"Suatu hari, seorang gadis bertanya kepada ibunya, 'Apa beda antara wanita lajang dan wanita yang udah nikah?' 'Wanita lajang pulang ke rumah, melihat apa yang ada di tayangan TV, lalu pergi tidur. Wanita yang udah nikah pulang ke rumah, melihat apa yang ada di tempat tidur, trus, nonton TV,' jawab sang ibu."
"Perpajakan punya sejarah yang panjang dan rumit, berkembang dari sumbangan primitif di masyarakat kuno hingga sistem rumit yang kita kenal saat ini. Asal-usulnya dapat ditelusuri kembali ke komunitas terorganisasi paling awal, dimana para pemimpin mengenakan pungutan untuk mendukung upaya bersama semisal peperangan, upacara keagamaan, dan pembangunan infrastruktur.
Di Mesopotamia kuno (sekitar 3000 SM), pajak dikumpulkan dalam bentuk barang-barang seperti ternak atau tanaman, yang mendukung ekonomi kuil dan pekerjaan umum. Demikian pula di Mesir kuno, Firaun menggunakan sistem pajak untuk merawat aparatur negara dan proyek-proyek konstruksi monumental semisal piramida. Dalam masyarakat ini, perpajakan bukan merupakan struktur hukum, melainkan lebih merupakan kewajiban yang diterima oleh para penguasa atau para dewa.
Konsep perpajakan sebagai kewajiban hukum mulai diformalkan dalam peradaban klasik. Di Romawi kuno, pajak dikumpulkan berdasarkan hukum negara, semisal upeti, pajak langsung yang dikenakan kepada warga negara untuk membiayai kampanye militer. Kodifikasi hukum Romawi, seperti Twelve Tables, mulai mengintegrasikan kewajiban pajak ke dalam kerangka kerja sistematis, yang menandakan pergeseran dari pungutan informal ke pengumpulan pendapatan yang disepakati negara.
Selama periode abad pertengahan, feodalisme Eropa menerapkan pendekatan yang lebih terdesentralisasi. Para bangsawan mengumpulkan pajak dari bawahan mereka sebagai imbalan atas perlindungan dan penggunaan lahan. Namun, seiring dengan semakin kuatnya monarki, raja-raja memberlakukan pajak yang lebih luas, semisal Danegeld di Inggris, pajak lahan yang awalnya dimaksudkan mendanai pertahanan terhadap serangan Viking.
Salah satu perkembangan penting adalah Magna Carta (1215), yang membatasi perpajakan sewenang-wenang dengan mengharuskan raja meminta persetujuan dari dewannya sebelum mengenakan pungutan baru. Hal ini menjadi preseden bagi perpajakan legal dan meletakkan dasar bagi sistem parlementer yang menghubungkan perpajakan dengan perwakilan.
Era Pencerahan mengantarkan pada pembahasan filosofis tentang tatakelola, hak individu, dan perpajakan. Pemikir seperti Adam Smith, dalam The Wealth of Nations (1776, W. Strahan dan T. Cadell), berpendapat bahwa pajak haruslah adil, pasti, dan mudah, yang menjadi dasar prinsip pajak modern.
Revolusi Prancis dan Amerika selanjutnya membentuk undang-undang perpajakan, yang menekankan gagasan 'no taxation without representation (tiada pajak tanpa perwakilan).' Konstitusi AS (1789) menetapkan perpajakan federal dalam kerangka hukum, yang memberikan wewenang kepada Kongres untuk memungut pajak berdasarkan Pasal I, Bagian 8.
Pada abad ke-19 dan ke-20, perpajakan menjadi sarana penting bagi pendapatan negara dan kebijakan sosial. Pengenalan pajak penghasilan, yang pertama kali diterapkan di Inggris pada tahun 1799 selama Perang Napoleon, dan kemudian di Amerika Serikat melalui Amandemen ke-16 (1913), menandai era baru. Pemerintah sekarang memungut pajak untuk mendanai barang publik, kesejahteraan, dan stabilitas ekonomi.
Perpajakan diakui secara universal sebagai fungsi hukum negara melalui kodifikasi dalam konstitusi, undang-undang, dan perjanjian internasional. Sebagai contoh, Dana Moneter Internasional (IMF) menyoroti perpajakan sebagai landasan pembangunan negara dalam Revenue Mobilization in Developing Countries (2011, IMF Publications).
