Rabu, 25 Desember 2024

Mesin Waktu (2)

"The Time Machine karya H.G. Wells merupakan eksplorasi mendalam tentang hubungan manusia dengan waktu, kemajuan, dan kerapuhan peradaban," lanjut sang penjelajah waktu. "Pada intinya, novel ini mengajak pembaca merenungkan paradoks kemajuan manusia: kemajuan teknologi dan sosial yang sama, yang memungkinkan kenyamanan dan kemudahan, juga dapat menyebabkan stagnasi dan perpecahan.
Perjalanan sang penjelajah waktu ke masa depan yang jauh mengungkap dunia yang didominasi oleh dua spesies yang berevolusi: Eloi, yang melambangkan kelemahan dan dekadensi, dan Morlock, yang mewujudkan kerja keras dan kegelapan. Dualitas ini berfungsi sebagai alegori atas konsekuensi stratifikasi sosial yang tak terkendali. Eloi, keturunan kelas penguasa, lemah dan tak memiliki tujuan, sementara Morlock, yang merupakan keturunan buruh, menjadi monster dan predator. Wells berpendapat bahwa masyarakat yang terlalu bergantung pada hierarki teknologi dan ekonomi berisiko terjerumus ke dalam keterasingan dan dehumanisasi.
Selain itu, novel ini mempertanyakan kekekalan pencapaian manusia. Reruntuhan peradaban manusia yang membusuk di masa depan, yang jauh menggarisbawahi ketidakkekalan bahkan kekaisaran terbesar sekalipun. Melalui ini, Wells menantang optimisme era Pencerahan yang melihat kemajuan sebagai sesuatu yang linier dan abadi. Sebaliknya, ia menawarkan visi siklus sejarah, dimana potensi manusia dibayangi oleh kekurangan bawaannya.
Pada tataran filosofis yang lebih luas, The Time Machine merenungkan hakikat waktu itu sendiri. Waktu bukan sekadar latarbelakang bagi usaha manusia, tetapi kekuatan yang membentuk dan akhirnya menghapusnya. Kesadaran ini dapat mengilhami kerendahan hati—mengingatkan kita bahwa keberadaan kita, hanyalah momen singkat dalam kontinum alam semesta yang luas.
Pada hakikatnya, novel Wells merupakan kisah peringatan sekaligus ajakan untuk merenungkan dimensi etika dan eksistensial dari kemajuan. Novel ini mendorong kita merenungkan arah kemajuan kita, nilai-nilai yang mendasari masyarakat kita, dan warisan yang kita tinggalkan untuk masa depan.

Mari kita balik ke The Lessons of History-nya Will dan Ariel Durant. Mereka berpendapat bahwa Monarki sepertinya merupakan bentuk pemerintahan yang paling alami karena menerapkan otoritas ayah dalam keluarga atau kepala suku dalam kelompok prajurit kepada kelompok tersebut. Jika kita menilai bentuk pemerintahan dari prevalensi dan durasinya dalam sejarah, kita akan memberikan pujian kepada monarki; demokrasi, sebaliknya, merupakan selingan yang amat sibuk.
Usai runtuhnya demokrasi Romawi dalam perang kelas Gracchi, Marius, dan Caesar, Augustus mengorganisasi, di bawah apa yang sebenarnya merupakan pemerintahan monarki, pencapaian terbesar dalam sejarah kenegarawanan—Pax Romana yang menjaga perdamaian dari 30 SM hingga 180 M di seluruh kekaisaran yang membentang dari Atlantik hingga Efrat dan dari Skotlandia hingga Laut Hitam. Setelahnya, monarki mempermalukan dirinya sendiri di bawah Caligula, Nero, dan Domitian; tetapi sesudahmya muncul Nerva, Trajan, Hadrian, Antoninus Pius, dan Marcus Aurelius—"suksesi terbaik dari para penguasa yang baik dan agung,"
Secara keseluruhan, monarki memiliki catatan yang biasa-biasa saja. Perang perebutan kekuasaan membawa banyak kejahatan bagi umat manusia sebagaimana kelangsungan atau "legitimasi" monarki membawa kebaikan. Jika bersifat turun-temurun, monarki cenderung lebih banyak mengandung kedunguan, nepotisme, tak bertanggungjawab, dan pemborosan bangsawan atau kenegarawanan. Louis XIV sering dianggap sebagai teladan raja modern, tetapi rakyat Prancis bersukacita atas kematiannya. Kompleksitas negara kontemporer tampaknya merontokkan pikiran siapa pun yang berusaha menguasainya.

