Sabtu, 21 Juni 2025

Mari Bicara Soal Kemiskinan (4)

Perang dan kemiskinan itu kayak temen toxic yang saling nyeret ke jurang. Begitu perang meletus, kemiskinan langsung nyusul kayak api kena bensin. Sekolah dan rumah sakit rontok—anak-anak gak bisa belajar, orang sakit gak bisa diobatin. Warga terusir, kehilangan rumah, KTP, dan kerjaan. Harga makanan naik, uang gak ada artinya, pasar kayak kuburan.
Siklusnya gak berhenti di situ. Kemiskinan juga bisa jadi pemicu perang. Di tempat-tempat yang udah laper dan nganggur parah, orang jadi gampang marah, gampang dibakar ide radikal. Bukan karena mereka benci, tapi karena butuh makan. Politikus culas bisa manfaatin ini—bikin orang miskin jadi pasukan, ngasih senjata ke yang putus asa, terus bungkus semuanya dengan slogan taklid nasionalisme buta atau revolusi batil.

Sejarah udah ngomong dari Sierra Leone sampai Suriah: kalau gak ada roti, yang datang selanjutnya darah. Damai itu gak cukup cuma tandatangan di meja—harus ada martabat, kestabilan, dan janji bahwa hidup setelah perang itu masih layak diperjuangkan.

Konflik Iran–Israel sering dibungkus pake narasi agama, ideologi, atau soal senjata nuklir. Tapi di balik semua itu, ada luka ekonomi dan bayang-bayang kemiskinan yang gak pernah sembuh. Di Timur Tengah, generasi demi generasi tumbuh di bawah sanksi, blokade, pendudukan militer, dan bom-bom udara. Hidup jadi mandek, masa depan kaya dilucuti pelan-pelan.
Ceritanya tuh gini—Israel tiba-tiba ngegas tanggal 13 Juni 2025 lewat Operasi Singa Terbit, nyerang fasilitas nuklir dan militer Iran di Natanz sama Isfahan. Nggak cuma target militer yang kena, tapi juga warga sipil dan pejabat penting. Iran langsung murka.
Alasan Israel? Katanya Iran udah main-main sama uranium, nyaris sampe level buat bikin senjata nuklir. Tapi Iran bilang, “Eh salah, bro! Ini buat listrik doang kok, serius.” 
Terus Iran bales lewat True Promise III, ngehujani Tel Aviv, Haifa, sama Yerusalem pake rudal dan drone. Chaos banget. Infrastruktur penting rusak, korban jiwa jatuh.
Tapi konflik ini bukan baru kemarin sore, sih. Udah lama banget mereka panas-panasan. Iran deket ama gengnya—Hizbullah dan Hamas—sementara Israel suka ngintip operasi Iran di Timur Tengah.

Iran udah puluhan tahun dicekik sanksi ekonomi global. Katanya buat nahan program nuklir, tapi efek nyatanya bikin harga-harga naik, orang nganggur, obat dan makanan langka. Dan yang paling kena, ya, rakyat kecil. Dalam kondisi sesak kayak gitu, pemerintah Iran jualan narasi nasionalisme dan “perlawanan” buat tetap kuat di dalam negeri.
Israel di sisi lain juga jor-joran duit buat pertahanan. Secara teknologi dan ekonomi, mereka lebih maju. Tapi itu juga bikin negaranya hidup terus-terusan dalam tekanan. Di balik tembok keamanan tinggi, masih ada jurang kemiskinan—terutama antara warga Yahudi dan Arab, kota dan pinggiran.

Akhirnya, konflik Iran–Israel bukan cuma soal politik tinggi. Ini tragedi manusia—diwarnai kemiskinan, harga diri, dan ketakutan yang mahal banget ongkosnya.
Sekarang dunia lagi panik, takut drama ini makin melebar. Banyak yang bilang, “Eh tolong, damai kek—jangan bikin makin ribet dunia!”

Drama Iran vs Israel ini bukan cuma ribut-ribut tetangga sebelah, tapi udah kayak sinetron prime time yang bikin dunia ikut deg-degan. Setelah Israel nge-bomb fasilitas nuklir Iran, Iran langsung ancam nutup Selat Hormuz—jalur sempit tapi vital buat nganterin hampir 20% minyak dunia. Baru ancaman doang, harga minyak udah naik lebih dari $10 per barel. Dompet rakyat? Auto megap-megap.
Efeknya? Bensin makin mahal, ongkos kirim naik, harga mie instan pun bisa ikutan nyusul. Negara-negara yang doyan impor energi—kayak Indonesia, India, sampai negara-negara Eropa—lagi pusing tujuh keliling. Inflasi yang udah nyesek, sekarang makin jadi.
Jalur dagang juga ikut kena getahnya. Kapal-kapal yang lewat Laut Merah dan Selat Hormuz sekarang harus bayar asuransi lebih mahal dan siap-siap telat nyampe. Eksportir Asia udah mulai ngeluh: “Barang belum nyampe, ongkos udah bengkak.”

Di panggung diplomasi, negara-negara besar lagi saling lirik. AS dan Uni Eropa ditekan buat ambil sikap, sementara China—yang langganan beli minyak Iran—bilang, “Eh, jangan ribut dulu, minyak gue lewat situ!”
Pasar saham? Langsung galau. IHSG di Indonesia turun, investor pada tarik napas panjang. Yang senyum cuma perusahaan energi, sisanya lagi cari pelampung.
Intinya, ini bukan sekadar konflik dua negara. Ini kayak efek domino global yang bisa ngacak-ngacak peta energi, perdagangan, dan politik dunia. Dan kayaknya, episode berikutnya masih paanjaang.

Mari kita omongin skenario terburuk dan bagaimana negara-negara Asia dapat nemuin jalan keluar dari badai geopolitik ini.
Kalau skenarionya bener-bener ambyar, konflik Iran–Israel bisa meledak jadi perang regional gede-gedean, kayak crossover film Marvel tapi versi Timur Tengah. Kalau Iran beneran nutup Selat Hormuz, dunia bakal kelabakan. Bayangin aja, 20% minyak dunia nggak bisa lewat. Harga minyak bisa tembus $150 per barel—ekonomi global langsung masuk mode panik.
Asia bakalan jadi salah satu korban paling parah. Negara kayak China, India, Jepang, dan Korea Selatan yang doyan banget minyak dari Timur Tengah bakal megap-megap. Pabrik bisa berhenti produksi, harga bensin dan makanan naik gila-gilaan, dan rakyat bisa ngamuk kalau dapur nggak ngebul.
Tapi Asia nggak bakal tinggal diam. Mereka bisa buka cadangan minyak darurat dulu buat tahan guncangan awal. Trus, mereka bakal ngebut cari energi alternatif—dari tenaga surya, nuklir, sampai impor dari Rusia, Asia Tengah, atau bahkan Afrika. Pokoknya, siapa yang punya minyak, langsung jadi sahabat.
Di jalur diplomasi, China dan India bisa jadi mak comblang, coba damaiin dua kubu yang lagi panas. Negara-negara ASEAN juga bisa kompak bilang, “Eh, stop dulu dong, kita butuh stabilitas buat dagang dan makan.”

Kalau dilihat dari sisi terang, krisis ini bisa jadi tamparan keras buat Asia supaya nggak terus-terusan tergantung ama minyak dan drama geopolitik Timur Tengah. Mungkin ini saatnya buat bangun masa depan energi yang lebih mandiri dan tahan banting. Mari kita telusuri bagaimana krisis ini dapat mengubah kebijakan energi Indonesia dan berpotensi memicu lahirnya aliansi energi baru di Asia.

Gara-gara konflik Iran–Israel, Indonesia kayak baru bangun dari mimpi panjang soal energi. Selama ini kita terlalu nyaman impor minyak, tapi sekarang, pas harga minyak naik dan jalur distribusi makin ribet, pemerintah langsung panik mode on. APBN udah ngos-ngosan, jadi strategi energi harus dirombak total.
Langkah pertama? Gaspol produksi minyak dalam negeri—target lifting udah tembus 610 ribu barel per hari. Trus, program biodiesel B50 juga digeber, biar nggak terus-terusan ngemis solar dari luar. Di daerah-daerah yang biasanya ngandelin genset diesel, sekarang mulai dilirikin pembangkit panas bumi. Go green, tapi tetep lokal.

