Nifty meneruskan, "Pejabat publik bertanggungjawab dalam menegakkan standar etika, sebab tindakan dan ucapan mereka punya konsekuensi luas. Meskipun humor dapat menjadi alat yang berguna untuk membangun hubungan baik, humor juga dapat menjadi tak pantas atau menyinggung jika merendahkan orang lain, terutama dalam konteks keberagaman atau sensitif. Immanuel Kant [Groundwork for the Metaphysics of Morals, Cambridge University Press, 1998] menekankan keharusan kategoris, yang mengharuskan memperlakukan setiap individu sebagai tujuan dalam dirinya, bukan sekadar sebagai sarana mencapai tujuan. Pejabat publik seyogyanya mengutamakan penghormatan terhadap martabat setiap individu, memastikan ucapan dan tindakan mereka tak merendahkan atau mengecilkan orang lain.
Analisis Geert Hofsted [Cultures and Organizations: Software of the Mind, McGraw-Hill, 2010] tentang dimensi budaya menggarisbawahi pentingnya memahami nilai-nilai sosial dalam berkomunikasi secara efektif tanpa menyinggung perasaan. Humor yang mungkin dapat diterima di lingkungan pribadi, boleh jadi tak dapat diterima dengan baik oleh publik atau khalayak beragam. Pejabat publik hendaknya peka terhadap norma-norma budaya, agama, dan sosial.
Dalam budaya Individualis (misalnya, AS, Australia), humor kerap menekankan ekspresi pribadi, satire, atau ironi. Pejabat publik dalam masyarakat seperti ini, mungkin menggunakan humor yang merendahkan diri untuk memanusiakan diri mereka sendiri.
Dalam budaya Kolektivis (misalnya, Indonesia dan Jepang), humor cenderung berfokus pada upaya menjaga keharmonisan dan menghindari pelanggaran terhadap kelompok. Guyonan-guyonan yang ditujukan kepada individu tertentu atau topik sensitif dipandang tak pantas, terutama di tempat umum. Para pejabat di masyarakat kolektivis hendaknya berhati-hati agar tak menggunakan humor yang dapat merusak keharmonisan kelompok atau menyinggung norma sosial.
Dalam budaya dengan jarak kekuasaan tinggi (misalnya, Indonesia dan Arab Saudi), figur otoritas diharapkan agar menjaga martabat dan formalitas. Humor yang mengurangi otoritas pejabat publik atau menargetkan bawahan, tak dianjurkan. Dalam budaya dengan jarak kekuasaan rendah (misalnya, Denmark, Selandia Baru), hierarki tak terlalu kaku, dan humor sering digunakan untuk menjembatani kesenjangan antara pemimpin dan publik. Dalam budaya dengan jarak kekuasaan tinggi, pejabat publik hendaknya menyeimbangkan humor dengan rasa hormat terhadap posisi mereka guna menghindari kesan tidak profesional. Di negara-negara pluralistik seperti Indonesia, pejabat publik menghadapi tantangan dalam berbicara kepada audiens dengan latarbelakang etnis, agama, dan budaya yang beragam. Humor yang menargetkan satu kelompok mungkin menyinggung kelompok lain.
Jürgen Habermas [The Theory of Communicative Action, Beacon Press, 1984] menganjurkan komunikasi yang berakar pada rasa saling menghormati dan wacana rasional. Sementara humor dapat memanusiakan pejabat publik dan membangun koneksi, humor dapat menjadi bumerang jika dianggap sebagai olok-olok (meremehkan individu atau kelompok, terutama masyarakat terpinggirkan) dan/atau mengabaikan kepekaan budaya atau masyarakat. Pejabat publik hendaknya terlibat dalam komunikasi etis yang inklusif, penuh hormat, dan memperhatikan audiensnya. Pemimpin seperti Nelson Mandela menggunakan humor secara efektif untuk meredakan ketegangan dan mendorong rekonsiliasi. Contoh-contoh, dimana pejabat publik menghadapi reaksi keras karena lelucon yang tidak peka, menyoroti perlunya kehati-hatian dan akuntabilitas.
