Jumat, 12 September 2025

Bahaya Komunisme bagi Demokrasi Indonesia (12)

Sebenernya, waktu seorang wakil presiden nongol di pos ronda tengah malam, gampang banget buat media menaruhnya di rubrik “blusukan manis” lalu geser ke berita lain. Tapi adegan Mas Wapres yang keliling pos ronda di Jakarta awal September ini terasa beda kalau dilihat berbarengan dengan ucapan Mendagri soal menghidupkan lagi ronda kampung. Faktanya jelas: Mas Wapres muncul di Kembangan dan Pesanggrahan, duduk di bangku kayu, foto-foto sambil ngasih senter dan logistik recehan ke warga. Rasanya bukan sekadar jagain kampung, tapi lebih mirip pertunjukan politik edisi malam.
Mau disebut apa? Kalau pemerintah sih bilang ini gerakan untuk memperkuat keamanan pasca demo. Tapi kalau dibaca dengan kacamata satire, yang kelihatan bukan sekadar jaga keamanan, melainkan sebuah vignette PR yang disusun rapi: ada properti, ada pencahayaan, ada naskah pendek. Laporan resmi memang menekankan tujuan mulia: siskamling aktif lagi, warga merasa aman, ronda hidup kembali. Tapi bagi penonton politik, semua itu tampak seperti panggung teater yang kebetulan aktornya seorang wakil presiden.
Dan kalau kacamata investigasi dipakai, pertanyaan nggak enak langsung muncul: kenapa tiba-tiba pos ronda jadi urusan pejabat pusat? Kenapa kok tokoh nasional turun langsung, padahal ronda ini dari dulu udah jalan di kampung-kampung tanpa seremoni? Jawabannya sederhana: karena di politik, foto bisa menggantikan kebijakan, dan jabat tangan bisa lebih berharga daripada white paper. Orang yang ngerti panggung politik bakal bilang: ini bukan kebetulan, ini koreografi.
Blusukan pejabat bukan hal baru, kita udah sering lihat, bahkan udah blenek rasanya. Tapi konteksnya yang bikin beda. Ketika seorang menteri ngeluarin edaran ronda nasional, dan hampir bersamaan wakil presiden tiba-tiba hadir di pos ronda, susunannya lebih mirip gerakan tari politik ketimbang momen spontanitas. Jadi publik pun bertanya-tanya: ini strategi keamanan, atau sekadar tablo drama kampanye?
Biar adil, perlu dicatat juga: di lapangan, Mas Wapres memang bawa barang-barang praktis. Ada senter, kopi sachet, dan ngobrol sama warga. Respon masyarakat juga diberitakan positif, merasa lebih diperhatikan dan aman, katanya. Itu versi resmi, versi yang bagus di televisi, versi yang manis di laporan pemerintah daerah, dan versi ciamik buat para Youtuber, pendukung atau pendukung?, Mas Wapres. Tapi kalau ditarik garis besar, semua itu membuktikan bahwa pencitraan sederhana seringkali lebih efektif daripada pidato canggih atau perdebatan rumit. Kehadiran fisik kadang sudah cukup menggantikan isi kepala. Kalau isi kepala cuma angin dan skill-nya level NPC, ya mau nggak mau harus tampil kayak influencer—penuh filter, endorse pencitraan, dan dibantu pasukan buzzer yang siap ngegas di kolom komentar. Apalagi kalau ditambah dengan pendapat survei yang mengabarkan popularitasnya naik.
Nah, di titik ini alis para pengamat mulai naik. Soalnya, di dunia politik, setiap senyum dan langkah biasanya sudah dihitung. Ronda malam bisa jadi panggung akar rumput yang strategis. Buat politisi yang butuh dianggap “dekat dengan rakyat,” jalan bareng warga tengah malam itu shortcut paling ampuh. Hasilnya instan: foto-foto nyebar, headline muncul, narasi “pemimpin humble” semakin nempel, tanpa perlu repot bikin argumen panjang.
Tentu, gak semua foto berarti manipulasi. Tapi juga gak semua foto otomatis murni dan polos. Apalagi, negara lagi pusing: krisis konstitusi, hukum yang amburadul, ekonomi ngos-ngosan. Kalau solusi yang ditawarin cuma ronda plus senyum di kamera, jelas itu gak cukup. Senter mungkin bisa bikin malam lebih terang, tapi gak bisa nyalain jalan keluar buat hukum yang mandek. Kopi sachet mungkin bikin warga semangat ronda, tapi kagak bisa menyeduh solusi krisis ekonomi.
Jadi, apa hasil sebenarnya dari ronda edisi VIP ini? Ya, hasilnya adalah galeri foto wakil presiden di tengah rakyat, senyum, kasih senter, tepuk tangan. Buat sebagian orang, itu bikin hati tenang. Buat yang lain, justru bikin was-was, karena kelihatan banget kayak langkah politik yang didesain. Dan tentu, buat para pengamat, ada pelajaran baru: kalau urusan negara makin ruwet, urusan panggung pencitraan bakal makin rame.
Kalau dipikir-pikir, ini sebenernya satire yang menulis dirinya sendiri. Negara dengan 285 juta jiwa lagi disuguhi tontonan malam berupa ronda, sementara masalah besar tetep belum tersentuh. Mendagri nyebutnya keamanan, pengkritik nyebutnya babysitting politik. Dan rakyat? Ya, lagi-lagi diminta tepuk tangan, seolah demokrasi ini cuma panggung sinetron blusukan yang tak pernah selesai.
Pada akhirnya, kegiatan ini jadi pengingat pahit sekaligus lucu: politik hari ini sama banyaknya antara isi dan akting. Buat warga yang doyan mikir, bikin gelisah. Buat yang lebih suka hiburan, jadi tontonan malam gratis. Dua-duanya sah-sah aja, tapi ingat: ronda mungkin bisa jaga kampung, tapi belum tentu bisa jaga masa depan bangsa. Dan kamera, seperti biasa, akan terus nge-close up.


Balik lagi soal pengkultusan pemimpin di negara Komunis.

Kultus pemimpin di negara-negara Komunis sebenarnya nggak unik-unik amat. Banyak kesamaannya dengan rezim otoriter lain, entah itu Fasis, militeristik, atau diktator tanpa ideologi jelas. Intinya sama: bikin simbol sakral, ritual devosi, dan narasi terkontrol biar semua legitimasi nempel ke satu orang yang dianggap lebih dari manusia biasa.
Di negara Komunis, pemimpin dipuja sebagai perwujudan revolusi: Lenin jadi nabi Marxisme, Stalin jadi “manusia baja” yang ngeindustrialisasi Uni Soviet, Mao jadi nakhoda besar yang nuntun China di tengah badai perjuangan, Kim Il-Sung jadi matahari abadi bangsa. Politik dipoles jadi semacam agama sekuler.
Di rezim Fasis, polanya mirip. Di Jerman Nazi, Hitler bukan sekadar kanselir, tapi “Führer,” penyelamat bangsa yang katanya ditakdirin buat balikin kejayaan Jerman. Ritual kayak rapat raksasa di Nuremberg, salam Hitler, sampai foto-fotonya di mana-mana, fungsinya mirip liturgi agama: ngeikat rakyat dalam satu identitas kolektif. Di Italia, Mussolini dipuja sebagai “Il Duce,” yang kehadirannya aja dianggap simbol vitalitas dan nasib bangsa Italia.
Bahkan di luar ideologi kaku, diktator lain juga mainin pola sama. Di Afrika Utara dan Timur Tengah, Gaddafi atau Saddam Hussein penuhi jalanan dengan poster wajah mereka, bikin rapat akbar, dan maksa rakyat loyal sampai kayak ibadah. Di zaman sekarang, beberapa pemimpin populis pakai media sosial buat hal serupa—panggung nonstop buat karisma pribadi, biar mereka jadi sumber kebenaran yang nggak bisa digugat.
Persamaannya jelas banget. Baik Komunis, Fasis, maupun otoriter lain, begitu agama, media, atau organisasi independen diberangus, muncul kekosongan makna. Nah, kekosongan itu langsung diisi oleh pemimpin yang dipoles jadi simbol takdir, kebenaran, dan persatuan. Bedanya cuma di bungkus ideologi: Komunis klaim bangun sosialisme, Fasis janji kelahiran kembali bangsa, diktator lain jualan stabilitas. Tapi mesinnya sama: politik diubah jadi iman, pemimpin diperlakukan kayak dewa sekuler.

Mari kita bahas kenapa kultus pemimpin sering banget berujung tragis. Begitu seorang pemimpin dipuja kayak dewa sekuler, rem-rem politik langsung dicopot dan ngeblong. Kritik dianggep pengkhianatan, beda pendapat dicap dosa, dan proses alami buat ngecek kesalahan jadi macet total. Apa yang awalnya cuma rasa hormat, berubah jadi budaya takut dan patuh buta.
Dalam kondisi kayak gini, kesalahan kecil bisa jadi bencana nasional karena gak ada yang berani ngebenerin. Di Uni Soviet era Stalin, aura “tak bisa salah” bikin kebijakan pertanian gagal, pembersihan massal, dan pengadilan sandiwara jalan terus, korban jutaan nyawa. Di China era Mao, wibawa sang nakhoda besar bikin pejabat lokal takut ngasih laporan jujur, sehingga Lompatan Jauh ke Depan meledak jadi kelaparan massal. Di Jerman Hitler, kultus Führer bikin khayalan ideologi berubah jadi kebijakan negara, yang akhirnya nyeret dunia ke perang genosida.
Dan ini bukan monopoli Komunis atau Fasis aja—segala bentuk kekuasaan pribadi tanpa kontrol bisa kejebak pola yang sama. Pemimpin dikelilingi penjilat yang cuma ngulang kata-katanya, rakyat terlalu takut—atau terlalu terhipnotis—buat ngelawan. Hasilnya: kesalahan makin gede, penderitaan makin parah, tragedi hampir pasti datang.
Ironinya, kultus pemimpin biasanya mulai dengan janji indah: pembebasan, persatuan, nasib besar. Tapi dengan mematikan kritik, mereka justru bikin jalan tol menuju tirani. Pemimpin yang dianggap dewa pada akhirnya tetep manusia, dan ketika manusia itu salah, seluruh bangsa ikut nanggung akibatnya. Sejarah berkali-kali nunjukkin: begitu politik dijadiin agama, runtuhnya iman itu selalu dibayar dengan nyawa manusia.

Banyak yang ngira kultus pemimpin cuma milik diktator masa lalu, tapi ternyata bayangannya masih hidup di politik modern. Bahkan di negara demokrasi, dimana ada aturan main buat ngerem kekuasaan, populisme bisa bikin pola serupa muncul lagi—cuma kali ini dengan cara lebih halus.
Para pemimpin populis sering tampil bukan sebagai politisi biasa, tapi seolah-olah sebagai wujud asli “rakyat.” Mereka ngomong dengan bahasa hitam-putih: yang baik lawan yang jahat, kita lawan mereka. Politik jadi drama, bukan diskusi. Hasilnya, rakyat gak lagi menilai kebijakan, tapi nyembah pemimpin sebagai simbol identitas. Kritik ke pemimpin gampang ditolak dengan tuduhan: “kamu lawan rakyat sendiri.”
Media sosial bikin pola ini makin kenceng. Kalau dulu ada pawai akbar dan patung raksasa, sekarang ada video viral, hashtag, dan feed tak ada habisnya yang isinya wajah, suara, dan gaya sang pemimpin. Karisma dipentaskan terus-menerus, bikin orang merasa terikat secara emosional. Di suasana kayak gini, kritik jadi makin susah, karena loyalitas ditarik ke level personal dan perasaan, bukan ke lembaga atau aturan.
Risikonya, inti demokrasi—kritik terbuka, kontrol lembaga, dan pergantian kekuasaan yang damai—pelan-pelan bisa keropos dari dalam. Kultus populis mungkin nggak langsung bikin pembantaian massal kayak abad ke-20, tapi bisa bikin akuntabilitas hancur, masyarakat makin terbelah, dan keputusan politik jadi ngawur. Pelajaran sejarah tetap berlaku: begitu politik minta iman buta, dan pemimpin diperlakukan kayak penyelamat, bukan pelayan, maka benih tragedi udah ditanam.

Lalu mari kita beralih ke penawarnya, cara-cara yang dapat dilakukan masyarakat demokratis buat ngelawan kecenderungan menuju kultus kepemimpinan. Kekuatan demokrasi itu bukan ada di sosok pemimpin yang sempurna, tapi di ketahanan lembaga dan kemampuan kritis warganya. Kalau dua hal ini lemah, bahkan negara bebas pun bisa kepleset ke arah kekuasaan yang dipersonalisasi.
Pertahanan pertama adalah pendidikan kritis. Rakyat bukan cuma perlu diajarin fakta, tapi juga dibiasain buat nanya, curiga, dan paham sejarah. Orang yang ngerti bahaya devosi buta nggak gampang tergoda janji manis solusi instan. Sejarah yang diajarin dengan jujur bisa jadi vaksin, nunjukkin bahwa pemujaan pemimpin di masa lalu cuma ngasih kejayaan sesaat tapi ninggalin kehancuran yang panjang banget.
Pertahanan kedua adalah media independen. Di setiap kultus pemimpin, kontrol informasi selalu jadi senjata utama—baik lewat sensor, propaganda, atau repetisi gambar sang pemimpin. Pers yang bebas dan beragam bisa kasih narasi tandingan, bongkar kontradiksi, dan ingetin rakyat bahwa nggak ada pemimpin yang kebal dari kritik. Di era medsos, ini juga berarti harus ada ruang di mana suara di luar lingkar kekuasaan tetap bisa didengar.
Pertahanan ketiga adalah partisipasi sipil. Demokrasi nggak bisa hidup dari nyoblos doang, tapi dari keterlibatan aktif—warga bikin komunitas, debat kebijakan, sampai ngepres pemimpin biar nggak seenaknya. Semakin banyak pusat loyalitas—keluarga, komunitas, serikat, organisasi—semakin susah bagi satu orang pemimpin buat monopoli identitas rakyat.
Tentu, semua ini nggak bikin sistem jadi sempurna, tapi cukup buat bikin politik tetap waras: berdiri di atas akal, bukan iman buta; di atas lembaga, bukan karisma personal. Pelajaran dari abad ke-20 sampai sekarang jelas: cara terbaik lawan kultus pemimpin bukan cari pemimpin sempurna, tapi bangun masyarakat yang cukup kuat buat tahan pemimpin yang nggak sempurna.

