[Bagian 13]Sebenernya, waktu seorang wakil presiden nongol di pos ronda tengah malam, gampang banget buat media menaruhnya di rubrik “blusukan manis” lalu geser ke berita lain. Tapi adegan Mas Wapres yang keliling pos ronda di Jakarta awal September ini terasa beda kalau dilihat berbarengan dengan ucapan Mendagri soal menghidupkan lagi ronda kampung. Faktanya jelas: Mas Wapres muncul di Kembangan dan Pesanggrahan, duduk di bangku kayu, foto-foto sambil ngasih senter dan logistik recehan ke warga. Rasanya bukan sekadar jagain kampung, tapi lebih mirip pertunjukan politik edisi malam.Mau disebut apa? Kalau pemerintah sih bilang ini gerakan untuk memperkuat keamanan pasca demo. Tapi kalau dibaca dengan kacamata satire, yang kelihatan bukan sekadar jaga keamanan, melainkan sebuah vignette PR yang disusun rapi: ada properti, ada pencahayaan, ada naskah pendek. Laporan resmi memang menekankan tujuan mulia: siskamling aktif lagi, warga merasa aman, ronda hidup kembali. Tapi bagi penonton politik, semua itu tampak seperti panggung teater yang kebetulan aktornya seorang wakil presiden.Dan kalau kacamata investigasi dipakai, pertanyaan nggak enak langsung muncul: kenapa tiba-tiba pos ronda jadi urusan pejabat pusat? Kenapa kok tokoh nasional turun langsung, padahal ronda ini dari dulu udah jalan di kampung-kampung tanpa seremoni? Jawabannya sederhana: karena di politik, foto bisa menggantikan kebijakan, dan jabat tangan bisa lebih berharga daripada white paper. Orang yang ngerti panggung politik bakal bilang: ini bukan kebetulan, ini koreografi.Blusukan pejabat bukan hal baru, kita udah sering lihat, bahkan udah blenek rasanya. Tapi konteksnya yang bikin beda. Ketika seorang menteri ngeluarin edaran ronda nasional, dan hampir bersamaan wakil presiden tiba-tiba hadir di pos ronda, susunannya lebih mirip gerakan tari politik ketimbang momen spontanitas. Jadi publik pun bertanya-tanya: ini strategi keamanan, atau sekadar tablo drama kampanye?Biar adil, perlu dicatat juga: di lapangan, Mas Wapres memang bawa barang-barang praktis. Ada senter, kopi sachet, dan ngobrol sama warga. Respon masyarakat juga diberitakan positif, merasa lebih diperhatikan dan aman, katanya. Itu versi resmi, versi yang bagus di televisi, versi yang manis di laporan pemerintah daerah, dan versi ciamik buat para Youtuber, pendukung atau pendukung?, Mas Wapres. Tapi kalau ditarik garis besar, semua itu membuktikan bahwa pencitraan sederhana seringkali lebih efektif daripada pidato canggih atau perdebatan rumit. Kehadiran fisik kadang sudah cukup menggantikan isi kepala. Kalau isi kepala cuma angin dan skill-nya level NPC, ya mau nggak mau harus tampil kayak influencer—penuh filter, endorse pencitraan, dan dibantu pasukan buzzer yang siap ngegas di kolom komentar. Apalagi kalau ditambah dengan pendapat survei yang mengabarkan popularitasnya naik.Nah, di titik ini alis para pengamat mulai naik. Soalnya, di dunia politik, setiap senyum dan langkah biasanya sudah dihitung. Ronda malam bisa jadi panggung akar rumput yang strategis. Buat politisi yang butuh dianggap “dekat dengan rakyat,” jalan bareng warga tengah malam itu shortcut paling ampuh. Hasilnya