"Guru memberitahu ayah Joni kecil, 'Putra bapak nyontek semua jawaban Lily, murid terbaik di kelas!' 'Apa iya Bu?' tanya sang ayah.
'Iya pak, soalnya, Lily gak tahu jawaban pertanyaan pertama, ia menulis: 'Aku tidak tahu', dan anak bapak ikutan nulis: 'Aku juga!'."
"Dalam Culture and Imperialism (1993, New York: Knopf), Edward Said meneliti hubungan rumit antara perkembangan budaya dan identitas nasional, dengan menyajikannya sebagai sesuatu yang saling terkait erat dan dibentuk oleh dinamika kolonialisme dan imperialisme yang lebih luas. Said berpendapat bahwa budaya bukan sekadar gudang statis pencapaian artistik atau intelektual, tapi juga tempat kekuasaan dan perlawanan, yang terkait erat dengan kekuatan historis dan politik yang menentukan bangsa dan identitasnya.
Said mengeksplorasi bagaimana produksi budaya—sastra, musik, seni, dan bentuk-bentuk lainnya—telah digunakan baik sebagai alat mendominasi kekaisaran maupun sebagai media perlawanan terhadapnya. Ia mengidentifikasi bagaimana kekuatan Barat menggunakan narasi budaya mereka melegitimasi kekuasaan kolonial, menanamkan ideologi imperialis dalam karya-karya yang menggambarkan masyarakat non-Eropa sebagai "the Other"—eksotik, terbelakang, atau tak mampu memerintah diri sendiri. Melalui analisis terperinci terhadap karya-karya penulis seperti Joseph Conrad (Heart of Darkness) dan Jane Austen (Mansfield Park), Said menggambarkan bagaimana sastra Barat sering memperkuat hierarki kolonial, membingkai kekaisaran sebagai misi peradaban.
Namun, budaya juga menjadi tempat perlawanan dimana masyarakat terjajah menegaskan identitas nasional mereka terhadap kekuatan imperialisme yang bersifat homogen. Penulis dan pemikir pascakolonial, semisal Chinua Achebe, berperan penting dalam merebut kembali dan membentuk kembali narasi untuk mencerminkan realitas dan aspirasi masyarakatnya. Melalui karyanya, ia menantang penggambaran kolonial atas sejarah dan identitasnya, menonjolkan perspektif masyarakat adat, dan mendefinisikan ulang perkembangan budaya dalam hal penentuan nasib sendiri.
Said menekankan bahwa identitas nasional dalam konteks pascakolonial bukanlah konstruksi murni yang tak terbantahkan, melainkan konstruksi yang dibentuk secara mendalam oleh pertemuan kolonial. Proses dekolonisasi, baik politik maupun budaya, kerap melibatkan negosiasi yang menyakitkan antara pemaksaan budaya kekaisaran dan reklamasi tradisi pra-kolonial atau adat. Negosiasi ini mencerminkan ketegangan yang lebih luas: bagaimana membangun identitas nasional modern sambil bergulat dengan warisan budaya kolonialisme.
Dalam Culture and Imperialism, Said menggunakan konsep "overlapping territories, intertwined histories (wilayah yang tumpang tindih, sejarah yang saling terkait)" untuk menyatakan bahwa identitas nasional tak dapat dipahami secara terpisah. Sejarah penjajah dan yang dijajah tak dapat dipisahkan, sehingga menghasilkan identitas dan budaya hibrida yang memperumit gagasan sederhana tentang kembalinya kemurnian prakolonial. Ia mengutip contoh dari literatur dan sejarah untuk menunjukkan bagaimana perkembangan budaya di Global Selatan sering memanfaatkan pengalaman imperialisme sekaligus menolak dasar-dasar ideologisnya.