Tapi yang lebih seru, krisis ini bikin negara-negara Asia mulai mikir, “Eh, kenapa nggak kita barengan aja?” Muncullah wacana bikin Aliansi Energi Asia—semacam geng energi yang bisa bareng-bareng nyimpen cadangan minyak, beli energi rame-rame, dan bangun infrastruktur energi terbarukan lintas negara. China, India, Indonesia, sama Korea Selatan udah mulai ngobrol-ngobrol santai soal ini. Mereka sadar, zaman sekarang, energi itu bukan cuma soal punya, tapi soal bisa bertahan bareng.
Buat Indonesia, ini bisa jadi momen emas. Bukan cuma buat lepas dari ketergantungan impor, tapi juga buat jadi pemain penting di peta energi Asia yang lebih solid dan berkelanjutan.

Perang bikin anggaran negara habis, dan kemiskinan jadi warisan. Miliaran dolar melayang buat beli roket dan drone, padahal bisa aja dipakai buat bangun sekolah atau rumah sakit. Tiap rudal yang dilepas, itu bukan cuma serangan militer—itu keputusan ekonomi juga: lebih pilih nyakitin daripada nyembuhin.

Dalam The Bottom Billion: Why the Poorest Countries are Failing and What Can Be Done About It (2007, Oxford University Press), Paul Collier ngasih tamparan keras ke dunia: ternyata, yang miskin itu bukan cuma soal belum maju, tapi soal terjebak. Ada sekitar 60 negara, rumah bagi hampir satu miliar orang, yang bukan cuma ketinggalan—tapi kaya kejebak di lumpur kemiskinan dan kekacauan. Negara-negara ini, kata Collier, kena kutukan siklus jahat: perang, korupsi, ekonomi hancur, lalu balik lagi ke perang.
Yang paling ngeri? Perang sipil. Menurut Collier, perang di negara-negara miskin ini bukan cuma sesaat—tapi panjang, berulang, dan ngancurin segalanya. Infrastruktur hancur, rakyat ngungsi, uang negara habis buat beli senjata. Dan kalaupun sempat damai sebentar, biasanya dalam lima tahun perang balik lagi. Ya gimana mau maju, baru napas udah dicekik lagi.
Tapi Collier bukan tipe akademisi yang cuma nyindir. Doski nawarin solusi: bukan belas kasihan, tapi intervensi cerdas. Bukan cuma kasih duit bantuan, tapi bantu jaga perdamaian, lawan korupsi, bikin aturan ekonomi yang bikin negara-negara ini pengen damai, bukan perang.
Lantas? Menurut Collier, kemiskinan dan perang itu kembaran jahat. Loe gak bisa ngatasi satu kalau gak sentuh yang lain. Kalau cuma kasih bantuan tanpa beresin akar konflik, itu sama aja nambal ban bocor di tengah tembakan.

Dalam Greed and Grievance: Economic Agendas in Civil Wars (2000), dua editor keren—Mats Berdal dan David M. Malone—ngajak kita buka mata: perang saudara itu gak selalu soal ideologi atau etnis. Acapkali, yang nyulut dan bikin perang makin panjang justru urusan ekonomi—kemiskinan, ketimpangan, dan rebutan sumber daya.
Mereka bilang, di negara-negara miskin yang pemerintahnya lemah dan pengangguran merajalela, perang bisa berubah jadi bisnis. Kelompok pemberontak, tentara bayaran, bahkan pejabat korup ikut rebutan duit dari hasil jarahan: batu mulia, minyak, kayu, sampai narkoba. Konflik jadi ATM, bukan bencana. Rakyat kecil? Ya tetep jadi korban, atau lebih tragis: dijadiin bahan bakar perang.
Inti dari karya ini lumayan bikin merinding: kemiskinan bukan cuma latar belakang perang—tapi senjata yang dipakai elit buat nyari untung di tengah kekacauan. Orang miskin bukan cuma keseret perang, tapi malah dijadiin pion. Perang gak lagi soal perubahan, tapi soal siapa yang dapet bagian lebih gede dari kue kekacauan.
Greed and Grievance ngajarin kita buat jangan cuma dengerin pidato politik yang manis-manis. Lihat siapa yang cuan dari perang. Kalau mau bangun perdamaian sejati, gak cukup cuma bikin pemilu atau genjatan senjata. Harus ubah ekonomi rakyat dari ladang perang jadi ladang harapan.

Dalam The Looting Machine: Warlords, Oligarchs, Corporations, Smugglers, and the Theft of Africa’s Wealth (2015, William Collins), jurnalis investigatif Tom Burgis ngebuka aib besar dunia modern: gimana perang, korupsi, dan kapitalisme global saling peluk erat buat nyedot kekayaan dari negara-negara miskin, khususnya di Afrika. Dan di balik semua itu? Ada segelintir elite—dari panglima perang lokal sampai pengusaha internasional—yang tajir melintir dari darah dan derita orang miskin.
Burgis fokusin ceritanya ke negara-negara kaya sumber daya: minyak, berlian, logam langka—semua yang bikin “wangi” di pasar global. Tapi anehnya, makin kaya isi buminya, makin miskin rakyatnya. Soalnya, kekayaan itu malah jadi bahan rebutan berdarah. Perang gak lagi soal ideologi—tapi soal siapa yang bisa nguasain tambang dan sumur minyak. Burgis sebut sistem ini “mesin penjarahan”—gabungan dari korporasi multinasional, pemerintah asing, makelar bayangan, sampai pejabat lokal yang doyan komisi.
Burgis nyeritain langsung dari lapangan: dari hutan perang sampai ruang rapat di London. Di satu sisi, anak-anak mati di rumah sakit rusak, petani lari dari ladang yang dibakar milisi. Di sisi lain, CEO minum wine sambil teken kontrak ekspor emas. Yang miskin tinggal di tenda pengungsian. Yang kaya naik jet pribadi.
Lewat karya ini, Burgis ngelempar pertanyaan pedas: kalau perang dan kemiskinan itu ternyata menguntungkan segelintir orang, apa kita masih bisa berharap dunia bakal berubah?

Kalau tiga karya ini disatuin—The Bottom BillionGreed and Grievance, dan The Looting Machine—maka jadilah semacam trilogi brutal tentang gimana kemiskinan, konflik, dan kerakusan saling nyambung dan ngasih untung buat mereka yang duduk di atas.

Di The Bottom Billion, Paul Collier ngajak kita nengok 60 negara yang gak maju-maju, bukan karena malas atau bodoh, tapi karena kejebak “jebakan konflik”. Perang di sana bikin pembangunan mandek, rakyat ngungsi, infrastruktur ambyar. Solusi Collier bukan cuma bantuan, tapi intervensi yang cerdas dan tepat sasaran: bantuan yang beneran bantu, reformasi pemerintahan, dan perdamaian yang dijaga bareng-bareng.

Lanjut ke Greed and Grievance, karya ini ngebongkar anggapan lama bahwa perang sipil itu soal dendam sejarah atau agama. Nyatanya, banyak konflik justru muncul karena peluang buat ngambil untung. Sumber daya dijarah, rakyat miskin dijadiin tentara bayaran, dan kekacauan dijadikan ladang bisnis. Perang bukan sekadar gagal diplomasi—tapi sengaja dikomporin buat cuan.

Nah, The Looting Machine bawa kita ngintip siapa dalang sebenarnya di balik layar. Tom Burgis nunjukin gimana korporasi global, pejabat asing, dan elite finansial dunia ikut pesta pora dari perang dan kemiskinan di negara-negara kaya tambang dan minyak. Di sini, penjarah bukan cuma preman bersenjata di hutan, tapi juga eksekutif berdasi yang minum anggur di ruang rapat. Kemiskinan jadi sistem yang sengaja dipelihara supaya duit terus ngalir ke kantong mereka.

Ketiga karya ini punya benang merah yang tegas: kemiskinan dan konflik itu bukan kecelakaan sejarah, tapi bagian dari sistem global yang dirancang rapi. Mereka ngajak kita buat gak cuma kasihan, tapi sadar dan marah. Dunia gak akan damai kalau yang di atas terus ngambil untung dari penderitaan yang di bawah.

[Bagian 5]
[Bagian 3]

Jumat, 20 Juni 2025

Mari Bicara Soal Kemiskinan (3)

Di sebuah desa kecil yang nyempil di balik bukit-bukit Inggris Utara, tinggallah seorang nenek tua bernama Agnes. Kalau dihitung, hartanya cuman satu jari—rumah batu dengan atap bocor dan perapian yang cuma nyala kalau angin lagi gak bandel. Tiap hari Minggu, sang nenek memanggang satu-satunya roti buat bertahan seminggu.
Suatu hari di musim dingin yang kejem banget, datanglah anak lelaki dari ladang sebelah. Badannya gemetaran, sepatunya diikat pakai tali rafia. Doski gak ngomong apa-apa. Cuma berdiri. Ngelirik. Ngelawan dingin.
Tanpa banyak nanya, nenek Agnes ngerobek rotinya, ngasih separuh yang masih hangat. “Gak banyak,” katanya, “tapi lumayan buat ngelawan dingin.”