instan: foto-foto nyebar, headline muncul, narasi “pemimpin humble” semakin nempel, tanpa perlu repot bikin argumen panjang.Tentu, gak semua foto berarti manipulasi. Tapi juga gak semua foto otomatis murni dan polos. Apalagi, negara lagi pusing: krisis konstitusi, hukum yang amburadul, ekonomi ngos-ngosan. Kalau solusi yang ditawarin cuma ronda plus senyum di kamera, jelas itu gak cukup. Senter mungkin bisa bikin malam lebih terang, tapi gak bisa nyalain jalan keluar buat hukum yang mandek. Kopi sachet mungkin bikin warga semangat ronda, tapi kagak bisa menyeduh solusi krisis ekonomi.Jadi, apa hasil sebenarnya dari ronda edisi VIP ini? Ya, hasilnya adalah galeri foto wakil presiden di tengah rakyat, senyum, kasih senter, tepuk tangan. Buat sebagian orang, itu bikin hati tenang. Buat yang lain, justru bikin was-was, karena kelihatan banget kayak langkah politik yang didesain. Dan tentu, buat para pengamat, ada pelajaran baru: kalau urusan negara makin ruwet, urusan panggung pencitraan bakal makin rame.Kalau dipikir-pikir, ini sebenernya satire yang menulis dirinya sendiri. Negara dengan 285 juta jiwa lagi disuguhi tontonan malam berupa ronda, sementara masalah besar tetep belum tersentuh. Mendagri nyebutnya keamanan, pengkritik nyebutnya babysitting politik. Dan rakyat? Ya, lagi-lagi diminta tepuk tangan, seolah demokrasi ini cuma panggung sinetron blusukan yang tak pernah selesai.Pada akhirnya, kegiatan ini jadi pengingat pahit sekaligus lucu: politik hari ini sama banyaknya antara isi dan akting. Buat warga yang doyan mikir, bikin gelisah. Buat yang lebih suka hiburan, jadi tontonan malam gratis. Dua-duanya sah-sah aja, tapi ingat: ronda mungkin bisa jaga kampung, tapi belum tentu bisa jaga masa depan bangsa. Dan kamera, seperti biasa, akan terus nge-close up.Balik lagi soal pengkultusan pemimpin di negara Komunis.
Kultus pemimpin di negara-negara Komunis sebenarnya nggak unik-unik amat. Banyak kesamaannya dengan rezim otoriter lain, entah itu Fasis, militeristik, atau diktator tanpa ideologi jelas. Intinya sama: bikin simbol sakral, ritual devosi, dan narasi terkontrol biar semua legitimasi nempel ke satu orang yang dianggap lebih dari manusia biasa.Di negara Komunis, pemimpin dipuja sebagai perwujudan revolusi: Lenin jadi nabi Marxisme, Stalin jadi “manusia baja” yang ngeindustrialisasi Uni Soviet, Mao jadi nakhoda besar yang nuntun China di tengah badai perjuangan, Kim Il-Sung jadi matahari abadi bangsa. Politik dipoles jadi semacam agama sekuler.Di rezim Fasis, polanya mirip. Di Jerman Nazi, Hitler bukan sekadar kanselir, tapi “Führer,” penyelamat bangsa yang katanya ditakdirin buat balikin kejayaan Jerman. Ritual kayak rapat raksasa di Nuremberg, salam Hitler, sampai foto-fotonya di mana-mana, fungsinya mirip liturgi agama: ngeikat rakyat dalam satu identitas kolektif. Di Italia, Mussolini dipuja sebagai “Il Duce,” yang kehadirannya aja dianggap simbol vitalitas dan nasib bangsa Italia.Bahkan di luar ideologi kaku, diktator lain juga mainin pola sama. Di Afrika Utara dan Timur Tengah, Gaddafi atau Saddam Hussein penuhi jalanan dengan poster wajah mereka, bikin rapat akbar, dan maksa rakyat loyal