Bagi Said, budaya merupakan cerminan sekaligus medan pertempuran bagi identitas nasional. Perjuangan guna mengartikulasikan identitas nasional pascakolonisasi sering terjadi dalam lingkup budaya, dimana penafsiran ulang sejarah dan tradisi memainkan peran utama. Di negara-negara yang baru bangkit dari kekuasaan kolonial, produksi budaya menjadi sarana untuk menegaskan kedaulatan—tak hanya secara politis, tetapi juga dalam ranah gagasan dan nilai.
Akan tetapi, proses ini sarat dengan kontradiksi. Sementara masyarakat pascakolonial berusaha menjauhkan diri dari pengaruh budaya bekas penjajah mereka, mereka juga menyadari efek transformatif dari modernitas kolonial. Said mengkaji bagaimana dualitas ini terwujud dalam karya intelektual dan seniman pascakolonial yang terlibat dengan bentuk-bentuk budaya Barat untuk mengkritik imperialisme dan mengartikulasikan visi masa depan bangsa mereka.
Culture and Imperialism karya Edward Said menyajikan perkembangan budaya dan identitas nasional sebagai sesuatu yang tak dapat dipisahkan, dibentuk oleh warisan imperialisme dan perjuangan yang terus berlangsung guna mendefinisikan diri pascakolonial. Dengan menyoroti interaksi antara dominasi dan perlawanan dalam lingkup budaya, Said menggarisbawahi potensi transformatif budaya dalam membentuk identitas nasional. Analisisnya mendorong para pembaca melihat identitas budaya dan nasional bukan sebagai sesuatu yang tetap atau tunggal, tetapi sebagai sesuatu yang dinamis, diperebutkan, dan sangat terkait dengan sejarah kekuasaan kekaisaran dan konsekuensi buruknya.
Dalam Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (2016, Harper), Yuval Noah Harari mengeksplorasi peran pertumbuhan intelektual dalam membentuk lintasan masa depan bangsa dengan menekankan kekuatan transformatif dari keyakinan bersama, sistem pengetahuan, dan kemajuan teknologi. Harari berpendapat bahwa evolusi masyarakat manusia tak semata-mata ditentukan oleh sumber daya material atau kekuatan militer, tetapi oleh narasi dan ideologi yang mengikat orang-orang bersama dan mendorong tindakan kolektif.
Argumen utama dalam Homo Deus adalah gagasan bahwa cerita dan mitos yang dituturkan bangsa-bangsa kepada diri mereka sendiri—baik yang bersifat religius, politis, maupun ideologis—berfungsi sebagai kekuatan pemersatu yang mendorong kerjasama dalam skala besar. Pertumbuhan intelektual mendorong penyempurnaan dan penyebaran narasi ini, yang memungkinkan bangsa-bangsa membangun sistem tatakelola, ekonomi, dan organisasi sosial. Misalnya, penyebaran kapitalisme bukan sekadar pergeseran ekonomi, tapi juga fenomena intelektual dan budaya yang dibentuk oleh kepercayaan kolektif terhadap pasar, pertumbuhan, dan kemajuan.
Harari juga memperingatkan bahwa stagnasi intelektual atau ketidakmampuan beradaptasi dengan ide-ide baru dapat menyebabkan kemunduran bangsa-bangsa. Ia mengutip contoh-contoh peradaban yang tertinggal karena kepatuhan yang kaku terhadap ideologi-ideologi yang sudah ketinggalan zaman, sementara masyarakat yang lebih adaptif justru berkembang pesat.
Harari menekankan bahwa pertumbuhan intelektual tidaklah netral; ia membawa peluang dan tantangan. Inovasi teknologi, yang didorong oleh kemajuan intelektual, dapat mengangkat bangsa dengan memberikan solusi bagi masalah-masalah mendesak, semisal perawatan kesehatan, komunikasi, dan infrastruktur. Namun, Harari juga mengemukakan kekhawatiran etis tentang potensi penyalahgunaan teknologi, seperti kecerdasan buatan dan bioteknologi, yang dapat memperdalam kesenjangan atau mengancam nilai-nilai dasar manusia.
