"Sebelum kita lanjut, aku punya sebuah guyonan," kata Barbie. 'Suatu hari, Bu guru bertanya pada Joni kecil, "Kenapa kamu terlambat lagi Joni?' 'Aku mimpi sedang dalam perjalanan keliling dunia dan bangun kesiangan Bu!' jawab Joni kecil.
'Dan, kenapa kamu juga telat, Roni?'
'Aku nungguin Joni di bandara sampai dateng Bu!' jawab Roni kecil."
"Ekonomi Donat-nya Kate Raworth (Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist, 2017, Random House) menantang model ekonomi tradisional yang memprioritaskan pertumbuhan tanpa akhir, sebagai gantinya mengadvokasi kerangka kerja yang menyeimbangkan kesejahteraan manusia dengan kesehatan planet ini. Metafora "donat" mewakili ruang yang aman dan adil bagi kemanusiaan: the inner ring memastikan bahwa tiada yang gagal dalam hal -hal penting (semisal makanan, perawatan kesehatan, pendidikan, dan kesetaraan), sedangkan the outer ring menetapkan batas ekologis untuk mencegah overshooting batas-batas planet (semisal perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan polusi).
Pendekatan Raworth menata kembali ekonomi sebagai alat melayani umat manusia ketimbang sebagai mesin pertumbuhan PDB yang tak terbatas. Ia menekankan tujuh perubahan utama dalam pemikiran ekonomi, menjauh dari paradigma yang sudah ketinggalan zaman seperti ketergantungan pada pasar yang mengatur diri sendiri atau fiksasi pada pertumbuhan linier. Sebaliknya, ia menyerukan ekonomi melingkar dimana limbah diminimalkan, sistem regeneratif yang mengisi kembali sumber daya alam, dan kebijakan yang memprioritaskan kesejahteraan kolektif.
Pada intinya, model ini mengintegrasikan keadilan sosial dengan keberlanjutan ekologis. Dengan tetap berada dalam batas -batas "donat", masyarakat dapat menghindari keruntuhan ekologis sambil memastikan bahwa semua individu memiliki akses ke sumber daya yang dibutuhkan bagi kehidupan yang bermartabat. Ini membutuhkan pemikiran ulang metrik keberhasilan, merangkul redistribusi kekayaan, dan menumbuhkan inovasi yang selaras dengan kebutuhan manusia dan planet. Visi Raworth bukan anti-pertumbuhan tetapi lebih pro-balance, mendesak ekonomi agar tumbuh sampai memenuhi kebutuhan penting dan kemudian fokus pada berkembang tanpa mengorbankan masa depan.
Kate Raworth mengusulkan "tujuh cara berpikir seperti ekonom abad ke-21," kerangka kerja transformatif dalam memikirkan kembali ekonomi dengan cara yang selaras dengan tantangan dan peluang zaman kita. Prinsip -prinsip ini memandu kita beralih dari paradigma ekonomi yang sudah ketinggalan zaman dan menuju sistem yang memastikan kesetaraan sosial dan keberlanjutan ekologis.
Pertama, ubah tujuannya. Ekonomi tradisional berfokus pada pertumbuhan PDB sebagai ukuran akhir keberhasilan. Raworth berpendapat bahwa tujuan sebenarnya semestinya menciptakan ruang yang aman dan adil bagi kemanusiaan, dimana setiap orang dapat berkembang dalam batas ekologis planet ini. Hal ini mendefinisikan kembali kemajuan memprioritaskan kesejahteraan manusia dan keberlanjutan lingkungan.
Kedua, lihat the big picture-nya. Model ekonomi klasik sering menggambarkan ekonomi sebagai sistem mandiri. Raworth menyoroti pentingnya memahami ekonomi sebagai tertanam dalam masyarakat dan lingkungan alam. Keterkaitan ini membutuhkan pengenalan peran rumah tangga, komunitas, dan planet ini, bersama pasar dan pemerintah.
Ketiga, memelihara sifat manusia. Teori ekonomi telah lama menganggap manusia adalah aktor yang rasional dan mementingkan diri sendiri ("Homo Economicus"). Raworth menantang ini dengan menekankan bahwa perilaku manusia dibentuk oleh beragam motivasi, termasuk altruisme dan kerjasama. Ekonomi hendaknya menumbuhkan lingkungan yang memelihara potensi kita bagi empati dan kolaborasi.
Keempat, dapatkan kecerdikan dengan sistem. Daripada melihat ekonomi sebagai sistem mekanistik dengan hasil yang dapat diprediksi, Raworth mendesak kita memandangnya sebagai kompleks, dinamis, dan terus berkembang. Perspektif ini mendorong kebijakan adaptif dan mekanisme umpan balik guna mengatasi masalah semisal ketidaksetaraan atau perubahan iklim secara efektif.