Coba bayagin, tatakelola sebagai Mesin Waktu yang melakukan penjelajahan di antara dua era: rezim yang keluar dan yang masuk. Penjelajahan ini tentang bergerak melintasi waktu dan memastikan mesin (negara atau sistem) tiba di tujuannya dalam keadaan utuh. Para insinyur, pemasok bahan bakar, dan navigator memainkan peran penting dalam transisi ini. Dalam sejarah, ada beberapa contoh dimana satu rezim dan penerusnya mencapai kesepakatan mengenai regulasi tatakelola, biasanya selama transisi kekuasaan atau untuk memastikan keberlanjutan dalam administrasi. Kesepakatan semacam itu sering didokumentasikan dalam perjanjian, kode hukum, atau kerangka kerja transisi.
Meskipun bukan transisi antarrezim, Magna Carta (1215) merupakan perjanjian antara Raja John dari Inggris dan para baronnya untuk membatasi kekuasaan kerajaan dan menetapkan perlindungan hukum tertentu. Perjanjian ini menjadi teks dasar bagi tatakelola konstitusional. Perjanjian Westphalia (1648) mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa dan menetapkan prinsip kedaulatan dan non-intervensi, yang mengatur tatakelola antarnegara. Konstitusi AS (1787) merupakan hasil kesepakatan antarnegara bagian untuk mengganti Articles of Confederation dengan kerangka kerja baru untuk pemerintahan. Konstitusi ini menciptakan keseimbangan antara kekuasaan federal dan negara bagian. Ketika kekuasaan beralih dari Keshogunan Tokugawa ke pemerintahan Meiji, Restorasi Meiji di Jepang (1868) dilakukan untuk memodernisasi dan mengatur pemerintahan sambil tetap menghormati struktur tradisional tertentu untuk sementara. Kesepakatan antara pemerintah apartheid dan Kongres Nasional Afrika (ANC) menghasilkan penyusunan konstitusi baru, yang menandai transisi pemerintahan yang damai.
Transisi tatakelola pemerintahan—baik melalui revolusi, reformasi, atau negosiasi—ibarat perjalanan melintasi waktu. Mesin Waktu melambangkan mekanisme dan struktur tatakelola yang membawa sebuah negara dari satu era (rezim) ke era (rezim) lainnya.
Lebih jauh, Will dan Ariel Durant berpendapat bahwa sebagian besar pemerintahan adalah oligarki—diperintah oleh segelintir atau minoritas, yang dipilih berdasarkan keturunan,seperti dalam aristokrasi, atau oleh organisasi keagamaan seperti dalam teokrasi, atau berdasarkan kekayaan seperti dalam demokrasi.

Mesin Waktu semestinya dirancang bekerja di era yang akan keluar maupun yang akan masuk. Para oligark, sebagai 'engineers', memastikan bahwa konstruksimya selaras dengan kepentingan mereka, menanamkan mekanisme mempertahankan pengaruh mereka terlepas dari tujuannya. Bagaimana mereka melakukannya? Menyusun undang-undang atau perjanjian yang melindungi aset dan hak istimewa mereka (misalnya, kesepakatan amnesti, kebijakan ekonomi yang menguntungkan). Atau, bernegosiasi dengan para pemimpin baru guna memastikan keterlibatan mereka dalam sistem masa depan. Selama transisi dari komunisme di Eropa Timur, para oligarki menggunakan keterampilan teknik mereka untuk mengamankan aset negara yang diprivatisasi, membangun sistem baru di mana mereka tetap sangat diperlukan.
Setiap perjalanan membutuhkan bahan bakar, dan Mesin Waktu pun gak ada bedanya. Para oligark mengendalikan sumber daya penting—kekayaan, industri, atau pengaruh politik—yang berfungsi sebagai bahan bakar untuk transisi. Tanpa kontribusi mereka, mesin tersebut berisiko macet. Bagaimana mereka melakukannya? Membiayai kampanye politik, pemerintahan transisi, atau program stabilitas guna memastikan mesin tersebut terus bergerak. Atau, menawarkan konsesi, seperti menjaga agar industri tetap beroperasi selama masa yang tidak pasti. Di Afrika Selatan pasca-apartheid, para pemimpin bisnis (banyak yang berpengaruh oligarki) memberikan stabilitas ekonomi dengan menyetujui kerjasama dengan pemerintah baru sambil mengamankan kepentingan bisnis mereka.
Setelah Mesin Waktu bergerak, seseorang harus memetakan jalurnya. Para oligark selalu duduk di kursi navigator, mengarahkan mesin ke tujuan yang melindungi posisi mereka. Mereka akan membenarkan kendali ini sebagai kepentingan terbaik bangsa, dengan mengklaim bahwa pengalaman mereka memastikan perjalanan yang lebih lancar. Bagaimana mereka melakukannya? Melobi kebijakan yang sejalan dengan kepentingan mereka sembari membingkainya sebagai hal yang bermanfaat bagi bangsa. Atau, memengaruhi narasi media untuk membentuk opini publik tentang arah transisi. Di Ukraina, para oligarki secara historis mendanai partai politik dan mengendalikan outlet media, mengarahkan lintasan negara pasca-kemerdekaan Soviet untuk mendukung dominasi ekonomi mereka.

