Jumat, 06 Desember 2024

Di Bawah Kanopi Rambut: Nifty dan Nate (2)

"Kedaulatan yang mengutamakan keadilan dan kewajaran menumbuhkan stabilitas dan harmoni, mewujudkan semacam keindahan moral. Magna Carta (1215) merupakan pengakuan awal tentang pembatasan kekuasaan kedaulatan untuk memastikan keadilan, yang menunjukkan potensi keindahan otoritas yang seimbang," lanjut Nifty. "Magna Carta ('Piagam Agung') merupakan dokumen monumental yang disepakati pada tahun 1215 antara Raja John dari Inggris dan sekelompok baron pemberontak. Meskipun pada dasarnya merupakan respons praktis terhadap kerusuhan politik, dokumen ini telah menjadi simbol prinsip pembatasan kekuasaan kedaulatan untuk memastikan keadilan dan melindungi hak-hak individu. Keseimbangan otoritas ini menyoroti "keindahan" sistem pemerintahan yang adil dan bertanggungjawab.
Pada tahun 1215, pemerintahan sewenang-wenang Raja John, pajak yang tinggi, dan kegagalan dalam perang-perang di luar negeri (seperti hilangnya Normandia pada tahun 1204) menyebabkan ketidakpuasan yang meluas di kalangan baron-baron Inggris. Para baron, yang berusaha membatasi otoritas kerajaan, memaksa Raja John agar menerima piagam yang akan menegaskan hak-hak mereka dan memberlakukan pengawasan terhadap kekuasaan raja. Magna Carta awalnya dimaksudkan melindungi hak-hak feodal para baron, tetapi dokumen tersebut berkembang menjadi penegasan yang lebih luas tentang prinsip bahwa kekuasaan kedaulatan tidaklah mutlak.
Magna Carta menetapkan bahwa bahkan raja pun tunduk pada hukum, menolak gagasan tentang kekuasaan kedaulatan yang tak terkendali. Meskipun awalnya terbatas pada baron dan bangsawan, piagam tersebut memperkenalkan gagasan bahwa hak-hak tertentu tak dapat diganggu gugat dan harus dilindungi dari tindakan kedaulatan yang melampaui batas. Magna Carta mengharuskan raja meminta nasihat dari baronnya sebelum mengenakan pajak, dengan mengakui prinsip tiada pajak tanpa perwakilan. Piagam tersebut berupaya menetapkan mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban kedaulatan.
Magna Carta mewujudkan potensi "keindahan" otoritas yang seimbang dengan mendamaikan kekuasaan dengan keadilan. Piagam tersebut menunjukkan harmoni moral dan sosial yang tercapai ketika kekuasaan kedaulatan diimbangi oleh aturan hukum dan akuntabilitas. Dengan menolak otoritas absolut, Magna Carta menyoroti bahwa kedaulatan sejati melayani rakyat, memastikan keadilan dan melindungi dari penindasan. Meskipun berakar pada masalah feodal, prinsip-prinsipnya—semisal aturan hukum dan perlindungan hak—bergema dengan gagasan universal tentang keadilan dan martabat manusia. Selama berabad-abad, Magna Carta telah dirayakan sebagai dokumen dasar dalam pengembangan tatakelola konstitusional. Dokumen ini mengilhami tonggak sejarah berikutnya seperti Bill of Rights Inggris (1689) dan Konstitusi Amerika Serikat (1787).

Kekuasaan adalah kekuatan yang netral—kekuatan itu tidak secara inheren bersifat baik maupun jahat. Keindahan atau keburukannya bergantung pada bagaimana ia digunakan. Friedrich Nietzsche dalam Thus Spoke Zarathustra: A Book for Everyone and No One (diterjemahkan oleh Walter Kaufmann. Penguin Classics, 1978) mengeksplorasi konsep "the will to power (kehendak berkuasa)," yang menggambarkannya sebagai kekuatan pendorong dalam sifat manusia. Meskipun dapat mengarah pada keagungan, ia juga berpotensi merusak jika tak dicegah.