Esai Joseph A. Schumpeter 'The Crisis of the Tax State' (1918, awalnya diterbitkan dalam bahasa Jerman; selanjutnya diterjenahkan oleh Transaction Publishers) meneliti tantangan struktural dan fiskal yang dihadapi negara-negara modern saat mereka beralih dari sistem ekonomi pra-modern ke sistem ekonomi modern. Analisis Schumpeter berakar pada teori-teorinya yang lebih luas tentang kapitalisme, pembangunan negara, dan kebijakan fiskal. Ia mengeksplorasi bagaimana negara berevolusi dari sistem feodal, dimana pendapatan utamanya berasal dari kepemilikan tanah dan upeti ke sistem berbasis pajak modern. Ia menyoroti pergeseran dalam fondasi fiskal negara, menekankan bahwa negara-negara modern sangat bergantung pada pajak, terutama dari kegiatan industri dan komersial, dibandingkan dengan sistem lama yang didasarkan pada sewa atau penaklukan.
Negara-negara modern saling terkait erat dengan ekonomi kapitalis. Ketergantungan ini berarti bahwa kesehatan fiskal negara terkait erat dengan kinerja ekonomi swasta. Schumpeter berpendapat bahwa setiap gangguan dalam ekonomi kapitalis—semisal krisis atau perang—mengancam kemampuan negara mengumpulkan pendapatan dan mempertahankan fungsinya. Ia membahas keterbatasan inheren perpajakan. Pajak yang berlebihan berisiko merusak produktivitas ekonomi dan mengasingkan penduduk, sementara perpajakan yang tak memadai tak mampu memenuhi tuntutan negara-negara modern yang terus meningkat.
Schumpeter menyoroti ketegangan antara kebutuhan akan pendapatan publik dan penolakan individu dan bisnis terhadap peningkatan beban pajak. Perang memainkan peran penting dalam perluasan fungsi negara dan sistem pajak. Tekanan fiskal perang memaksa negara berinovasi dalam pengumpulan pendapatan, yang mengarah pada pengembangan sistem pajak modern. Namun, ia memperingatkan bahwa tekanan keuangan perang dapat menyebabkan utang yang tak berkelanjutan dan potensi fiscal collapse.
Schumpeter berpendapat bahwa negara-negara modern pada dasarnya rentan terhadap krisis oleh ketergantungan mereka pada ekonomi kapitalis yang bersifat siklus dan tidak stabil. Ia berpendapat bahwa krisis fiskal merupakan gejala dari tantangan politik dan ekonomi yang lebih luas, yang berpotensi menyebabkan kemunduran negara atau memerlukan perubahan transformatif dalam tatakelola dan organisasi ekonomi. Schumpeter menghubungkan krisis fiskal dengan ketidakstabilan sosial politik. Ketika negara berjuang memenuhi tuntutan fiskalnya, ketidakpuasan publik dapat meningkat, yang mengarah pada pergolakan politik. Ia menyiratkan bahwa kesehatan fiskal negara bukan sekadar masalah ekonomi, tapi juga merupakan faktor penting dalam legitimasi dan stabilitas negara.
Filosofi perpajakan mengeksplorasi prinsip, tujuan, dan landasan etika yang mendasari pengenaan dan pemungutan pajak. Para pemikir dari berbagai periode sejarah telah menawarkan perspektif yang mencerminkan konteks sosial, ekonomi, dan politik pada masanya. Filosofi perpajakan membahas pertanyaan tentang keadilan, kewajaran, efisiensi, dan peran negara dalam mendistribusikan kembali kekayaan dan menyediakan barang publik.