Dalam masa transisi, masyarakat sering tak yakin tentang masa depan. Para oligark memanfaatkan ketidakpastian ini dengan menyusun narasi yang memperkuat keharusan mereka atau mendiskreditkan suara-suara yang berseberangan. Menampilkan diri sebagai penstabil ekonomi atau sebagai pelindung identitas nasional untuk mendapatkan kepercayaan publik. Dengan mengendalikan narasi, oligarki dapat mengalihkan kesalahan atas masalah (misalnya, krisis ekonomi, korupsi) kepada pihak lain, seperti kekuatan eksternal, atau masyarakat itu sendiri. Opini publik adalah alat yang ampuh. Penggambaran media yang positif dapat melegitimasi tindakan oligarki, memastikan mereka tetap berpengaruh dalam sistem yang baru.
Mungkin karena ayahku seorang jurnalis, diriku termasuk orang yang sangat percaya bahwa para jurnalis dapat membuat perbedaan. Bayangkan hidup sebagai serangkaian cerita yang saling berhubungan, yang terungkap dari waktu ke waktu. Setiap kisah hidup individu berkontribusi pada pengalaman manusia kolektif, seperti bab-bab dalam buku besar yang terus berkembang. Mesin waktu melambangkan mimpi menelusuri kisah-kisah hidup ini—bukan hanya kisah kita sendiri, tetapi juga kisah masa lalu dan masa depan.
Jurnalis, dalam makna tertentu, adalah penjelajah waktu. Mereka menyelami masa lalu untuk mengungkap kebenaran, menyajikannya di masa kini, dan membentuk narasi yang akan memandu generasi mendatang. Sama seperti mesin waktu yang memungkinkan seseorang mengunjungi era yang berbeda, jurnalis melakukan perjalanan melintasi waktu dengan meneliti peristiwa sejarah, mendokumentasikan kejadian terkini, dan mempengaruhi wacana masa depan dengan pelaporan mereka.