Tahun-tahun berlalu. Desa itu berubah. Jalan-jalan diaspal, toko-toko ngegantiin sawah. Anak itu tumbuh jadi laki-laki, balik kampung sebagai wali kota.
Di hari pelantikannya, doski gak ngomong soal janji-janji klise. Doi cuma cerita satu hal: “Daku belajar makna dignity bukan dari uang atau jabatan. Tapi dari seorang nenek yang ngasihin aku setengah rotinya—dan membuat diriku ngerasa berharga.”

The Economics of Poverty karya Martin Ravallion ibarat mixtape panjang tentang kemiskinan—bukan cuma dari sisi angka, tapi juga dari sisi sejarah, moral, dan kebijakan publik. Doski bukan sekadar ngobrolin kemiskinan sebagai angka di bawah garis, tapi membedahnya sebagai sesuatu yang hidup, berubah-ubah tergantung waktu dan tempat.
Ravallion ngajak kita napak tilas dari zaman filsuf klasik sampai ke tukang bikin kebijakan zaman kini. Tapi bukan gaya kuliah yang membosankan—doi benar-benar jago nyambungin teori dan praktik. Mulai dari program bantuan tunai sampai kredit mikro, semuanya dibedah satu-satu. Dan doi juga jujur banget soal ribetnya ngukur “siapa sih yang sebenarnya miskin?”—karena ternyata itu nggak cuma soal duit, tapi juga soal dignity atau martabat manusia, akses, dan keadilan sosial.
Yang keren, doski nggak nyodorin solusi instan. Ravallion justru ngegas mereka yang doyan pendekatan copy-paste. Katanya, kebijakan harus ngerti konteks lokal, bukan cuma nurut data statistik doang. Doi juga ngingetin kalau ngurusin kemiskinan tuh urusannya bukan cuma soal APBN atau lembaga donatur, tapi soal pilihan politik, nilai kemanusiaan, dan siapa yang pegang kendali.
Ravallion ngajak kita mikir bahwa kemiskinan itu bukan cuma soal angka di spreadsheet. Ia masalah yang punya akar sejarah, dilema moral, dan keputusan politik yang panjang dan ribet. Secara sejarah, kemiskinan dulu dianggap kayak “takdir”. Kalau miskin ya udah, itu bagian dari hidup. Agama pun, menurut perspektif sang panulis, kadang menyikapinya sebagai cobaan atau hukuman. Tapi sejak Revolusi Industri, mulai banyak yang sadar bahwa kemiskinan bukan cuma soal nasib pribadi, tapi ada sistem sosial yang bikin orang bisa terus-terusan kejebak di bawah. Di sinilah mulai muncul ide kalau negara seharusnya turun tangan, bukan cuma ngandelin sedekah dari orang kaya.
Dari sisi moral, Ravallion ngebet banget ngingetin pembacanya bahwa kemiskinan itu bukan hal yang harus dianggap biasa. Dia nyentil dua kubu: yang pertama, orang yang pasrah dan bilang, “Ya memang dunia begini, ada yang kaya dan ada yang miskin,” dan yang kedua, orang yang yakin pasar bebas akan nyelesein semua masalah. Menurut Ravallion, kita butuh hati nurani. Negara dan masyarakat punya tanggung jawab untuk bikin semua orang punya kesempatan hidup layak. Dia ogah banget sama gaya pengambil kebijakan yang cuma mikirin efisiensi, tapi nggak peduli orang di bawah kelaparan.
Lalu soal kebijakan publik, Ravallion blak-blakan ngupas kenapa banyak program pengentasan kemiskinan gagal. Kadang karena terlalu umum, kadang malah terlalu sempit dan nggak nyambung sama konteks lokal. Doi nggak percaya ama teori "trickle-down" yang bilang, “Kalau orang kaya makin kaya, nanti rejekinya netes juga ke bawah.” Buat doski, solusi harus berbasis data, nyambung ama kebutuhan lapangan, dan—yang paling penting—ada kemauan politik buat berubah. Karena, menurutnya, kebijakan itu bukan netral-netral amat. Di baliknya ada nilai, ada agenda, dan ada siapa yang paling diuntungkan.
Intinya, karya Ravallion ini bukan sekadar buku ekonomi. Ia semacam wake-up call buat siapa pun yang merasa peduli—kalau loe beneran mau bantu orang miskin, jangan cuma hitung-hitungan, tapi juga kudu bawa hati dan nyali.

Dalam Handbook on Poverty and Inequality karya Jonathan Haughton and Shahidur R. Khandker (2009, The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank), kemiskinan itu gak cuma diukur dari isi dompet yang tipis. Lebih dari itu, kemiskinan dilihat sebagai kondisi serba kekurangan yang bikin orang gak bisa hidup sesuai mimpi dan nilai yang mereka anggap penting. Menurut Haughton dan Khandker, kemiskinan itu kompleks: ada yang gak punya cukup makanan, ada yang gak bisa sekolah, sakit tapi gak ke dokter, dan ada juga yang terpinggirkan secara sosial, bahkan gak punya suara dalam pengambilan keputusan.
Mereka bilang, kalau kita mau ngerti kemiskinan secara utuh, gak cukup cuma ngitung angka kemiskinan. Kita juga perlu dengerin cerita mereka yang miskin—gimana mereka menjalani hidup dan melihat diri mereka sendiri. Data itu penting, tapi harus dipotret dari berbagai sudut: laki-laki atau perempuan, kota atau desa, minoritas atau mayoritas, semua punya versi kemiskinannya masing-masing.
Uniknya, mereka gak mau lihat orang miskin sebagai korban pasif. Para penulis menekankan bahwa mereka itu pejuang dalam hidup, cuma sistem dan kondisi sekelilingnya yang sering gak adil. Jadi, solusi kemiskinan bukan sekadar bagi-bagi bantuan, tapi harus ubah struktur dari akarnya—kayak pendidikan berkualitas, akses ke kerja yang layak, dan sistem yang lebih adil buat semua.
Intinya, para penulis ngajak pembacanya buat stop lihat kemiskinan dari kacamata sempit. Kemiskinan itu bukan cuma masalah ekonomi, tapi juga soal harga diri dan pembangunan manusia yang seutuhnya.
Kemiskinan (poverty) dan ketimpangan (inequality) itu kayak dua sahabat lama yang gak bisa dipisahin, walau sebenarnya mereka beda cerita. Kemiskinan itu soal "gak punya apa-apa", sedangkan ketimpangan itu soal "siapa yang punya lebih banyak dibanding yang lain".
Haughton dan Khandker bilang, satu negara bisa aja berhasil nurunin angka kemiskinan, tapi di saat yang sama, jurang antara si kaya dan si miskin makin lebar. Sebaliknya, bisa juga negara itu cukup rata pembagiannya, tapi masih banyak orang yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Mereka menegaskan, ketimpangan itu bikin kemiskinan jadi makin dalam dan susah keluar. Kalau duit, pendidikan, dan peluang kerja cuma beredar di kalangan elite, ya si miskin cuma bisa nonton dari luar pagar. Ekonomi tumbuh sih tumbuh, tapi gak semua ikut naik kelas. Ada yang tetap ngutang buat makan, sementara yang lain nambah properti tiap tahun.
Para penulis juga ngasih peringatan: jangan cuma fokus ngurangin kemiskinan doang tapi lupa sama ketimpangan. Soalnya kalau cuma kasih bantuan tanpa ubah sistem yang bikin timpang, hasilnya cuma sementara dan bisa-bisa balik lagi ke titik nol. Intinya, kemiskinan dan ketimpangan itu kayak dua sisi mata uang—gak bisa diselesaikan satu tanpa nyentuh yang lain.