Di abad ke-20, revolusi Komunis bukan cuma soal ganti rezim, tapi kayak gempa sosial yang pengen ngehapus ideologi lama: feodalisme, agama, nasionalisme, atau liberalisme. Sayangnya, proses-proses ini sering berujung pada pembantaian massal.
Di Uni Soviet, sejak Lenin sampai puncaknya Stalin, kaum aristokrat, pemuka agama, dan tuan tanah disapu bersih. Tahun 1930-an, program kolektivisasi bikin Holodomor di Ukraina, jutaan orang mati kelaparan. Terus ada Pembersihan Besar-besaran (Great Purge), dimana intelektual, pendeta, sampai rakyat biasa yang dicurigai jadi “musuh rakyat” dieksekusi atau dikirim ke gulag.
Di China, Mao Zedong ngegas lewat reformasi tanah awal 1950-an—jutaan tuan tanah dieksekusi. Puncaknya Revolusi Kebudayaan (1966–1976), yang nyerang “empat lama”: ide, budaya, kebiasaan, dan adat. Guru, biksu, pemuka tradisi dihina, dipukuli, bahkan dibunuh. Kuil-kuil dan peninggalan budaya banyak dihancurin.
Di Kamboja, Khmer Merah di bawah Pol Pot (1975–1979) jadi contoh paling ekstrem. Mereka pengen ngehapus kapitalisme, agama, dan kaum intelektual. Biksu, guru, dokter, siapa pun yang dianggap bagian dari masyarakat lama dieksekusi. Akibatnya, hampir dua juta orang tewas—sekitar seperempat penduduk.
Negara Komunis lain juga sama. Di Korea Utara, elit lama dilikuidasi, dan rakyat dipaksa loyal ke Dinasti Kim. Di Vietnam, ada eksekusi tuan tanah dan represi terhadap kelompok agama, meski nggak seheboh China atau Kamboja. Di Eropa Timur kayak Jerman Timur, Rumania, dan Ceko, pembantaiannya nggak seganas Asia, tapi tetap ada: gereja dipersempit, oposisi dijeblosin penjara, budaya disensor ketat.
Tapi ada juga negara di mana Komunisme gagal menancap penuh dan ide lama tetep bertahan. Di Polandia, rezim Komunis nggak bisa ngalahin Katolik. Gereja tetap kuat, dan puncaknya ketika Paus Yohanes Paulus II terpilih, bikin gerakan oposisi kayak Solidaritas jadi makin berani. Di Afghanistan, pemerintah Komunis yang coba neken Islam dan adat suku justru dilawan keras. Uni Soviet turun tangan tahun 1979, tapi tetap gagal—Islam tetap jadi kekuatan utama. Di Hongaria dan Cekoslowakia, walau Komunisme lama bercokol, tradisi budaya dan agama tetap bertahan di bawah tanah, dan begitu rezim runtuh tahun 1989, tradisi itu muncul lagi dengan kuat.

Jadi, Komunisme memang bisa brutal dalam ngerombak masyarakat dan ngancurin elit lama, tapi nggak pernah benar-benar sukses ngehapus tradisi budaya dan agama yang udah mendarah daging. Justru, di tempat-tempat dimana agama nyatu sama identitas bangsa—kayak Katolik di Polandia atau Islam di Afghanistan—Komunisme akhirnya keteteran, dan itulah yang jadi sumber perlawanan sampai runtuh.

Komunisme di abad ke-20 datang sebagai janji pembebasan. Katanya bisa ngilangin ketimpangan, ngancurin penindasan, dan bikin masyarakat tanpa kelas. Buat rakyat yang hidup di bawah tuan tanah feodal, penjajahan asing, atau rezim korup, ini kedengarannya kayak mimpi indah. Tapi begitu dijalankan, mimpi itu sering berubah jadi mimpi buruk.
Dasarnya ada dalam tulisan Karl Marx dan Friedrich Engels, yang nyebut agama sebagai “candu rakyat” dan kapitalisme sebagai mesin penghisap. Buat mereka, revolusi itu bukan pilihan tapi keniscayaan. Begitu abad ke-20 datang, tokoh kayak Lenin sampai Mao ngeklaim diri mereka sebagai eksekutor nubuat itu—ngubah teori jadi pedoman aksi.
Masalahnya, begitu teori jadi praktik, kekerasan muncul dimana-mana. Di Uni Soviet, Lenin dan Stalin nyikat bangsawan, gereja, dan siapa aja yang dianggap musuh. Stalin lanjut dengan kolektivisasi dan pembersihan yang makan jutaan korban. Di China, Mao jalankan reformasi agraria dan Revolusi Kebudayaan dengan pola yang sama: rakyat dipaksa hidup dalam “perjuangan kelas” tiap hari.
Logikanya jelas: dunia lama harus mati supaya dunia baru lahir. Feodalisme, agama, kapitalisme dianggap kanker yang harus dicabut. Absolutisme ini bikin pemimpin Komunis ngerasa sah buat ngehapus lawan dan tradisi, seolah-olah kekerasan itu bagian wajib dari sejarah.
Contoh paling parah gampang ditebak. Stalin bikin kelaparan Holodomor di Ukraina. Mao dengan Lompatan Jauh ke Depan bikin rakyat China kelaparan sampai puluhan juta tewas. Pol Pot di Kamboja malah lebih ekstrem: dalam empat tahun aja, seperempat rakyatnya mati karena dibantai atau kelaparan.
Agama jadi target utama. Gereja, masjid, kuil, wihara ditutup, pemuka agama dihajar. Tapi lucunya, begitu agama dihapus, Komunisme malah bikin “agama baru”: kultus partai dan pemimpin. Lenin, Stalin, Mao, Kim Il-Sung dipuja kayak nabi. Potret mereka jadi ikon, slogan jadi ayat, rapat akbar jadi ritual. Bedanya cuma: keselamatan dijanjikan bukan di surga, tapi di masyarakat tanpa kelas.
Bahayanya makin gede gara-gara kultus pemimpin. Begitu pemimpin dianggap nggak bisa salah, kesalahan kecil jadi bencana nasional. Stalin dengan purge, Mao dengan kelaparan, Hitler (walau Fasis) dengan genosida—semuanya nunjukkin pola yang sama: devosi buta berubah jadi tragedi.
Meski begitu, Komunisme nggak pernah benar-benar sukses hapus tradisi. Di Polandia, Katolik tetap hidup dan jadi bahan bakar perlawanan Solidaritas. Di Afghanistan, Islam dan adat suku bikin rezim Komunis gagal total. Di Eropa Timur, budaya dan agama cuma sembunyi sementara, lalu meledak lagi begitu rezim runtuh.
Artinya, Komunisme bisa ngancurin struktur, bisa bikin rakyat takut, tapi nggak bisa bunuh habis identitas. Kekerasan yang dipakai malah bikin rakyat makin dendam.
Ekonominya pun ambivalen. Ada pabrik dan infrastruktur yang dibangun, tapi banyak juga kelaparan, kekurangan barang, dan sistem yang beku. Akhirnya banyak negara Komunis kolaps atau banting setir jadi setengah kapitalis.
Bahaya terbesar Komunisme ada di kepongahan moralnya. Ngerasa jadi satu-satunya pembaca sejarah, mereka ngerasa berhak nentuin masa depan sambil ngancurin masa lalu. Perbedaan pendapat dianggap pengkhianatan. Politik berubah jadi perang suci, dan kekerasan dianggap sah.
Tragedi kelaparan, pembersihan, dan hancurnya budaya lahir dari kesombongan itu. Mau bikin “manusia baru,” tapi lupa kalau masyarakat itu bukan tanah liat. Mereka punya memori, tradisi, dan daya tahan. Perlakuan Komunisme yang maksa justru jadi resep kesengsaraan.
Dan ini relevan banget buat zaman sekarang. Demokrasi pun bisa kecolongan kalau kultus pemimpin dan populisme dibiarkan. Bedanya, sekarang bukan lewat patung atau parade, tapi lewat medsos. Begitu politik minta iman buta, pola lama bisa terulang.
Kesimpulannya, bahaya Komunisme bukan cuma soal gagal ekonomi, tapi juga soal keangkuhan ideologinya. Dengan maksa keseragaman, ngebungkam agama, dan deifikasi pemimpin, Komunisme bikin sistem yang bisa melahirkan prestasi sesaat tapi juga tragedi panjang. Pesannya jelas: janji utopia kalau dipaksain dengan absolutisme, akhirnya nggak ngasih kebebasan, tapi cuma penderitaan.

[Bagian 13]
[Bagian 11]

Bahaya Komunisme bagi Demokrasi Indonesia (11)

Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, lagi siap-siap ngegas Rp200 triliun duit negara yang selama ini cuma rebahan di Bank Indonesia. Duit segunung itu bakal dikucurin ke enam bank pelat merah alias Himbara, biar ekonomi nggak cuma ngopi-ngopi doang tapi mulai gerak.
Dengan likuiditas yang dilonggarin, bank punya ruang lebih buat ngasih kredit ke rakyat dan pelaku usaha, terutama sektor yang padat karya—kayak perumahan murah, proyek bangunan, dan UMKM di kampung. Harapannya, duit yang ngalir bisa nyalain mesin ekonomi: orang dapet kerja, bahan baku kebeli, usaha bisa nambah kapasitas, bukan cuma buat gaya-gayaan.
Kalau suntikan ini tepat sasaran dan dikelola dengan rapi, bisa nambah jumlah uang beredar, bikin bunga dana turun, dan pertumbuhan ekonomi ngebut kayak motor drag. Tapi ya, harus jelas arahnya dan jangan asal-asalan.
Pemerintah naruh duitnya di bank kayak BRI, Mandiri, BTN, BNI, plus dua bank syariah kayak BSI, biar duitnya diputer buat kredit, bukan cuma buat beli surat utang negara yang ujung-ujungnya cuma numpang lewat.
Tapi jangan lupa, ada risiko juga. Kalau duit segede itu cuma numplek di segelintir bank, apalagi kalau duitnya pendek tapi kreditnya panjang, bisa bikin sistem keuangan goyang kayak jembatan gantung.
Kuncinya ada di sektor riil—kalau pelaku usaha lagi males ngutang atau ekonomi lagi ngambek, ya dampaknya ke pertumbuhan bakal minimal. Jadi, ini bukan jurus sakti, tapi bisa jadi booster kalau eksekusinya cakep.
Intinya, Menkeu lagi nyoba bikin duit negara yang selama ini ngendon di BI jadi lebih produktif. Biar bisa nyalurin kredit ke sektor riil, nambah lapangan kerja, dan bikin ekonomi nggak cuma hidup segan mati tak mau. Asal tata kelolanya nggak zonk, ini bisa jadi langkah yang nendang.

Yang paling cuan dari guyuran Rp200 triliun ke bank-bank itu ya sektor yang banyak nyerap tenaga kerja—alias sektor padat karya dan sektor ekonomi nyata, bukan yang cuma main angka di spreadsheet.
Pertama-tama, sektor konstruksi dan perumahan murah bakal dapet angin segar. Mereka butuh modal buat bangun proyek baru dan ngegedein usaha. Terus, industri tekstil dan produk tekstil juga ikut ngerasain berkah, soalnya mereka hidup dari kredit bank buat ekspansi dan produksi. Tanpa suntikan dana, pabrik bisa kayak sinetron episode terakhir—gantung.
Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan juga nggak ketinggalan. Kredit ke mereka bisa bantu ningkatin produktivitas dan buka lapangan kerja, terutama di daerah. Perdagangan dan transportasi pun dapet efek domino, karena mereka jadi tulang punggung rantai pasok dan distribusi. Dan jangan lupa, pariwisata plus ekonomi kreatif—dari tukang desain sampai tukang nyanyi di kafe—punya potensi nyerap tenaga kerja yang nggak main-main.
Kalau kredit ini beneran nyampe ke tangan yang butuh, bisa bikin lapangan kerja baru, dompet rakyat makin tebal, dan konsumsi rumah tangga naik. Tapi ya, semua itu butuh dukungan kebijakan yang bikin usaha mudah jalan, plus pelaku usaha yang emang niat ngutang buat ekspansi. Kalau enggak, duitnya cuma muter-muter di bank kayak drama Korea yang gak kelar-kelar.

Kalau ngomongin sektor yang paling butuh suntikan kredit di Indonesia, jawabannya jelas: industri manufaktur. Ini bukan sekadar pabrik-pabrik biasa, tapi yang nyerap tenaga kerja kayak spons nyerap air. Mulai dari makanan dan minuman, tekstil dan garmen, baju jadi, sepatu dan barang kulit, furnitur, sampai mainan anak—semuanya masuk daftar wajib disokong.
Bank gede kayak BNI, Mandiri, dan BCA udah jor-joran ngucurin kredit ke sektor ini. Angkanya? Ratusan triliun rupiah, bukan recehan. Contohnya, Bank Mandiri aja nyatat pertumbuhan kredit ke sektor pengolahan sebesar 18,6% dibanding tahun lalu, nilainya nyaris Rp178 triliun. Itu bukan angka buat gaya-gayaan, tapi bukti kalau sektor ini lagi digarap serius.
Biar makin ngebut, pemerintah juga nyiapin jurus tambahan: Program Kredit Industri Padat Karya alias KIPK. Pinjamannya mulai dari Rp500 juta sampai Rp10 miliar, bunganya disubsidi 5%. Tujuannya? Biar pabrik-pabrik ini bisa nambah produksi, buka lowongan kerja, dan nggak kalah saing sama produk luar negeri.
Jadi, sektor padat karya yang paling haus kredit itu ya manufaktur—dari makanan sampai furnitur. Bank udah masuk, pemerintah udah turun tangan, tinggal pelaku usaha yang harus gaspol. Kalau ini berhasil, ekonomi bisa naik kelas, bukan cuma naik daun.

