhan dan kemajuan komprehensif sebuah negara dalam berbagai dimensi—ekonomi, sosial, politik, dan lingkungan, dan ini bukan tanpa tantangan-tantangan. Tantangan pembangunan sebuah negara bersifat multifaset dan saling terkait, yang melibatkan dimensi ekonomi, sosial, politik, dan lingkungan. Tantangan-tantangan ini, bervariasi berdasarkan konteks historis, struktur tatakelola, dan realitas geografis, tetapi beberapa tema menyeluruh tetap konsisten di seluruh negara.
Salah satu rintangan utamanya adalah mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sambil mengatasi ketimpangan pendapatan. Di banyak negara berkembang, terdapat kurangnya diversifikasi dalam kegiatan ekonomi, dengan ketergantungan yang berlebihan pada sumber daya alam atau pertanian. Hal ini membuat perekonomian rentan terhadap fluktuasi pasar global, seperti yang ditekankan dalam "Why Nations Fail" oleh Daron Acemoglu dan James A. Robinson. Mereka membahas bagaimana lembaga ekonomi yang inklusif sangat penting bagi pembangunan berkelanjutan, sementara lembaga ekstraktif dapat menghambat pertumbuhan dan melanggengkan ketimpangan.
Tantangan ekonomi lainnya ialah ketergantungan utang. Negara-negara selalu bergantung pada pinjaman luar negeri untuk mendanai proyek-proyek pembangunan, menyebabkan siklus pembayaran utang yang menguras sumber daya yang semestinya diperuntukkan bagi investasi domestik. Masalah ini dibahas dalam "Globalization and Its Discontents" oleh Joseph E. Stiglitz, yang mengkritik lembaga keuangan internasional dan peran mereka dalam memperburuk ketidakstabilan ekonomi di negara-negara berkembang.
Ketimpangan sosial, baik berdasarkan kelas, etnis, atau gender, sering memunculkan perpecahan yang menghambat kemajuan kolektif. Ketimpangan pendidikan dan perawatan kesehatan memperburuk kemiskinan dan mengurangi pengembangan modal manusia. Jeffrey Sachs, dalam "The End of Poverty", menyoroti pentingnya berinvestasi dalam sistem kesehatan dan pendidikan untuk memutus siklus kemiskinan. Ia juga menunjukkan bahwa mengabaikan sektor-sektor ini dapat memperparah ketimpangan selama beberapa generasi. Pertumbuhan populasi dapat membebani sumber daya, terutama di negara-negara dengan infrastruktur yang lemah. Urbanisasi yang cepat, sebagai akibat sampingan dari pembangunan, kerap menyebabkan menjamurnya daerah kumuh dan penyediaan layanan dasar yang tak memadai semisal air, listrik, dan pengelolaan limbah.
Ketidakstabilan politik dan korupsi merupakan hambatan signifikan terhadap pembangunan. Tatakelola yang lemah dan kurangnya transparansi merusak kepercayaan publik dan menyebabkan alokasi sumber daya yang tak efisien. Paul Collier, dalam "The Bottom Billion", berpendapat bahwa tatakelola yang buruk, dikombinasikan dengan konflik dan eksploitasi sumber daya alam, menjebak negara-negara dalam kemiskinan dan menghalangi mereka bersaing di pasar global.
Tantangan politik lainnya ialah warisan kolonialisme dan pengaruhnya terhadap struktur tatakelola saat ini. Banyak negara berjuang dengan batas-batas yang dibuat secara sewenang-wenang, yang menyebabkan konflik etnis dan identitas nasional yang terfragmentasi.
Degradasi lingkungan menimbulkan ancaman jangka panjang terhadap pembangunan berkelanjutan. Deforestasi, polusi, dan perubahan iklim secara tidak proporsional mempengaruhi negara-negara berkembang, yang selalu kekurangan sumber daya untuk mengurangi dampaknya. Dalam "The Age of Sustainable Development", Jeffrey Sachs menekankan bahwa mengintegrasikan keberlanjutan lingkungan ke dalam kebijakan pembangunan sangat penting dalam mengatasi tantangan ini.

Dalam "Culture Matters: How Values ​​Shape Human Progress", Lawrence Harrison dan Samuel Huntington (editor) mengeksplorasi bagaimana sikap budaya terhadap pekerjaan, pendidikan, dan tatakelola mempengaruhi pembangunan. Praktik tradisional dan penolakan terhadap perubahan dapat menghambat kemajuan, khususnya dalam bidang semisal kesetaraan gender dan inovasi.