Para pemikir seperti Aristoteles dan John Rawls menekankan keadilan, dimana pajak dipungut berdasarkan kemampuan membayar dan digunakan untuk mengurangi ketimpangan. John Locke dan Jean-Jacques Rousseau berfokus pada perlunya sistem perpajakan untuk mencerminkan keinginan dan persetujuan kolektif yang diperintah. Adam Smith dan Henry George menyoroti pentingnya meminimalkan distorsi ekonomi dan memastikan bahwa pajak melayani barang publik secara efektif. Dalam The Wealth of Nations (1776), Smith menjabarkan empat prinsip perpajakan: Ekuitas (Pajak harus proporsional dengan pendapatan atau kemampuan membayar; Kepastian (Kewajiban pajak harus jelas dan dapat diprediksi); Kenyamanan (Pajak harus dipungut dengan cara yang meminimalkan ketidaknyamanan bagi pembayar pajak); Efisiensi (Pajak harus meningkatkan pendapatan yang diperlukan tanpa beban yang berlebihan atau distorsi ekonomi), Smith memandang pajak sebagai hal yang penting untuk mendanai barang publik seperti infrastruktur, pertahanan, dan pendidikan, yang bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Pemikir seperti Robert Nozick mengkritik perpajakan dari perspektif libertarian, menekankan hak individu atas redistribusi kolektif.
Kebijakan-kebijakan pajak merupakan alat untuk stabilitas ekonomi makro. Dengan menyesuaikan tarif dan struktur pajak, pemerintah dapat mempengaruhi inflasi, konsumsi, dan tabungan. Selama masa krisis ekonomi, pengurangan atau kredit pajak dapat merangsang permintaan dan menghidupkan kembali aktivitas ekonomi. Sebaliknya, pajak yang lebih tinggi selama periode pertumbuhan ekonomi dapat mengekang inflasi dan mengurangi defisit fiskal. Kaenanya, pajak berfungsi sebagai mekanisme penyeimbang, yang memastikan pertumbuhan berlanjut dari waktu ke waktu. Sistem pajak yang terstruktur dengan baik memperkuat tatakelola dengan mendorong kontrak sosial antara warga negara dan negara. Ketika individu dan bisnis membayar pajak, mereka cenderung menuntut akuntabilitas dan transparansi dalam cara penggunaan dana publik. Dinamika ini memberi insentif kepada pemerintah agar bertindak secara bertanggungjawab, mengurangi korupsi, dan meningkatkan kepercayaan publik. Dalam demokrasi, pendapatan pajak mendukung janji-janji elektoral, yang menghubungkan tatakelola dengan prioritas warga negara.
Menentukan jumlah pajak yang optimal merupakan tindakan penyeimbangan yang rumit bagi para pembuat kebijakan. Pajak hendaknya menghasilkan pendapatan yang cukup untuk mendanai layanan publik dan inisiatif pembangunan tanpa membebani warga negara atau menghambat kegiatan ekonomi. Mencapai keseimbangan ini memerlukan pertimbangan cermat terhadap faktor ekonomi, sosial, dan politik. Para pembuat kebijakan seyogyanya menilai kapasitas ekonomi penduduk, efektivitas belanja publik, dan konteks ekonomi makro yang lebih luas guna memastikan pajak memadai dan dapat ditoleransi.
Pertimbangan utama dalam menentukan tingkat pajak adalah kapasitas ekonomi penduduk dan bisnis untuk menanggung beban pajak. Para pembuat kebijakan perlu menilai faktor-faktor seperti tingkat pendapatan, pola konsumsi, dan ukuran ekonomi informal. Di negara-negara berpendapatan rendah, tarif pajak yang tinggi dapat memperburuk kemiskinan dan mendorong aktivitas ekonomi ke sektor informal, sehingga mengurangi kepatuhan secara keseluruhan. Sebaliknya, di negara-negara berpendapatan tinggi, sistem pajak progresif dapat mengenakan tarif yang lebih tinggi pada individu yang lebih kaya tanpa gangguan ekonomi yang signifikan. Memperluas basis pajak—dengan memformalkan ekonomi informal dan mengurangi pengecualian pajak—seringkali lebih efektif daripada menaikkan tarif pajak. Pendekatan ini mendistribusikan beban pajak secara lebih adil dan mengurangi risiko membebani kelompok tertentu.
Perpajakan pada dasarnya terkait dengan kepercayaan dan persepsi publik. Tingkat pajak yang dapat ditoleransi dalam skala makro bergantung pada apakah masyarakat menganggap bahwa pendapatan pajak digunakan secara efektif dan adil. Warga negara cenderung menerima pajak yang lebih tinggi jika mereka melihat manfaat nyata, seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur yang berkualitas. Korupsi, inefisiensi, dan salah urus mengikis kepercayaan dan membatasi keinginan publik mematuhi kewajiban perpajakan.