The Lie of Global Prosperity: How Neoliberals Distort Data to Mask Poverty and Exploitation (2020, Monthly Review Press) karya Seth Donnelly, kayak tamparan keras buat dunia yang keburu senang karena katanya kemiskinan global udah menurun drastis. Di mata Donnelly, klaim itu cuma “storytelling elite global” yang dibungkus data. Ia ngebongkar gimana lembaga-lembaga besar—terutama Bank Dunia—pakai standar ngawur kayak angka $1.90 per hari buat bilang, “Lihat! Orang miskin makin sedikit!” Padahal? Masih banyak orang hidup setengah mati.
Menurut Donnelly, angka $1.90 itu bukan ukuran layak hidup—itu cuma angka buat bikin narasi kelihatan sukses. Kenyataannya, banyak orang yang secara statistik dianggap “nggak miskin lagi” tapi masih makan seadanya, tinggal di gubuk reyot, dan gak pernah ke dokter. Di negara-negara seperti Haiti, Donnelly nunjukin gimana utang, eksploitasi, dan penjajahan gaya baru tetap bikin warga menderita—walau datanya bilang “membaik”.
Karya Donnelly ini bukan sekadar kritik akademik. Ia semacam seruan perang buat aktivis dan orang-orang yang gak mau dibohongi data. Donnelly ngajak kita berhenti ngeliat kemiskinan dari laporan resmi, dan mulai dengerin suara orang yang beneran ngerasain lapar dan nggak punya harapan.
Donnelly nunjukin gimana para pendukung neoliberalisme itu jago banget mainin angka biar dunia kelihatan baik-baik aja. Mereka bikin cerita indah soal “kemiskinan global yang menurun,” padahal ceritanya cuma cocok buat bahan pidato elite, bukan realita di lapangan. Senjata utamanya? Garis kemiskinan global yang super rendah: cuma $1.90 per hari!
Menurut Donnelly, angka itu bukan berdasarkan apa yang manusia butuhin buat hidup layak, tapi angka murahan yang gampang banget dimanipulasi. Jadi ketika laporan bilang “kemiskinan menurun,” aslinya orang-orang masih banyak yang gak bisa beli makan sehat, bayar sewa rumah, atau beli obat. Hidup masih berat, tapi gak masuk hitungan "miskin" versi data resmi.
Tambah parah lagi, data itu diakali pakai trik kayak Purchasing Power Parity (PPP)—cara ngitung yang bikin biaya hidup kelihatan lebih murah dari kenyataan. Akhirnya, dunia kelihatan maju, padahal orang miskin masih dihisap habis lewat utang, kerja murah, dan perampasan sumber daya di negara-negara Global South.
Dengan cara kek gitu, neoliberalis bisa bilang mereka “menang lawan kemiskinan,” padahal sistem yang bikin orang tetap miskin gak pernah disentuh. Donnelly nyebut ini sebagai propaganda data—cara licik buat matiin kritik, ngebungkam perlawanan, dan bikin kapitalisme kelihatan kayak pahlawan padahal masih jadi penjahat utama.

Kritik Seth Donnelly soal gimana neoliberalis muter-muterin data kemiskinan dunia tuh ngegas banget kalau kita lihat cara Indonesia nyajiin statistik kemiskinan. Menurut Donnelly, permainan dimulai dari definisi—garis kemiskinan dibikin serendah mungkin, sampai orang yang hidupnya udah megap-megap tetap gak dianggap “miskin.” Dan ini bukan cuma trik global, tapi juga sering kejadian di negara kayak Indonesia.
Di Indonesia, data kemiskinan resmi sering bilang angka turun, padahal patokan “miskin”-nya cuma berdasar kebutuhan makan dan energi yang paling dasar. Jadi pas pemerintah bilang kemiskinan menurun, rakyat cuma bisa geleng-geleng. Masih banyak orang yang gak punya air bersih, rumah layak, kerjaan tetap, atau akses kesehatan dan pendidikan—tapi secara statistik, katanya mereka “udah gak miskin.”
Parahnya lagi, data yang ditampilin tuh kaku banget—cuma angka persen, rata-rata nasional, tanpa nyentuh jurang ketimpangan antar daerah, antara kota dan desa, laki-laki dan perempuan. Penderitaan itu disembunyikan di balik grafik.
Kayak yang Donnelly bilang, data ini bukan sekadar angka. Ini strategi buat bikin semuanya kelihatan baik-baik aja. Ini propaganda data versi lokal—bukan bohong terang-terangan, tapi semacam kamuflase supaya kita gak nanya: “Siapa yang nentuin batas miskin? Dan siapa yang paling diuntungkan kalau kemiskinan terus dikecil-kecilin?”

Data terbaru nunjukin kalau angka kemiskinan di Indonesia memang udah turun, tapi belum sesuai target yang diharapkan banget. Di bulan Maret 2024, persentase orang miskin tercatat 9,03%, turun dari 9,36% di Maret 2023, dengan total orang miskin sekitar 25,22 juta jiwa. Sampai September 2024, angka kemiskinan makin turun jadi 8,57% atau sekitar 24,06 juta orang, berkurang sekitar 3,67 juta orang dibanding sebelumnya.
Penurunan ini terjadi meskipun masih ada tantangan gede banget, terutama kemiskinan ekstrem yang walaupun udah turun, tapi masih cukup tinggi dengan sekitar 6 juta orang. Pemerintah terus ngejalanin berbagai program bansos dan peningkatan penghasilan buat mempercepat penurunan kemiskinan.
Intinya, orang miskin di Indonesia emang udah berkurang dalam beberapa tahun terakhir, tapi penurunannya belum maksimal dan masih ngadepin berbagai tantangan. Taapi, ada kritik juga nih, kalau garis kemiskinan yang dipake BPS beda ama standar internasional, jadi angka kemiskinan resmi mungkin belum sepenuhnya ngegambarin kondisi ekonomi real masyarakat yang masih banyak yang struggle secara finansial.

BPS pake standar garis kemiskinan yang dihitung berdasarkan cost of basic needs alias kebutuhan dasar, dimana rumah tangga miskin ngeluarin duit sekitar 75% buat makan dan 25% buat kebutuhan non-makanan, dengan komposisi barang yang hampir nggak berubah sejak 1998. Garis kemiskinan ini dihitung dari pengeluaran minimum buat kebutuhan makan dan non-makan biar nggak dikategoriin miskin, misalnya di September 2024 garis kemiskinannya Rp595,242 per orang per bulan, dengan 74,5% kontribusinya dari kebutuhan makan.
Sementara itu, standar internasionalnya Bank Dunia pake pendekatan Purchasing Power Parity (PPP) yang ngitung perbedaan harga kebutuhan dasar antar negara, dengan garis kemiskinan ekstrem sekitar $1,90 per hari (atau sekitar Rp12,000 per orang per hari), dan nyaranin peningkatan standar jadi $3,2 atau lebih sesuai status negara berpendapatan menengah. Standar BPS cenderung lebih rendah dibanding standar Bank Dunia karena belum sepenuhnya nyesuain komposisi pengeluaran non-makanan yang sekarang makin gede, plus belum update komoditas yang dihitung secara signifikan dari dulu.
Intinya, perbedaan utamanya adalah BPS pake standar berbasis pengeluaran kebutuhan dasar dalam rupiah dengan komposisi jadul, sedangkan standar internasional pake pendekatan PPP yang lebih dinamis dan nyesuain daya beli antar negara. Ini bikin angka kemiskinan menurut BPS biasanya lebih rendah dibanding kalau dihitung pake standar internasional.

Kalau pake standar internasional Bank Dunia, jumlah orang miskin di Indonesia jauh lebih banyak banget dibanding data resmi BPS. BPS nyatet tingkat kemiskinan sekitar 8,57% atau sekitar 24 juta orang per September 2024 dengan garis kemiskinan sekitar Rp595,000 per orang per bulan. Tapi, Bank Dunia make standar garis kemiskinan yang lebih tinggi berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) dan harmonisasi antar negara.
Menurut kajian, kalau pake standar internasional yang lebih realistis dan setara sama negara tetangga kayak Timor Leste, tingkat kemiskinan Indonesia bisa nyampe sekitar 30% dari total populasi, jauh di atas angka resmi BPS yang cuma sekitar 8%. Ini artinya jumlah orang miskin sebenarnya bisa nyampe sekitar 80 juta orang atau lebih, bukan cuma 24 juta.
Perbedaan ini terjadi karena BPS pake standar garis kemiskinan yang udah lama dan cenderung rendah, sementara Bank Dunia dan standar internasional ngitung biaya hidup dan daya beli yang lebih sesuai kondisi sekarang dan perbandingan antar negara. So, kalau pake standar internasional Bank Dunia, jumlah penduduk miskin di Indonesia bisa tiga kali lipat lebih banyak dari angka resmi BPS, yakni sekitar 30% dari populasi.