Ngomong-ngomong, di Indonesia, baru-baru ini ada pembatalan pameran seni lukis karya Yos Suprapto karena dipandang vulgar oleh kurator yang ditunjuk Galeri Nasional. Apa sih makna vulgar dari sudut pandang seni lukis? Apakah vulgarnya diasosiasikan dengan mantan presiden Indonesia dan menghambat pembangunan?
Dalam konteks painting and art, "vulgar" biasanya merujuk pada karya atau elemen yang dianggap hambar, kasar, atau kurang lembut menurut standar budaya atau estetika tertentu. Terma ini dapat memiliki konotasi berbeda tergantung pada sudut pandang pengamat, latarbelakang budaya, atau gerakan seni yang dikritik. Lukisan yang memuat subjek yang eksplisit, provokatif, atau kontroversial—semisal gambaran seksual, kekerasan, atau penggambaran yang aneh—dapat diberi label vulgar jika dianggap melanggar norma sosial kesopanan. Karya yang terlalu ornamen, terlalu sentimental, atau menuruti selera populer tanpa kedalaman juga dapat dianggap vulgar. Kritik ini sering ditujukan pada seni yang mengutamakan daya tarik komersial daripada integritas artistik. Dalam beberapa kasus, apa yang dipandang "vulgar" mencerminkan penolakan terhadap tradisi seni klasik atau elit. Perspektif ini akan muncul dalam gerakan seni avant-garde atau pemberontak yang bertujuan menantang norma-norma masyarakat atau memancing pemikiran. Terkadang, vulgaritas dalam sebuah lukisan disengaja, bertujuan mengkritik masalah masyarakat, menghadapi tabu, atau menyoroti kebenaran yang tak mengenakkan. Dalam kasus seperti itu, "vulgar" tidak selalu merupakan penilaian negatif tetapi pengakuan atas keberanian atau ekspresi mentahnya.

Dalam Ways of Seeing (1972), John Berger membahas bagaimana norma-norma masyarakat dan struktur kekuasaan secara mendalam membentuk persepsi kita terhadap seni. Menurut Berger, norma-norma dan struktur ini mempengaruhi bukan hanya bagaimana seni diciptakan dan dikonsumsi, pula bagaimana seni ditafsirkan, dinilai, dan dihargai.
Berger berpendapat bahwa seni tiada dalam ruang hampa; seni mencerminkan nilai-nilai dan ideologi masyarakat tempat seni itu diproduksi. Apa yang dianggap menyinggung atau tak pantas kerap ditentukan oleh struktur kekuasaan yang dominan, semisal agama, sistem politik, dan kondisi ekonomi.
Misalnya, selama Renaisans, tema-tema keagamaan mendominasi seni Eropa, dan penyimpangan dari norma ini akan dipandang sebagai sesuatu yang sesat atau menyinggung. Di zaman modern, seni yang mengkritik kapitalisme atau menantang otoritas politik akan menghadapi penyensoran atau kontroversi.
Berger menyoroti pentingnya konteks dalam memahami seni. Makna sebuah karya seni dapat berubah tergantung pada siapa yang melihatnya dan dalam situasi apa. Norma-norma masyarakat dan dinamika kekuasaan mempengaruhi aspek-aspek seni mana yang ditekankan atau diabaikan. Misalnya, ketelanjangan dalam seni klasik sering dirayakan karena "kemurniannya," sementara penggambaran serupa dalam seni kontemporer boleh jadi diberi label cabul tergantung pada sikap budaya terhadap tubuh manusia.
Berger mengkritik secara ekstensif bagaimana perempuan digambarkan dalam seni melalui "tatapan lelaki," sebuah perspektif yang dibentuk oleh norma-norma patriarki. Perempuan dalam lukisan-lukisan Eropa klasik sering digambarkan sebagai objek hasrat pasif bagi para audiens kaum Adam, yang mencerminkan dinamika gender yang lebih luas. Persepsi seni semacam itu sebagai indah atau menyinggung selalu bergantung pada sikap masyarakat yang berlaku terhadap gender dan seksualitas. Berger menekankan bahwa penggambaran ini memperkuat struktur kekuasaan yang ada daripada menantangnya.