Kebijakan Menkeu baru yang mau ngegas Rp200 triliun duit negara ke bank-bank punya dua sisi: ada yang tepuk tangan, ada yang garuk-garuk kepala.
Yang pro bilang, ini langkah cepet buat ngeguyur likuiditas ke perbankan. Bank jadi punya ruang lebih buat ngasih kredit ke sektor riil—bisa nyalain proyek baru, nambah usaha, dan buka lapangan kerja yang nggak cuma gimmick. Kalau likuiditas naik, bunga pinjaman bisa turun, jadi UMKM dan sektor padat karya bisa ngutang tanpa harus jual motor dulu.
Skema ini juga supaya bank buat muterin duit ke kredit produktif, bukan cuma beli surat utang negara yang ujung-ujungnya cuma numpang lewat. Banyak yang anggap ini langkah out-of-the-box dari pemerintah buat ngegas ekonomi di tengah dunia yang lagi masuk angin.
Tapi yang kontra nggak tinggal diam. Mereka bilang, kalau duit segede itu cuma numplek di segelintir bank, bisa bikin sistem keuangan goyang—apalagi kalau kreditnya panjang tapi dananya pendek. Kalau pelaku usaha lagi males ngutang karena ekonomi lesu, ya likuiditas tambahan ini cuma bikin uang beredar makin banyak, dan ujung-ujungnya bisa nyulut inflasi.
Ada juga yang was-was rupiah bisa melemah kalau bank asal pakai duit tanpa skema yang jelas, apalagi kalau inflasi mulai naik. Keberhasilan kebijakan ini sangat tergantung sama aturan teknis dan tata kelola yang ketat. Kalau nggak dijaga, bisa-bisa duitnya malah nyasar ke tempat yang nggak produktif.
Dan yang paling sensitif: ada kekhawatiran kalau skema ini bikin Bank Indonesia jadi kurang independen. Kalau dana dipakai buat langsung biayai proyek pemerintah, bisa bikin BI kayak anak magang yang disuruh-suruh.
Jadi, meskipun kebijakan ini punya potensi buat ngegas ekonomi dan nyiptain kerjaan, tetep kudu hati-hati. Transparansi dan eksekusi harus rapi, jangan sampai niat baik malah jadi bumerang inflasi dan bikin sistem keuangan masuk angin jangka menengah.

Soal program Makan Bergizi Gratis alias MBG, banyak hasil evaluasi nunjukin kalau program ini belum sepenuhnya nendang di hati murid—dan butuh revisi biar nggak cuma jadi proyek nasi bungkus dari langit.
Masalah pertama: banyak anak yang ogah makan karena menunya nggak nyambung sama lidah mereka. Jadi, perlu banget variasi menu yang lebih cocok sama selera anak-anak dan budaya makan lokal. Jangan sampai tiap hari disuguhi lauk yang bikin mereka lebih milih jajan cilok di luar pagar sekolah.
Distribusi juga jadi sorotan. Ada laporan makanan basi, yang bikin program ini kayak sinetron gagal tayang. Rantai pasok dan standar kebersihan harus dibenerin, biar nggak cuma ngasih makan tapi juga ngasih rasa aman.
Ahli gizi wajib masuk dapur perencanaan. Menu harus sesuai standar gizi dan kebutuhan kalori anak sekolah, bukan asal kenyang. Dan jangan lupa, edukasi gizi ke murid dan masyarakat juga harus digas. Biar mereka nggak cuma makan, tapi ngerti kenapa makan sehat itu penting—nggak kalah penting dari nilai matematika.
Keterlibatan warga, sekolah, dan pelaku usaha lokal itu kunci. Kalau cuma top-down dari kementerian, ya wajar kalau muridnya bingung dan sekolahnya ogah-ogahan. Bahkan ada sekolah yang bilang, “Mending duit MBG dipakai buat bangun toilet daripada ngasih makanan yang nggak dimakan.”
Pemerintah dan lembaga terkait masih terus survei dan mantau, biar datanya bisa dipakai buat mutusin langkah selanjutnya. Secara keseluruhan, MBG punya potensi gede buat ningkatin gizi dan kesehatan anak, serta bikin pendidikan makin berkelanjutan. Tapi ya, harus dibenerin dulu dari menu, distribusi, partisipasi, sampai edukasinya.
Intinya, evaluasi itu bukan nyinyir, tapi langkah penting biar MBG nggak cuma jadi program makan-makan, tapi jadi gerakan makan sehat yang beneran disukai dan dibutuhkan murid.

Evaluasi terkini soal program Makan Bergizi Gratis (MBG) nunjukin kalau banyak murid dan orangtua mulai angkat tangan. Bukan karena mereka anti makan gratis, tapi karena menunya bikin mikir dua kali sebelum nyuap.
Masalah utama? Kualitas dan keamanan makanan yang bikin was-was. Ada kasus keracunan, dan standar keamanan kayak HACCP masih kayak formalitas di atas kertas. Kalau makan malah bikin masuk IGD, ya jelas orang tua langsung pasang larangan.
Menu MBG juga banyak yang ultra-proses—gula, garam, lemaknya ngebut kayak sinetron prime time. Bukannya sehat, malah bikin orang tua mikir ini program “Makan Gagal Gizi”. Anak-anak dilarang makan, bukan karena nggak lapar, tapi karena takut efek jangka panjang.
Selera anak-anak juga nggak nyambung sama menu yang disajiin. Banyak yang bilang rasanya kayak makanan alien—asing dan nggak familiar. Katering pun kesulitan nyesuaiin menu satu per satu, jadinya semua dapat template rasa yang nggak bikin semangat makan.
Pengawasan program juga dinilai amburadul. Nggak ada jalur pengaduan yang aman dan responsif. Malah ada cerita soal tekanan ke pelapor dan keterlibatan militer yang bikin suasana makin tegang. Kritik jadi barang mahal, padahal niatnya cuma mau makan enak dan sehat.
Beberapa makanan yang dikasih malah mentah atau cuma snack kemasan. Bukannya nambah gizi, malah kayak bekal darurat buat camping. Jauh dari cita-cita makan bergizi.
Kesimpulannya, penolakan MBG bukan sekadar soal rasa, tapi soal kepercayaan. Dari keamanan pangan, kualitas gizi, variasi menu, sampai tata kelola—semuanya butuh dibenerin. Kalau nggak, program ini cuma jadi etalase kebijakan yang nggak dimakan.

Evaluasi kenapa banyak yang nggak sreg sama menu Makan Bergizi Gratis (MBG) ini nemuin beberapa alasan utama yang bikin murid sama ortu pada sebel dan nolak. Yang paling ngaruh itu kualitas dan keamanan makanannya yang nggak oke, bahkan sampai sering kejadian keracunan gara-gara makan yang dibagiin. Masalahnya karena standar keamanan makanan kayak HACCP di program MBG ini belum jalan maksimal. Selain itu, banyak menu MBG yang isinya makanan super olahan yang penuh gula, garam, dan lemak, yang gak sesuai sama aturan gizi. Jadi, makanan ini dianggap gak sehat dan bisa bikin anak-anak sakit dalam jangka panjang, makanya ortu pada larang anaknya makan MBG. Menu yang disediain juga kurang variatif dan gak pas sama selera anak, jadi banyak murid yang nggak suka atau gak biasa sama rasanya. Hal ini juga karena kateringnya susah banget buat ngatur menu satu-satu sesuai selera murid yang banyak.
Terus, pengawasan dan tatakelola program juga kurang oke, kayak gak ada mekanisme pengaduan yang aman dan gampang diakses buat murid dan ortu, malah ada kabar militer ikut campur dan tekan orang yang berani kritik program ini. Beberapa makanan yang dibagi juga ada yang mentah atau snack kemasan yang dianggap kurang sehat sama gak sesuai tujuan perbaikan gizi. Intinya, penolakan menu MBG ini banyak gara-gara masalah keamanan makanan, kualitas gizi, kurang variasi menu, dan tata kelola yang amburadul, makanya program ini harus dievaluasi dan dibenerin total supaya bisa diterima dan bermanfaat buat murid-murid.

Alternatif program untuk ngelarin dana Makan Bergizi Gratis (MBG) tuh ada beberapa, bro. Bisa aja sebagian dana itu dialihin ke program lain yang berdampak lebih greget buat masyarakat, kayak program perlindungan sosial, pembangunan fasilitas pendidikan, atau program kesehatan yang lebih pas sasaran. Bahkan ada beberapa sekolah yang ngajukin usulan agar dana MBG dipake buat bangun sarana belajar yang lebih kece. Trus, opsi lain juga ada yang namanya blended finance, gabungin dana negara sama sumber lain kayak CSR dari BUMN dan swasta, atau naikkin pendapatan dari pajak progresif dan windfall tax supaya program gizi anak tetep jalan tanpa bebani anggaran negara berat-berat.
Selain itu, ngurangin frekuensi bagi MBG-nya, misalnya dari lima hari seminggu jadi tiga kali aja, supaya hemat duit dan sesuain sama infrastruktur yang belum maksimal. Ada juga opsi buat ganti MBG sama bantuan tunai bersyarat, jadi keluarga penerima bisa milih sendiri apa yang terbaik buat anak-anaknya, tapi tujuan perbaikan gizi dan kesehatan tetep dipantau.
Maksimalkan potensi pangan lokal juga penting banget buat bikin biaya lebih efisien sekaligus bikin program lebih lestari dan diterima. Program ini juga bisa disinergiin sama program kementerian dan pemerintah daerah lewat digitalisasi monitoring biar distribusi makin tepat sasaran dan hasilnya makin mantep.
Pokoknya, dana MBG tuh bisa dialihin ke program lain yang sejalan sama tujuan ningkatin gizi dan pendidikan anak, tinggal pakai strategi pembiayaan alternatif plus efisiensi pelaksanaan. Tapi, pengalihan ini mesti didukung evaluasi mendalam dan partisipasi warga supaya manfaat program tetap terjaga.
Soal menu MBG, banyak murid yang gak suka, makanya program ini perlu dievaluasi total. Evaluasi nunjukin kalo menu butuh diperbanyak variasinya dan disesuaikan sama selera anak-anak, kualitas dan keamanan makanannya harus ditingkatin, plus libatin ahli gizi dan masyarakat supaya programnya pas sasaran dan manfaatnya maksimal. Kalau udah dibenerin gitu, MBG bisa lebih diterima dan efektif.
Penyebab murid dan ortu nolak menu MBG itu karena kualitas makanannya gak sesuai standar gizi dan keamanan, ada kasus keracunan, menunya kurang variasi dan gak cocok sama selera anak, juga tata kelola program yang kurang oke, pengawasan lemah, dan gak ada mekanisme pengaduan yang efektif. Makanya banyak yang nolak.
Peran pemasok dan katering MBG juga krusial. Pemasok pastiin bahan bakunya berkualitas dan bergizi, sementara katering yang olah dan distribusi makanannya kudu tetep jaga standar kebersihan dan gizi. Semua ini harus dikelola profesional dan didukung pembiayaan serta pelatihan supaya programnya stabil dan kualitasnya oke, sekaligus bantu pemberdayaan UMKM lokal.
Alternatif pengalihan dana MBG ada banyak mulai dari fokus ke program perlindungan sosial atau bangun sarana pendidikan yang lebih urgent, pake pembiayaan campuran dari APBN dan sumber lain kayak CSR dan pajak progresif, ngurangin frekuensi pemberian MBG, sampe ganti pakai bantuan tunai bersyarat. Sinergi antar pemerintah daerah juga bisa jadi solusi tambah dana supaya program tetep jalan terus dan tepat sasaran.

Sekarang balik ke topik Komunisme.

Kumpulan tulisan klasik Mao Zedong tentang politik dan filosofi yang sebelumnya udah diterbitkan dalam Selected Works of Mao Zedong oleh beberapa penerbit, biar lebih kekinian, tulisan-tulisan tersebut disatukan lagi dalam satu edisi yang dibuka dengan pengantar gokil dari filsuf Slovenia yang kontroversial, Slavoj Žižek, formatnya lebih mirip proyek editorial ketimbang buku baru karangan Mao, diterbitkan oleh Verso tahun 2017, bertajuk On Practice and Contradiction.
Bagian awalnya adalah esai panjang Žižek, dimana ia menempatkan Mao bukan sekadar penerus Marx dan Lenin, tapi sebagai sosok yang mengutak-atik Marxisme sampai level ekstrim. Mao dianggap bukan tipe yang doyan kompromi, melainkan yang percaya hidup itu selalu penuh pertentangan dan konflik, bahkan sampai skala kosmik.
Bab pertama, A Single Spark Can Start a Prairie Fire, ngomongin betapa revolusi bisa meledak dari tempat kecil dan terpencil, bukan cuma dari pabrik-pabrik gede. Bab kedua, Oppose Book Worship, isinya nyerang orang-orang yang terlalu nyembah buku tanpa turun langsung ke lapangan—kata Mao, kebenaran lahir dari praktik, bukan dari ngafalin teori.
Bab tiga dan empat—On Practice dan On Contradiction—adalah karya filosofis Mao yang paling ngetop. Di situ Mao menekankan bahwa ilmu hendaknya selalu diuji lewat tindakan, dan bahwa kontradiksi alias pertentangan itu adalah mesin sejarah. Bukan semua kontradiksi sama, kata Mao, tapi ada yang jadi kunci utama di setiap situasi, dan itulah yang harus dihadapi duluan.
Lanjut ke Combat Liberalism, Mao nyindir habis-habisan sikap setengah hati dan kompromi. Lalu di The Chinese People Cannot Be Cowed by the Atom Bomb dan US Imperialism Is a Paper Tiger, Mao pasang gaya nekat, bilang bom atom Amerika dan imperialisme itu cuma macan kertas—seram di luar, tapi rapuh di dalam.
Bab-bab berikutnya masuk ke kritiknya terhadap Stalin, terutama di Concerning Stalin’s Economic Problems of Socialism in the USSR dan Critique of Stalin’s Economic Problems of Socialism in the USSR. Mao di sini ngegas ke teori ekonomi Soviet dan ngasih penekanan baru tentang pentingnya petani dan faktor politik. Dalam On the Correct Handling of Contradictions among the People, Mao menjelaskan cara membedakan kontradiksi yang sifatnya musuhan banget dengan yang bisa diselesaikan secara damai.
Bab-bab terakhir seperti Where Do Correct Ideas Come From? dan Talk on Questions of Philosophy balik lagi ke tema bahwa ide nggak boleh lahir dari lamunan, tapi harus dari pengalaman nyata rakyat. Semua bab ini, kalau dijahit, punya benang merah yang sama: jangan pernah nyaman dengan dogma, karena hidup dan sejarah digerakkan oleh kontradiksi yang terus berubah.
Secara keseluruhan, buku ini bukan karya teoritis mulus dari awal sampai akhir, tapi ngumpulan tulisan yang lahir dari momen-momen sejarah tertentu, lalu disatukan dengan pengantar Žižek yang bikin Mao terasa relevan lagi buat debat politik zaman sekarang.