Menurut Seth Donnelly, salah satu dampak paling gawat dari “propaganda data versi lokal” adalah rusaknya kesadaran publik dan matinya niat politik buat berubah. Ketika statistik resmi dimainin supaya kelihatan seolah-olah kemiskinan makin turun—padahal kenyataan di lapangan bilang sebaliknya—pemerintah jadi bebas dari tanggungjawab buat beresin akar masalah. Ini semacam ilusi kemajuan yang bikin orang gak bisa ngamuk, kritik jadi tumpul, dan kemiskinan dianggap cuma angka dalam spreadsheet, bukan darurat kemanusiaan.
Narasi batil ini juga bikin solidaritas sosial makin lemah. Orang-orang yang masih hidup susah jadi kayak hantu—gak kelihatan di media, gak masuk peta kebijakan. Bukan karena disensor, tapi karena sengaja diabaikan. Kata Donnelly, makin gak kelihatan orang miskin, makin enak posisi elite: sistem eksploitatif bisa jalan terus sambil pura-pura ngasih “kemajuan.”
Yang lebih ngeri, data palsu ini sering dipakai buat ngehalalin kebijakan sadis: potong bantuan sosial, cabut subsidi, jual aset publik ke swasta—all in the name of “efisiensi” atau “pertumbuhan ekonomi.” Padahal rakyat kecil makin susah.
Akhirnya, Donnelly kasih warning yang tegas: kalau rakyat dibohongi tentang realitas hidup mereka sendiri, gimana mereka bisa nuntut keadilan? Disaat data berubah jadi alat sulap, kemiskinan jadi makin susah dilihat, makin susah diperjuangkan, dan sayangnya… makin gampang diabaikan.

[Bagian 4]
[Bagian 2]

Kamis, 19 Juni 2025

Ijazah Keramat: Negara Bisa Chaos (Katanya)

 
Ah iya, kisah penuh misteri tentang ijazah Presiden Konoha, Mulyono—katanya sih, kalau sampai diperlihatkan ke publik, negara bisa chaos. Serius, apa iya selembar kertas bisa bikin dunia kiamat? Itu bukan ijazah, bro, itu kayaknya mantra kuno dari Atlantis.
Bayangin deh: begitu ijazah itu dibuka, langit mendadak gelap, gempa bumi mengguncang, rakyat berlarian sambil teriak, “Akhirnya... kita lihat juga kertas keramat itu!” Dramanya setara Avengers: Endgame, tapi versi koplak.
Di zaman dimana pejabat lain hobi pamer gelar, bahkan sampe nulis buku berjudul “Jejak Langkahku”, di sini malah ada ijazah yang katanya terlalu dahsyat buat ditunjukin ke publik. Mungkin bukan ijazah biasa—siapa tahu isinya silsilah Raja Majapahit, atau password Wi-Fi istana.
Dan tentu saja, logika klasik: kalau publik curiga, jangan klarifikasi—tapi bikin suasana makin horor. “Jika ijazah ini dibuka, negeri ini tak akan sama lagi.” Ini udah kayak trailer film distopia: “Di tahun penuh teka-teki, satu dokumen mengancam keseimbangan bangsa...” (suara Morgan Freeman membahana).
Padahal ya, di negara normal, ijazah itu bukan benda keramat. Dicek, diverifikasi, selesai. Tapi di sini, di Konoha, ijazah itu levelnya udah kayak resep rahasia bakso Wonogiri—gak boleh dibagi, karena bisa mengguncang stabilitas negeri.

Dari zaman ke zaman, sejarah dunia udah berkali-kali mencatat orang-orang yang berhasil menipu seluruh bangsa, naik ke tampuk kekuasaan dengan janji-janji manis, tapi ujung-ujungnya justru jadi mimpi buruk buat rakyat sendiri.
Contoh yang amat dikenal ialah Adolf Hitler di Jerman. Usai negaranya babak belur pasca Perang Dunia I dan dihina lewat Perjanjian Versailles, Hitler muncul kayak pahlawan kesiangan. Doi jualan mimpi—bahwa Jerman bakal bangkit, bakal jadi kuat lagi, dan semua itu bisa terjadi asal doski dikasih kuasa penuh. Lewat pidato membakar semangat, propaganda kelas dewa, dan menciptakan musuh fiktif dari kalangan Yahudi dan komunis, Hitler berhasil nge-gaslighting jutaan rakyat Jerman. Tapi begitu pegang kekuasaan, doi malah menutup demokrasi, ngebredel oposisi, dan memulai salah satu genosida paling mengerikan dalam sejarah manusia—Holocaust. Bukan cuma rakyatnya yang jadi korban, tapi dunia juga ikut-ikutan terbakar lewat Perang Dunia Kedua.
Gaya yang hampir sama dipakai juga oleh Benito Mussolini di Italia. Awalnya tampil gagah berani, katanya mau bangkitin kejayaan Romawi kuno. Tapi begitu berkuasa, semua berubah. Demokrasi dilindas, rakyat dibungkam, dan Italia malah ditarik ke dalam perang yang bikin negeri itu hancur-hancuran.

Kasus yang lebih ngeri lagi datang dari Asia Tenggara: Pol Pot di Kamboja. Doski ngejanjiin mau bikin masyarakat tanpa kelas, tanpa kemiskinan, semua setara. Tapi realitanya, begitu doi nguasain pemerintahan, yang muncul justru mimpi buruk: ratusan ribu orang dibantai, dipaksa kerja sampai mati, bahkan hanya karena pakai kacamata pun bisa dibunuh—karena dianggap "intelek".
Di Filipina, ada Ferdinand Marcos. Awalnya sih terpilih secara demokratis, gaya elegan, pintar ngomong. Tapi setelah menjabat, doi pura-pura ngadepin ancaman komunis buat mengumumkan darurat militer. Hasilnya? Demokrasi dimatiin, oposisi dipenjara, rakyat ditindas, dan kekayaannya? Wow—nggak habis tujuh turunan.
Mobutu Sese Seko dari Kongo juga sama. Doi tampil sebagai pahlawan anti-kolonial, menjual narasi nasionalisme Afrika. Tapi begitu duduk manis di atas kekuasaan, yang ada cuma korupsi, pemborosan, dan rakyat yang makin miskin.
Dunia Islam klasik juga nggak bebas dari tipu-tipu politik kayak gini. Ada penguasa yang ngaku-ngaku wakil Tuhan di bumi, tapi naik takhta dengan mengkhianati janji, menindas ulama, dan menjadikan agama cuma alat stempel kekuasaan. Di banyak kitab sejarah Islam, orang kayak gini sering disebut bagian dari fitnah akhir zaman—penguasa yang menebar kebohongan demi takhta.

Semua cerita ini punya pola yang sama: jualan harapan, pancing emosi rakyat, bikin musuh imajiner, lalu klaim diri sebagai penyelamat bangsa. Tapi begitu rakyat percaya, yang mereka dapat justru penindasan, krisis, dan kehancuran. Mereka bukan pahlawan, tapi serigala berbulu domba.
George Santayana pernah ngomong gini, “Bangsa yang lupa sejarah bakal mengulanginya.” Dan entah kenapa, masih banyak yang ngeyel.

Dalam bukunya On Tyranny: Twenty Lessons from the Twentieth Century (2017, terbitan Tim Duggan Books), sejarawan Yale bernama Timothy Snyder ngasih peringatan keras: tirani zaman sekarang tuh gak selalu datang dengan tentara dan tank—tapi dengan narasi dan kebohongan yang diulang-ulang.
Menurut Snyder, pemimpin otoriter masa kini gak cuma jago main kuasa, tapi juga jago main cerita. Mereka tampil kayak "juru selamat bangsa", seolah-olah cuma mereka yang bisa beresin negara, bersihin korupsi, atau balikin kejayaan masa lalu yang katanya hilang entah ke mana. Tapi supaya citra itu bisa laku, mereka bikin dulu musuh bayangan—kadang imigran, kadang oposisi, kadang sejarah, kadang bahkan satu kelompok etnis sendiri. Intinya: rakyat harus punya sesuatu (atau seseorang) buat dibenci, dan si pemimpin tampil sebagai penyelamat.
Yang bikin ngeri? Mereka gak cuma ngelesin fakta—tapi bener-bener ngerombak sejarah. Mereka ngaku punya masa lalu yang heroik, silsilah ningrat, atau gelar akademik yang gak bisa dibuktiin. Kadang sejarah bangsa dimodifikasi, dikurasi ulang biar cocok ama "kisah kepahlawanan" sang penguasa. Kalauloe nanya, “buktinya mana?”, jawabannya bisa aja: "Itu rahasia negara."
Snyder bilang, bahaya utamanya adalah: rakyat bisa mati rasa ama kebenaran. Awalnya bohong kecil, lama-lama jadi biasa, dan akhirnya... semua orang gak peduli lagi mana yang bener. Yang penting viral, yang penting dramatis, yang penting "pemimpin kami keren!" Lama-lama, fakta jadi gak penting—yang penting narasi dan kesetiaan.
Snyder juga bedain antara memori sipil dan nostalgia abal-abal. Memori sipil itu kayak ngaca jujur ke masa lalu bangsa—pahit ya pahit, tapi itu bagian dari tumbuh. Tapi nostalgia fiktif? Itu dongeng indah yang gak pernah ada, tapi dijual ke rakyat sebagai masa kejayaan yang "bisa kembali lagi"—asal pilih orang yang tepat (alias doski).
Jadi intinya, kata Snyder: propaganda, ijazah palsu, dan mitos diri bukan kecelakaan politik zaman sekarang—tapi senjata utama tirani modern. Dan yang bikin serem: semuanya dibungkus rapi dalam label “nasionalisme buta” dan “negara adalah harga mati.”