Nietzsche menggambarkan "the will to power" sebagai kekuatan utama yang mendasari segala aktivitas dan eksistensi manusia. Hal ini mewakili naluri untuk tumbuh, menegaskan diri, dan melampaui keterbatasan. "The will to power" bukan hanya tentang bertahan hidup (seperti yang mungkin disarankan oleh seleksi alamnya Darwin), melainkan tentang berkembang dan menciptakan makna. Nietzsche mengkritisi filosofi yang memprioritaskan eksistensi belaka atau kepuasan pasif, dengan menyatakan bahwa hakikat hidup adalah berjuang dan mengatasi diri sendiri, "Dimana kutemukan kehidupan, disitulah kutemukan kehendak berkuasa."
"Kehendak berkuasa" terwujud sebagai dorongan individu agar melampaui dirinya sendiri, menaklukkan keterbatasan pribadi, dan mencapai keadaan keberadaan yang lebih tinggi. Übermensch (Superman atau Manusia Super) Nietzsche mewujudkan prinsip ini sebagai pribadi yang menciptakan nilai-nilai mereka dan hidup di luar norma-norma masyarakat, "Yang hebat dalam diri manusia adalah bahwa ia adalah jembatan dan bukan tujuan; yang dapat dicintai dalam diri manusia adalah bahwa ia adalah seorang yang over-going (menandakan melampaui atau melebihi batasan dan nilai yang ada. Hal ini mewujudkan gagasan Nietzsche tentang Übermensch, yang membangunkan nilai-nilainya sendiri dan mewujudkan pendekatan yang lebih afirmatif terhadap kehidupan. Konsep ini mendorong individu agar bangkit di atas batasan masyarakat dan merangkul naluri, hasrat, dan kreativitasnya. Melampaui mewakili potensi untuk transformasi dan mengejar kebesaran melalui mengatasi diri sendiri) dan down-going (proses penurunan atau kemunduran, seringkali terkait dengan penolakan nilai-nilai, norma-norma, dan kepercayaan yang mapan, yang dipandang Nietzsche sebagai penyangkalan kehidupan atau penindasan. Hal ini dapat termasuk telaah kritis terhadap moralitas tradisional, agama, dan struktur masyarakat yang menghambat pertumbuhan dan kreativitas individu. Nietzsche sering mengkritik mentalitas kawanan dan sistem moral yang mempromosikan mediokritas dan konformitas.).”
Berbeda dengan kehendak bertahan hidup atau mendominasi, "kehendak berkuasa" juga memerlukan dorongan kreatif. Manusia, menurut Nietzsche, terdorong memaksakan makna, menciptakan seni, berinovasi, dan membentuk realitasnya, "Rahasia ini berbicara sendiri kepadaku: 'Lihatlah,' katanya, 'Akulah sesuatu yang harus melebihi dirinya sendiri.'"
Nietzsche menyajikan 'the will to power' sebagai sesuatu yang indah karena ia merayakan dinamisme, kreativitas, dan perjuangan yang hakiki dalam hidup. Ia mengangkat individu yang merangkul upaya untuk mengatasi diri sendiri dan menciptakan nilai-nilai yang selaras dengan hakikat sejatinya. 'Kehendak berkuasa' memberikan alternatif yang meneguhkan hidup bagi nihilisme, keyakinan bahwa hidup tak punya makna yang hakiki. Dengan menegaskan keinginannya, individu dapat menciptakan makna dan tujuan. Filsafat Nietzsche mendorong individu agar bangkit dari keadaan yang biasa-biasa saja dan merangkul potensinya agar menjadi hebat.
Konsep Nietzsche tentang "will to power" memberikan dampak yang mendalam pada eksistensialisme, psikologi, dan pemikiran politik. Konsep ini selaras dengan mereka yang berusaha melampaui batasan sosial dan membuat tujuan hidup mereka sendiri. Para kritikus berpendapat bahwa penekanan Nietzsche pada kekuasaan dan penegasan diri dapat menyebabkan hierarki sosial atau membenarkan penindasan. Namun, para pendukungnya mencatat bahwa Nietzsche membayangkan "will to power" sebagai kekuatan pribadi dan kreatif, bukan sebagai alat tirani. Ada beberapa yang menafsirkan "will to power" sebagai kekuatan metafisik yang mendasari segala eksistensi, sementara yang lain melihatnya secara lebih sempit sebagai dorongan psikologis yang khusus bagi manusia. Cendekiawan semisal Walter Kaufmann (dalam Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist, Princeton University Press, 1950) menekankan aspek-aspeknya afirmasi kehidupan kreatifnya daripada syahwat untuk mendominasi.