Berger membahas bagaimana reproduksi massal seni (misalnya, dalam buku, poster, atau format digital) mengubah maknanya. Demokratisasi seni ini melepaskannya dari konteks aslinya dan dapat mengubah makna yang dirasakannya. Norma-norma masyarakat berperan dalam menentukan reproduksi mana yang disebarluaskan secara luas dan bagaimana dibingkai. Misalnya, seni yang kontroversial mungkin dikecualikan dari saluran reproduksi arus utama, sehingga mempertahankan status quo.
Pasar seni, yang sangat dipengaruhi oleh struktur kekuatan ekonomi, menentukan karya mana yang dirayakan dan mana yang terpinggirkan. Seni yang selaras dengan nilai-nilai budaya dominan lebih mungkin dipromosikan, sementara karya-karya subversif atau kritis akan ditekan atau ditolak. Berger mengkritik bagaimana komodifikasi seni mengubahnya menjadi simbol status bagi orang kaya, menjauhkannya dari mayoritas masyarakat dan membatasi aksesibilitasnya.
Berger pada akhirnya berpendapat bahwa norma-norma masyarakat dan struktur kekuasaan tidaklah netral; keduanya merupakan alat kontrol. Dengan membentuk apa yang dapat diterima atau tak dapat diterima, kekuatan-kekuatan ini menentukan visibilitas, nilai, dan interpretasi seni. Karya Berger mendorong para pembaca agar mempertanyakan secara kritis asumsi-asumsi yang mendasari persepsi mereka terhadap seni dan mengenali pengaruh kekuasaan dalam membentuk persepsi-persepsi tersebut.
Analisis ini menawarkan suatu kerangka kerja untuk memahami mengapa bentuk-bentuk atau tema-tema seni tertentu memicu kontroversi dan bagaimana nilai-nilai masyarakat berevolusi dalam mendefinisikan ulang apa yang dianggap menyinggung atau tidak pantas.

Linda Nochlin, dalam The Politics of Vision: Essays on Nineteenth-Century Art and Society (1989, Harper & Row), mengeksplorasi bagaimana seni merefleksikan, mengkritik, dan menantang nilai-nilai sosial, sering menggunakan citra yang provokatif atau "vulgar" guna mempertanyakan norma-norma yang sudah mapan. Nochlin meneliti interaksi antara seni, politik, dan nilai-nilai budaya, dengan menekankan bagaimana seniman terlibat dengan struktur sosial dan ideologi untuk memancing refleksi kritis.
Nochlin berpendapat bahwa seni berfungsi sebagai refleksi nilai-nilai pada masanya dan alat untuk mengkritik nilai-nilai tersebut. Dengan menggambarkan kehidupan sehari-hari, struktur masyarakat, dan peristiwa sejarah, seniman terlibat dengan dinamika budaya dan politik pada era mereka. Misalnya, karya-karya Gustave Courbet, seperti The Stone Breakers (1849), menyoroti perjuangan kelas pekerja, menantang penggambaran kehidupan pedesaan yang diromantisasi yang umum dalam seni abad ke-19. Fokus Courbet pada realitas buruh yang keras dipandang "vulgar" oleh kaum elit karena mengganggu narasi-narasi indah yang disukai kaum borjuis.
Citra yang provokatif atau vulgar sering berfungsi sebagai strategi yang disengaja untuk menggoyahkan rasa puas diri masyarakat. Nochlin menekankan bahwa seniman menggunakan teknik tersebut untuk mengganggu standar estetika tradisional dan mempertanyakan ideologi yang dominan.
Sebagai contoh, Olympia (1863) karya Édouard Manet menampilkan seorang wanita telanjang dalam pose yang konfrontatif dan tanpa penyesalan, yang secara langsung melibatkan penonton. Hal ini menumbangkan penggambaran tradisional tentang tubuh telanjang sebagai sesuatu yang pasif dan ideal, serta menantang sikap borjuis terhadap seksualitas dan peran gender.
Nochlin mengkritik bagaimana kaum perempuan selama ini digambarkan dalam seni, yang mencerminkan nilai-nilai patriarki yang kerapkali mereduksi mereka menjadi objek kecantikan atau moralitas. Ia berpendapat bahwa menantang penggambaran ini merupakan bentuk kritik terhadap norma-norma masyarakat. Esainya Why Have There Been No Great Women Artists? memperluas kritik ini dengan meneliti bagaimana bias gender sistemik mengecualikan perempuan dari pengakuan artistik dan membatasi peluang kreatif mereka.