Dalam karya legendaris The True Believer: Thoughts on the Nature of Mass Movements (1951, terbitan Harper & Row), Eric Hoffer ngebongkar satu rahasia kelam tentang manusia: ternyata, rakyat gak selalu cari kebenaran—mereka cari harapan. Apalagi kalau hidup lagi susah, nasib mentok, dan masa depan terasa kayak dinding kusam. Disitulah, pemimpin karismatik muncul kayak superhero layar lebar—bukan karena logikanya kuat, tapi karena ceritanya menyentuh hati.
Hoffer bilang, orang gampang keikut gerakan massa atau figur kuat karena mereka haus makna. Mereka mau jadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari hidup pribadi mereka yang sepi atau penuh tekanan. Nah, pemimpin karismatik tahu banget celah ini. Doi gak perlu bener-bener pinter atau jujur—yang penting doski pede, lantang, dan bisa bikin rakyat merasa "dilihat".
Makanya, walaupun sang pemimpin terang-terangan bo'ong, asal bicaranya bikin haru, bikin bangga, atau bikin rakyat ngerasa “ini suara hati gue,” ya udah—fakta bisa disingkirin dulu. Hoffer bilang, begitu orang udah investasi emosi ke satu tokoh atau gerakan, mereka bakal bela mati-matian walau tahu ada yang gak beres. Kenapa? Karena kalau mereka ngaku salah, itu sama aja kayak ngaku hidup mereka selama ini dibangun di atas ilusi.
Hoffer juga jelasin bahwa semakin orang merasa hampa atau frustrasi secara pribadi, semakin besar kemungkinan mereka ngikut aja ke gerakan massa tanpa mikir panjang. Mereka udah capek mikir sendiri, dan lebih pengen ada yang ngasih jawaban simpel. Dan pemimpin karismatik hadir sebagai penjual jawaban cepat—walaupun isinya cuma narasi kosong, dibungkus dramatisasi nasional.
Jadi intinya: pemimpin karismatik gak butuh bukti—cukup punya kisah yang bikin rakyat merasa punya arah dan harga diri. Buat rakyat yang putus asa, kebohongan pun bisa berubah jadi "kebenaran suci" asal dibawakan dengan keyakinan dan gaya panggung yang meyakinkan.

Dalam Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (1988, terbitan Pantheon Books), Edward S. Herman dan Noam Chomsky ngasih gambaran yang tajam (dan bikin nyesek) tentang gimana media massa, yang katanya independen, ternyata sering jadi tembok pelindung kekuasaan.
Mereka bilang, media itu gak segitu bebasnya. Ada “filter-filter” tak kasat mata yang nentuin berita apa yang naik, gaya liputannya gimana, dan—ini yang paling penting—berita apa yang sengaja dihilangkan. Semua itu dikendalikan oleh kepentingan pemilik modal, elite politik, dan mereka yang pegang akses ke kekuasaan.
Nah, bayangin ada seorang pemimpin yang kariernya dibangun dari ijazah palsu atau cerita mitos kebangsawanan yang gak jelas asalnya. Kalau medianya kritis, kasus kayak gini bakal jadi headline. Tapi kalau medianya “jinak”—alias takut kehilangan iklan, akses wawancara, atau slot eksklusif—kebenaran dikubur rapi, dan citra ecek-ecek itu malah dipoles makin kinclong.
Pertanyaan sederhana kayak “Ini ijazah bener gak sih?” tiba-tiba dianggap penghinaan terhadap negara, atau malah disebut ujaran kebencian. Investigasi diganti dengan puja-puji, kritik dibungkam pakai framing, dan rakyat dicekokin narasi “pemimpin suci” yang gak boleh disentuh.
Ini bukan sensor gaya lama—bukan nutupin berita pakai palu—tapi manipulasi lembut yang dikemas seolah netral. Media tiap hari muter narasi yang sama, sedangkan suara yang beda, dikasih label “teori konspirasi” atau “provokatif”. Rakyat pun pelan-pelan nurut, bukan karena dipaksa, tapi karena udah dicekoki terus-terusan sampai gak nyadar kalau mereka cuma nerima setengah dari kenyataan.
Akhirnya, gambar pemimpin yang dibentuk media jadi lebih nyata dari orang aslinya. Teater politik jadi hiburan harian, dan rakyat gak diajak mikir, cuma disuruh terpesona. Kata Herman dan Chomsky: Propaganda zaman sekarang gak lagi nendang pintu—tapi ngetok pelan-pelan, sambil senyum.

Dalam The Dictator’s Handbook: Why Bad Behavior is Almost Always Good Politics (2011, terbitan PublicAffairs), Bruce Bueno de Mesquita dan Alastair Smith bikin peta jalan blak-blakan tentang gimana pemimpin otoriter gak bertahan karena jadi baik, tapi karena ngerti cara main kotor yang efektif.
Inti dari teori mereka adalah: pemimpin otoriter itu gak peduli ama rakyat banyak. Fokus mereka adalah kelompok kecil elit yang bikin mereka tetap berkuasa—kayak petinggi militer, partai, pengusaha besar, atau mafia politik. Pokoknya siapa pun yang bisa bantu mereka duduk di kursi empuk kekuasaan. Selama “inner circle” ini happy—dikasih proyek, jabatan, atau kekebalan hukum—rakyat yang lain bisa disuruh tepuk tangan aja.
Nah, demi kelihatan “sah”, pemimpin model begini sering ngarang latarbelakang keren: ngaku lulusan luar negeri, anak tokoh besar, pernah hidup susah tapi sukses, atau pahlawan lokal yang katanya sederhana. Kalau ijazah palsu bisa bikin orang percaya dia layak memimpin, ya kenapa enggak? Itu murah meriah tapi manjur banget buat ngangkat citra. Gak penting itu bener atau nggak—yang penting “laku dijual”.
Dalam sistem kayak gini, yang penting setia, bukan jujur. Kalau pemimpin itu buka aib—kayak ngaku ijazahnya abal-abal—bisa-bisa lingkaran pendukungnya kabur. Jadi, doski harus tampil penuh percaya diri, seolah-olah tak tergoyahkan. Kalau perlu, dokumen dimanipulasi, kritik dibungkam, dan suara sumbang dijadikan kriminal.
Karya ini tegas bilang: ini bukan kecelakaan politik—memang desainnya begicu. Dalam dunia politik versi mereka, bertahan itu lebih penting daripada benar. Kalau bo'ong, sogok, atau nyari dukungan pakai mitos bisa bikin kekuasaan awet, ya itu bukan dosa—itu strategi.
Di negara demokrasi, rakyat adalah bos. Tapi di rezim otoriter, penampilan adalah bosnya. Asal rakyat lihat pemimpin tampil meyakinkan—walau palsu—mereka cenderung diem aja. Karya ini punya satu kalimat yang nancep banget: “Pemimpin melakukan apa yang perlu untuk bertahan, bukan apa yang benar.”