Toleransi pajak juga bervariasi secara budaya dan politik. Di beberapa negara Skandinavia, warga negara menoleransi pajak yang tinggi karena sistem kesejahteraan mereka yang luas. Sebaliknya, negara-negara dengan penyediaan layanan publik yang lebih lemah akan menghadapi penolakan bahkan pun terhadap tingkat pajak yang moderat.
Kebijakan pajak harus mempertimbangkan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi. Pajak yang berlebihan terhadap bisnis dan individu dapat menghambat kewirausahaan, inovasi, dan penciptaan lapangan kerja. Pajak perusahaan yang tinggi, misalnya, dapat menyebabkan pelarian modal atau menghalangi investasi asing langsung. Para pembuat kebijakan harus mencapai keseimbangan antara menghasilkan pendapatan dan mempertahankan lingkungan ekonomi yang kompetitif. Insentif pajak yang ditargetkan, seperti tarif yang lebih rendah bagi bisnis kecil atau kredit pajak untuk penelitian dan pengembangan, dapat merangsang pertumbuhan sembari tetap berkontribusi terhadap pendapatan publik. Namun, insentif tersebut harus dipantau secara cermat guna mencegah penyalahgunaan atau kerugian pendapatan yang tidak perlu.
Pajak mempengaruhi konsumsi, tabungan, dan investasi, yang merupakan pendorong utama stabilitas ekonomi makro. Misalnya, pajak tak langsung seperti pajak pertambahan nilai (PPN) dapat secara tidak proporsional memengaruhi rumah tangga berpendapatan rendah, mengurangi daya beli mereka dan, pada gilirannya, permintaan agregat. Para pembuat kebijakan harus memastikan bahwa struktur pajak tidak regresif dan tak mengganggu aktivitas ekonomi. Elastisitas pajak—responsivitas pendapatan pajak terhadap perubahan aktivitas ekonomi—merupakan faktor penting lainnya. Selama masa ekonomi berkembang pesat, pendapatan dan laba yang lebih tinggi secara alami menghasilkan lebih banyak pendapatan pajak tanpa menaikkan tarif. Selama masa kemerosotan, kebijakan pajak yang terlalu kaku dapat memperburuk kontraksi ekonomi. Para pembuat kebijakan sering membandingkan tingkat pajak dengan negara-negara lain di kawasan dan dunia untuk mempertahankan daya saing. Misalnya, negara-negara yang bersaing mendapatkan investasi asing dapat menerapkan tarif pajak perusahaan yang lebih rendah agar menarik perusahaan multinasional. Namun, terlibat dalam "a race to the bottom" dapat merusak pembangunan jangka panjang dengan mengikis basis pajak. Menyeimbangkan tarif pajak yang kompetitif dengan perolehan pendapatan yang memadai sangatlah penting.
Kebijakan-kebijakan pajak seyogyanya dirancang dengan mempertimbangkan keberlanjutan jangka panjang. Peningkatan pendapatan jangka pendek dari tarif pajak yang tinggi dapat berdampak negatif dalam jangka panjang jika menghambat kepatuhan atau aktivitas ekonomi. Reformasi pajak bertahap, ditambah dengan upaya meningkatkan administrasi pajak dan mengurangi penghindaran pajak, merupakan pendekatan yang lebih berkelanjutan.
Jonathan Gruber dalam Public Finance and Public Policy (edisi ke-5, 2016, Worth Publishers), inefisiensi pajak dibahas sebagai distorsi yang disebabkan oleh perpajakan yang menyebabkan individu atau perusahaan mengubah perilaku mereka dengan cara yang mengurangi kesejahteraan ekonomi secara keseluruhan. Inefisiensi ini muncul terutama karena penyimpangan dari alokasi sumber daya optimal yang akan terjadi jika tidak ada pajak.