Kelima, mendesain untuk didistribusikan. Raworth mengkritik asumsi bahwa pertumbuhan pada akhirnya akan mengurangi ketidaksetaraan (ekonomi trickle-down). Sebaliknya, ia menganjurkan merancang ekonomi untuk mendistribusikan kekayaan, sumber daya, dan peluang secara adil sejak awal, menggunakan alat -alat semisal perpajakan progresif, layanan dasar universal, dan struktur kepemilikan yang adil.
Keenam, membuat untuk meregenerasi. Alih -alih sistem ekstraktif dan linier yang menghabiskan sumber daya alam, Raworth mempromosikan sistem regeneratif dimana limbah menjadi input dan ekosistem dipulihkan. Hal ini butuh merangkul ekonomi melingkar dan merancang industri yang bekerja dengan alam, bukan menentangnya.
Ketujuh, menjadi agnostik tentang pertumbuhan. Pada abad ke -20, pertumbuhan ekonomi dipandang identik dengan kemajuan. Raworth berpendapat bahwa pada abad ke -21, ekonomi seyogyanya bertujuan tumbuh hanya sampai memenuhi tujuan sosial dan ekologis. Di luar itu, fokus semestinya bergeser ke berkembang tanpa bergantung pada ekspansi abadi, yang tak berkelanjutan.
Prinsip -prinsip ini mengundang para ekonom, pembuat kebijakan, dan warga negara agar berpikir secara berbeda tentang bagaimana ekonomi berfungsi dan apa yang ingin mereka capai. Dengan mengadopsi pendekatan ini, Raworth percaya kita dapat mengatasi tantangan global yang mendesak semisal ketidaksetaraan, perubahan iklim, dan penipisan sumber daya sambil mendorong dunia yang lebih adil dan tangguh.
Alasan kelima mengapa pembangunan penting adalah stabilitas sosial dan keadilan. Pembangunan mengurangi kesenjangan kekayaan dengan menciptakan peluang bagi semua, dan mendorong harmoni sosial. Program sosial yang didanai oleh ekonomi maju dapat mengurangi kemiskinan dan mengurangi kejahatan, karena keputusasaan sering mendorong individu menuju kegiatan ilegal.
Thomas Piketty, dalam Capital in the Twenty-First Century (2014, Harvard University Press), mengeksplorasi hubungan yang rumit antara pertumbuhan ekonomi, ketidaksetaraan, dan stabilitas masyarakat. Karyanya berfokus pada bagaimana akumulasi dan distribusi kekayaan secara historis membentuk ekonomi dan bagaimana pola -pola ini berimplikasi bagi masa depan sistem sosial dan ekonomi.
.Piketty berpendapat bahwa hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketidaksetaraan sangat dipengaruhi oleh dinamika akumulasi modal. Tesis utamanya dienkapsulasi dalam rumus r> g, dimana "r" (tingkat pengembalian modal) melebihi "g" (tingkat pertumbuhan ekonomi). Ketidaksetaraan ini, menurutnya, merupakan fitur struktural ekonomi kapitalis yang cenderung memperburuk konsentrasi kekayaan dari waktu ke waktu. Ketika laba atas investasi melebihi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, kekayaan terakumulasi secara tak proporsional di antara mereka yang memiliki modal, sementara mayoritas, yang bergantung pada upah, melihat sedikit peningkatan dalam kedudukan ekonomi mereka.
Selama periode pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seperti era pasca-Perang Dunia II, ketimpangan cenderung menyempit karena pertumbuhan memberikan lebih banyak peluang mobilitas ke atas dan bagian kekayaan yang lebih besar didistribusikan di antara populasi. Namun, disaat pertumbuhan melambat, kecenderungan kekayaan berkonsentrasi di tangan yang lebih sedikit, muncul kembali, yang mengarah pada ketimpangan yang meningkat.
Piketty menekankan bahwa ketidaksetaraan ekstrem menimbulkan risiko signifikan terhadap stabilitas sosial. Ketika kekayaan menjadi terkonsentrasi di tangan elit kecil, hal tersebut mengarah pada distorsi ekonomi dan politik yang merusak kohesi sosial. Ketimpangan membatasi peluang bagi mayoritas, menciptakan hambatan mobilitas sosial dan menumbuhkan kebencian di antara mereka yang dikecualikan dari manfaat kemajuan ekonomi.