sampai kayak ibadah. Di zaman sekarang, beberapa pemimpin populis pakai media sosial buat hal serupa—panggung nonstop buat karisma pribadi, biar mereka jadi sumber kebenaran yang nggak bisa digugat.Persamaannya jelas banget. Baik Komunis, Fasis, maupun otoriter lain, begitu agama, media, atau organisasi independen diberangus, muncul kekosongan makna. Nah, kekosongan itu langsung diisi oleh pemimpin yang dipoles jadi simbol takdir, kebenaran, dan persatuan. Bedanya cuma di bungkus ideologi: Komunis klaim bangun sosialisme, Fasis janji kelahiran kembali bangsa, diktator lain jualan stabilitas. Tapi mesinnya sama: politik diubah jadi iman, pemimpin diperlakukan kayak dewa sekuler.Mari kita bahas kenapa kultus pemimpin sering banget berujung tragis. Begitu seorang pemimpin dipuja kayak dewa sekuler, rem-rem politik langsung dicopot dan ngeblong. Kritik dianggep pengkhianatan, beda pendapat dicap dosa, dan proses alami buat ngecek kesalahan jadi macet total. Apa yang awalnya cuma rasa hormat, berubah jadi budaya takut dan patuh buta.Dalam kondisi kayak gini, kesalahan kecil bisa jadi bencana nasional karena gak ada yang berani ngebenerin. Di Uni Soviet era Stalin, aura “tak bisa salah” bikin kebijakan pertanian gagal, pembersihan massal, dan pengadilan sandiwara jalan terus, korban jutaan nyawa. Di China era Mao, wibawa sang nakhoda besar bikin pejabat lokal takut ngasih laporan jujur, sehingga Lompatan Jauh ke Depan meledak jadi kelaparan massal. Di Jerman Hitler, kultus Führer bikin khayalan ideologi berubah jadi kebijakan negara, yang akhirnya nyeret dunia ke perang genosida.Dan ini bukan monopoli Komunis atau Fasis aja—segala bentuk kekuasaan pribadi tanpa kontrol bisa kejebak pola yang sama. Pemimpin dikelilingi penjilat yang cuma ngulang kata-katanya, rakyat terlalu takut—atau terlalu terhipnotis—buat ngelawan. Hasilnya: kesalahan makin gede, penderitaan makin parah, tragedi hampir pasti datang.Ironinya, kultus pemimpin biasanya mulai dengan janji indah: pembebasan, persatuan, nasib besar. Tapi dengan mematikan kritik, mereka justru bikin jalan tol menuju tirani. Pemimpin yang dianggap dewa pada akhirnya tetep manusia, dan ketika manusia itu salah, seluruh bangsa ikut nanggung akibatnya. Sejarah berkali-kali nunjukkin: begitu politik dijadiin agama, runtuhnya iman itu selalu dibayar dengan nyawa manusia.Banyak yang ngira kultus pemimpin cuma milik diktator masa lalu, tapi ternyata bayangannya masih hidup di politik modern. Bahkan di negara demokrasi, dimana ada aturan main buat ngerem kekuasaan, populisme bisa bikin pola serupa muncul lagi—cuma kali ini dengan cara lebih halus.Para pemimpin populis sering tampil bukan sebagai politisi biasa, tapi seolah-olah sebagai wujud asli “rakyat.” Mereka ngomong dengan bahasa hitam-putih: yang baik lawan yang jahat, kita lawan mereka. Politik jadi drama, bukan diskusi. Hasilnya, rakyat gak lagi menilai kebijakan, tapi nyembah pemimpin sebagai simbol identitas. Kritik ke pemimpin gampang ditolak dengan tuduhan: “kamu lawan rakyat sendiri.”Media sosial bikin pola ini makin kenceng. Kalau dulu ada pawai akbar dan patung raksasa, sekarang ada video viral, hashtag, dan