Karya The Prince-nya Niccolò Machiavelli, pertama kali terbit tahun 1532, mungkin bisa dibilang sebagai kitab suci politik "perkadalan". Edisi modernnya banyak beredar, misalnya dari Penguin Classics atau Cambridge University Press—lengkap dengan pengantar akademis yang bikin kita sadar, ternyata isi bukunya masih relate banget ama politik zaman now.
Intinya, The Prince itu bukan buku soal etika atau moral. Isinya lebih kayak panduan how-to jadi penguasa yang langgeng, walau kudu pakai cara licik, manipulatif, atau penuh tipu-tipu. Salah satu prinsip Machiavelli yang paling kondang yalah: lebih baik ditakuti daripada dicintai, kalau gak bisa punya dua-duanya. Dan yang paling penting: yang dilihat rakyat adalah penampilan, bukan kenyataan.
Nah, ini pas banget buat bahas para pemimpin yang ngaku-ngaku punya gelar akademik keren atau keturunan bangsawan. Dalam logika Machiavelli, itu semua sah-sah aja. Kalau dengan ngaku lulusan kampus ternama atau berdarah biru bisa bikin rakyat lebih percaya, maka kebohongan itu dianggap “kebajikan yang perlu.
Machiavelli pernah bilang: "Semua orang melihat apa yang loe tampakin, tapi sedikit yang tahu siapa loe sebenarnya."
Bener banget, kan? Rakyat cuma lihat citra yang dipoles—foto wisuda, gelar "Drs", atau “Ir.”, tergantung loe mau ngecitrain diri kek pahlawan nasional: Drs. Mohammad Hatta  atau Ir. Sukarno, atau cerita heroik masa muda. Tapi siapa yang benar-benar ngecek ijazahnya? Jarang. Apalagi kalau sang tokoh udah bikin narasi “rakyat biasa yang berjuang” atau “titisan raja terakhir”—wah, makin kuat tuh auranya.
Di negara-negara semi-otoriter atau demokrasi yang masih belajar jalan, simbol dan mitos sering lebih penting dari fakta. Kalau seorang pemimpin tampil sebagai orang terpelajar, berdarah bangsawan, atau titisan sejarah, rakyat bisa lebih gampang percaya dan merasa aman. Soal benar atau nggaknya? Urusan belakangan.
Jadi kalau kita pakai kacamata Machiavelli, nge-fake ijazah atau ngarang silsilah keluarga itu bukan aib, tapi strategi panggung. Machiavelli malah mungkin bakal bilang: “Cerdas juga lo, bro.” Karena dalam politik, yang penting orang percaya kamu punya kuasa—bukan bagaimana kamu dapetin kuasa itu.
Buat negara yang menjunjung nilai demokrasi dan kejujuran, tentu ini bikin gerah. Tapi The Prince kasih pengingat pahit: banyak penguasa naik bukan karena kejujuran, tapi karena ilusi. Dan mereka bertahan karena bisa terus ngejaga ilusi itu tetap hidup.

Percaya atau nggak, di berbagai belahan dunia, ada aja pemimpin yang naik daun dengan ngaku-ngaku punya darah biru, keturunan bangsawan, atau lulusan kampus top dunia, padahal aslinya? Zonk. Gak lebih dari tipu-tipu buat ningkatin pamor, naikin elektabilitas, atau nutupin fakta bahwa mereka sebenarnya... gak punya modal buat mimpin.
Contoh klasik datang dari Filipina: Ferdinand Marcos. Doski ngaku-ngaku sebagai pahlawan perang paling gagah berani seantero negeri—katanya punya segudang medali dari Perang Dunia II. Tapi belakangan, setelah diselidiki, ternyata banyak dari medali itu palsu, gak pernah dikasih secara resmi. Tapi cerita heroiknya itu kadung melekat di benak rakyat—dan berhasil bikin doi keliatan kayak "abang tertua" yang berani mati demi negara.
Di Thailand, ada juga kisah soal Chatichai Choonhavan, mantan Perdana Menteri, yang katanya sering ngebesar-besarin status kebangsawanannya. Emang sih doski punya latarbelakang militer dan diplomatik, tapi orang-orang sempat bertanya-tanya: ini orang naik karena prestasi atau karena koneksi keluarga?
Nigeria juga punya drama serupa. Tahun 1999, Salisu Buhari, Ketua DPR, ketahuan memalsukan umur dan ijazah. Doski ngakunya lulusan University of Toronto—eh ternyata pihak kampus bilang: "Kami gak pernah punya mahasiswa atas nama itu." Boom! Seketika skandal ini viral, dan doi langsung lengser. Plot twist ala sinetron sore!
Di Amrik, ada Laura Callahan, pejabat tinggi di Departemen Keamanan Dalam Negeri. Kariernya keren banget, sampai akhirnya ketahuan kalau semua gelar akademiknya ternyata dibeli dari kampus palsu alias diploma abal-abal. Langsung resign, reputasi ancur.

Nah, kalau bicara soal konteks politik kekinian, apalagi di negara-negara yang cenderung otoriter atau semi-otoriter, kadang muncul pemimpin yang ijazahnya misterius banget. Ada yang gak bisa dibuktiin, ada yang kampusnya bilang "kami gak kenal", atau dokumennya tiba-tiba hilang kayak ditelan bumi. Tapi anehnya, rakyat dilarang tanya, media mingkem, dan siapa yang nekat buka suara bisa-bisa diamankan.

Semua ini nunjukin satu hal: dalam politik, penampilan bisa jauh lebih penting daripada kenyataan. Gelar “Ir.”, sebutan “bangsawan”, atau cerita “lulusan luar negeri” bisa bikin rakyat kagum setengah mati—padahal bisa jadi itu cuma topeng. Seperti kata Machiavelli: “Yang penting keliatan, bukan beneran.” Selama rakyat masih percaya, kebenaran bisa ditaruh di pojok dulu.

Moral of the story? Jangan gampang baper ama gelar dan dongeng asal-usul. Kadang, "pangeran" yang kita pilih... ternyata bukan jebolan UGM yang ternama, tapi lulusan Photoshop ala Pasar Pramuka.

{English]

Rabu, 18 Juni 2025

Mengembalikan 4 Pulau Aceh: Bukan Teatrikal

Akhirnya, seusai drama politik yang rasanya kayak sinetron tayang tengah malam, Presiden Prabowo mengambil langkah yang bikin publik nyaris bilang, “Ini baru pemimpin!”—empat pulau yang sempat “nyasar” ke Sumut, resmi balik kandang ke Aceh.
Ini bukan cuma soal narik garis ulang di peta, bro. Ini kayak ngembaliin kepercayaan yang udah lama retak kayak kaca mobil nabrak tembok. Banyak yang bilang ini langkah cerdas, tapi yang lebih penting: ini kayak kode keras kalau pusat udah mulai bisa dengerin suara dari pinggiran.
Pulau-pulau itu mungkin kecil di atlas, tapi besar banget nilainya buat rakyat Aceh. Dengan mengembalikannya, Presiden Prabowo nggak cuma ngasih lahan—beliau ngasih dignity. Bukan sekadar wilayah, tapi pengakuan bahwa luka lama nggak bisa disembuhin pakai janji, tapi dengan aksi.
Okelah, ini memang belum bisa nutup semua luka sejarah, tapi buat kali ini, pusat ngomong lewat aksi nyata, bukan pidato basa-basi. Dan buat itu, Aceh—dan Indonesia—pantas narik napas lega, walau tetap waspada. Karena di negeri ini, peta bisa sewaktu-waktu berubah… tapi harapan? Seyogyanya tetap terus dijaga.

Drama empat pulau Aceh ini bukan cuma urusan kertas-kertas pemerintahan yang salah meja. Ini semacam pengingat keras bahwa dalam urusan negara, peta boleh dicetak pakai tinta… tapi kepercayaan rakyat digambar pakai darah, luka sejarah, dan ingatan kolektif yang nggak gampang terlupakan.
Pelajarannya? Nggak cuma soal salah SK atau main serobot wilayah. Ini tentang cara kekuasaan dilihat dari pinggiran, tentang bagaimana keadilan itu bukan cuma soal prosedur, tapi rasa dihargai. Pulau-pulau itu boleh kecil di mata Google Maps, tapi buat rakyat Aceh, itulah perlambang martabatnya, otonomi, dan kisah lama yang belum pernah benar-benar usai.
Keputusan Presiden Prabowo buat balikin pulau itu sungguh patut diacungi jempol, tapi kemenangan sebenarnya adalah pesan yang beliau bawa: bahwa pemerintahan tanpa empati cuma bikin rakyat makin jauh. Dan kadang, cara meredakan bara bukan dengan pidato atau proyek mercusuar—tapi cukup dengan memperbaiki peta… dan telinga yang mau bener-bener ngedengerin.