Dalam The Lord of the Rings karya J.R.R. Tolkien (pertama kali diterbitkan pada tahun 1954 oleh George Allen & Unwin), One Ring berfungsi sebagai simbol mendalam tentang sifat ganda kekuasaan: ia memikat sekaligus merusak. Dualitas ini menggambarkan pandangan Tolkien yang bernuansa tentang kekuasaan: potensinya memperbudak dan menghancurkan bila disalahgunakan dan kapasitasnya berkontribusi pada perdamaian dan keadilan jika didekati dengan kearifan, pengendalian diri, dan tanpa pamrih.
One Ring diciptakan oleh Pangeran Kegelapan Sauron untuk mendominasi Ring of Power lainnya dan memperbudak Middle-earth. Kekuatannya yang luar biasa menarik orang lain ke sana, menyingkapkan kelemahan dan ambisi mereka.
Daya tarik Ring menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat memabukkan walu individu itu paling mulia. Mereka yang menemukannya merasakan tarikannya yang menggoda, menyingkap hasrat batin mereka untuk mengendalikan, meraih kejayaan, atau bertahan hidup. Frodo menggambarkan berat dan dampak psikologisnya: "Ini milikku, kukatakan padamu. Milikku. Kesayanganku. Ya, kesayanganku." (Frodo berjuang melawan pengaruh Ring dalam The Fellowship of the Ring, Book I, Chapter 2).
Semakin lama seseorang memegang Cincin, semakin rusaklah ia, mengikis moralitas dan memperbudak keinginannya. Gollum, yang memiliki Cincin selama berabad-abad, menjadi sosok yang tragis—bayangan yang menyimpang dari dirinya yang dulu. Bahkan Gandalf dan Galadriel, teladan kearifan dan kebajikan, takut akan potensi merusaknya jika mereka mengklaimnya: "Sebagai ganti Pangeran Kegelapan, kalian akan mengangkat seorang Ratu. Dan aku takkan menjadi gelap, melainkan cantik dan mengerikan laksana Pagi dan Malam! … Semua orang akan mencintaiku dan hilang harapan!"
Frodo Baggins melambangkan penggunaan kekuasaan tanpa pamrih. Sebagai Pembawa Cincin, ia menolak kerusakan kekuasaan lebih lama daripada kebanyakan orang, termotivasi oleh komitmennya merontokkan kekuasaan demi kebaikan bersama.
Di tangan yang salah, kekuasaan menjadi kekuatan yang merusak. Penggunaan Cincin oleh Sauron menggambarkan bagaimana kekuasaan absolut mengarah pada dominasi dan penindasan. Tokoh seperti Boromir tergoda oleh janji Cincin untuk menggunakan kekuatannya demi kebaikan, seperti membela Gondor. Namun rasionalisasi ini menggambarkan bagaimana kehendak berkuasa dapat merusak biarpun niat yang mulia. Boromir akhirnya menyerah pada pengaruh Cincin, mencoba mengambilnya dari Frodo. Perjalanan Frodo mencerminkan bagaimana kerendahan hati, keberanian, dan kemauan melepaskan kekuasaan diperlukan bagi penggunaannya yang konstruktif. Kepemilikan Cincin yang singkat oleh Samwise Gamgee menunjukkan kekuatan dari kebajikan bersahaja semisal kesetiaan, cinta, dan ketekunan. Tak seperti yang lain, Sam melihat Cincin sebagai beban daripada peluang, menunjukkan bagaimana niat yang tidak egois dapat melawan kerusakan.
Penghancuran Cincin yang paling dahsyat—yang dicapai melalui kegigihan Frodo dan kejatuhan Gollum—mewakili kemenangan atas ketidakegoisan dan penolakan terhadap kekuasaan absolut. Cincin ini memulihkan kedamaian di Middle-earth, menunjukkan bahwa kekuasaan, jika digunakan secara bertanggungjawab atau dilepaskan sama sekali, dapat mengarah pada keharmonisan.