Bangsa-bangsa yang memanfaatkan pertumbuhan intelektual secara bertanggungjawab, menyeimbangkan kemajuan dengan pertimbangan etis, lebih mungkin berhasil dalam membentuk masa depan yang berkelanjutan dan adil.
Dalam Homo Deus, Harari menggarisbawahi bahwa pertumbuhan intelektual membentuk lintasan masa depan bangsa-bangsa dengan mendorong inovasi, menyatukan masyarakat melalui narasi bersama, dan memungkinkannya beradaptasi dengan perubahan. Namun, ia juga memperingatkan bahwa pertumbuhan intelektual hendaknya dipandu oleh telaah yang cermat terhadap implikasi etisnya. Bangsa-bangsa yang tak berhasil merangkul keseimbangan ini, berisiko tertinggal atau secara tak sengaja membuka jalan bagi kemundurannya.
Alasan ketujuh mengapa sebuah bangsa harus berusaha berkembang adalah Kesehatan dan Umur Panjang. Negara-negara maju berinvestasi dalam infrastruktur kesehatan publik, mengurangi angka kematian dan meningkatkan harapan hidup. Investasi ini tak hanya meningkatkan kesejahteraan individu tetapi juga berkontribusi pada tenaga kerja yang lebih produktif.
'Factfulness: Ten Reasons We're Wrong About the World—and Why Things Are Better Than You Think" (2018, Flatiron Books) karya Hans Rosling memberikan kajian mendalam terhadap tren dan kesalahpahaman global, khususnya bagaimana pembangunan berkorelasi dengan peningkatan kesehatan dan umur panjang.
Rosling membongkar pandangan lama bahwa dunia terbagi tajam menjadi negara "maju" dan "berkembang". Ia memperkenalkan kerangka kerja empat tingkat kelompok pendapatan agar lebih menangkap perkembangan bertahap masyarakat manusia. Melalui sudut pandang ini, ia menggambarkan bagaimana pertumbuhan ekonomi, pendidikan, dan kemajuan teknologi saling berhubungan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan memperpanjang umur.
Rosling menekankan bahwa seiring kemajuan ekonomi sebuah negara—dari Level 1 (kemiskinan ekstrem) ke Level 4 (masyarakat yang lebih kaya)—negara mengalami perubahan transformatif dalam akses layanan kesehatan, nutrisi, sanitasi, dan pendidikan. Misalnya, peralihan dari Level 1 ke Level 2 memungkinkan keluarga membeli sepatu, air minum yang aman, dan pendidikan dasar, yang secara langsung mengurangi angka kematian anak dan prevalensi penyakit. Demikian pula, seiring negara-negara bergerak lebih jauh dalam spektrum tersebut, investasi dalam infrastruktur semisal rumah sakit, program vaksinasi, dan kampanye kesehatan masyarakat secara signifikan menurunkan angka kematian, bahkan dari penyakit yang secara historis mematikan.
Wawasan utama yang disampaikan Rosling ialah peningkatan dramatis dalam harapan hidup global selama seabad terakhir. Ia mengaitkan hal ini dengan perkembangan seperti antibiotik, vaksin, dan perawatan ibu yang lebih baik, yang menjadi mudah diakses seiring negara-negara memperoleh kekayaan dan menerapkan langkah-langkah kesehatan masyarakat berbasis bukti. Rosling juga menyoroti bagaimana kolaborasi internasional dalam bidang-bidang seperti pemberantasan cacar telah menjadi tonggak penting dalam menunjukkan bagaimana upaya kolektif dapat mempengaruhi kesehatan global.
Data visual memainkan peran penting dalam argumen Rosling. Melalui proyek Gapminder miliknya, ia menggunakan diagram dinamis dalam mengungkap bagaimana negara-negara yang dulunya miskin, semisal Vietnam dan Bangladesh, telah meningkatkan harapan hidup dengan cepat, seringkali mengejar ketertinggalan dari negara-negara yang lebih kaya meskipun masih kurang makmur. Ia berulangkali menggarisbawahi bahwa peningkatan kesehatan dan harapan hidup tak hanya terjadi di negara-negara terkaya, tetapi telah menjadi fenomena global.