Pejabat publik hendaklah berhati-hati dalam menghadapi kompleksitas etika kekuasaan dan komunikasi. Humor dapat menjadi alat yang ampuh agar terhubung dengan beragam audiens, tetapi seyogyanya digunakan secara bertanggungjawab menegakkan martabat manusia dan kohesi sosial. Dengan mematuhi prinsip-prinsip rasa hormat, profesionalisme, dan akuntabilitas, pejabat publik dapat memastikan tindakan dan ucapan mereka membangun kepercayaan dan persatuan dalam masyarakat yang pluralistik.
Prinsip etika bagi pejabat publik membentuk dasar kepercayaan, akuntabilitas, dan tatakelola yang efektif dalam administrasi publik. Prinsip-prinsip ini memandu perilaku dan pengambilan keputusan, memastikan pejabat publik bertindak dengan cara yang melayani kepentingan umum. Sekarang mari kita bahas beberapa prinsip etika utama bagi pejabat publik, yang didukung oleh literatur tentang etika publik dan tatakelola.
Pertama, Integritas: Landasan Kepercayaan. Integritas merupakan inti dari tatakelola yang beretika. Integritas menuntut kejujuran, transparansi, dan kepatuhan yang tegas terhadap prinsip-prinsip moral dalam setiap keputusan pejabat publik. Pejabat publik yang bertindak dengan integritas akan menumbuhkan kepercayaan dan keyakinan pada masyarakat yang mereka layani, serta memastikan bahwa tindakan mereka sejalan dengan nilai-nilai dan janji yang mereka anut. Ini berarti menolak godaan korupsi, menghindari konflik kepentingan, dan bersikap tegas dalam menghadapi tantangan terhadap perilaku etis. Robert B. Denhardt dan Janet V. Denhardt menekankan dalam The New Public Service: Serving, Not Steering (2003, M.E. Sharpe) bahwa tatakelola yang etis sangat penting bagi layanan publik, sehingga integritas bukan sekadar kebajikan pribadi, tapi pula kebutuhan profesional.
Kedua, Akuntabilitas: menjawab kepada Publik. Akuntabilitas memastikan bahwa pejabat publik tetap bertanggungjawab atas tindakan dan keputusan mereka. Akuntabilitas membangun sistem dimana penggunaan kekuasaan dan sumber daya publik diawasi dengan cermat guna mencegah penyalahgunaan atau inefisiensi. Misalnya, audit rutin, rapat terbuka, dan penyelidikan publik merupakan mekanisme yang meminta pertanggungjawaban pejabat. Menerima tanggungjawab atas kesalahan dan bersikap transparan tentang niat semakin memperkuat prinsip ini. Mark Bovens, dalam Public Accountability (2007, Oxford University Press), menguraikan bagaimana mekanisme akuntabilitas tak semata membangun kepercayaan, melainkan pula memperkuat nilai-nilai demokrasi, memastikan bahwa tatakelola tetap melayani rakyat.
Ketiga, Transparansi: Cahaya Tatakelola. Transparansi dalam tatakelola adalah tentang menyoroti proses, keputusan, dan kebijakan sehingga publik dapat melihat bagaimana kekuasaan digunakan. Akses terbuka terhadap informasi memberdayakan warga negara, memungkinkan mereka membuat penilaian yang tepat tentang pemimpin dan kebijakannya. Hal ini mencegah kerahasiaan, yang seringkali mengarah pada korupsi dan ketidakpercayaan. Menerbitkan anggaran, kebijakan, dan laporan kinerja merupakan cara penting dalam memastikan transparansi. Archon Fung, Mary Graham, dan David Weil dalam Full Disclosure: The Perils and Promise of Transparency (2007, Cambridge University Press) berpendapat bahwa keterbukaan dalam tatakelola dapat meningkatkan kepercayaan dan efisiensi, meskipun harus diseimbangkan guna melindungi informasi sensitif.