Tolkien menekankan bahwa kekuasaan itu sendiri tak secara inheren jahat. Sebaliknya, efeknya bergantung pada siapa yang menggunakannya dan niatnya. Cincin tersebut memperbesar paradoks ini: meskipun memberikan kekuatan yang luar biasa, namun pada saat yang sama memperbudak penggunanya. Cerita menggarisbawahi tanggungjawab etis dari mereka yang berada di posisi berkuasa. Tokoh-tokoh seperti Gandalf dan Aragorn menunjukkan bahwa kekuatan sejati terletak pada pengendalian diri dan kearifan, bukan dominasi. Meskipun pengaruh Cincin tersebut merusak, Tolkien menawarkan harapan. Peran Gollum dalam menghancurkan Cincin mencerminkan potensi walaupun individu yang paling rusak pun berkontribusi pada keadilan, betapapun tak diinginkannya tindakan mereka.
Eksplorasi kekuasaan dalam The Lord of the Rings terus mempengaruhi fantasi kontemporer dan filsafat politik, yang mengilhami pembicaraan tentang penggunaan otoritas secara etis. Beberapa cendekiawan menafsirkan Cincin sebagai metafora teknologi atau ideologi yang merusak pada masa Tolkien (misalnya, bom atom atau rezim totaliter). Namun, Tolkien menolak alegori langsung, menggambarkan Cincin sebagai simbol yang lebih universal dari ambisi yang tak terkendali dan bahaya moral kekuasaan (lihat J.R.R. Tolkien, The Letters of J.R.R. Tolkien, disunting oleh Humphrey Carpenter. George Allen & Unwin, 1981).
Para cendekiawan seperti Tom Shippey (The Road to Middle-earth. HarperCollins, 2005) berpendapat bahwa sifat ganda Cincin tersebut menggambarkan perhatian Tolkien yang lebih luas terhadap kompleksitas motivasi manusia.
The One Ring dalam The Lord of the Rings karya J.R.R. Tolkien dengan sangat apik melambangkan dualitas kekuasaan. Cincin tersebut menyingkapkan bagaimana kekuasaan, meskipun memikat dan berpotensi menguntungkan, juga dapat merusak dan menghancurkan jika dikejar secara egois atau tanpa kendali. Dengan membandingkan ambisi yang merusak dengan pengorbanan tanpa pamrih, Tolkien menyoroti keindahan otoritas yang seimbang dan keharusan moral agar menggunakan kekuasaan dengan bijak. Daya tarik cerita yang abadi terletak pada eksplorasi tema-tema abadi ini.

Pada intinya, kekuasaan seringkali merujuk pada kapasitas mengendalikan atau mempengaruhi perilaku, sumber daya, atau hasil orang lain. Dalam 'Economy and Society' (diterjemahkan oleh Keith Tribe, 2019, Harvard University Press) Max Weber mendefinisikan kekuasaan (Macht) sebagai "kemungkinan bahwa satu aktor dalam hubungan sosial akan berada dalam posisi untuk melaksanakan keinginannya sendiri meskipun ada perlawanan." Perspektif ini menekankan kekuasaan sebagai sesuatu yang bersifat memaksa atau mendominasi, khususnya dalam struktur masyarakat dan politik. Contoh, pemerintah menegakkan hukum biarpun ada individu yang tak sepakat.
Dalam Leviathan (1997, Touchstone), Thomas Hobbes melihat kekuasaan sebagai kemampuan untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat. Bagi Hobbes, kekuasaan diperlukan untuk mencegah 'keadaan alamiah', di mana kehidupan akan menjadi 'jahat, biadab, dan singkat'. Di sini, kekuasaan adalah kekuatan di balik otoritas dan pemerintahan.
Dalam pandangan ini, kekuasaan adalah tentang mengatasi perlawanan dan membangun kendali, yang sering dikaitkan dengan otoritas politik dan kelembagaan.