Pesan utama Rosling ialah optimisme yang didasarkan pada fakta. Meskipun tantangan masih ada, ia berpendapat bahwa memahami perkembangan global melalui data yang akurat menunjukkan kemajuan luar biasa yang telah dicapai manusia dalam mengatasi krisis kesehatan yang mengerikan dan mendorong kehidupan yang lebih panjang dan lebih sehat di seluruh dunia.
Dalam Pathologies of Power: Health, Human Rights, and the New War on the Poor (2003, University of California Press), Paul Farmer berpendapat bahwa pembangunan dan pengurangan kesenjangan kesehatan saling terkait erat. Ia mengkritik model pembangunan konvensional yang kerap tak bisa mengatasi ketimpangan sistemik, khususnya yang mempengaruhi akses ke layanan kesehatan di antara populasi terpinggirkan.
Farmer menekankan bahwa kesenjangan kesehatan bukanlah sesuatu yang acak, tetapi berakar pada ketimpangan sosial dan struktural yang diabadikan oleh sistem ekonomi, keputusan politik, dan dinamika kekuatan global. Ia memperkenalkan konsep "kekerasan struktural," yang merujuk pada cara lembaga dan struktur sosial merugikan individu dengan menolak akses mereka terhadap kebutuhan dasar seperti perawatan kesehatan, pendidikan, dan air bersih. Bagi Farmer, pembangunan yang tidak secara aktif membongkar struktur ini hanya akan memperkuat kesenjangan yang ada. Ia menganjurkan pendekatan berbasis hak terhadap kesehatan, dimana kemampuan mengakses perawatan medis yang berkualitas dipandang sebagai hak asasi manusia yang mendasar. Menurutnya, inisiatif pembangunan hendaknya memprioritaskan sistem perawatan kesehatan yang adil yang mengatasi akar penyebab kemiskinan dan ketidaksetaraan. Dengan demikian, inisiatif ini dapat membantu mengurangi kesenjangan kesehatan dan memberdayakan masyarakat guna mencapai kemajuan yang berkelanjutan.
Farmer berpendapat bahwa pembangunan tak semata dalam hal pertumbuhan ekonomi, tetapi sebagai proses holistik yang mengutamakan keadilan sosial, kesetaraan, dan hak asasi manusia. Karyanya menggarisbawahi keharusan moral bagi negara dan lembaga agar mengadopsi strategi pembangunan yang secara langsung menargetkan kesenjangan kesehatan, memastikan bahwa manfaat kemajuan menjangkau populasi paling rentan di dunia.
Alasan kedelapan mengapa sebuah bangsa harus berupaya untuk maju adalah Pemenuhan Potensi Nasional. Pembangunan memungkinkan sebuah bangsa memanfaatkan sumber daya manusia, sumber daya alam, dan inovasi teknologi secara efektif. Pembangunan menumbuhkan rasa patriotisme dan menumbuhkan rasa pencapaian kolektif. Dalam The General Theory of Employment, Interest and Money (1936, Macmillan), John Maynard Keynes menekankan peran penting pembangunan dalam memastikan pemanfaatan penuh sumber daya sebuah negara. Keynes berpendapat bahwa ekonomi tak secara alami condong ke arah penggunaan penuh sumber daya, termasuk tenaga kerja dan modal. Sebaliknya, ekonomi sering beroperasi di bawah potensinya karena permintaan agregat yang tak mencukupi.