Keempat, Keadilan dan Ketidakberpihakan: Hakikat Keadilan. Keadilan mengharuskan memperlakukan semua orang secara setara, dan memastikan bahwa keputusan dibuat secara tak memihak dan adil. Prinsip ini penting dalam menjaga keadilan sosial dan menghindari bias sistemik. Pejabat publik harus memastikan bahwa kebijakan dan tindakannya tak memihak satu kelompok di atas kelompok lain dan bahwa kebijakan dan tindakan tersebut menjunjung tinggi hak seluruh warga negara. Nepotisme, favoritisme, dan diskriminasi merusak kepercayaan publik dan kohesi sosial. John Rawls, dalam A Theory of Justice (1971, Harvard University Press), mengartikulasikan pentingnya keadilan sebagai landasan keadilan, yang menyediakan kerangka teoritis bagi pemerintahan yang adil.
Kelima, Layanan kepada Publik: Inti dari Jabatan Publik. Jabatan publik pada dasarnya bertujuan melayani masyarakat. Prinsip ini menggarisbawahi pentingnya memprioritaskan kesejahteraan publik di atas kepentingan pribadi atau privat. Pejabat publik harus secara aktif melibatkan warga negara untuk memahami kebutuhan mereka dan berupaya mewujudkan kebijakan inklusif yang menguntungkan semua pihak. Aksesibilitas terhadap layanan, khususnya bagi kelompok terpinggirkan, merupakan penerapan penting dari prinsip ini. The Responsible Administrator: An Approach to Ethics for the Administrative Role (2012, Jossey-Bass) karya Terry L. Cooper menyoroti peran tanggungjawab etis dalam memastikan bahwa layanan publik benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Keenam, penghormatan terhadap the Rule of law (supremasi hukum): menegakkan keadilan. Menghormati supremasi hukum menjamin stabilitas dan ketertiban dalam masyarakat. Pejabat publik harus mematuhi kerangka hukum yang mengatur tindakan mereka, menerapkannya secara tidak memihak dan konsisten. Prinsip ini mencegah penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang dan memastikan bahwa setiap orang, termasuk para pemimpin itu sendiri, tunduk pada hukum yang sama. Pengantar Studi Hukum Konstitusi karya A.V. Dicey (1885, Macmillan) menekankan bahwa supremasi hukum sangat penting bagi demokrasi dan pemerintahan yang baik, mendorong keadilan dan melindungi hak-hak warga negara.
Ketujuh, Responsivitas: Mendengarkan dan Bertindak. Responsivitas mencerminkan kemampuan pejabat publik mendengarkan berbagai masalah warga negara dan mengatasinya secara efektif. Tidaklah cukup hanya dengan mengakui keluhan publik; pejabat harus menindaklanjutinya tepat waktu untuk membangun kepercayaan dan menunjukkan kompetensi. Prinsip ini juga melibatkan antisipasi kebutuhan masyarakat dan secara proaktif menangani berbagai masalah yang muncul. Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt, dalam The New Public Service: Serving, Not Steering (2003, M.E. Sharpe), berpendapat bahwa responsivitas memastikan tatakelola tetap relevan dan bertanggungjawab kepada masyarakat.
Kedelapan, Kepemimpinan Beretika: Memimpin dengan Keteladanan. Pejabat publik, sebagai pemimpin, adalah panutan bagi komunitas mereka. Kepemimpinan beretika menunjukkan keberanian moral, keadilan, dan integritas dalam segala tindakan, dan menetapkan standar bagi orang lain untuk diikuti. Kepemimpinan ini menumbuhkan budaya akuntabilitas dan integritas dalam lembaga. Pemimpin yang etis memprioritaskan kebaikan bersama, bahkan ketika menghadapi tantangan pribadi atau politik. The Ethics of Leadership (2003, Wadsworth) karya Joanne B. Ciulla mengeksplorasi dampak mendalam kepemimpinan etis dalam membentuk organisasi dan komunitas.
Kesembilan, Inklusivitas: Merangkul Keberagaman. Inklusivitas memastikan bahwa tatakelola mencerminkan keberagaman masyarakat, memberikan suara kepada kelompok yang terpinggirkan dan kurang terwakili. Prinsip ini mengakui bahwa perspektif yang beragam memperkaya pengambilan keputusan dan mendorong kesetaraan sosial. Pejabat publik harus secara aktif berupaya melibatkan semua pemangku kepentingan dalam proses pembuatan kebijakan dan memastikan representasi di lembaga pemerintah. Justice and the Politics of Difference (1990, Princeton University Press) karya Iris Marion Young menganjurkan tatakelola yang inklusif sebagai cara untuk mengatasi ketidakadilan sistemik dan menggalakkan keadilan.