Perspektif lain melihat kekuasaan bukan sebagai dominasi, tapi sebagai kemampuan atau potensi untuk mencapai tujuan. Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles menggambarkan kekuasaan sebagai pendorong bagi perkembangan manusia (eudaimonia). Dalam pengertian ini, kekuasaan adalah kapasitas individu untuk bertindak dengan baik dan memenuhi potensinya. Contoh, seorang guru yang menggunakan ilmunya untuk memberdayakan siswa mencerminkan kekuasaan sebagai kemampuan.
Dalam Development as Freedom (1997, Oxford University Press), Amartya Sen melihat kekuasaan sebagai kebebasan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Bagi Sen, kekuasaan adalah kemampuan menjalani kehidupan yang dihargai, menekankan pentingnya memberdayakan para individu daripada mendominasinya.
Pandangan ini membingkai kekuasaan sebagai kapasitas untuk bertindak, membuat, atau membawa perubahan pada diri sendiri atau dunia.

Dari pemikiran pascamodern, Kekuasaan juga dipahami sebagai sesuatu yang relasional, yang ada dalam interaksi dan negosiasi antara individu atau kelompok. Dalam Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1995, Vintage Books, awalnya diterbitkan dalam bahasa Prancis sebagai Surveiller et punir pada tahun 1975) dan The History of Sexuality (Volume 1: An Introduction, diterjemahkan dari bahasa Prancis oleh Robert Hurley, 1978, Random House, Inc.), Michel Foucault berpendapat bahwa kekuasaan bukan sekadar sesuatu yang dimiliki, melainkan dijalankan melalui hubungan dan struktur. Kekuasaan beroperasi melalui ilmu, wacana, dan lembaga, membentuk cara orang berpikir dan berperilaku. Pengaruh norma sosial dan bahasa pada perilaku individu merupakan contoh kekuasaan relasional.
Discipline and Punish: The Birth of the Prison karya Michel Foucault merupakan karya penting yang mengeksplorasi evolusi sistem hukuman dan pengembangan mekanisme disiplin modern. Foucault meneliti bagaimana kekuasaan beroperasi dalam masyarakat, bergeser dari hukuman fisik ke bentuk kontrol psikologis yang lebih subtil. Foucault membandingkan sistem hukuman pra-modern dan modern guna menggambarkan transisi yang lebih luas dalam cara kekuasaan dijalankan di masyarakat. Dalam masyarakat pra-modern, hukuman lebih bersifat publik dan fisik, semisal eksekusi atau penyiksaan. Tujuannya ialah untuk menunjukkan otoritas penguasa dengan menghukum pelanggar dengan cara yang terlihat dan disaksikan publik. Contoh, pembukaan Discipline and Punish dengan jelas menggambarkan eksekusi publik Robert-François Damiens pada tahun 1757, yang menekankan sifat brutal kekuasaan penguasa.
Dalam masyarakat modern, hukuman menjadi lebih tersembunyi dan psikologis. Fokusnya beralih ke reformasi individu daripada menyakiti secara fisik. Kekuasaan beroperasi melalui pengawasan dan normalisasi, membangun disiplin diri dalam individu. Contoh, Sistem penjara menggantikan eksekusi publik, menekankan koreksi dan kontrol atas tontonan publik.
Foucault menelusuri kemunculan penjara sebagai bentuk hukuman utama pada abad ke-18 dan ke-19. Penjara mencerminkan perubahan masyarakat yang lebih luas, dimana disiplin melebar melampaui sistem pemasyarakatan ke sekolah, pabrik, dan rumah sakit. Tujuannya untuk membuat "tubuh yang jinak" yang produktif dan patuh.
Foucault mengadopsi konsep Panopticon milik Jeremy Bentham, sebuah desain arsitektur penjara tempat narapidana dapat terus-menerus diamati tanpa mengetahui apakah mereka sedang diawasi. Panopticon melambangkan bagaimana kekuasaan modern berfungsi melalui pengawasan terus-menerus dan disiplin yang terinternalisasi. Ancaman diawasi membuat para individu mengatur perilaku mereka, bahkan saat tiada yang mengawasi.
Foucault berpendapat bahwa disiplin merupakan mekanisme kekuasaan yang meluas dalam masyarakat modern, yang melampaui penjara hingga ke lembaga-lembaga lain. Disiplin menetapkan norma dan mengevaluasi para individu berdasarkan bagaimana mereka mematuhi norma-norma tersebut. Mereka yang menyimpang dikategorikan sebagai abnormal, sehingga meminggirkan mereka dalam masyarakat.