Keynes menekankan bahwa keterbelakangan ekonomi kerap menyebabkan sumber daya menganggur, termasuk tenaga kerja yang menganggur dan modal yang kurang dimanfaatkan. Ketidakefisienan ini berasal dari kurangnya permintaan efektif, bukan karena ketiadaan sumber daya secara fisik. Keynes menekankan bahwa merangsang investasi sangat penting bagi pembangunan. Melalui investasi publik dan swasta, sumber daya yang belum digunakan dapat dimobilisasi, yang mengarah pada peningkatan produksi dan lapangan kerja.
Keynes menganjurkan intervensi pemerintah pada masa-masa kemerosotan ekonomi. Belanja publik untuk infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan dapat merangsang permintaan, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan kapasitas produksi negara. Ia memperkenalkan konsep multplier (pengganda), dimana peningkatan awal dalam investasi atau belanja pemerintah menghasilkan peningkatan keseluruhan yang lebih signifikan dalam aktivitas ekonomi dan pemanfaatan sumber daya. Sembari mengatasi masalah permintaan jangka pendek, Keynes juga mengakui pentingnya kebijakan pembangunan yang memperluas kapasitas produksi sebuah negara, semisal berinvestasi dalam teknologi dan pendidikan.
Singkatnya, Keynes memandang pembangunan sebagai proses strategis guna memanfaatkan sumber daya negara yang menganggur secara efektif, yang membutuhkan peran proaktif dari sektor swasta dan pemerintah untuk merangsang permintaan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dalam Sapiens: A Brief History of Humankind (2014, Harper), Yuval Noah Harari menekankan bahwa upaya kolektif dan inovasi merupakan landasan potensi dan kemajuan sebuah bangsa. Harari menjelaskan bahwa kemampuan unik manusia bekerjasama dalam skala besar, sering melalui mitos bersama dan tatanan imajiner seperti agama, bangsa, dan sistem ekonomi, memungkinkan masyarakat mencapai prestasi yang tak mungkin dicapai oleh individu atau kelompok kecil saja.
Imajinasi kolektif ini menumbuhkan kepercayaan, koordinasi, dan pengejaran tujuan bersama, yang memungkinkan kemajuan dalam teknologi, tatakelola, dan budaya. Harari berpendapat bahwa inovasi tumbuh subur dalam masyarakat tempat kolaborasi sangat mengakar dan tempat pertukaran ide didorong. Ia juga mencatat bahwa sejarah telah menunjukkan negara-negara bangkit ketika mereka merangkul dinamika ini, memanfaatkan ideologi bersama dan praktik inovatif untuk memanfaatkan sumber daya, mengatur tenaga kerja, dan membangun institusi.
Dengan membingkai elemen-elemen ini sebagai hal yang penting bagi pembangunan sebuah negara, Harari menyoroti bahwa bukan hanya ketersediaan sumber daya tetapi kemampuan memobilisasi kreativitas dan kolaborasi manusia yang menentukan potensi kemajuan. Perspektif ini menggarisbawahi kekuatan transformatif kerjasama manusia dan peran keyakinan bersama dalam membentuk peradaban.
Alasan kesembilan adalah Generasi Masa Depan. Pembangunan memastikan warisan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang, yang memungkinkan mereka mewarisi negara yang makmur. Pembangunan menjamin kesempatan pendidikan, stabilitas ekonomi, dan kesehatan lingkungan selama beberapa dekade mendatang.
Karya E.F. Schumacher, Small Is Beautiful: A Study of Economics as if People Mattered (1973, Blond & Briggs, London) menganjurkan pemikiran ulang yang mendalam tentang ekonomi, dengan fokus pada keberlanjutan dan kesejahteraan manusia. Schumacher menantang fokus ekonomi arus utama pada pertumbuhan dan konsumsi, sebaliknya mendukung praktik berkelanjutan yang menyeimbangkan integritas ekologis, kebutuhan manusia, dan pertimbangan etika.