Kesepuluh, Keberlanjutan: Menyeimbangkan Masa Kini dan Masa Depan. Keberlanjutan adalah tentang membuat keputusan yang mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap masyarakat dan lingkungan. Pejabat publik bertanggung awab memastikan bahwa kebijakan mereka tak mengorbankan kebutuhan generasi mendatang. Prinsip ini mengharuskan adanya keseimbangan antara pembangunan ekonomi dengan keadilan sosial dan pelestarian lingkungan. Green Political Theory karya Robert E. Goodin (1992, Polity Press) menekankan bahwa tatakelola yang berkelanjutan sangat penting dalam mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim dan penipisan sumber daya, serta memastikan masa depan yang lebih baik bagi semua orang.
Prinsip-prinsip etika ini secara kolektif membentuk tulang punggung tatakelola yang efektif dan adil. Dengan mematuhi nilai-nilai ini, pejabat publik dapat menumbuhkan kepercayaan, mendorong kesetaraan, dan memastikan kesejahteraan masyarakat yang mereka layani. Dalam dunia yang semakin saling terhubung dan pluralistik, prinsip-prinsip ini bukan sekadar pedoman, tetapi keharusan untuk mempertahankan demokrasi, keadilan, dan keharmonisan sosial.
Kekuasaan dapat memikat pada tingkat estetika karena keagungan dan kemampuannya membangkitkan rasa hormat, tetapi dimensi moralnyalah yang pada akhirnya menentukan keindahan sejatinya. Hannah Arendt, dalam karya utamanya The Human Condition (1958, University of Chicago Press), mengeksplorasi konsep kekuasaan dari perspektif estetika dan filosofis, dengan menyajikannya sebagai manifestasi dahsyat dari tindakan kolektif manusia. Visi kekuasaan Arendt melampaui paksaan atau dominasi, yang sering dikaitkan dengan terma tersebut, untuk menyoroti potensinya dalam menginspirasi rasa kagum dan takjub melalui penciptaan makna bersama dan pencapaian kolektif. Arendt mendefinisikan kekuasaan bukan sebagai kepemilikan atau alat yang digunakan oleh individu, tetapi sebagai sesuatu yang muncul dari orang-orang yang bertindak bersama dengan tujuan bersama. Kekuasaan pada dasarnya bersifat relasional dan berakar pada kapasitas manusia untuk berkolaborasi dan berkomunikasi. Tak seperti kekuatan, yang bergantung pada kekerasan atau paksaan, kekuasaan muncul secara organik ketika individu bergabung untuk mencapai tujuan bersama, menciptakan fenomena yang lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya. Arendt mengambil inspirasi dari praktik demokrasi Yunani kuno, dimana warga negara berkumpul di polis untuk berunding dan memutuskan masalah-masalah yang menjadi perhatian publik. Tindakan komunal dalam bersatu membentuk dunia ini, baginya, merupakan hakikat kekuasaan politik. Hal ini mencerminkan keindahan pluralitas manusia—bagaimana perspektif dan suara yang beragam dapat bertemu untuk menciptakan sesuatu yang baru dan bermakna.
Arendt selalu membandingkan aspek generatif kekuasaan ini dengan kecenderungan kekerasan yang merusak. Sementara kekerasan berusaha memaksakan ketertiban melalui penghancuran dan ketakutan, kekuasaan yang berakar pada tindakan kolektif membangun dan mempertahankan komunitas. Kekuatan ini berasal dari keyakinan dan kepercayaan bersama di antara para pelakunya, mengubah kontribusi individu menjadi ekspresi keinginan kolektif yang terpadu. Proses ini, mirip dengan seorang seniman yang membentuk sebuah mahakarya, diresapi dengan makna estetika.