Foucault menghubungkan evolusi hukuman dengan perubahan yang lebih luas dalam cara kekuasaan beroperasi dalam masyarakat. Kekuasaan bukan sekadar alat penindasan tetapi juga produktif—ia memmbuat pengetahuan, norma, dan kategori identitas. Sistem peradilan pidana menghasilkan pengetahuan tentang "penjahat" yang mendefinisikan apa yang merupakan penyimpangan.
Kekuasaan tersebar di seluruh masyarakat, tertanam dalam lembaga, praktik, dan hubungan. Kekuasaan beroperasi tak hanya dari atas (misalnya, oleh negara) tetapi secara horizontal melalui jaringan kontrol. Foucault mengkritik gagasan bahwa sistem hukuman modern lebih "manusiawi". Sementara hukuman fisik telah menurun, praktik disiplin modern dapat menjadi lebih invasif dan tak manusiawi karena menargetkan pikiran dan perilaku. Pergeseran dari eksekusi publik ke penjara mengaburkan mekanisme kontrol, sehingga lebih sulit ditantang. Hukuman modern tak hanya berfungsi menghukum pelanggar tetapi juga menjaga ketertiban sosial dengan menghasilkan warga negara yang patuh.
Foucault berpendapat bahwa masyarakat modern secara keseluruhan beroperasi sebagai "masyarakat yang disiplin" dimana pengawasan, normalisasi, dan kontrol bersifat menyeluruh. Institusi semisal sekolah, tempat kerja, dan rumah sakit meniru mekanisme disiplin yang ditemukan di penjara. Individu menginternalisasi kontrol ini, yang mengarah pada disiplin diri tanpa paksaan terbuka.

Para filsuf dan pemikir agama sering membahas dimensi etika kekuasaan, mempertanyakan legitimasi dan penggunaan moralnya. Dalam On Liberty (2003, Yale University Press), John Stuart Mill menyoroti bahaya "tirani mayoritas," dimana kekuasaan dapat menindas individu. Ia menganjurkan pembatasan kekuasaan agar melindungi kebebasan individu, menekankan dimensi moralnya.
Kekuasaan membawa implikasi moral, dan legitimasinya bergantung pada bagaimana ia selaras dengan prinsip-prinsip etika dan keadilan. Al-Qur'an dan ajaran Kenabian menekankan bahwa kekuasaan hendaklah digunakan secara bertanggungjawab dan untuk kebaikan orang lain. Misalnya, Al-Qur'an menyatakan,
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-Qur'an 4:58).
Hal ini mencerminkan kekuasaan sebagai amanah yang hendaknya sejalan dengan keadilan dan akuntabilitas.
Dalam pemikiran Islam, kekuasaan dipandang sebagai amanah yang semestinya dijalankan secara bertanggungjawab, menekankan penegakan keadilan (adl) dan melayani kepentingan umum (maslaha). Jika kekuasaan disalahgunakan, maka akan berujung pada penindasan (zulm), yang secara tegas dikutuk dalam Islam.
Kepemimpinan dalam Islam merupakan tanggungjawab suci dalam memerintah dengan adil dan menegakkan hak-hak semua individu. Ulama Sunni semisal Al-Mawardi (w. 1058 M) dalam karyanya Al-Ahkam As-Sultaniyyah (Tata Tertib Pemerintahan, 1989, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah) menguraikan tugas seorang pemimpin sebagai Penjaga agama, Menegakkan keadilan, dan Melindungi yang lemah serta memastikan kesejahteraan masyarakat.
Rasulullah (ﷺ) memperingatkan tentang beban kepemimpinan, "Setiap dari kalian adalah penggembala, dan setiap dari kalian akan ditanya tentang kawanannya." (Sahih al-Bukhari, Hadits 893; Sahih Muslim, Hadits 1829). Hal ini menyoroti bahwa kekuasaan bukanlah hak istimewa, melainkan tanggungjawab, dan para pemimpin bertanggungjawab kepada rakyat dan Allah."
[Fragmen 3]
[Fragmen 1]