Konsentrasi kekayaan juga diterjemahkan menjadi pengaruh politik yang tak setara, karena orang kaya menggunakan sumber daya mereka membentuk kebijakan yang menguntungkan mereka. Dinamika ini merusak demokrasi dan mengarah ke loop umpan balik dimana ketidaksetaraan melanggengkan dirinya sendiri. Piketty menyoroti paralel historis dari dinamika seperti itu, mencatat bahwa periode ketidaksetaraan ekstrem - semisal akhir abad ke -19 dan awal ke -20 - sering diikuti oleh kerusuhan sosial, ketidakstabilan politik, dan bahkan revolusi.
Melukiskan data historis yang luas, Piketty menunjukkan bahwa ketidaksetaraan tidak konstan dari waktu ke waktu tetapi bervariasi dengan kondisi ekonomi, kebijakan, dan struktur sosial. Misalnya, pengurangan yang signifikan dalam ketidaksetaraan selama pertengahan abad ke-20 didorong oleh perpajakan progresif, kebijakan kesejahteraan sosial, dan penghancuran kekayaan selama Perang Dunia. Namun, sejak 1980 -an, meningkatnya ketidaksetaraan telah didorong oleh deregulasi, globalisasi, dan berkurangnya pajak atas modal. Guna mengatasi efek destabilisasi dari ketidaksetaraan, Piketty mendukung intervensi kebijakan seperti pajak kekayaan progresif global, pajak warisan yang lebih kuat, dan investasi yang lebih besar dalam pendidikan dan barang publik. Ia berpendapat bahwa tanpa langkah-langkah seperti itu, siklus konsentrasi kekayaan yang menguatkan diri akan memperdalam ketidaksetaraan dan membahayakan stabilitas sosial dan politik.
Pada akhirnya, Piketty menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi, ketidaksetaraan, dan stabilitas sosial sangat saling berhubungan. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif dapat mengurangi ketimpangan dan menumbuhkan stabilitas, tetapi ketidaksetaraan yang tidak dicentang merusak kondisi ini, mengancam tak hanya keadilan tetapi juga fungsi ekonomi dan demokrasi yang lebih luas. Karyanya berfungsi sebagai seruan untuk mengenali dinamika ini dan menerapkan kebijakan yang memastikan distribusi kekayaan yang lebih adil, yang sangat penting guna mempertahankan harmoni sosial dan ketahanan ekonomi jangka panjang.
Dalam The Price of Inequality: How Today's Divided Society Endangers Our Future (2012, W. W. Norton & Company), Joseph Stiglitz mengeksplorasi cara -cara beragam dimana ketidaksetaraan ekonomi tak semata merusak keadilan, melainkan pula membahayakan tatanan sosial, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas politik dari sebuah masyarakat. Ia berpendapat bahwa mengurangi ketidaksetaraan bukan hanya keharusan moral, tapi juga kebutuhan praktis untuk membangun masyarakat yang lebih kuat dan lebih stabil.
Stiglitz mendefinisikan ketidaksetaraan sebagai kesenjangan pendapatan, kekayaan, dan peluang dalam masyarakat. Ia menekankan bahwa ketidaksetaraan bukan hanya tentang kesenjangan pendapatan antara orang kaya dan yang miskin tetapi juga mencakup akses ke pendidikan, perawatan kesehatan, dan pengaruh politik. Ketidaksetaraan ini, menurutnya, bukan hasil yang tak terhindarkan dari kekuatan pasar tetapi hasil dari keputusan kebijakan yang disengaja, kegagalan sistemik, dan distribusi kekuatan dan sumber daya yang tak setara.
Ia mengidentifikasi beberapa sumber ketidaksetaraan, semisal praktik monopolistik, sistem pajak yang mendukung orang kaya, dan menderegulasi pasar keuangan. Stiglitz juga mengkritik argumen "Ekonomi Trickle-Down", mencatat bahwa konsentrasi kekayaan di atas tak menguntungkan masyarakat secara keseluruhan tetapi sebaliknya mengakar hak istimewa dan membatasi mobilitas ke atas.
Joseph Stiglitz menyajikan telaah kritis tentang bagaimana masyarakat yang terpecah -belah - ditandai oleh ketidaksetaraan ekonomi dan sosial yang signifikan - yang memunculkan bahaya besar bagi masa depan demokrasi, stabilitas ekonomi, dan kohesi sosial. Ia mendefinisikan "masyarakat yang terpecah" sebagai sesuatu dimana kekayaan, kekuasaan, dan peluang sangat terkonsentrasi di tangan seorang elit kecil, meninggalkan mayoritas populasi yang terpinggirkan, dirugikan secara ekonomi, dan secara politis tak berdaya. Divisi ini melampaui kesenjangan pendapatan belaka, mencakup kesenjangan dalam akses ke pendidikan, perawatan kesehatan, dan pengaruh politik, dan mengarah pada erosi kepercayaan pada lembaga dan nilai bersama.