Para jurnalis menangkap cuplikan kehidupan di berbagai titik waktu. Kisah-kisah mereka memungkinkan kita mengalami momen-momen yang tak kita alami, mirip dengan bagaimana mesin waktu akan membawa kita ke era yang berbeda. Sebagai contoh, jurnalis foto mengabadikan momen-momen penting, membuatnya dapat diakses oleh generasi mendatang. Mereka menjembatani masa lalu, masa kini, dan masa depan. Karya investigasi kerap menelusuri peristiwa dari asal-usulnya hingga impeknya saat ini, mirip dengan perjalanan melintasi waktu untuk memahami alur cerita secara utuh.
Dahulu kala, majalah paling populer di kerajaan Archipelago, "Tempo," menampilkan sampul memparodikan Prabu Petruk, yang mengangkat Vivivavi tinggi-tinggi di atas kepalanya, mirip Rafiki yang mengangkat Simba dalam "The Lion King." Warga bertanya-tanya apakah Vivivavi sewaktu-waktu bakal mendendangkan "Hakuna Matata" Akan tetapi, plot-twistnya makin ruwet ketika Vivivavi, dalam upayanya memenangkan hati rakyat, memutuskan mendistribusikan susu ke seluruh kerajaan. "Susu untuk semua!" serunya, sambil membagikan botol-botol dengan namanya terpampang di situ. Warga, meskipun bersyukur atas susu gratis itu, tak dapat menahan diri untuk tidak mengangkat alis. "Lho, ini kaan uang pajak kita?" bisik mereka di antara mereka sendiri..Yang lain pun menimpali, 'Lha, doi kaan penggemar susu!"
Dengan memberi informasi kepada publik dan meminta pertanggungjawaban penguasa, para jurnalis mempengaruhi masa depan. Pekerjaan mereka memastikan bahwa masyarakat belajar dari kesalahan masa lalu dan berjuang demi masa depan yang lebih baik. Dengan cara ini, mereka berperan sebagai penjaga waktu, membimbing umat manusia melalui perjalanan kolektifnya. Jurnalis mendokumentasikan sejarah saat itu terjadi, memastikan bahwa generasi mendatang punya catatan peristiwa penting. Ini serupa dengan kemampuan mesin waktu menyimpan momen dalam waktu guna dipelajari dan direnungkan di masa mendatang.
Akan tetapi, terlepas dari peran mulia mereka, para jurnalis menghadapi beberapa tantangan dan kekurangan. Jurnalis terkadang dapat memasukkan biasnya sendiri ke dalam pelaporan, yang mengarah pada liputan yang bias atau berat sebelah. Bernard Goldberg dalam Bias: A CBS Insider Exposes How the Media Distort the News mengkritik bias liberal yang dirasakan di media berdasarkan pengalaman Goldberg selama masa jabatannya di CBS News (2001, Regnery Publishing). Dalam perlombaan untuk mendapatkan pemirsa dan pembaca, beberapa jurnalis atau media dapat menggunakan sensasionalisme, memprioritaskan cerita yang mengejutkan atau kontroversial daripada pelaporan yang lebih substantif. W. Joseph Campbell dalam The Yellow Journalism: The Press and America’s Emergence as a World Power (2001, Bloomsbury Academic) meneliti fenomena jurnalisme kuning selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, terutama berfokus pada persaingan antara raja surat kabar William Randolph Hearst dan Joseph Pulitzer. Campbell membahas bagaimana sensasionalisme dalam pelaporan mempengaruhi persepsi dan kebijakan publik selama momen-momen sejarah yang kritis, termasuk Perang Spanyol-Amerika. Karyanya memberikan wawasan tentang bagaimana media dapat membentuk identitas nasional dan opini publik.
Media kerap mengandalkan pendapatan dari iklan, yang dapat mempengaruhi konten yang mereka hasilkan. Hal ini terkadang dapat menimbulkan konflik kepentingan atau tekanan untuk menghindari berita yang dapat membuat pengiklan kesal. Ben H. Bagdikian dalam The Media Monopoly (2000, Beacon Press) mengkritik konsolidasi kepemilikan media di Amerika Serikat, dengan menyatakan bahwa beberapa perusahaan besar mengendalikan sebagian besar media, yang membatasi keberagaman dalam liputan berita. Bagdikian menyoroti bagaimana konsentrasi ini mempengaruhi pengetahuan publik dan demokrasi, dengan menekankan perlunya lanskap media yang lebih pluralistik.
Dalam kesibukan menyampaikan berita, jurnalis terkadang melaporkan informasi yang tidak akurat atau tidak lengkap, yang menyebabkan penyebaran misinformasi. Edward S. Herman dan Noam Chomsky dalam Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (1988, Pantheon Books) menganalisis bagaimana media massa melayani kepentingan elit melalui "model propaganda" yang mempengaruhi produksi berita. Herman dan Chomsky berpendapat bahwa konten media dibentuk oleh faktor ekonomi dan agenda politik, yang menyebabkan pelaporan bias yang sering melayani entitas yang kuat daripada kepentingan publik.
Jurnalis, terutama yang meliput konflik atau wilayah berbahaya, menghadapi risiko fisik dan psikologis yang berarti. Hal ini dapat mempengaruhi well-being dan kualitas pelaporan mereka. Ray Moseley dalam Reporting War: How Foreign Correspondents Risk Capture, Injury and Death to Bring Us the News (2018, Yale University Press) mengeksplorasi tantangan yang dihadapi oleh koresponden asing selama masa perang, merinci pengalaman dan pengorbanan mereka saat meliput konflik seperti Perang Dunia II. Moseley menyoroti evolusi pelaporan perang dan signifikansinya dalam membentuk pemahaman publik tentang peristiwa global. Ini berfungsi sebagai catatan sejarah dan penghargaan bagi para jurnalis yang mempertaruhkan nyawa mereka demi pelaporan yang akurat.
Kepercayaan publik terhadap media makin terkikis oleh adanya bias yang dirasakan atau nyata, sensasionalisme, dan misinformasi. Ketidakpercayaan ini dapat melemahkan peran penting jurnalis dalam masyarakat. Dalam buku provokatifnya, Ryan Holiday (Trust Me, I'm Lying: Confessions of a Media Manipulator, 2012 Portfolio) mengungkap pengalamannya sebagai ahli strategi media yang memanipulasi jurnalisme daring untuk tujuan promosi. Ia mengkritik keadaan media berita saat ini, khususnya bagaimana blog mendorong sensasionalisme dan dapat dengan mudah dipengaruhi untuk keuntungan komersial. Ia membahas taktik yang digunakan untuk mengeksploitasi lanskap media, yang menimbulkan pertanyaan tentang etika dalam jurnalisme dan pemasaran.
Intinya, meskipun kita mungkin tak memiliki mesin waktu fisik, para jurnalis menjalankan fungsi yang sama dengan melintasi garis waktu pengalaman manusia, mengawetkan masa lalu kita, mengkaji masa kini kita, dan mempengaruhi masa depan kita. Merekalah pencatat sejarah dan penjelajah waktu dunia kita, yang memastikan bahwa kisah kehidupan dituturkan dalam segala kekayaan dan kompleksitasnya. Namun, seperti usaha manusia lainnya, jurnalisme bukannya tanpa kekurangan dan tantangan. Melalui pemahaman dan penanganan kekurangan inilah, kita dapat memperjuangkan lanskap media yang lebih informatif, berimbang, dan dapat dipercaya.