Kalau menurut buku On Practice and Contradiction, Mao punya cara pandang yang unik soal kontradiksi, tindakan, dan mobilisasi massa. Buat Mao, kontradiksi itu bukan teori ngawang-ngawang, tapi denyut nadi dari kehidupan, masyarakat, sampai politik. Katanya, semua hal—dari alam sampai sejarah—bergerak karena ada pertentangan. Tapi nggak semua pertentangan sama pentingnya: selalu ada kontradiksi utama yang jadi penentu arah perjuangan, dan itu yang harus ditangani duluan.
Dalam On Practice, Mao bilang teori dan aksi itu kayak lingkaran yang nggak pernah putus. Pengetahuan lahir dari pengalaman nyata, dan pengalaman balik lagi menguji teori. Jadi, jangan kebanyakan nyembah buku—pemahaman sejati muncul kalau ide ditempa dalam perjuangan nyata, lalu diuji terus lewat praktik. Buat Mao, bertindak itu bukan sekadar ngejalanin teori, tapi maju mundur antara belajar dan bertindak, terus-menerus.
Soal mobilisasi massa, Mao percaya kekuatan revolusi itu bukan segelintir elit pinter, tapi rakyat luas—terutama kaum tani. Menurutnya, ide-ide yang benar muncul dari pengalaman rakyat sendiri. Peran pemimpin bukan nyuruh-nyuruh, tapi ngumpulin, merangkum, dan mengarahkan pengalaman rakyat jadi gerakan sadar. Prinsipnya: “dari massa, kembali ke massa”—dengerin rakyat, olah jadi kebijakan, lalu balikin lagi ke rakyat buat dites di lapangan.
Di Combat Liberalism, Mao ngingetin bahaya sikap setengah hati dan manja, karena mobilisasi butuh disiplin dan ketegasan, bukan manuver buat kenyamanan pribadi. Lalu di On the Correct Handling of Contradictions among the People, doski bedain kontradiksi dengan musuh—yang harus dihadapi keras—dan kontradiksi di antara rakyat sendiri, yang bisa diselesaikan lewat debat, diskusi, dan cara-cara demokratis. Intinya, bagi Mao, revolusi nggak hidup dari menutup pertentangan, tapi dari ngerti, mengarahkan, dan memanfaatkannya biar api perjuangan nggak padam.

Mari kita lihat gimana Mao bener-bener ngejalanin teorinya soal kontradiksi, aksi, dan mobilisasi massa, khususnya di dua momen gede: Perang Melawan Jepang dan Revolusi Kebudayaan.
Pas perang lawan Jepang di tahun 1930-1940an, Mao ngegas bahwa kontradiksi utama udah geser, bukan lagi pertarungan kelas di dalam negeri, tapi pertarungan nasional antara rakyat China melawan penjajah Jepang. Dalam tulisannya On the Correct Handling of Contradictions among the People, Mao bilang, kalau negara udah mau digilas, semua ribut-ribut kelas harus sementara ditaruh di belakang. Bukan berarti perjuangan kelas hilang, tapi harus diatur ulang taktis: pertama, satukan semua kekuatan—buruh, tani, borjuis kecil, bahkan sebagian borjuis nasional—buat lawan Jepang. Mobilisasi massa di era ini digeber lewat semangat patriotik, perang gerilya, dan keyakinan bahwa kemenangan bukan datang dari tentara elit, tapi dari jutaan petani yang tiap aksinya jadi percikan api yang nyulut padang rumput perlawanan.
Beda cerita pas Revolusi Kebudayaan di akhir 1960an. Di sini, Mao pakai logika kontradiksi dengan cara yang jauh lebih ekstrem dan bikin rusak. Doi bilang, bahkan di masyarakat sosialis, bibit borjuis baru terus muncul di dalam Partai Komunis dan lembaga negara, ngancam bawa balik kapitalisme. Jadi, kontradiksi utama kali ini bukan lagi musuh luar, tapi musuh dalam—antara rakyat revolusioner dan “kapitalis jalur baru” di tubuh partai. Slogannya “gempur markas besar” bikin mahasiswa dan pekerja ngegas melawan pemimpin mereka sendiri, lahirlah gerakan Red Guard yang bikin negeri jungkir balik.
Di dua kasus tersebut, Mao pakai metode mass line: cari tahu dulu kontradiksi utama, terjemahin biar rakyat gampang nyambung, lalu lepasin massa buat bergerak. Tapi hasilnya beda banget. Lawan Jepang, strategi ini bikin rakyat bersatu dan tangguh, sekaligus nambah legitimasi Partai Komunis. Sedangkan pas Revolusi Kebudayaan, strategi yang sama malah jadi resep chaos—rakyat diadu sesama rakyat, negara penuh kekerasan, semua atas nama revolusi tanpa henti.

Waktu Mao mendirikan Republik Rakyat China tahun 1949, itu bukan cuma ganti bendera doang, tapi juga bersih-bersih ideologi. Yang pertama disapu habis adalah feodalisme—sistem tuan tanah, hierarki klan, sama tradisi Konfusianisme yang bikin petani cuma jadi budak taat. Lalu doi gebuk imperialisme, alias campur tangan asing yang sejak lama ngeruk pelabuhan, dagang, sampai industri China. Nggak kalah penting, Mao juga ngegas ngelawan liberalisme borjuis, yang dia anggap jadi ciri rezim republik lemah yang gagal menyatukan negeri.
Sebagai gantinya, Mao nanemin ideologi baru: sosialisme ala Marxis-Leninis, tapi dimodif dengan bumbu khas Mao. Kalau di Eropa buruh kota jadi motor revolusi, Mao bilang justru petani desa yang jadi mesin utama. Doi juga ngangkat kontradiksi sebagai kunci ngerti sejarah dan politik, plus metode mass line—partai harus nyerap suara rakyat, lalu balikin lagi ke rakyat lewat kebijakan nyata.
Di level budaya, Mao berusaha ngubur ajaran lama kayak Konfusianisme dan ganti dengan kesadaran sosialis: hidup kolektif, setara, dan loyal ke revolusi. Nasionalisme juga ditanam kuat: RRC bukan cuma negara sosialis, tapi juga negara merdeka yang udah bebas dari penghinaan kolonial. Kombinasi sosialisme + patriotisme anti-imperialis inilah yang jadi fondasi ideologi baru: buang feodalisme dan kolonialisme ke tong sampah sejarah, lalu hidup dalam semangat revolusi tanpa henti, perjuangan kelas, dan partisipasi massa.

Langkah pertama yang paling heboh adalah reformasi tanah. Mao nyikat habis kelas tuan tanah: jutaan hektar tanah disita lalu dibagiin ke petani miskin. Buat Mao, ini bukan cuma soal ekonomi, tapi simbol bahwa feodalisme resmi tamat, dan rakyat jelata jadi tulang punggung revolusi. Reformasi ini sering disertai dengan “sesi kritik” di mana tuan tanah dipermalukan, diadili massa, bahkan dieksekusi—intinya perjuangan kelas bener-bener ditanemin ke kehidupan sehari-hari.
Setelah itu ada kampanye pemberantasan kontra-revolusioner, nyasar ke mantan pejabat Nasionalis, intelektual liberal, sampai siapa aja yang dicurigai nggak loyal. Lalu muncul juga Gerakan Tiga Anti dan Lima Anti yang ngegas lawan korupsi, pemborosan, penghindaran pajak, dan kelakuan ala kapitalis. Semua ini bukan sekadar razia hukum, tapi gerakan mobilisasi massa buat ngeganti pola pikir dan maksa orang buktiin loyalitas ke sosialisme.
Di bidang ekonomi, Mao ngepush kolektivisasi. Setelah tanah dibagi, petani didorong—lama-lama dipaksa—gabung ke koperasi lalu komune rakyat. Buat Mao, ini syarat wajib kalau mau bangun sosialisme, sekaligus cara negara nyedot surplus hasil tani buat ngegas industrialisasi.
Di level budaya, Mao nyerang habis-habisan hierarki Konfusianisme dan ganti dengan nilai-nilai sosialis baru. Pendidikan dirombak biar isinya Marxisme dan sejarah revolusi, seni-budaya dijadikan alat propaganda. Bahkan muncul gerakan kayak Anti-Konfusius, biar cara pikir lama dicabut sampai ke akarnya, lalu diganti dengan kesadaran perjuangan, kesetaraan, dan loyalitas ke Partai.
Nggak lupa, Mao juga ngasih dosis kuat nasionalisme dan kemandirian. Cina diputus dari Barat, awalnya mesra dengan Uni Soviet, lalu klaim ke dunia: “Cina sudah berdiri tegak” setelah seratus tahun dipermalukan. Slogannya: “condong ke satu sisi”—alias sosialis di dalam negeri, anti-imperialis di luar negeri.
Jadi, paket lengkap kebijakan Mao—reformasi tanah, pembersihan musuh, kolektivisasi, kampanye budaya, dan nasionalisme—semuanya satu benang merah: hapus feodalisme, imperialisme, sama borjuisme, lalu tanam sosialisme, perjuangan kelas, dan mobilisasi massa tanpa henti.

Sekarang kita lihat dampak jangka panjang dari ideologi dan kebijakan Mao—hasilnya ada yang bikin China berdiri tegak, tapi ada juga yang bikin rakyatnya babak belur.
Di sisi positif, kampanye awal Mao bikin China yang tadinya tercerai-berai dan setengah jajahan asing berubah jadi negara berdaulat penuh. Reformasi agraria nyikat habis kekuasaan tuan tanah yang udah berabad-abad, kasih lahan ke jutaan petani miskin, bikin mereka merasa berharga. Fokus Mao ke kemandirian bikin Cina lepas dari cengkeraman Barat dan akhirnya bisa pasang wibawa di dunia internasional. Walau industrinya awalnya amburadul, fondasinya justru jadi modal buat kebangkitan ekonomi China di kemudian hari. Selain itu, kampanye massal bikin rakyat desa yang dulu buta huruf mulai bisa baca-tulis, dan kesehatan dasar akhirnya nyampe ke kampung-kampung.

Tapi harga yang dibayar luar biasa mahal. Puncaknya pas Lompatan Jauh ke Depan (1958–1962). Mao pengen China nyalip Barat dengan tenaga rakyat semata: desa-desa disulap jadi komune, rakyat dipaksa bikin tungku baja mini, dan hasil panen dilaporkan ngawur demi penuhi kuota. Akhirnya malah bencana: kelaparan besar melanda, dan korban jiwa diperkirakan antara dua puluh sampai empat puluh juta orang. Ini bukti betapa keyakinan Mao pada semangat massa bisa ambruk kalau nabrak realitas.
Lanjut ke Revolusi Kebudayaan (1966–1976), kekacauan tambah jadi. Mao ngajak mahasiswa dan buruh ngejar habis “kapitalis jalur baru” dan “ide lama.” Hasilnya: intelektual diburu, pejabat partai dihabisi, keluarga porak-poranda. Sekolah-sekolah mandek, warisan budaya dihancurin, dan jutaan orang hidupnya hancur. Mao maunya nyelametin semangat revolusi, tapi malah ninggalin luka sosial yang panjang, bikin ekonomi lemah dan satu generasi trauma.
Tetep saja, jejak Mao nggak bisa dipisahin dari China modern. Gara-gara doi, China bisa berdiri mandiri, sehingga penerusnya kayak Deng Xiaoping bisa reformasi ekonomi tanpa takut dikendalikan asing. Budaya mobilisasi massa dan egalitarianisme juga ninggalin warisan rasa tanggungjawab kolektif di politik China. Tapi tragedi kelaparan dan ekstremisme ideologi nunjukkin gimana revolusi tanpa rem bisa makan anaknya sendiri.
Singkatnya, proyek Mao bikin China modern mungkin terjadi, tapi juga bikin rakyatnya menderita hebat. Doski berhasil ngebuang feodalisme dan imperialisme, tapi di saat paling radikal, kebijakannya justru jadi belenggu baru yang nyiksa rakyat.

Ketika negara-negara pindah ke paham Komunisme—entah itu Uni Soviet, Cina, Kamboja, atau lainnya—para pemimpinnya merasa mereka gak cuma ganti pemerintahan, tapi mau bikin ulang seluruh tatanan masyarakat. Nah, agama dan kepercayaan tradisional dianggap sebagai penghalang, karena isinya loyalitas lama, hierarki lama, dan cara berpikir lama yang bikin revolusi susah jalan.
Ideologi Komunis sendiri berangkat dari ucapan Marx yang terkenal: agama itu “candu rakyat.” Jadi, bagi mereka, iman dianggap bukan cuma khayalan, tapi juga alat kaum elit buat bikin rakyat pasrah. Gereja, masjid, pura, sampai kelenteng, dipandang sebagai saingan partai: pusat kekuasaan dan loyalitas di luar kendali negara. Maka, ngehapus atau menekan agama dianggap perlu supaya rakyat “bebas” dari takhayul, dan biar semua loyal ke partai dan ideologi baru.
Masalahnya, revolusi Komunis biasanya lahir di tengah perang saudara dan kekacauan. Di situ, batas antara “mendidik rakyat” dan “menekan brutal” jadi kabur banget. Buat ngancurin kekuatan para tuan tanah, bangsawan, atau pemimpin tradisional, kekerasan dipakai besar-besaran: musuh dibunuh, sisanya ditakut-takutin biar nurut. Karena pemuka agama sering jadi simbol otoritas moral alternatif, mereka otomatis masuk daftar sasaran utama.
Di China era Mao, biara ditutup, kuil dihancurin, orang beriman dipaksa sembunyi-sembunyi. Di Uni Soviet, pendeta, imam, dan rabi ditangkep atau dibunuh, sementara ateisme diajarin sebagai doktrin negara. Di Kamboja, Khmer Merah bahkan ngeksekusi biksu dan melenyapkan komunitas agama seutuhnya. Pola ini bukan kebetulan, tapi bagian dari keyakinan Komunis bahwa bikin “manusia baru” cuma bisa lewat penghancuran kepercayaan lama—meski harus bayar dengan nyawa jutaan orang.
Tapi seiring waktu, beberapa negara Komunis sadar represi total itu nggak bisa bertahan. Setelah Mao wafat, China mulai ngasih ruang buat agama, tapi tetep diawasi negara. Uni Soviet bahkan sempet ngidupin kembali Gereja Ortodoks buat nyemangatin rakyat pas Perang Dunia II. Jadi, meski Komunisme awalnya anti banget sama agama, ternyata ngilangin spiritualitas manusia 100% mustahil, karena keyakinan udah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat.