Gruber mengidentifikasi beberapa sumber inefisiensi pajak, termasuk Deadweight Loss (hilangnya efisiensi ekonomi ketika sistem pajak menyebabkan orang mengubah perilaku mereka untuk menghindari pajak, semisal bekerja lebih sedikit, menabung lebih sedikit, atau mengonsumsi secara berbeda); Distorsi Perilaku (pajak dapat mempengaruhi keputusan tentang pasokan tenaga kerja, tabungan, investasi, dan konsumsi, yang kerap mengarah pada hasil yang kurang optimal dibandingkan dengan skenario bebas pajak); Biaya Kompleksitas (kode pajak yang rumit dapat menyebabkan inefisiensi karena individu dan bisnis menghabiskan waktu dan sumber daya untuk mematuhi atau memanfaatkan celah hukum). Gruber menekankan bahwa kebijakan pajak semestinya bertujuan meminimalkan inefisiensi ini sambil mencapai tujuan redistribusi dan peningkatan pendapatan secara efektif.
Bernard SalaniƩ, dalam The Economics of Taxation (2003, MIT Press), membahas berbagai distorsi yang disebabkan oleh kebijakan pajak. Pajak atas pendapatan tenaga kerja mengurangi upah setelah pajak, sehingga membuat individu enggan menyediakan tenaga kerja dan berpotensi mengurangi partisipasi pasar tenaga kerja secara keseluruhan. Pajak pendapatan atas modal dapat mendistorsi keputusan menabung, yang mengarah pada tingkat tabungan dan investasi yang lebih rendah, yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Perpajakan diferensial atas barang dan jasa dapat mendistorsi pilihan konsumen, yang mengarah pada inefisiensi dalam pola konsumsi. Pajak atas pengembalian investasi berisiko dapat mengurangi insentif kewirausahaan dan inovasi dengan menghukum aktivitas berisiko tinggi dan berhadiah tinggi. Pajak perusahaan dapat mendistorsi keputusan tentang investasi, pembiayaan (utang versus ekuitas), dan repatriasi laba, yang memengaruhi perilaku dan daya saing perusahaan. Pajak yang tinggi atau kompleks dapat memberi insentif kepada individu dan perusahaan dalam strategi penghindaran atau langsung berkelit, mengurangi basis pajak dan meningkatkan biaya kepatuhan. Pajak atas perdagangan atau pergerakan modal lintas batas dapat mendistorsi aktivitas ekonomi internasional, yang menyebabkan alokasi sumber daya global menjadi tidak optimal. Distorsi ini menggarisbawahi adanya trade-off yang dihadapi para pembuat kebijakan dalam merancang sistem pajak yang bertujuan menyeimbangkan keadilan, efisiensi, dan perolehan pendapatan.
Dalam Taxing the Rich: A History of Fiscal Fairness in the United States and Europe (2016, Princeton University Press), Kenneth Scheve dan David Stasavage meneliti dinamika historis perpajakan atas kekayaan dan pendapatan. Mereka berpendapat bahwa kebijakan pajak yang tidak adil dapat menyebabkan konsekuensi politik dan sosial yang signifikan. Ketika sistem pajak dianggap lebih memihak orang kaya, kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga mereka dapat berkurang, yang mengarah pada ketidakpuasan politik dan berkurangnya keterlibatan warga negara. Perpajakan yang tidak adil sering memicu reaksi keras, yang memunculkan gerakan populis dan ketidakstabilan politik karena warga negara menuntut kebijakan yang lebih adil untuk mengatasi kesenjangan tersebut. Kebijakan pajak yang tidak adil memperburuk ketimpangan pendapatan dan kekayaan, mendorong perpecahan sosial, dan merusak rasa persatuan dalam masyarakat. Secara historis, periode ketidakadilan yang dirasakan dalam kebijakan pajak telah menyebabkan seruan reformasi, terutama selama masa perang atau krisis ekonomi, ketika tuntutan bagi pengorbanan bersama menjadi lebih jelas.