Arendt menekankan peran ruang publik—arena tempat orang berkumpul untuk bertindak dan berbicara dengan bebas—sebagai panggung tempat kekuasaan diwujudkan. Ruang-ruang ini, baik fisik maupun metaforis, memungkinkan terungkapnya tindakan kolektif dan ekspresi kebebasan manusia. Tindakan menciptakan dan mempertahankan ruang-ruang tersebut, dengan sendirinya, merupakan bukti keindahan estetika kekuasaan sebagai kekuatan untuk koneksi dan transformasi.
Menurut pandangannya, ruang publik bukan sekadar arena untuk musyawarah, tetapi juga tempat dimana potensi manusia diaktualisasikan. Tontonan individu yang berkumpul, menyuarakan keprihatinan mereka, dan membangun konsensus mencerminkan semangat agensi manusia. Interaksi dinamis antara tindakan dan pluralitas inilah yang menurut Arendt paling mengagumkan tentang kekuasaan.
Dimensi lain dari daya tarik estetika kekuasaan, sebagaimana diutarakan oleh Arendt, terletak pada kamampuannya melawan tirani dan penindasan. Aksi kolektif kerap berfungsi sebagai penyeimbang kecenderungan otoriter, yang mengingatkan kita akan ketahanan dan kreativitas manusia. Refleksi Arendt tentang gerakan-gerakan historis, seperti Revolusi Amerika, menyoroti bagaimana kekuasaan kolektif dapat melahirkan tatanan dan cita-cita politik baru, yang menegaskan kembali keyakinan pada kapasitas manusia untuk pembaruan dan penemuan kembali.
Ketika rakyat bersatu untuk menentang ketidakadilan, tekad bersama mereka dapat menghasilkan narasi harapan dan solidaritas yang kuat. Narasi-narasi ini, seperti halnya karya seni yang hebat, dapat menginspirasi generasi mendatang untuk berjuang demi kebebasan dan kesetaraan. Keindahan kekuasaan, dalam konteks ini, adalah kemampuannya melampaui keterbatasan individu dan mewujudkan cita-cita kolektif.
Eksplorasi Hannah Arendt tentang kekuasaan dalam The Human Condition menawarkan perspektif estetika mendalam yang merayakan kapasitas manusia bagi tindakan kolektif. Ia mengubah narasi kekuasaan dari dominasi dan kontrol menjadi penciptaan dan kolaborasi. Kekuasaan, seperti yang dibayangkan Arendt, bukan sekadar kekuatan politik, tetapi sumber inspirasi, yang berakar pada aspirasi dan pencapaian bersama umat manusia. Dengan membingkai kekuasaan sebagai manifestasi pluralitas dan kreativitas manusia, Arendt mengangkatnya ke bentuk seni—refleksi kemampuan kita untuk bersatu, mengubah dunia, dan meninggalkan dampak yang langgeng. Dengan melakukan itu, ia mengajak kita agar melihat keindahan yang melekat dalam tindakan kolektif, mengingatkan kita akan potensi tak terbatas dari agensi manusia ketika disalurkan menuju kebaikan bersama."
Sebelum mengakhiri perbincangan, Nifty berkata, "Nah, sobat, kekuasaan hanya indah jika digunakan secara beretika dan bertanggungjawab, yang mendorong keadilan, keharmonisan, dan kesejahteraan orang lain. Estetika Kekuasaan mungkin tampak indah dari luar, tetapi keindahan moral—yang berakar pada keadilan dan kasih sayang—berdampak yang langgeng. Teks-teks filosofis, historis, dan religius secara konsisten menekankan pentingnya niat dan tindakan dalam mengubah kekuasaan dari kekuatan yang netral atau berpotensi berbahaya menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh indah. Wallahu a'lam."
Nate mengangguk, kemudian ikut memandangi cakrawala sebagaimana dilakukan Nifty dan kepala tempat dimana mereka menjalani hidup diiringi alunan tembang "Technicolour"-nya Paloma Faith,
Once upon a time, my friends, it feels like yesterday
[Sekali waktu, kawan, rasanya seperti baru kemarin]
I was living lonesome in a world of disarray
[Aku hidup terlunta di dunia yang kusut]
Everything was a black and white, there wasn't even gray
[Semuanya hitam dan putih, bahkan gak ada abu-abunya]
And every morning waking up on groundhog day
[Dan setiap pagi terbangun dalam keadaan yang itu-itu aja]