Memang unik banget: negara-negara Komunis yang mau ngilangin agama malah sering bikin “agama baru” versi politik—yaitu kultus partai dan pemujaan pemimpin. Ini bukan kebetulan, tapi karena manusia sejak dulu selalu butuh simbol makna tertinggi, ritual kebersamaan, dan figur otoritas yang dianggap mewakili ideal. Begitu agama ditekan, kebutuhan itu nggak hilang, tapi dialihin ke bentuk lain.
Secara teori, Marxisme bilang iman pada Tuhan harus diganti dengan iman pada manusia dan sejarah, dengan Partai Komunis jadi “nabi” yang ngarahin rakyat menuju pembebasan. Tapi di lapangan, ini sering berubah jadi devosi baru: Lenin, Stalin, Mao, sampai Kim Il-Sung dijadikan figur suci. Foto-foto mereka ganti ikon, slogan partai ganti kitab suci, rapat akbar ganti festival keagamaan. Janji kemenangan terakhir melawan kapitalisme berfungsi kayak doktrin keselamatan: bukan surga di akhirat, tapi surga masyarakat tanpa kelas di dunia.
Di Cina, Buku Merah Kecil Mao diperlakukan kayak kitab suci—harus dibawa, dihafal, dan dikutip setiap hari. Di Uni Soviet, wajah Lenin dan Stalin ada dimana-mana, dan kesetiaan ke partai jadi ukuran moral. Di Korea Utara, pemujaan keluarga Kim malah bener-bener mirip agama, lengkap dengan mitos kelahiran ajaib dan bimbingan ilahi. Pola ini nunjukin: meski agama dihajar habis, “naluri spiritual” manusia malah balik lewat jalur politik, dengan perjuangan revolusi dijadiin sakral, dan pemimpin dijadikan simbol takdir.
Fungsi politiknya jelas: lewat ritual loyalitas ke partai dan pemimpin, rezim bisa jaga persatuan, bungkam oposisi, dan ngarahin energi jutaan orang ke proyek kolektif. Tapi risikonya gede: masyarakat bisa jatuh ke dalam ketaatan buta, kreativitas macet, serta keberagaman ide dan pemikiran hilang. Ironisnya, perang Komunis melawan agama justru nunjukkin bahwa manusia nggak bisa hidup tanpa iman, ritual, dan rasa transenden—cuma kali ini iman itu ditujukan ke pemimpin bumi, bukan ke Tuhan langit.

Kita lanjutin soal kultus kepemimpinan Komunis ini ke bagian berikut ya!
[Bagian 12]
[Bagian 10]

Kamis, 11 September 2025

Bahaya Komunisme bagi Demokrasi Indonesia (10)

Neoliberalisme itu ngerusak ekonomi bukan cuma gara-gara teori abal-abal, tapi emang proyek politik yang dirancang biar ekonominya jadi alat penguasa. Dari akhir 1970-an, ekonomi yang dulu rame-rame ngomongin peran negara dan kesejahteraan bareng, berubah haluan ke mantra sakti “biarkan pasar atur semuanya.” Akhirnya lahir deregulasi finansial, privatisasi aset negara, dan PHK massal buruh, semua dijustifikasi sama para ekonom yang ngaku “netral” padahal udah jadi tukang stempel ideologi. Philip Mirowski di bukunya Never Let a Serious Crisis Go to Waste (2013, Verso) ngegas banget, katanya neoliberalisme malah makin kuat setelah krisis 2008, karena berhasil nyalahin rakyat dan pemerintah, sementara bank global aman sentosa. David Harvey juga di A Brief History of Neoliberalism (2005, Oxford University Press) nunjukin kalau neoliberalisme bukan soal “membebaskan pasar,” tapi ya ujung-ujungnya ngasih karpet merah buat elit kaya raya. Jadinya, ekonomi yang tadinya buat ngurus manusia malah downgrade jadi kayak agama pasar: bikin ketimpangan dianggap normal, nyuruh rakyat hidup prihatin, tapi elit bisnis makin tajir. Jadi kalau ada yang bilang neoliberalisme bikin ekonomi rusak, ya bener banget—ekonomi sekarang lebih mirip budak kapital global ketimbang ilmu buat bikin hidup orang lebih adil.

Kerusakan neoliberalisme makin kelihatan kalau kita lihat drama nyata di lapangan. Di Inggris, privatisasi kereta api tahun 1990-an awalnya dijual sebagai obat mujarab: katanya bikin lebih efisien, lebih murah, dan banyak pilihan. Nyatanya? Tarif makin mahal, sistemnya acak-acakan, dan malah butuh subsidi negara yang lebih gede daripada zaman masih dikelola publik. Christian Wolmar di bukunya On the Wrong Line: How Ideology and Incompetence Wrecked Britain’s Railways (2005, Aurum Press) nyindir habis, bilang kalau ini contoh ideologi neolib ngalahin logika sehat—akhirnya yang diuntungkan cuma pemegang saham, sementara rakyat cuman jadi korban.
Di Amerika Latin tahun 1980–1990-an, krisis utang jadi ajang eksperimen neoliberalisme versi IMF dan Bank Dunia. Negara kayak Meksiko, Brasil, sampai Argentina dipaksa ngurangin anggaran sosial, ngejual BUMN, dan buka pasar buat investor asing kalau mau dapet pinjaman. Hasilnya? Jurang ketimpangan makin lebar, rakyat makin miskin, tapi kreditor luar negeri malah happy. Joseph Stiglitz di Globalization and Its Discontents (2002, W. W. Norton) cerita detail gimana resep ini nginjak kedaulatan negara dan ngerusak ekonomi lokal.
Tragedi paling dramatis ada di Amerika Serikat tahun 2008. Bank-bank gede yang bikin krisis gara-gara spekulasi ngawur malah diselamatkan pakai duit pajak rakyat, sementara jutaan orang biasa kehilangan rumah dan kerjaan. Alesannya? “Too big to fail.” Jadi makin jelas kalau neoliberalisme udah nyulap ekonomi jadi tukang pembela konglomerat finansial, bukan penjaga kepentingan publik.
Kalo dirangkum, kasus-kasus ini nunjukin neoliberalisme bukan cuma rusak di teori, tapi juga bikin kehidupan nyata berantakan. Ekonomi yang seharusnya mikirin orang malah downgrade jadi alat legalisasi ketimpangan dan eksploitasi.

Jadi, setelah ekonomi porak-poranda gara-gara neoliberalisme, pertanyaannya: kemana kita harus melangkah? Jawabannya jelas—ekonomi harus balik lagi ke akarnya sebagai ilmu sosial yang mikirin manusia, bukan sekadar rumus-rumus abstrak dan doa sakti “pasar pasti bisa.” Dari kasus privatisasi, krisis utang, sampai drama bailout, kita udah lihat pasar kalau dibiarin liar cuma bikin jurang kaya-miskin makin gede dan demokrasi makin rapuh. Mariana Mazzucato di The Value of Everything (2018, Allen Lane) ngajak kita bedain mana penciptaan nilai beneran dan mana cuma “ngeruk duit,” sambil ngasih reminder kalau negara itu bukan figuran, tapi bisa jadi aktor utama buat inovasi dan kesejahteraan. Kate Raworth lewat Doughnut Economics (2017, Chelsea Green Publishing) juga ngeramein dengan ide keren: ekonomi harus main di “donat”—cukup buat manusia, tapi nggak ngerusak bumi. Jadi kalau neoliberalisme beneran tamat, penggantinya bukan sekadar update software ekonomi lama, tapi bikin ulang sistem yang tujuannya bukan bikin segelintir orang super kaya, melainkan bikin semua orang bisa hidup layak.

Sosialisme (tapi bukan komunisme) bisa jadi “antivirus” buat neoliberalisme karena nggak maksain semua orang hidup tanpa hak milik pribadi atau di bawah kontrol negara total. Bedanya dengan komunisme, sosialisme versi demokratis lebih fleksibel: pasar tetep ada, bisnis swasta jalan terus, tapi semua dibungkus aturan yang bikin adil buat rakyat banyak, bukan cuma buat elit. Contoh paling gampang? Negara-negara Nordik. Di sana, negara ikut campur lewat welfare state, proteksi buruh, dan BUMN strategis, tapi tetep ada ruang buat startup keren dan bisnis swasta tumbuh. Jadi jelas banget: negara kagak harus mundur kayak yang diajarin neolib; justru negara bisa bikin aturan main biar pasar nggak liar dan ketimpangan bisa ditekan.
Secara teori, sosialisme demokratis itu kayak narik ekonomi balik ke tujuan awalnya: teruntuk manusia, bukan manusia buat ekonomi. Karl Polanyi di The Great Transformation (1944, Farrar & Rinehart) udah ngewanti-wanti kalau pasar dilepas liar bakal ngerusak masyarakat, dan neoliberalisme membuktikan itu. Thomas Piketty di Capital in the Twenty-First Century (2014, Harvard University Press) nambahin, solusi buat jurang kaya-miskin adalah pajak progresif dan distribusi kekayaan. Jadi sosialisme bukan musuh pasar, tapi “civilising force” yang bikin pasar main sesuai aturan kemanusiaan, demokrasi, dan keberlanjutan lingkungan.
Kalau diterjemahin ke dalam kebijakan nyata, itu bisa berarti sektor vital kayak kereta, listrik, dan kesehatan balik lagi ke tangan publik biar rakyat aman, sementara bisnis swasta tetep punya ruang buat inovasi. Serikat buruh diperkuat, layanan publik diperluas, dan pajak diarahkan ke orang-orang super kaya yang selama ini cuma ngeruk. Neoliberalisme ngajarin kalau hidup itu kompetisi kejam—yang kalah biarin aja. Sosialisme ngejawab: hidup itu solidaritas, dan kemakmuran sejati tercapai kalau semua orang dapet bagian, bukan cuma segelintir yang jadi pemenang.

Neoliberalisme itu lahir di pertengahan abad ke-20, basically buat ngejawab dua hal: pertama, bosen sama liberalisme klasik ala “pasar bebas biarin aja aka laissez-faire” yang bikin kacau; kedua, muak sama intervensi negara model Keynes yang dianggep kebanyakan cawe-cawe. Ceritanya dimulai tahun 1938 di Paris, ada acara diskusi namanya Colloque Walter Lippmann, tempat para intelektual Eropa dan Amerika ngumpul buat mikir, “Gimana caranya liberalisme bisa comeback tanpa kejebak jadi sosialis atau fasis?” Dari situ idenya ngumpul, dan makin solid waktu 1947 Friedrich Hayek, Milton Friedman, plus geng ekonom lainnya bikin klub elit rahasia bernama Mont Pelerin Society. Misi mereka simpel tapi ambisius: selamatkan pasar kompetitif, hak milik pribadi, dan bikin negara jangan kebanyakan ikut campur.
Awalnya ini bukan cuma teori ekonomi, tapi proyek politik buat nyusupin logika pasar ke semua sisi hidup manusia. Puncaknya datang tahun 1970-an akhir sampai 1980-an, ketika Margaret Thatcher di Inggris dan Ronald Reagan di AS ngegas habis-habisan pakai neoliberalisme: deregulasi, privatisasi, dan ngecilin negara kesejahteraan. Katanya sih buat ngejaga kebebasan individu biar negara kagak jadi Big Brother, tapi realitanya? Ya kapital gede makin tajir melintir, rakyat kecil makin keok, dan jaring pengaman sosial yang susah payah dibangun setelah Perang Dunia malah digerogoti pelan-pelan.

Neoliberalisme masuk ke dunia berkembang lewat jalur “utang plus syarat” dari IMF dan Bank Dunia. Ceritanya dimulai setelah krisis minyak 1970-an dan krisis utang 1980-an, banyak negara di Amerika Latin, Afrika, dan Asia megap-megap bayar cicilan utang luar negeri. Nah, IMF dan Bank Dunia datang bawa “paket penyelamatan” kayak superhero, tapi syaratnya keras banget. Mereka maksa negara-negara itu jalankan Structural Adjustment Programmes (SAPs): buka pasar seluas-luasnya, jual BUMN, pangkas anggaran sosial, dan longgarkan aturan biar investor asing gampang masuk.
Tapi hasilnya? Rakyat kecil yang jadi korban. Layanan publik kayak kesehatan, sekolah, dan perumahan dipotong habis, bikin hidup makin susah. BUMN yang dijual malah sering jatuh ke tangan elit lokal atau korporasi asing, jadi kedaulatan negara makin tipis. Negara-negara kayak Meksiko, Argentina, dan Brasil jadi “laboratorium neolib,” kadang sempat ada pertumbuhan sebentar, tapi jangka panjangnya ketimpangan makin brutal. Joseph Stiglitz di Globalization and Its Discontents (2002, W. W. Norton) ngeritik pedas, katanya resep ini lebih mikirin kreditor dan investor ketimbang rakyat, bikin negara-negara berkembang kayak terjebak di drama utang dan hidup prihatin abadi. Singkatnya, neoliberalisme yang dikemas manis sebagai “modernisasi” ternyata lebih mirip franchise global buat bikin dunia tunduk ke logika pasar.