feed tak ada habisnya yang isinya wajah, suara, dan gaya sang pemimpin. Karisma dipentaskan terus-menerus, bikin orang merasa terikat secara emosional. Di suasana kayak gini, kritik jadi makin susah, karena loyalitas ditarik ke level personal dan perasaan, bukan ke lembaga atau aturan.Risikonya, inti demokrasi—kritik terbuka, kontrol lembaga, dan pergantian kekuasaan yang damai—pelan-pelan bisa keropos dari dalam. Kultus populis mungkin nggak langsung bikin pembantaian massal kayak abad ke-20, tapi bisa bikin akuntabilitas hancur, masyarakat makin terbelah, dan keputusan politik jadi ngawur. Pelajaran sejarah tetap berlaku: begitu politik minta iman buta, dan pemimpin diperlakukan kayak penyelamat, bukan pelayan, maka benih tragedi udah ditanam.Lalu mari kita beralih ke penawarnya, cara-cara yang dapat dilakukan masyarakat demokratis buat ngelawan kecenderungan menuju kultus kepemimpinan. Kekuatan demokrasi itu bukan ada di sosok pemimpin yang sempurna, tapi di ketahanan lembaga dan kemampuan kritis warganya. Kalau dua hal ini lemah, bahkan negara bebas pun bisa kepleset ke arah kekuasaan yang dipersonalisasi.Pertahanan pertama adalah pendidikan kritis. Rakyat bukan cuma perlu diajarin fakta, tapi juga dibiasain buat nanya, curiga, dan paham sejarah. Orang yang ngerti bahaya devosi buta nggak gampang tergoda janji manis solusi instan. Sejarah yang diajarin dengan jujur bisa jadi vaksin, nunjukkin bahwa pemujaan pemimpin di masa lalu cuma ngasih kejayaan sesaat tapi ninggalin kehancuran yang panjang banget.Pertahanan kedua adalah media independen. Di setiap kultus pemimpin, kontrol informasi selalu jadi senjata utama—baik lewat sensor, propaganda, atau repetisi gambar sang pemimpin. Pers yang bebas dan beragam bisa kasih narasi tandingan, bongkar kontradiksi, dan ingetin rakyat bahwa nggak ada pemimpin yang kebal dari kritik. Di era medsos, ini juga berarti harus ada ruang di mana suara di luar lingkar kekuasaan tetap bisa didengar.Pertahanan ketiga adalah partisipasi sipil. Demokrasi nggak bisa hidup dari nyoblos doang, tapi dari keterlibatan aktif—warga bikin komunitas, debat kebijakan, sampai ngepres pemimpin biar nggak seenaknya. Semakin banyak pusat loyalitas—keluarga, komunitas, serikat, organisasi—semakin susah bagi satu orang pemimpin buat monopoli identitas rakyat.Tentu, semua ini nggak bikin sistem jadi sempurna, tapi cukup buat bikin politik tetap waras: berdiri di atas akal, bukan iman buta; di atas lembaga, bukan karisma personal. Pelajaran dari abad ke-20 sampai sekarang jelas: cara terbaik lawan kultus pemimpin bukan cari pemimpin sempurna, tapi bangun masyarakat yang cukup kuat buat tahan pemimpin yang nggak sempurna.Di abad ke-20, revolusi Komunis bukan cuma soal ganti rezim, tapi kayak gempa sosial yang pengen ngehapus ideologi lama: feodalisme, agama, nasionalisme, atau liberalisme. Sayangnya, proses-proses ini sering berujung pada pembantaian massal.Di Uni Soviet, sejak Lenin sampai puncaknya Stalin, kaum aristokrat, pemuka agama, dan tuan tanah disapu bersih. Tahun 1930-an, program kolektivisasi bikin Holodomor di Ukraina, jutaan orang mati kelaparan. Terus ada Pembersihan Besar-besaran (Great Purge), dimana intelektual, pendeta, sampai rakyat biasa yang dicurigai jadi “musuh rakyat” dieksekusi atau dikirim ke gulag.Di China, Mao Zedong ngegas lewat reformasi tanah awal 1950-an—jutaan tuan tanah dieksekusi. Puncaknya Revolusi Kebudayaan (1966–1976), yang nyerang “empat lama”: ide, budaya, kebiasaan, dan adat. Guru, biksu, pemuka tradisi dihina, dipukuli, bahkan dibunuh. Kuil-kuil dan peninggalan budaya banyak dihancurin.Di Kamboja, Khmer Merah di bawah Pol Pot (1975–1979) jadi contoh paling ekstrem. Mereka pengen ngehapus kapitalisme, agama, dan kaum intelektual. Biksu, guru, dokter, siapa pun yang dianggap bagian dari masyarakat lama dieksekusi. Akibatnya, hampir dua juta orang tewas—sekitar seperempat penduduk.Negara Komunis lain juga sama. Di Korea Utara, elit lama dilikuidasi, dan rakyat dipaksa loyal ke Dinasti Kim. Di Vietnam, ada eksekusi tuan tanah dan represi terhadap kelompok agama, meski nggak seheboh China atau Kamboja. Di Eropa Timur kayak Jerman Timur, Rumania, dan Ceko, pembantaiannya nggak seganas Asia, tapi tetap ada: gereja dipersempit, oposisi dijeblosin penjara, budaya disensor ketat.Tapi ada juga negara di mana Komunisme gagal menancap penuh dan ide lama tetep bertahan. Di Polandia, rezim Komunis nggak bisa ngalahin Katolik. Gereja tetap kuat, dan puncaknya ketika Paus Yohanes Paulus II terpilih, bikin gerakan oposisi kayak Solidaritas jadi makin berani. Di Afghanistan, pemerintah Komunis yang coba neken Islam dan adat suku justru dilawan keras. Uni Soviet turun tangan tahun 1979, tapi tetap gagal—Islam tetap jadi kekuatan utama. Di Hongaria dan Cekoslowakia, walau Komunisme lama bercokol, tradisi budaya dan agama tetap bertahan di bawah tanah, dan begitu rezim runtuh tahun 1989, tradisi itu muncul lagi dengan kuat.
Jadi, Komunisme memang bisa brutal dalam ngerombak masyarakat dan ngancurin elit lama, tapi nggak pernah benar-benar sukses ngehapus tradisi budaya dan agama yang udah mendarah daging. Justru, di tempat-tempat dimana agama nyatu sama identitas bangsa—kayak Katolik di Polandia atau Islam di Afghanistan—Komunisme akhirnya keteteran, dan itulah yang jadi sumber perlawanan sampai runtuh.
Komunisme di abad ke-20 datang sebagai janji pembebasan. Katanya bisa ngilangin ketimpangan, ngancurin penindasan, dan bikin masyarakat tanpa kelas. Buat rakyat yang hidup di bawah tuan tanah feodal, penjajahan asing, atau rezim korup, ini kedengarannya kayak mimpi indah. Tapi begitu dijalankan, mimpi itu sering berubah jadi mimpi buruk.Dasarnya ada dalam tulisan Karl Marx dan Friedrich Engels, yang nyebut agama sebagai “candu rakyat” dan kapitalisme sebagai mesin penghisap. Buat mereka, revolusi itu bukan pilihan tapi keniscayaan. Begitu abad ke-20 datang, tokoh kayak Lenin sampai Mao ngeklaim diri mereka sebagai eksekutor nubuat itu—ngubah teori jadi pedoman aksi.Masalahnya, begitu teori jadi praktik, kekerasan muncul dimana-mana. Di Uni Soviet, Lenin dan Stalin nyikat bangsawan, gereja, dan siapa aja yang dianggap musuh. Stalin lanjut dengan kolektivisasi dan pembersihan yang makan jutaan korban. Di China, Mao jalankan reformasi agraria dan Revolusi Kebudayaan dengan