Nochlin menyoroti realisme sebagai alat yang ampuh untuk mengkritik nilai-nilai masyarakat. Dengan menggambarkan subjek yang dianggap "tak pantas" bagi seni rupa—misalnya buruh, kemiskinan perkotaan, atau kehidupan rumah tangga—seniman realis seperti Courbet dan HonorĂ© Daumier menantang hierarki tradisional materi subjek dan memaksa pemirsa menghadapi kebenaran yang tak mengenakkan tentang masyarakat mereka. Penggambaran semacam itu sering dikritik sebagai vulgar karena menolak idealisasi dan penyempurnaan estetika, memprioritaskan kejujuran daripada menyenangkan pemirsa.
Nochlin berpendapat bahwa seni pada hakikatnya bersifat politis, bahkan ketika seni tersebut tampak apolitis. Pilihan subjek, gaya, dan audiens mencerminkan keterlibatan seniman dengan nilai-nilai sosial dan struktur kekuasaan. Lukisan revolusioner Jacques-Louis David, seperti The Death of Marat (1793), secara terang-terangan bersifat politis, menggunakan citra dramatis untuk merayakan cita-cita revolusioner dan mengkritik monarki serta kezaliman.
Menurut Nochlin, apa yang dianggap "vulgar" selalu mengungkap kecemasan sosial yang mendasarinya. Dengan memasukkan unsur vulgar, para seniman memaksa penonton agar mempertanyakan mengapa subjek atau gaya tertentu dikecualikan dari ranah seni rupa tinggi. Contohnya termasuk penggambaran Edgar Degas tentang tukang cuci dan balerina, yang mengungkap kondisi eksploitatif yang dihadapi oleh perempuan kelas pekerja. Gambar-gambar ini mengaburkan batas antara kecantikan dan eksploitasi, menantang gagasan ideal tentang kewanitaan.
Nochlin mengkritik bagaimana seni tradisional sering memaksakan cita-cita sempit tentang keindahan yang selaras dengan nilai-nilai budaya yang dominan. Dengan menolak cita-cita ini, seniman dapat menantang norma-norma masyarakat dan mengusulkan cara-cara alternatif dalam memandang. Misalnya, penggambaran kehidupan pedesaan yang mentah dan emosional karya Vincent van Gogh, seperti The Potato Eaters (1885), dikritik karena kurangnya polesan tetapi berfungsi sebagai kritik terhadap ketidakpedulian masyarakat terhadap kemiskinan.
The Politics of Vision karya Linda Nochlin menggarisbawahi bagaimana seni berfungsi sebagai medan pertempuran menegosiasikan nilai-nilai masyarakat, dengan citra yang provokatif dan vulgar berfungsi sebagai alat untuk mempertanyakan, mengkritik, dan menata kembali nilai-nilai tersebut. Dengan menolak penyempurnaan estetika atau menangani subjek-subjek tabu, seniman menciptakan ruang bagi keterlibatan kritis, mengungkap dasar-dasar ideologis dari apa yang dianggap dapat diterima atau indah oleh masyarakat. Perspektif ini mendorong pemahaman yang lebih mendalam tentang peran seni guna mencerminkan dan membentuk wacana budaya dan politik.

Sekarang, balik ke tantangan pembangunan nasional. Masalah ekonomi seperti kurangnya diversifikasi, ketimpangan pendapatan, dan ketergantungan utang menghambat kemampuan sebuah negara agar mencapai pertumbuhan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi merupakan pilar utama pembangunan nasional, karena menyediakan sumber daya meningkatkan infrastruktur, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Misalnya, negara-negara yang terjebak dalam siklus utang atau bergantung pada ekspor yang terbatas sering merasa sulit berinvestasi di bidang pembangunan nasional lainnya.
Kesenjangan sosial, semisal akses yang tak merata terhadap pendidikan, perawatan kesehatan, dan sumber daya, melemahkan modal manusia sebuah negara, yang merupakan pendorong utama pembangunan. Populasi yang kurang berpendidikan atau tidak sehat membatasi potensi tenaga kerja sebuah negara dan memperlambat inovasi. Mengatasi kesenjangan ini sangat penting guna mendorong kohesi nasional dan kemajuan jangka panjang.
Tatakelola pemerintahan yang stabil, supremasi hukum, dan kebijakan yang efektif merupakan prasyarat bagi pembangunan nasional. Korupsi, ketidakstabilan politik, dan lembaga yang lemah melemahkan upaya pembangunan dengan salah mengalokasikan sumber daya dan mengikis kepercayaan publik. Pembangunan nasional tumbuh subur dalam lingkungan dimana pemerintah transparan, bertanggungjawab, dan berfokus pada tujuan jangka panjang.