Bisa dibilang neoliberalisme itu anak kandung sekaligus upgrade kontroversial dari kapitalisme. Kapitalisme klasik abad ke-19 dulu mainannya masih simpel: hak milik pribadi dijaga, pasar bebas biar berkompetisi, dan negara nggak usah terlalu banyak ikut campur. Tapi setelah Depresi Besar 1930-an dan Perang Dunia II, gaya “pasar liar” itu dianggap gagal. Muncullah era Keynesian: negara aktif ngatur ekonomi, kasih subsidi, bikin jaring pengaman sosial.
Neoliberalisme lahir buat ngegas balik kapitalisme ke jalur “pasar bebas total.” Tokoh-tokoh kayak Friedrich Hayek dan Milton Friedman ngerasa campur tangan negara itu bikin boros, bikin orang manja, dan ngerusak kebebasan individu. Jadi neolib bukannya anti-kapitalis, malah sebaliknya: nge-rebrand kapitalisme biar lebih agresif. Bedanya, kalau dulu kapitalisme masih ada sentuhan negara, neolib maunya pasar jadi bos dalam segala aspek kehidupan, dari urusan ekonomi sampai sosial.
Makanya neoliberalisme sering disebut versi “hardcore” dari kapitalisme: lebih global, lebih finansialis, dan lebih tega. David Harvey di A Brief History of Neoliberalism (2005, Oxford University Press) bilang neoliberalisme itu bukan keluar dari kapitalisme, tapi cara kapitalisme nge-repackage diri biar makin dominan di era globalisasi. Ibaratnya, kapitalisme yang dulu masih ada rem, begitu masuk era neolib malah jadi mode “turbo”–kencang, licin, tapi bikin banyak orang terlempar dari kursi pengaman.

Kapitalisme dan neoliberalisme itu ibarat kakak-adik beda gaya. Sama-sama cinta pasar, duit, dan kompetisi, tapi cara mainnya nggak persis sama. Keduanya percaya kalau pasar itu mesin paling jago buat bagi-bagi sumber daya, dan sama-sama alergi sama paham kolektif kayak sosialisme atau komunisme. Di dua-duanya juga, individu dipuja sebagai motor ekonomi dan simbol kebebasan.

Bedanya, kapitalisme klasik masih bisa kompromi. Negara boleh ikutan main, ngatur dikit, bikin proteksi, bahkan bangun welfare state. Neoliberalisme? Doi maunya pasar jadi raja absolut. Slogan keramatnya: deregulasi, privatisasi, liberalisasi, dan austerity. Kalau kapitalisme dulu bisa jalan bareng subsidi atau jaminan sosial, neolib justru lahir buat ngebantai itu semua. Negara cuma boleh jadi satpam: jagain hak milik, bikin kontrak sah, sama pastikan pasar mulus.
Soal tema, kapitalisme biasanya jualan mimpi “kemajuan, inovasi, dan kemakmuran lewat kerja keras.” Neoliberalisme lebih licin: doi ngusung jargon “kebebasan, efisiensi, dan daya saing global.” Masalahnya, neolib gak cuma ngatur ekonomi, tapi juga nyeret logika pasar ke semua aspek hidup: sekolah, rumah sakit, bahkan politik. Wendy Brown di Undoing the Demos (2015, Zone Books) nyinyir banget, katanya neolib bikin warga negara berubah jadi kayak “pemain pasar,” dan demokrasi dipersempit jadi hitung-hitungan ekonomi.
Kalau kapitalisme dulu aktornya para raja industri: Andrew Carnegie, Rockefeller, Henry Ford–orang-orang yang bikin pabrik, baja, mobil. Neoliberalisme beda: aktornya lebih ke intelektual, politisi, dan institusi global. Ada Hayek dan Friedman dari Chicago School yang bikin teorinya, lalu Thatcher di Inggris sama Reagan di Amerika yang ngegas praktiknya, plus IMF, Bank Dunia, WTO yang jadi “franchise master” bawa resep neolib ke negara-negara berkembang. Jadi kalau kapitalisme identik sama “pengusaha pionir,” neoliberalisme identik sama “politisi reformis plus lembaga global” yang maksain pasar jadi penguasa tunggal.

Kapitalisme klasik itu sebenarnya nggak punya “manual book” buat negara. Doi lebih kayak sistem ekonomi murni: ada pasar, ada untung, ada persaingan, sudah jalan. Negara memang sering ikutan nge-backup, misalnya jagain kepentingan pedagang atau pengusaha, tapi kapitalisme nggak ngatur detail negara harus bikin UU atau ngurus rakyat model apa. Makanya kapitalisme bisa cocok di mana aja: monarki, republik, demokrasi, bahkan kekaisaran, asal hak milik pribadi dan pasar tetep aman.
Neoliberalisme beda jauh. Dari awal, doi bukan cuma teori ekonomi tapi juga proyek politik. Targetnya jelas: ubah negara biar jadi pelayan pasar. Thatcher di Inggris sampai bilang, “Ekonomi itu cuma metode; tujuan aslinya adalah mengubah jiwa.” Makanya reformasi neolib masuk langsung ke jantung kebijakan: potong jaminan sosial, ubah pajak biar untungkan pemilik modal, hapus tarif dagang, lemahkan serikat buruh. Jamie Peck di Constructions of Neoliberal Reason (2010, Oxford University Press) nyebut neolib itu bukan sekadar filsafat ekonomi, tapi strategi politik buat nge-cetak ulang negara sesuai logika pasar.
Jadi bedanya jelas: kapitalisme ngaruh ke negara lewat kepentingan ekonomi, tapi lebih pasif. Neoliberalisme masuk dengan agenda terang-terangan: negara harus dikondisikan jadi mesin pasar. Karena itu neolib jauh lebih agresif, invasif, dan ambisius dibanding kapitalisme biasa yang lebih longgar.

Pertanyaannya sekarang, posisi Indonesia semestinya ada dimana sih? Komunis kah? Liberalisme kah, Kapitalis kah atau Neolib?  Para Founding Parents Indonesia tuh kayak punya cita-cita yang santai tapi cerdas, bro. Mereka nggak mau bener-bener kayak kapitalis Barat yang mikirin untung doang, tapi juga kagak mau kayak komunis ala Marx yang ngehapusin hak milik semua orang. Mereka pilih jalur tengah, campur-campur tapi smart: ada perhatian buat kesejahteraan rakyat, tapi tetep ngasih ruang buat usaha pribadi, semua dikontrol biar nggak bikin chaos. Pokoknya, gaya mereka lebih ke sosialis demokratis gitu, bukan kapitalis murni atau komunis murni.
Jadi, Sosialis Demokratis versi Indonesia tuh kayak paket lengkap gitu, bro. Pemerintah tetep ngasih ruang buat usaha pribadi, tapi juga enggak lupa ngurusin rakyatnya biar kagak ada yang kelaparan atau ketinggalan. Semua kebijakan ekonomi dan politik ditata biar adil, nggak cuma mikirin untung doang. Koperasi jadi contoh nyata—usaha bareng-bareng tapi tetep ada kontrol supaya nggak kacau. Intinya, demokrasi jalan terus, rakyat ikut bersuara, tapi kesejahteraan bareng-bareng tetep nomor satu. Ini tuh kayak sosialisme versi lokal—diracik sesuai selera Indonesia. Bukan yang kaku ala buku teks luar negeri, tapi lebih ke rasa gotong royong, etika kampung, dan solidaritas ala warung kopi. Dengan kata lain, Sosialismenya Sosialisme rasa sambal terasi: bukan impor ideologi mentah dari barat, tapi racikan lokal yang beraroma moral, guyub, dan anti-elit.

Sebelum kita terusin dengan pembicaraan mengenai Sosialisme dalam perspektif Indonesia, kita lakukan tinjauan sebentar topik tentang Karl Marx.
Kalau kita ambil kesimpulan bahwa hasil otoritarian di Uni Soviet itu lahir dari kombinasi ide, institusi, dan krisis, maka jawabannya agak campur rasa. Di satu sisi, ajaran Marx-Lenin bukan kayak resep instan yang otomatis bikin diktator. Faktor perang sipil, invasi asing, dan ekonomi ambruk juga super menentukan. Tapi di sisi lain, bahasa dan konsep yang dipakai Marx dan Lenin emang nyediain celah yang bisa (dan ternyata dipakai) buat melegitimasi represi.
Jadi wajar aja kalau kritikus bilang ajaran ini berbahaya. Bahayanya bukan karena pasti melahirkan teror, tapi karena di dalamnya ada istilah-istilah kayak “revolusi paksa,” “diktator proletariat,” dan “partai pelopor” yang otomatis nyempitin ruang demokrasi. Begitu ada krisis, konsep ini gampang banget dipelintir jadi justifikasi otoritarian.
So, ajaran Marx-Lenin memang nggak jamin 100% diktator lahir, tapi doi bikin pagar pengaman demokrasi jadi lebih tipis. Dan sejarah nunjukin: begitu ada api krisis, pagar tipis itu gampang kebakar. Itu sebabnya banyak akademisi bilang ide-ide ini “berisiko tinggi,” alias berbahaya kalau dilepas tanpa kontrol yang kuat.

Kalau ngomongin Marx, doski emang tipe bener-bener duniawi. Semua analisisnya soal masyarakat dan sejarah gak pernah pakai kacamata gaib, apalagi ukhrawi. Buat doski, yang ngatur hidup manusia itu bukan Tuhan atau akhirat, tapi materi: siapa punya alat produksi, siapa kerja, siapa yang diperas.
Dari awal, Marx udah kritis banget sama agama. Tahun 1843 doski nulis esai dan ngejewer agama dengan kalimat yang melegenda: “agama adalah candu rakyat.” Maksudnya, agama memang bisa bikin orang terhibur di tengah penderitaan, tapi efek sampingnya bikin orang teler—gak sadar akar penderitaannya ada di dunia nyata: penindasan kelas.
Makanya, menurut Marx, kalau mau bener-bener merdeka, manusia harus mulai dari kritik agama, tapi bukan berhenti di situ. Kritik agama cuma pintu masuk buat ngebongkar struktur kekuasaan di dunia. Kalau nggak, agama malah jadi alesan buat nerima nasib dan nggak ngelawan.
Pas masuk karya matang kayak The German Ideology dan Das Kapital, Marx gaspol ke arah materialisme sejarah. Doski bilang: cara orang produksi dan bagi hasil itu yang nentuin kesadaran, bukan sebaliknya. Jadi agama, moral, bahkan filsafat, semua itu cuma “bangunan atas” yang tumbuh dari basis ekonomi.
Soal Tuhan? Marx ateis total. Doski nganggep Tuhan itu ilusi ciptaan manusia. Menurutnya, manusia harus berhenti naro esensinya di langit, karena sejatinya: “manusia adalah makhluk tertinggi bagi manusia.”
Jadi gampangnya: Marx selalu pilih dunia nyata ketimbang dunia akhirat, materi ketimbang spiritual. Doski nggak percaya Tuhan, nganggep agama itu bikin orang pasrah, dan yakin kebebasan sejati cuma bisa dicapai kalau manusia berjuang bareng-bareng ubah kondisi materi mereka—di bumi, bukan di surga.

Kalau Marx itu full duniawi, maka Kierkegaard sama para pemikir Islam ngeliatnya kayak: “Bro, hidup itu kagak sesempit perut ama dompet.”
Kierkegaard ngomong bahwa hidup sejati itu butuh “lompatan iman.” Buat doi, manusia baru bener-bener otentik kalau berani percaya sama Tuhan meski penuh ketidakpastian. Jadi kalau Marx ngomong agama itu candu, Kierkegaard bakal bilang: “Keliru bro, justru agama dan iman itu obat buat rasa hampa dan putus asa.”
Di dunia Islam, tokoh kayak Muhammad Iqbal nyorot hal serupa. Iqbal percaya Islam nyatuin materi + spiritual. Kalau manusia cuma ngejar materi (kayak Marx bilang), hasilnya bisa sombong, nggak adil, dan timpang. Sebaliknya, kalau cuma ibadah tanpa peduli dunia, ya jadi lari dari tanggungjawab sosial. Jadi, Islam ngajarin keseimbangan: berjuang di dunia, tapi tetep inget akhirat.
Ulama klasik juga udah ngasih pondasi. Al-Ghazali misalnya, bilang manusia itu kudu seimbang antara dunya dan akhirah. Ibnu Khaldun, lewat teori peradaban, nunjukin faktor ekonomi memang penting, tapi tetep ada nilai moral dan spiritual yang nggak bisa dihapus. Nah, Marx kebalikannya: doski bikin dunya jadi segalanya, akhirat dianggep kagak ada. Dari kacamata agama, ini bukan cuma reduktif, tapi juga berbahaya, karena bikin manusia hidup tanpa arah ke Tuhan.
Kesimpulannya: Marx cuma ngeliat horizontal (hubungan sosial, kelas, ekonomi). Sementara Kierkegaard, Iqbal, dan para ulama ngeliat vertikal juga: hubungan manusia ke Tuhan, keabadian, dan akhirat. Jadi clash-nya emang fundamental: Marx bilang kebebasan ada di bumi lewat revolusi materi, sedangkan agama bilang kebebasan sejati ada kalau jiwa juga merdeka di hadapan Tuhan.

Mao Zedong baca karya Karl Marx bukan kayak akademisi di perpustakaan, tapi kayak jenderal lagi nyari strategi perang. Doi kagum sama Das Kapital dan tulisan Marx–Engels, tapi jujur aja, doski pernah bilang buku itu “tebel dan susah dimengerti.” Bahkan doi ngaku harus baca berkali-kali baru nyantol. Tapi buat Mao, yang penting bukan detail rumus Marx, melainkan metodenya: materialisme sejarah dan analisis pertarungan kelas.
Bedanya sama Marx, Mao hidup di China yang isinya mayoritas petani, bukan buruh pabrik kayak di Eropa. Jadi doi bikin “remix” Marx: kalau di Eropa proletariat jadi motor revolusi, di China justru petani yang bisa jadi kekuatan utama. Ini jelas beda dari Marx ortodoks, tapi Mao bilang tetep sesuai dengan “semangat” metode Marx.
Buat Mao, komunisme itu bukan sekadar ambil alih negara terus beres. Doi percaya harus ada revolusi terus-menerus. Bahkan setelah partai berkuasa, bisa muncul “borjuis baru” di dalam partai sendiri. Makanya doski bikin kampanye kayak Revolusi Kebudayaan buat ngelawan “kapitalis jalan baru.” Jadi kalau Marx ngomong “diktator proletariat,” Mao ngegas lebih jauh: diktator plus mobilisasi massa tanpa henti.
Mao juga suka kasih bumbu lokal. Doski ngegabungin dialektika ala Marx sama filsafat China klasik soal “kontradiksi.” Esai terkenalnya, On Contradiction (1937), nunjukin doi percaya kunci memahami masyarakat ada di cara ngelola kontradiksi. Jadi Marxisme buat Mao bukan kitab suci, tapi alat tempur yang fleksibel.
Singkatnya: Mao hormat banget sama Marx, tapi doi percaya ajaran Marx harus di-upgrade biar relevan dengan China. Komunisme ala Mao itu revolusi abadi, motor utamanya petani, dijalanin lewat manajemen kontradiksi, dan dijaga ketat dari pengkhianat internal. Buat Mao, Marx bukan sekadar filsuf, tapi senjata ideologis buat perang kelas.