Bagi Stiglitz, masyarakat yang terpecah muncul ketika kekuatan sistemik - semisal pengambilan kebijakan, kegagalan pasar, dan ketidakadilan sosial - yang dapat dimiliki minoritas yang kaya mendominasi sistem ekonomi dan politik, seringkali dengan mengorbankan populasi yang lebih luas. Ini menghasilkan "ekonomi ganda," dimana satu segmen masyarakat berkembang sementara sisanya berjuang untuk mengakses kebutuhan dasar atau peluang bagi kemajuan. Ketidaksetaraan, menurut Stiglitz, bukan hanya tentang perbedaan hasil tetapi juga mencerminkan titik awal yang tidak setara dan hambatan sistemik yang melanggengkan pembagian ini dari waktu ke waktu.
Stiglitz berpendapat bahwa divisi -perpecahan yang mencolok mengancam prinsip -prinsip dasar dan fungsi masyarakat dalam beberapa cara yang saling terkait. Ketidaksetaraan ekstrem merusak stabilitas ekonomi dengan mengurangi permintaan agregat. Ketika kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang, mayoritas tak memiliki daya beli untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Ini mengarah pada stagnasi, sumber daya yang kurang dimanfaatkan, dan ekonomi yang melayani elit daripada barang kolektif. Selain itu, ketidaksetaraan memicu spekulasi keuangan, karena orang kaya mencari pengembalian yang lebih tinggi pada kelebihan kekayaan mereka, seringkali menciptakan gelembung aset dan krisis keuangan.
Sebuah masyarakat yang terbelah mendistorsi lembaga -lembaga demokratis, karena orang kaya menggunakan sumber daya mereka untuk mempengaruhi hasil politik dan membentuk kebijakan yang melayani kepentingannya. "Penangkapan politik" ini merusak prinsip representasi yang sama dan mengarah pada kekecewaan yang meluas di antara warga negara. Karena orang biasa kehilangan kepercayaan pada sistem, populisme dan ekstremisme dapat muncul, lebih jauh mengacaukan tatakelola dan harmoni sosial.
Ketidaksetaraan melemahkan ikatan yang menyatukan masyarakat. Ketika orang merasa bahwa sistem ini tidak adil dan peluang tak dapat diakses, ia membiakkan kebencian, ketidakpercayaan, dan keresahan sosial. Kurangnya pengalaman bersama dan saling pengertian antara orang kaya dan orang miskin memperburuk keterbelahan, sehingga sulit membangun masyarakat yang kohesif dan kooperatif.
Stiglitz menyoroti bagaimana ketidaksetaraan membatasi peluang bagi mayoritas, merampas masyarakat dari kontribusi potensialnya. Dikala akses ke pendidikan, perawatan kesehatan, dan modal terbatas pada segelintir orang yang diistimewakan, akan menghalangi sebagian besar populasi mencapai potensi penuh mereka, sehingga mengurangi inovasi dan produktivitas secara keseluruhan.
Masyarakat yang terbelah menantang landasan etis fairness dan justice. Stiglitz berpendapat bahwa membiarkann ketidaksetaraan ekstrem dalam mempertahankan sinyal kurangnya kepedulian terhadap martabat manusia dan berbagi tanggungjawab, akan mengarah ke masyarakat dimana adanya individualisme dan keserakahan kesejahteraan kolektif.
Guna mengatasi bahaya masyarakat yang terbelah, Stiglitz mengadvokasi kebijakan yang memprioritaskan keadilan dan inklusivitas. Ini termasuk perpajakan progresif, investasi dalam pendidikan dan perawatan kesehatan, peraturan keuangan, dan jaring keselamatan sosial yang lebih kuat. Ia menekankan bahwa ketidaksetaraan bukanlah hasil yang tak terhindarkan dari kekuatan ekonomi tetapi hasil dari pilihan yang dibuat oleh masyarakat dan pemerintah. Dengan mengatasi penyebab struktural ketidaksetaraan, masyarakat dapat membangun kembali kepercayaan, memulihkan keadilan, dan memastikan masa depan yang berkelanjutan.
Intinya, Stiglitz memperingatkan bahwa masyarakat yang terbelah, tak hanya tidak adil tetapi juga tak efisien secara ekonomi dan secara politis tidak stabil. Ketahanannya mengancam akan mengikis dasar -dasar demokrasi dan berbagi kemakmuran, menjadikannya penting untuk dihadapi dan perpecahan ini dikurangi demi kepentingan generasi saat ini dan masa depan.
Alasan keenam adalah pertumbuhan budaya dan intelektual. Pengembangan menyediakan sumber daya bagi pelestarian dan promosi warisan budaya. Hal ini juga mendukung kemajuan dalam sains, seni, dan filosofi, memperkaya identitas nasional dan berkontribusi pada pengetahuan global."