Global Tax Fairness oleh Thomas Pogge dan Krishen Mehta (2016, Oxford University Press), mengeksplorasi implikasi global yang mendalam dari kebijakan pajak, khususnya berfokus pada tax havens dan ketidakadilan dalam sistem pajak internasional. Karya tersebut berpendapat bahwa isu-isu ini memperburuk ketimpangan dan menghambat pembangunan ekonomi, terutama di negara-negara berkembang. Tax havens (Surga pajak) memungkinkan perusahaan multinasional dan individu kaya menghindari pajak, sehingga merampas pendapatan penting negara-negara—terutama negara-negara berpenghasilan rendah—terhadap layanan publik dan infrastruktur. Pogge dan Mehta menyoroti bagaimana praktik-praktik ini berkontribusi pada kesenjangan kekayaan yang semakin lebar dan merusak kepercayaan terhadap tatakelola pemerintahan
Sistem pajak global secara tak proporsional menguntungkan negara-negara maju. Negara-negara berkembang sering menghadapi tantangan dalam mengenakan pajak pada perusahaan multinasional secara efektif karena keterbatasan sumber daya dan keahlian, serta alokasi hak perpajakan yang tidak adil. Ketidakseimbangan ini melanggengkan ketergantungan dan ketimpangan ekonomi. Pogge dan Mehta membingkai isu-isu ini dalam konteks keadilan global, dengan menyatakan bahwa sistem pajak saat ini melanggar prinsip-prinsip keadilan dan solidaritas. Mereka menganjurkan reformasi yang akan mendistribusikan kembali hak-hak perpajakan dan meningkatkan transparansi guna memastikan sistem global yang lebih adil.
Kebijakan pajak hendaknya dirancang dengan mempertimbangkan keberlangsungan jangka panjang. Peningkatan pendapatan jangka pendek dari tarif pajak yang tinggi dapat berefek negatif jangka panjang jika menghambat kepatuhan atau aktivitas ekonomi. Reformasi pajak bertahap, ditambah dengan upaya meningkatkan administrasi pajak dan mengurangi penghindaran pajak, merupakan pendekatan yang lebih berkelanjutan. Kode pajak yang rumit dapat menyebabkan biaya kepatuhan yang signifikan bagi pembayar pajak. Bisnis, khususnya, akan perlu mempekerjakan akuntan dan ahli hukum guna menavigasi peraturan yang rumit, mengalihkan sumber daya dari kegiatan produktif. Kebijakan pajak yang bergantung pada sektor tertentu, semisal minyak atau pariwisata, rentan terhadap fluktuasi pasar. Kemerosotan ekonomi dapat menyebabkan penurunan tajam dalam pendapatan pajak, menciptakan defisit anggaran dan menghambat belanja publik. Pajak tidak langsung yang tinggi, semisal bea cukai atas barang dan jasa, dapat berkontribusi terhadap inflasi, meningkatkan biaya hidup. Hal ini dapat mengurangi daya beli konsumen dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Kebijakan pajak yang sangat membebani laba dari kekayaan intelektual, penelitian, atau kemajuan teknologi dapat menghambat inovasi dan memperlambat kemajuan teknologi. Ketidakadilan atau penyalahgunaan pendapatan pajak yang dirasakan dapat menyebabkan ketidakpuasan masyarakat dan penolakan terhadap kebijakan pajak. Hal ini dapat terwujud dalam bentuk protes, peningkatan penghindaran pajak, atau ketidakstabilan politik.
Guna meminimalkan kerugian ini, pembuat kebijakan hendaknya memastikan bahwa kebijakan pajak: Adil dan setara, dengan struktur progresif melindungi kelompok berpenghasilan rendah; Efisien, meminimalkan biaya kepatuhan dan beban administratif; Transparan, membangun kepercayaan dan mendorong kepatuhan; Fleksibel, beradaptasi dengan perubahan kondisi ekonomi dan menghindari ketergantungan berlebihan pada basis pajak yang sempit."
Sebelum mengakhiri pembicaraan, Barbie berkata, "Pembangunan sangat penting bagi sebuah negara karena beberapa alasan kuat yang mencakup dimensi ekonomi, sosial, dan politik. Upaya pembangunan sangat penting bagi sebuah bangsa karena mengarah pada kemakmuran ekonomi, pemerataan sosial, peningkatan sistem kesehatan dan pendidikan, peningkatan kedudukan global, dan tatakelola yang berkelanjutan. Masing-masing faktor ini berkontribusi bukan hanya pada well-being individu, tapi juga pada stabilitas dan ketahanan masyarakat secara keseluruhan."
Perbincangan Barbie berakhir saat ia melantunkan Barbie Girl-nya Aqua,