Ia menekankan bahwa industrialisasi modern, yang mengutamakan efisiensi dan skala ekonomis, berujung pada degradasi lingkungan dan ketimpangan sosial. Sebaliknya, Schumacher menganjurkan teknologi yang tepat—alat dan sistem yang dirancang memenuhi kebutuhan masyarakat setempat tanpa mengorbankan keseimbangan ekologi. Ide ini berpusat pada prinsip bahwa solusi harus selaras dengan kapasitas manusia dan lingkungan ketimbang mengeksploitasinya.
Schumacher menyoroti pentingnya kemandirian lokal dibandingkan globalisasi. Dengan mendorong produksi dan konsumsi lokal, masyarakat dapat meminimalkan ketergantungan pada sumber daya eksternal, mengurangi dampak lingkungan, dan menumbuhkan ketahanan. Ia mengkritik pertanian industri skala besar dan mendukung pertanian organik skala kecil sebagai cara berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan penduduk tanpa menghabiskan lahan.
Etika dan spiritualitas juga memainkan peran penting dalam visi Schumacher. Ia berpendapat bahwa keputusan ekonomi harus mencerminkan nilai-nilai yang lebih dalam, seperti kasih sayang dan pengelolaan, bukan sekadar memaksimalkan keuntungan. Schumacher percaya bahwa ketergantungan yang berlebihan pada bahan bakar fosil dan sumber daya yang tak terbarukan membahayakan masa depan planet ini. Ia menyerukan transisi ke sumber energi terbarukan dan gaya hidup yang lebih menghargai kecukupan daripada kelebihan. Pada akhirnya, filosofi Schumacher mempromosikan koeksistensi yang harmonis dengan alam, mendorong masyarakat agar mengadopsi praktik-praktik yang menjamin kesejahteraan generasi mendatang. Hal ini melibatkan penataan ulang kemajuan sebagai sesuatu yang lebih holistik dan kurang materialistis—yang berlandaskan pada apa yang ia sebut sebagai "economics as if people mattered."
Dalam Outliers: The Story of Success (2008, Little, Brown and Company), Malcolm Gladwell mengeksplorasi peran lingkungan yang mendukung dalam membina kesuksesan masyarakat jangka panjang. Ia berpendapat bahwa pencapaian individu tak semata merupakan hasil dari bakat pribadi atau kerja keras, tetapi sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, termasuk lingkungan tempat orang tumbuh dan berkembang. Gladwell menelaah gagasan bahwa lingkungan yang kaya akan kesempatan, dukungan, dan keterlibatan yang bermakna, menyediakan dasar bagi kesuksesan. Ia menggunakan contoh seperti keberhasilan pemain hoki Kanada untuk mengilustrasikan maksudnya. Pemain yang lahir lebih awal dalam tahun kalender mendapat manfaat dari pengelompokan berdasarkan usia di liga pemuda, memberi mereka lebih banyak waktu untuk berkembang secara fisik dan menerima pelatihan yang lebih baik. Keuntungan kecil ini bertambah seiring waktu, menggambarkan bagaimana struktur lingkungan dapat membentuk hasil.
Gladwell juga menyoroti warisan budaya dan struktur masyarakat, seperti praktik pertanian sawah di Asia, yang menuntut kerja keras dan kerjasama tingkat tinggi. Lingkungan ini menumbuhkan sifat-sifat seperti disiplin, ketekunan, dan kolaborasi, yang menghasilkan keberhasilan dalam pendidikan dan bidang lain dalam konteks modern.
Karyanya menggarisbawahi bahwa lingkungan yang mendukung menciptakan kondisi bagi individu berkembang dengan menawarkan peluang, menghilangkan hambatan, dan menumbuhkan nilai-nilai serta kebiasaan yang mendukung keberhasilan jangka panjang. Perspektif ini mengalihkan fokus dari kemampuan bawaan ke faktor sistemik yang memungkinkan bakat agar berkembang.
Setelah mengetahui mengapa sebuah bangsa harus mengupayakan perkembangan, pada bagian selanjutnya kita membicarakan sumber-sumber dari pembiayaan pembangunan, bi 'idznillah."