pola yang sama: rakyat dipaksa hidup dalam “perjuangan kelas” tiap hari.Logikanya jelas: dunia lama harus mati supaya dunia baru lahir. Feodalisme, agama, kapitalisme dianggap kanker yang harus dicabut. Absolutisme ini bikin pemimpin Komunis ngerasa sah buat ngehapus lawan dan tradisi, seolah-olah kekerasan itu bagian wajib dari sejarah.Contoh paling parah gampang ditebak. Stalin bikin kelaparan Holodomor di Ukraina. Mao dengan Lompatan Jauh ke Depan bikin rakyat China kelaparan sampai puluhan juta tewas. Pol Pot di Kamboja malah lebih ekstrem: dalam empat tahun aja, seperempat rakyatnya mati karena dibantai atau kelaparan.Agama jadi target utama. Gereja, masjid, kuil, wihara ditutup, pemuka agama dihajar. Tapi lucunya, begitu agama dihapus, Komunisme malah bikin “agama baru”: kultus partai dan pemimpin. Lenin, Stalin, Mao, Kim Il-Sung dipuja kayak nabi. Potret mereka jadi ikon, slogan jadi ayat, rapat akbar jadi ritual. Bedanya cuma: keselamatan dijanjikan bukan di surga, tapi di masyarakat tanpa kelas.Bahayanya makin gede gara-gara kultus pemimpin. Begitu pemimpin dianggap nggak bisa salah, kesalahan kecil jadi bencana nasional. Stalin dengan purge, Mao dengan kelaparan, Hitler (walau Fasis) dengan genosida—semuanya nunjukkin pola yang sama: devosi buta berubah jadi tragedi.Meski begitu, Komunisme nggak pernah benar-benar sukses hapus tradisi. Di Polandia, Katolik tetap hidup dan jadi bahan bakar perlawanan Solidaritas. Di Afghanistan, Islam dan adat suku bikin rezim Komunis gagal total. Di Eropa Timur, budaya dan agama cuma sembunyi sementara, lalu meledak lagi begitu rezim runtuh.Artinya, Komunisme bisa ngancurin struktur, bisa bikin rakyat takut, tapi nggak bisa bunuh habis identitas. Kekerasan yang dipakai malah bikin rakyat makin dendam.Ekonominya pun ambivalen. Ada pabrik dan infrastruktur yang dibangun, tapi banyak juga kelaparan, kekurangan barang, dan sistem yang beku. Akhirnya banyak negara Komunis kolaps atau banting setir jadi setengah kapitalis.Bahaya terbesar Komunisme ada di kepongahan moralnya. Ngerasa jadi satu-satunya pembaca sejarah, mereka ngerasa berhak nentuin masa depan sambil ngancurin masa lalu. Perbedaan pendapat dianggap pengkhianatan. Politik berubah jadi perang suci, dan kekerasan dianggap sah.Tragedi kelaparan, pembersihan, dan hancurnya budaya lahir dari kesombongan itu. Mau bikin “manusia baru,” tapi lupa kalau masyarakat itu bukan tanah liat. Mereka punya memori, tradisi, dan daya tahan. Perlakuan Komunisme yang maksa justru jadi resep kesengsaraan.Dan ini relevan banget buat zaman sekarang. Demokrasi pun bisa kecolongan kalau kultus pemimpin dan populisme dibiarkan. Bedanya, sekarang bukan lewat patung atau parade, tapi lewat medsos. Begitu politik minta iman buta, pola lama bisa terulang.Kesimpulannya, bahaya Komunisme bukan cuma soal gagal ekonomi, tapi juga soal keangkuhan ideologinya. Dengan maksa keseragaman, ngebungkam agama, dan deifikasi pemimpin, Komunisme bikin sistem yang bisa melahirkan prestasi sesaat tapi juga tragedi panjang. Pesannya jelas: janji utopia kalau dipaksain dengan absolutisme, akhirnya nggak ngasih kebebasan, tapi cuma penderitaan.
[Bagian 11]