Sementara Mesin Waktu bergerak melalui transisi tatakelola, rakyat—yang dilambangkan sebagai Kehidupan—adalah penumpangnya. Pengalaman mereka dalam perjalanan mencerminkan harapan, perjuangan, dan tantangan saat mereka menavigasi medan perubahan yang tak pasti. Sebagian besar penumpang di Mesin Waktu tak memiliki kendali langsung atas pengoperasiannya. Mereka bergantung pada para insinyur dan navigator membawa mereka dengan selamat ke masa depan yang lebih baik, meskipun sering mengorbankan kenyamanan dan kesetaraan mereka. Kesenjangan kekayaan selalu melebar karena oligarki memprioritaskan kepentingan mereka di atas kesejahteraan publik. Beban transisi—seperti ketidakpastian ekonomi atau ketidakstabilan politik—jatuh secara tidak proporsional pada warga negara biasa. Di Rusia selama tahun 1990-an, terdapat upaya privatisasi memperkaya oligarki sembari menjerumuskan jutaan orang ke dalam kemiskinan dan pengangguran.
Walau tak punya kendali, para penumpang berpegang teguh pada impian mencapai tujuan yang lebih baik. Harapan-harapan ini—pada demokrasi, kesetaraan, atau kemakmuran—menopang mereka melewati turbulensi perjalanan. Akan tetapi, kaum oligark sering memanipulasi impian-impian ini, menghadirkan ilusi kemajuan sambil mempertahankan status quo. Warga negara mungkin awalnya mendukung transisi, dengan percaya bahwa transisi akan membawa perubahan positif, tetapi kemudian mendapati dirinya berada dalam sistem yang tak adil seperti sebelumnya. Setelah Arab Spring, beberapa negara mengalami kembalinya dominasi oligarki atau otokratik, yang meluluhlantakkan harapan publik akan reformasi yang berarti. Namun, pemberontakan sering berujung pada kekacauan, kekosongan kekuasaan, atau kontra-revolusi, yang lebih merugikan rakyat biasa daripada kaum oligarki. Di Venezuela, protes publik terhadap korupsi dan salah urus oligarki telah menyebabkan krisis politik dan ekonomi yang terus berlanjut.

Interaksi antara Mesin Waktu dan Kehidupan menentukan keberhasilan akhir dari transisi tatakelola. Para oligark, kendati memegang kendali, bergantung pada para penumpang agar mendapatkan legitimasi dan produktivitas, sementara para penumpang bergantung pada para oligark guna beroleh kepemimpinan dan sumber daya. Penumpang mempercayai para oligark memimpin dengan penuh tanggungjawab, tetapi para oligark kerap mengeksploitasi kepercayaan ini demi keuntungan pribadi. Penumpang membayangkan masa depan yang lebih baik, sementara para oligark memastikan destinasi tersebut sangat mirip dengan masa lalu untuk mempertahankan kekuasaan mereka.

Dan, waktuku habis, sudah saatnya membalikkan timer pasirku untuk lanjut ke sesi berikutnya."