Kalau Marx itu mikir revolusi bakal pecah di negara industri maju pas buruh pabrik udah muak sama bos. Mao nge-remix total: di China yang mayoritas petani, justru petani lah motor utama revolusi. Jadi kalau Marx ngasih spotlight ke buruh pabrik, Mao geser kameranya ke sawah.
Buat Marx, revolusi itu kayak season finale: sekali rebut kekuasaan, terus masuk fase transisi diktator proletariat, lalu negara makin lama bakal “memudar” sendiri. Mao nggak setuju. Buat doi, revolusi itu series tanpa tamat, harus jalan terus bahkan setelah partai berkuasa. Kenapa? Karena bisa aja muncul “borjuis baru” dari dalam partai.
Soal negara, Marx percaya suatu saat bakal lenyap karena nggak ada lagi kelas yang harus ditindas. Mao sebaliknya: negara harus makin dikuatkan, jadi benteng permanen buat ngehajar siapa pun yang dianggap musuh. Alih-alih “negara memudar,” versi Mao malah “negara nge-gym biar makin berotot.”
Terakhir, soal dialektika. Marx pakai dialektika materialis buat analisis sejarah. Mao ngasih versi praktis + aktivis. Di esai On Contradiction dan On Practice, doi bikin dialektika kayak buku panduan buat kader desa: cara ngerti kontradiksi, cara bertindak, cara mobilisasi massa.
Kesimpulannya: Komunisme Marx itu teoritis banget, nyiapin model buat negara industri masa depan. Mao lebih pragmatis, ngoprek ajaran Marx biar cocok sama realitas China: petani jadi motor, revolusi tanpa henti, negara dipertahanin mati-matian, dan teori dialektika dibikin jadi manual aksi sehari-hari.

[Bagian 11]
[Bagian 9]

Bahaya Komunisme bagi Demokrasi Indonesia (9)

Di dua panggung berbeda—Kathmandu dan Jakarta—anak-anak Gen Z lagi-lagi jadi bintang utama. Bukan di TikTok, tapi di jalanan. Mereka turun bukan buat joget, tapi buat protes. Isunya mirip: korupsi, nepotisme, ekonomi yang bikin dompet nangis, dan para elite politik yang hidupnya kayak sinetron anak penggede.
Di Nepal, trigger-nya cukup dramatis: pemerintah nge-ban medsos kayak Instagram dan TikTok. Gen Z langsung bilang, “Wait, what?!” dan turun ke jalan. Dianggap kayak episode Black Mirror, larangan itu dinilai nyerang kebebasan berekspresi. Di Indonesia, vibes-nya mirip, tapi lebih fokus ke reformasi politik, keadilan sosial, dan transparansi. Pokoknya, kalau bisa ngexpose “Nepo Kids” ala selebgram, kenapa nggak ngexpose elite politik juga?
Medsos jadi senjata utama. Dari thread Twitter sampai IG story, semua dipakai buat ngumpulin massa, nyebar keresahan, dan bikin meme-meme pedas yang lebih tajem dari debat Capres.

Tapi beda negara, beda level dramanya. Nepal langsung masuk mode chaos: gedung parlemen kebakar, PM K.P. Sharma Oli mohon pareng alias pamit, dan korban jiwa pun jatuh. Militer turun tangan, jam malam diberlakukan, dan suasana jadi kayak film dystopia.
Indonesia? Meski protesnya rame dan penuh semangat, belum sampai level “game over” buat pemerintah. Fokusnya lebih ke isu-isu spesifik: hak buruh, skandal korupsi, dan kebijakan yang bikin rakyat garuk-garuk kepala. Para pejabatnya kadang ngomong pedes, polisinya ngeselin dan suka nyari kambing hitam, tapi itu belum menjadikannya sampai ke titik “gulingkan rezim”.

Di dua negara beda vibe—Nepal dan Indonesia—urusan cari kerja tuh kayak main game level hard. Sama-sama punya tantangan, tapi strategi dan konteksnya beda. Ibarat dua pemain Mobile Legends, satu pakai hero support, satu nge-push tower pakai marksman.
Di Nepal, pengangguran itu bukan sekadar statistik, tapi realita harian. Banyak anak muda kerja serabutan, freelance tanpa jaminan, atau malah nganggur sambil scroll TikTok. Pemerintah pun pasang target ambisius: 2025–2035 jadi Dekade Ketenagakerjaan Lokal. Tujuannya? Bikin kerjaan dalam negeri lewat kolaborasi bareng sektor swasta, fokus ke skill dan wirausaha. Tapi ekonomi Nepal masih nyangkut di sektor lama: pertanian, pariwisata, dan kiriman uang dari saudara yang kerja di luar negeri. Sektor baru kayak IT dan energi hijau mulai muncul, tapi belum bisa jadi penyelamat utama. Apalagi di desa, skill mismatch dan minimnya peluang bikin anak muda cuma bisa bilang: “Kerja di mana, Kak?”
Sementara itu, Indonesia lagi siap-siap panen kerjaan. Tahun 2025 diprediksi bakal ada 67.000+ lowongan baru, thanks to relokasi pabrik tekstil global ke daerah-daerah yang dulu cuma jadi latar sinetron: Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pemerintah ngegas pembangunan merata, biar tenaga kerja yang makin banyak nggak cuma numpuk di kota. Ekonomi Indonesia lebih berwarna: ada manufaktur, jasa, digital—semuanya ikut nyumbang lapangan kerja. Tapi jangan lupa, PHK di sektor lain tetep jadi ancaman. Jadi, ini bukan cerita happily ever after, tapi lebih ke “kerja keras dulu, baru healing.”

Nepal punya Gini Index konsumsi yang stabil di angka 0,33. Kedengarannya oke, tapi kalau dilihat lebih dalam, ketimpangan pendapatan dari kerja dan modal makin kelihatan, apalagi di desa. Di Indonesia, ketimpangan lebih kentara. Ada gap besar antara daerah dan sektor. Makanya, pemerintah dorong kerjaan di daerah tertinggal biar pembangunan nggak cuma numpuk di Jakarta dan sekitarnya.
Nepal dan Indonesia sama-sama punya PR besar: pengangguran muda dan ketimpangan ekonomi. Nepal masih ngandelin kolaborasi pemerintah-industri di tengah ekonomi yang jalannya pelan. Indonesia lebih agresif, pakai investasi asing dan relokasi industri buat ngegas penciptaan kerja. Tapi intinya sama: kalau lapangan kerja nggak dibuka lebar, stabilitas sosial bisa goyah. Dan anak muda? Mereka nggak cuma butuh kerjaan, tapi juga sistem yang adil dan masa depan yang nggak cuma jadi quote motivasi.

Di Nepal, rakyat bukan cuma capek sama harga bahan pokok, tapi juga muak lihat anak pejabat pamer mobil mewah, kuliah luar negeri, dan pesta yang lebih heboh dari konser K-pop. Padahal, budaya Nepal itu chill banget: sederhana, sabar, komunal. Hidup bareng, bukan saling pamer. Nilai-nilai kayak kerendahan hati dan kebersamaan itu bukan sekadar quotes di dinding rumah, tapi napas sehari-hari.
Orang Nepal tumbuh dengan ajaran Buddha dan Hindu yang ngajarin hidup selaras, bukan berlomba jadi sultan. Jadi waktu elit politik mulai “flexing” gaya hidup ala Crazy Rich Nepali, publik langsung bilang: “Ini bukan cuma norak, ini nginjek-nginjek nilai-nilai kami.”
Pamer kekayaan di tengah rakyat yang lagi berjuang itu bukan sekadar soal selera. Itu jadi simbol: korupsi yang udah mendarah daging, ketimpangan yang makin lebar, dan elit yang makin jauh dari realitas rakyat. Bagi warga Nepal, pemimpin itu harusnya melayani, bukan jadi influencer.
Makanya, kemarahan rakyat bukan cuma soal iri. Ini soal pelanggaran kepercayaan sosial. Ketika elit gagal menunjukkan empati dan malah sibuk flexing, itu dianggap sebagai penghinaan terhadap solidaritas komunal. Di Nepal, kerendahan hati bukan kelemahan—melainkan fondasi. Dan kalau fondasi itu diguncang, jangan heran kalau rakyat bangkit.

Di Indonesia, kalau pejabat atau anaknya mulai pamer mobil mewah, outfit branded, atau gaya hidup ala sultan, reaksi publik biasanya: “Bro, baca ruangan!” Sama kayak di Nepal, masyarakat kita punya nilai-nilai yang nggak bisa ditawar: rendah hati, saling hormat, dan hidup rukun. Tapi karena Indonesia itu negara seribu pulau dan sejuta adat, ekspresinya bisa beda-beda—walau satu suara soal anti-sombong.
Budaya Indonesia itu campuran antara ajaran Islam, adat lokal, dan etika komunal. Dari Aceh sampai Papua, nilai “sederhana tapi berkelas” itu bukan sekadar gaya hidup, tapi tuntutan moral. Pemimpin itu kudu jadi teladan, bukan jadi selebgram. Jadi waktu ada pejabat flexing kekayaan, publik langsung nyalain mode “detective”: ini korupsi? ini nepotisme? ini disconnect dari realita rakyat?
Di tengah rakyat yang masih mikirin harga beras dan cicilan motor, gaya hidup mewah pejabat jadi simbol keterputusan. Bukan cuma soal uang, tapi soal etika. Publik makin sadar bahwa kemewahan elit kerap datang dari sistem yang timpang—dan itu bikin geram.
Berbeda dari Nepal yang lebih homogen, Indonesia itu plural banget. Ada yang nilai pemimpin dari keshalihan, ada yang dari kepedulian komunitas, ada juga yang dari gaya komunikasi. Tapi satu benang merahnya: “sopan santun” itu bukan basa-basi. Itu standar moral. Dan kalau pejabat kagak bisa memenuhin itu, publik nggak segan buat bilang: “Out of touch, Pak.”
Baik di Nepal maupun Indonesia, anak muda jadi motor utama. Mereka nggak cuma bikin meme “Nepo Baby” atau “Anak Pejabat Pamer,” tapi juga nuntut transparansi dan keadilan. Bedanya, Nepal udah masuk mode krisis: larangan medsos, kerusuhan, PM mundur. Indonesia masih di fase “politik panas tapi belum meledak.” Tapi jangan salah, suara Gen Z makin lantang, dan tuntutan reformasi makin nyata.

Dari jalanan Kathmandu sampai timeline Twitter Jakarta, protes anak muda bukan cuma soal marah—tapi soal ngasih wake-up call ke pemerintah. Ini bukan demo asal demo, tapi sinyal keras: “Dengerin kami, atau siap-siap chaos.”
Pelajaran pertamanya, para pejabat publik yang cuek sama keresahan rakyat, apalagi Gen Z yang udah melek data dan doyan debat, bakal kena batunya. Kalau kebebasan berekspresi, akses informasi, dan peluang ekonomi dianggap remeh, jangan kaget kalau jalanan berubah jadi panggung kemarahan.
Kedua, medsos bukan cuma tempat flexing outfit atau share meme. Di era sekarang, itu alat mobilisasi. Larangan medsos kayak di Nepal? Efeknya kayak nyiram bensin ke api. Rakyat makin geram, makin solid, makin viral. Pemerintah yang overkontrol digital malah makin jauh dari rakyatnya. Meski ada yang bilang Gen Z otaknya kosong, tapi ternyata, mereka punya AI di kantong. Mau cari info soal pejabat? Tinggal klik, data langsung muncul. Kagak perlu jadi detektif, cukup jadi netizen aktif.
Ketiga, anak muda kagak mau lagi cuma dijadiin penonton politik. Mereka mau duduk di meja, ikutan bikin keputusan. Korupsi, nepotisme, pengangguran? Nggak jamannya lagi, udah basi. Yang dibutuhin: reformasi atau perbaikan nyata, bukan janji manis. Kalau suara mereka terus dibungkam, jangan heran kalau protes makin kreatif dan keras.
Keempat, protes bisa jadi awal perubahan, tapi juga bisa jadi awal kehancuran kalau nggak ditangani bijak. Dialog, reformasi, dan pemerintahan yang terbuka itu kunci. Tantangan Nepal dan Indonesia sekarang: gimana caranya ubah energi protes jadi gerakan pembaruan, bukan drama berkepanjangan atau gaya otoriter.

Inti pelajarannya, demokrasinya perlu diupdate: hormati hak rakyat, jangan cuma pas pemilu; libatin anak muda, jangan cuma dijadiin buzzer; atur ruang digital dengan bijak, bukan represif; dan terakhir gali akar masalah, bukan nutup lubang dengan janji.

Nah, sekarang waktunya kita kepoin isi Das Kapital-nya Karl Marx. Tapi tenang, biar nggak pusing kayak baca skripsi, dan juga buat kehati-hatian, di sini cuma disajiin rangkuman per bab aja—diambil dari versi lengkap edisi kedua tahun 1872, cetakan Berlin 1932, yang diterbitkan Gustav Kiepenheuer Verlag, lengkap dengan pengantar dari Karl Korsch. Jadi, ini bukan Marx ala TikTok, tapi Marx yang serius dan mudah dicerna.