Keberlanjutan lingkungan merupakan komponen penting pembangunan nasional, terutama di dunia yang menghadapi perubahan iklim. Bencana alam, penipisan sumber daya, dan degradasi lingkungan dapat merusak kemajuan pembangunan selama bertahun-tahun. Misalnya, naiknya permukaan air laut dan penggundulan hutan secara langsung mengancam mata pencaharian dan infrastruktur di banyak negara berkembang.
Pembangunan nasional tak terbatas pada pertumbuhan PDB, tetapi juga mencakup peningkatan standar hidup, keadilan sosial, dan pelestarian lingkungan. Karya-karya seperti "The Age of Sustainable Development" oleh Jeffrey Sachs menekankan bahwa pembangunan nasional semestinya menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan pertimbangan lingkungan dan sosial. Menangani tantangan-tantangan ini penting bagi negara mana pun yang ingin mencapai pembangunan holistik dan berkelanjutan, dimana kemakmuran ekonomi disertai dengan keadilan sosial, tatakelola pemerintahan yang baik, dan pengelolaan lingkungan.

Pajak dalam pembangunan memainkan peran mendasar dalam perkembangan sebuah negara dengan menyediakan landasan keuangan yang diperlukan bagi pemerintah agar berfungsi dan memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Pajak merupakan pilar utama keuangan publik, yang mendukung pembangunan infrastruktur, layanan publik, program kesejahteraan sosial, dan stabilitas ekonomi. Namun, peran pajak tak semata terbatas pada perolehan pendapatan; pajak juga penting untuk membentuk perilaku masyarakat, mengurangi kesenjangan, dan mendorong tatakelola dan akuntabilitas.
Pajak merupakan sumber utama pendapatan pemerintah, yang memungkinkan investasi dalam layanan publik yang penting seperti pendidikan, perawatan kesehatan, transportasi, dan keamanan. Misalnya, sistem pajak yang berfungsi dengan baik memungkinkan negara mendanai sekolah, membangun rumah sakit, dan memelihara jalan, yang merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan infrastruktur, yang sering dipandang sebagai landasan kemajuan, sangat bergantung pada investasi publik yang dibiayai pajak, karena kontribusi sektor swasta saja mungkin tak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama di daerah yang kurang menguntungkan atau kurang terlayani.
Meskipun penting menghasilkan pendapatan dan tatakelola, kebijakan pajak dapat memiliki beberapa kelemahan karena dirancang atau diterapkan dengan buruk. Tarif pajak yang tinggi atas pendapatan atau laba dapat membuat individu enggan bekerja lebih keras atau berinvestasi dalam kegiatan produktif. Misalnya, pajak penghasilan yang tinggi dapat mengurangi insentif untuk mendapatkan lebih banyak, sementara pajak perusahaan yang tinggi dapat menghalangi bisnis berkembang atau berinovasi. Perpajakan yang berlebihan, terutama atas kekayaan atau keuntungan modal, dapat menyebabkan pelarian modal, dimana individu dan perusahaan memindahkan aset mereka ke negara-negara dengan tarif pajak yang lebih rendah. Hal ini melemahkan perolehan pendapatan domestik. Demikian pula, beban pajak yang tinggi sering mendorong penghindaran atau pengelakan pajak, sehingga mengurangi efektivitas kebijakan. Dalam ekonomi global, tarif pajak perusahaan yang tinggi dapat membuat negara kurang menarik bagi investasi asing langsung dan mendorong bisnis pindah ke yurisdiksi yang lebih ramah pajak. Hal ini dapat merugikan penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi.
Beberapa kebijakan pajak, khususnya pajak tidak langsung seperti pajak pertambahan nilai (PPN) atau pajak penjualan, bersifat regresif, artinya pajak tersebut membebani rumah tangga berpendapatan rendah secara tidak proporsional. Pajak ini mengambil persentase pendapatan yang lebih besar dari individu yang lebih miskin dibandingkan dengan yang lebih kaya, sehingga memperburuk ketimpangan pendapatan.
Pengecualian pajak atau celah hukum sering menguntungkan kelompok atau industri tertentu, sehingga memunculkan persaingan yang tak setara. Individu yang lebih kaya atau perusahaan besar dengan akses ke akuntan dan tim hukum yang terampil dapat memanfaatkan celah hukum tersebut, sehingga mengurangi kewajiban pajak mereka dibandingkan dengan warga negara biasa atau bisnis yang lebih kecil.