Di Das Kapital, Marx tuh kayak dokter forensik yang lagi ngubek-ngubek mayat kapitalisme. Bukan cuma nyinyir, doi ngebedah satu-satu organ sistem ini—dari jantung komoditas, paru-paru relasi kerja, sampai ginjal laba yang rakus. Intinya? Kapitalisme itu sistem yang kelihatan rapi di luar, tapi dalemnya penuh modus. Buruh kerja keras, tapi hasilnya diembat bos-bos modal. Kayak kerja rodi tapi dibungkus startup vibes.
Marx ngegambarin kapitalisme kayak vampir yang nyedot tenaga kerja buat hidup. Makin canggih sistemnya, makin buruhnya ngerasa kayak NPC dalam game ekonomi. Tapi anehnya, semua orang disugesti buat percaya ini normal. Padahal, kata Marx, kapitalisme itu kayak karakter antagonis yang bakal tumbang karena dosa-dosanya sendiri—overdosis ambisi dan kontradiksi internal.

Kata Pengantar & Pendahuluan
Marx buka buku ini kayak intro serial yang ngomong: “Santai, gue nggak lagi ngasih ceramah moral, gue cuma mau ngebongkar mesin kapitalisme dari dalam.”

Bab 1: Komoditas
Barang-barang itu kayak karakter utama. Ada dua wajah: bisa dipakai buat hidup, tapi juga bisa dijual buat duit. Dari sini semua drama kapitalisme lahir.

Bab 2: Proses Pertukaran
Barang-barang dilepas ke pasar. Kayak keliatan simpel, tukar-menukar aja. Tapi sebenernya, hubungan antar manusia disulap jadi hubungan antar benda.

Bab 3: Uang
Uang muncul sebagai “aktor pendukung” tapi cepat naik kasta jadi pemeran utama. Dari sekadar alat tukar, berubah jadi bos yang ngatur segalanya.

Bab 4: Rumus Umum Kapital
Masuklah rumus legendaris M–C–M’: duit diputer lewat barang, balik lagi jadi duit yang lebih gede. Kapital itu kayak mesin self-expanding.

Bab 5: Kontradiksi Rumus
Tapi ada plot hole: kok bisa duit nambah sendiri? Marx bikin penonton mikir, “Ada yang janggal nih!”

Bab 6: Tenaga Kerja Dijual
Jawabannya: manusia itu sendiri jadi komoditas. Buruh jual tenaganya, dan di situlah bos dapet nilai lebih.

Bab 7: Proses Kerja
Kerja biasa itu kreatif. Tapi di kapitalisme, kerja jadi mesin pencetak profit buat orang lain.

Bab 8: Modal Tetap & Variabel
Modal mesin cuma nyumbang stabilitas. Modal tenaga kerja yang bikin nilai lebih lahir. Buruh = kunci cerita.

Bab 9: Tingkat Nilai Lebih
Eksploitasi buruh diterjemahin ke matematika. Marx bikin angka jadi bukti kekejaman.

Bab 10: Hari Kerja
Drama kelas pekerja vs kapitalis. Bos pengen jam kerja panjang, buruh teriak minta batasan. Kayak adegan puncak film thriller.

Bab 11: Kerja Sama
Kalau buruh bareng-bareng, hasilnya gede. Tapi kapitalis ngambil semua kreditnya.

Bab 12: Pembagian Kerja & Manufaktur
Efisiensi naik, tapi manusia jadi kayak part kecil dalam mesin. Diri mereka dicincang jadi “fungsi kerja.”

Bab 13: Mesin & Industri Modern
Revolusi Industri datang. Mesin keliatan keren, tapi sebenernya bikin buruh jadi budak baru.

Bab 14: Nilai Lebih Absolut & Relatif
Bos punya dua jurus: tambah jam kerja atau bikin kerja lebih cepat. Dua-duanya ngerampas tenaga buruh.

Bab 15: Perubahan Upah & Nilai Lebih
Naik-turun gaji cuma ngubah strategi bos. Sistemnya tetep sama: peras tenaga buruh.

Bab 19: Misteri Upah
Upah kelihatan kayak bayar kerja penuh, padahal cuma harga tenaga kerja. Sisanya? Gratis buat kapitalis.

Bab 20: Upah Waktu
Dibayar per jam itu keliatan fair. Tapi bos bisa makin ngegas eksploitasinya.

Bab 21: Upah Borongan
Dibayar per unit bikin buruh saling sikut. Kompetisi = kontrol.

Bab 22: Upah Antar Negara
Beda gaji di tiap negara bukan soal budaya, tapi kapitalisme global yang nggak rata.

Bab 23: Reproduksi Sederhana
Kapital muter terus, ngehisap buruh, dan bikin sistem eksis tanpa perlu ekspansi.

Bab 24: Reproduksi Diperluas
Kalau laba di-reinvest, kapitalisme jadi makin gede dan makin invasif.

Bab 25: Hukum Umum Akumulasi
Makin gede kapital, makin banyak buruh nganggur cadangan. Bos butuh “army of the unemployed” buat nahan upah tetap rendah.

Bab 26: Akumulasi Primitif
Kapitalisme lahir dari darah, kolonialisme, perampasan tanah, dan kekerasan. Asal-usulnya horor, bukan dongeng indah.

Bab 27: Teori Kolonisasi Modern
Koloni jadi laboratorium kapitalisme. Semua kontradiksi ditelanjangi di sana.

Lampiran
Marx ngasih bonus track: catatan studi, daftar tokoh, bibliografi, tabel, sampai kamus istilah. Kayak “extra feature” DVD edisi kolektor.

Kritik buku Das Kapital ini macem-macem, bro: ada yang nyerang dari sisi teori ekonomi, ada yang ngulik logikanya, ada yang bilang ramalan Marx nggak kejadian, dan ada yang khawatir soal bahaya politiknya kalau ide-ide itu dipraktekin mentah-mentah.
Dari sisi ekonomi, banyak yang ngeledek Das Kapital karena Marx ngukur nilai pakai jam kerja sosial —disebut labour theory of value—padahal setelah era marginalis ekonomi mainstream pakai teori nilai subjektif (preference/utility), jadi sebagian ekonom nganggep dasar ukur Marx udah ketinggalan zaman. Intinya: Marx pake ukuran “jam kerja” buat ngebongkar laba bos, tapi sekolah ekonomi modern nggak jalan pakai jam kerja itu lagi.
Ada juga masalah teknis yang disebut “transformation problem” —kebayang nggak, Marx bilang nilai-barang berbasis tenaga kerja mesti bisa diubah jadi harga pasar, tapi matematikanya nggak rapi; sejak awal abad ke-20 sampai Sraffa dan teman-temannya, para ahli debat serius soal apakah transformasi itu bisa dilakukan tanpa kontradiksi. Jadi kalau loe suka hitung-hitungan ekonomi, bab ini bikin kepala berasap.
Terus ada kritik praktikal: para ekonomi liberal (Mises, Hayek) bilang, “Oke, misalnya kalian sukses ambil alih alat produksi—tapi gimana kalian ngatur ekonomi tanpa harga pasar?” Mereka mengajukan argumen kalkulasi dan pengetahuan: tanpa harga yang hasil dari pasar, perhitungan alokasi sumber daya bakal amburadul. Itu alesannya kenapa banyak akademisi ngeraguin kelayakan perencanaan pusat ala Marx kalau dipraktekin di dunia nyata. 
Dari sisi empiris: Marx ngira kapitalisme bakal ambruk sendiri dan buruh bakal bangkit masal di negara industri maju. Faktanya? Kapitalisme adaptif banget—ada welfare, serikat pekerja, redistribusi, teknologi baru—sehingga revolusi proletariat di negara maju nggak terjadi seperti yang doski ramalin. Kritikus pake fakta ini buat bilang ramalan Marx terlalu deterministik.

Nah, bagian paling «berbahaya» menurut kalangan akademis: ada titik-titik dalam teks Marx (dan Engels) yang terang-terangan nyebut “forcible overthrow” dan “dictatorship of the proletariat”; ini yang terdengar sebagai lampu hijau buat pemaksaan politik. Ketika Lenin dan selanjutnya pakai gagasan ini buat membenarkan kekuasaan satu partai dan represi, para kritikus bilang: lihat tuuh—retorika revolusioner itu bisa dengan gampang diubah jadi mesin otoritarian. Tapi pendukung Marx balik ngegas bahwa banyak kekejaman abad ke-20 adalah hasil penyimpangan dan kondisi historis tertentu, bukan implikasi matematis dari teori nilai Marx. Jadi perdebatan akademisnya tajam.

Ungkapan “forcible overthrow” paling masyhur ada di Manifesto Komunis (1848), yang ditulis Marx bareng Engels. Di bagian penutup, mereka ngomong lantang:“Kaum komunis menyatakan secara terbuka bahwa tujuan mereka hanya bisa tercapai lewat penggulingan paksa seluruh tatanan masyarakat yang ada.”
Kalau dibuka teks Jermannya:“Die Kommunisten erklären es offen, daß ihre Zwecke nur erreicht werden können durch den gewaltsamen Umsturz aller bisherigen Gesellschaftsordnung.”
Frasa kuncinya adalah “gewaltsamen Umsturz”, yang bisa diterjemahin jadi “penggulingan paksa” atau “penggulingan dengan kekerasan.”
Bedanya sama Das Kapital, kalau di situ Marx lebih fokus analisis ekonomi kapitalisme. Kalimat heroik “forcible overthrow” ini muncul di Manifesto, yang emang ditulis buat agitasi politik dan mobilisasi massa.

Marx ngomong soal “dictatorship of the proletariat” kayak itu fase transisi—semacam lagi ngebersihin meja sejarah dari kelas penguasa supaya akhirnya negara bisa pudar. Intinya ideal dan sementara, bukan ajakan buat jadi diktator selamanya.
Ungkapan asli yang dipakai Marx itu “Diktatur des Proletariats”—bahasa Jerman, artinya “diktator proletariat.” Tapi menariknya, Marx nggak pernah nulis kalimat itu di Das Kapital. Di buku itu doski sibuk ngulik soal komoditas, nilai lebih, dan akumulasi kapital. Istilah “diktator proletariat” nongolnya di tulisan politik lain, terutama di Kritik des Gothaer Programms (1875). Di situ doi make istilah lengkapnya: “revolutionäre Diktatur des Proletariats” alias “diktator revolusioner proletariat,” yang katanya jadi fase transisi dari kapitalisme menuju komunisme.
Bahkan lebih awal lagi, tahun 1852, Marx udah bilang di surat ke Joseph Weydemeyer bahwa kontribusi doi adalah “membuktikan perlunya diktator proletariat.” 
Marx ngomong soal “dictatorship of the proletariat” kayak itu fase transisi—semacam lagi bersihin meja sejarah dari kelas penguasa supaya akhirnya negara bisa pudar. Intinya ideal dan sementara, bukan ajakan buat jadi diktator selamanya.
Lenin baca itu dan bilang: “Oke, kita nggak bisa nunggu manis—harus robohin negara lama, bangun kekuasaan buruh lewat partai yang disiplin, dan pakai represi ke musuh-musuh kelas kalau perlu.” Doi bikin gagasan itu jadi blueprint operasional: vanguard party, senjata buat rakyat, dan hukum keras buat yang dianggap kontra-revolusi.
Praktik di lapangan? Nah, setelah revolusi, pilihan politik dan kondisi darurat (perang sipil, blokade, isolasi internasional) bikin kekuasaan ngumpul di tangan sedikit orang. Partai pegang monopoli politik, polisi rahasia jadi normal, lawan politik diciduk—dan itu membuka jalan buat pemimpinnya (halo, Stalin) buat ngegas kebijakan brutal: kolektivisasi paksa, industrialisasi instan, dan pembersihan massal (Great Terror). Hasilnya jauh dari “negara yang memudar”—malah negara makin beringas. 

Jadi apa yang “berbahaya” menurut akademisi? Beberapa poin: pertama, retorika Marx tentang “penindasan kelas” bisa disalahtafsirkan sebagai alasan moral buat represi kalau aktor politik milih jalur itu. Kedua, model Lenin tentang partai vanguard dan monopoli kekuasaan bikin mekanisme yang gampang berubah jadi satu-partai otoriter. Ketiga, klaim bertindak mewakili “mayoritas kelas” bikin pemimpin gampang nyebut kritik itu pengkhianatan, yang akhirnya melegitimasi tindakan keras. Semua itu bukan “otomatis”—bukan hukum alam—tapi jalurnya nyata dan historis.
Tapi juga jangan simplifikasi: banyak sejarawan bilang nggak cukup nyalahin teks Marx doang. Ada perang, isolasi, amburadul ekonomi, perebutan birokrasi, dan ambisi personal yang ikut nentuin. Jadi diskusinya tetep sengit: seberapa besar ide-ide itu “menyebabkan” teror, atau justru kondisi dan aktor lah yang memanfaatkannya? Jawabannya: kombinasi keduanya — ide memberi peta, kondisi memberi bahan bakar, dan aktor memegang korek.

Kesimpulan singkatnya: Das Kapital itu kayak alat mikroskop yang ngebongkar mesin kapitalisme—banyak yang kagum sama insight-nya—tapi kritiknya juga tebal; ada masalah teknis, prediksi yang gagal, dan potensi politik yang berbahaya kalau ide-ide revolusioner dipraktekin tanpa kontrol demokratis. 

Inti ajaran Komunis Karl Marx paling nendang ada di Manifesto Komunis (Manifest der Kommunistischen Partei dalam bahasa Jerman), yang doski tulis bareng Friedrich Engels tahun 1848. Buku ini bukan buku teori ekonomi yang bikin ngantuk, tapi lebih kayak flyer konser underground yang ngajak buruh buat bangkit dan ngegas sistem. Marx buka-bukaan: sejarah itu isinya drama rebutan kekuasaan antara kelas atas (borjuis) dan kelas pekerja (proletar). Kapitalisme, yang dulu katanya keren dan progresif, sekarang cuma jadi sistem yang bikin buruh kerja rodi tapi hasilnya diambil bos-bos elite.
Manifesto ini ngajak buat hapus kepemilikan pribadi, ubah sistem produksi jadi milik bersama, dan bubarin kasta sosial. Gaya bahasanya nggak pake basa-basi—bukan minta reformasi, tapi ngajak revolusi. Kalimat penutupnya yang legendaris, “Proletarier aller Länder, vereinigt euch! [Kaum buruh sedunia, bersatulah!]”, bukan sekadar tagline, tapi ajakan demo massal. Marx ngebayangin dunia dimana kekuatan ekonomi nggak lagi dikuasai segelintir orang, tapi dibagi rata buat semua.