Persatuan bangsa itu bukan sekadar tulisan manis di baliho atau jargon kosong yang dibacain tiap upacara bendera. Persatuan itu semacam kesepakatan diam-diam antar jutaan orang buat tetap percaya—meski kadang rasanya kayak maksa banget—bahwa hidup bareng, walau beda-beda, masih layak diperjuangkan.
Persatuan sejati bukan terbentuk pas semua adem ayem, tapi justru waktu keadaan lagi gonjang-ganjing, dan kita milih buat saling rangkul, bukan saling tunjuk. Ini bukan tentang semua harus seragam, tapi soal bisa nerima perbedaan sebagai kekuatan. Kayak saat petani Jawa, mahasiswa Papua, pengusaha Minang, dan nelayan Aceh bisa ngerasa mereka semua bagian dari satu cerita besar yang sama. Cerita yang bilang: “Loe penting. Suara loe didengar. Negara ini, meskipun amburadul kadang, masih rumah buat loe.”
Negara yang bener-bener bersatu tuh bukan yang maksa rakyatnya diem. Tapi yang ngajak ngobrol. Bukan yang nyamaratakan semua, tapi yang ngerayain keunikan tiap-tiap daerah. Dan yang paling penting, persatuan bangsa cuma bisa hidup kalo ada satu bahan utama: kepercayaan. Percaya kalau pusat nggak cuma dengerin yang deket Istana, tapi juga, yang suaranya jauh dari keramaian.

Salah satu eksplorasi paling abadi tentang persatuan nasional dapat ditemukan dalam Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (1983, Verso Books) karya Benedict Anderson. Anderson bilang, bangsa itu bukan cuma soal peta atau daerah doang. Tapi lebih ke komunitas yang dibikin bareng-bareng di pikiran kita—yang nyatuin bukan cuma garis batas negara, tapi juga cerita-cerita yang sama, ingatan kolektif, dan kesepakatan buat percaya kalau kita itu punya rasa memiliki. Singkatnya, persatuan itu ilusi indah yang kita semua setuju buat ngikutin.
Dalam Imagined Communities, Benedict Anderson bilang: jangan salah kira, negara itu bukan entitas sakral yang turun dari langit. Bangsa itu “dibayangkan” alias hasil bikinan sejarah dan budaya. Kenapa dibayangkan? Karena orang-orang dalam satu negara itu sejatinya gak saling kenal satu sama lain, tapi tetap merasa jadi bagian dari satu komunitas. Nah, rasa kebersamaan inilah yang bikin orang mau nyanyi lagu kebangsaan rame-rame meski gak satu kampung.
Persatuan dalam versi Anderson itu kayak bikin benang merah di antara jutaan kepala yang berbeda-beda. Dulu orang setia ama raja, imam, atau dewa. Tapi begitu kekuasaan kerajaan mulai memudar dan mesin cetak mulai ngebut produksi koran ama novel, orang jadi punya satu cerita yang sama, dibaca dalam bahasa yang sama, dan di waktu yang berbarengan. Efeknya? Semua ngerasa “eh, kita satu bangsa ya!”—walau beda suku, pulau, atau aksen.
Nah, dari situ muncul rasa “gue rela berkorban buat negara ini”, bukan karena disuruh raja, tapi karena ngerasa satu nasib sama yang lain. Jadi, kalau loe cinta tanah air, itu bukan karena darah biru loe sama kayak raja-raja, tapi karena kita semua pernah baca cerita yang sama, nyanyi lagu yang sama, dan nangis bareng waktu timnas kalah penalti.
Anderson ngajarin kita bahwa persatuan itu bukan hadiah, tapi cerita kolektif yang disepakati bareng. Dan begitu cerita itu hidup, orang bisa kompak banget—bahkan untuk sesuatu yang sebenernya cuman ada di kepala, tapi rasanya, nyata di dada.

Lalu ada pula bahan bacaan esensial lainnya, Nations and Nationalism dari Ernest Gellner. Doski bilang, nasionalisme itu nggak turun dari langit. Dibikin. Dirawat. Kadang dipaksain juga. Kenapa? Biar negara industri bisa jalan rapi dan rakyatnya bisa setara (minimal dalam hal jam kerja dan bahasa).
Gellner ngebongkar mitos bahwa persatuan bangsa itu muncul dari “akar budaya yang tua dan murni”. Menurut Gellner, itu cuma dongeng klasik biar kita ngerasa punya warisan mulia. Faktanya? Persatuan nasional itu bukan hasil dari sejarah panjang nenek moyang, tapi hasil rekayasa modern yang dibuat karena... pabrik butuh pekerja yang bisa baca tulis dan ngerti SOP.
Di dunia industrial yang serba cepat dan kapitalistik, loe kagak bisa lagi pakai model kampung-kampungan. Dulu zaman agraris, orang lahir dan mati di kampungnya, gak perlu bisa baca atau ngerti bahasa nasional. Tapi pas revolusi industri masuk, semua berubah: buruh harus bisa baca petunjuk, ngisi formulir, dan ngerti perintah bos. Makanya negara bikin sistem pendidikan nasional, bikin kurikulum seragam, bahkan bikin sejarah versi pemerintah.
Gellner bilang: nasionalisme itu bukan kebangkitan bangsa, tapi penciptaan bangsa dari nol. Loe disuruh cinta tanah air lewat pelajaran PPKn, lagu wajib, dan upacara bendera tiap Senin. Negara bikin “template warga ideal” yang bisa digerakin seperti spare part di mesin negara.
So, persatuan nasional itu kayak boyband K-Pop: nggak terbentuk secara alami di gang, tapi hasil audisi, pelatihan keras, dan manajemen yang niat banget. Kalau perlu, dikasih ancaman biar kompak. Hasilnya? Semua rakyat nyanyi lagu yang sama, hafal sejarah yang sama, dan ikut Pemilu bareng—meski dari asal usul beda-beda.
Pesan Gellner itu tajam: jangan dikira persatuan bangsa itu soal nurani, kadang itu cuma proyek negara yang butuh orang-orang bisa kerja bareng dalam sistem industri. Nationalism is not magic—it’s manufacturing.

Kalau mau yang lebih kekinian dan relate ke isu ketimpangan, coba deh baca Why Nations Fail karya Acemoglu dan Robinson. Mereka bilang, negara bisa gagal atau sukses tergantung apakah rakyatnya merasa diikutsertakan atau cuma jadi penonton. Kalau cuma segelintir orang yang pegang kuasa dan duit, jangan heran kalau rakyat mulai mikir buat jalan sendiri-sendiri.
Dalam Why Nations Fail, Acemoglu dan Robinson bilang dengan gaya serius tapi nyelekit: negara itu gagal bukan karena miskin, tapi karena rakus. Dan akar rakusnya? Ya karena rakyat disuruh jadi penonton pasif, sementara elit main monopoli di belakang layar.
Kalau rakyat diajak ikutan main—bukan cuma nonton, tapi bisa nyuarain pendapat, milih pemimpin yang bener, ngeritik kalau keliru, dan punya peluang yang sama buat naik level hidup—negara jadi sehat. Ekonomi tumbuh, inovasi muncul, dan yang kerja keras dapet hasilnya. Sekolah jadi jalan buat naik kelas, bukan cuma tempat buat hafalin slogan. Karena rakyat percaya: kalau gue usaha, masa depan gue bisa berubah.
Tapi giliran rakyat cuma jadi penonton—disodorin baliho, disuguhi acara TV, disuruh nyoblos tiap lima tahun tanpa tahu siapa yang bakal untung—yang tumbuh bukan keadilan, tapi kroni. Institusi negara jadi alat buat ngeduitin rakyat, hukum cuma berlaku buat yang gak punya kuasa, dan pemilu? Cuma pesta topeng demokrasi.
Acemoglu dan Robinson nyindirnya pedes: negara gagal bukan karena kurang emas, tapi karena elit gak mau berbagi kuasa. Jadi melibatkan rakyat bukan soal idealisme manis, tapi strategi paling realistis kalau loe pengen negara loe tahan banting dan makmur beneran.

Terakhir, Martha Nussbaum lewat The Cosmopolitan Tradition ngajak kita mikir lebih jauh: persatuan tuh nggak berarti semua harus sama. Justru, kita bisa bersatu kalau saling hargai perbedaan dan kasih tempat buat tiap suara, sekecil apapun. 

Dalam The Cosmopolitan Tradition: A Noble but Flawed Ideal (2019, Harvard University Press), Martha Nussbaum ngegas argumen basi bahwa persatuan itu artinya semua harus seragam. Buat doski, persatuan sejati bukan datang dari menyeragamkan semua orang kek mie instan, tapi dari ngerangkai segala perbedaan jadi satu lagu yang enak didengerin—kayak playlist loe yang isinya campur-campur tapi tetep nge-blend.

Nussbaum percaya bahwa loe bisa cinta tanah air tanpa harus jadi fanatik buta yang nyuruh semua orang mikir, berpakaian, dan berdoa dengan cara yang sama. Persatuan itu bukan lomba baris-berbaris pikiran, tapi lebih mirip konser orkestra—tiap alat punya suara beda, tapi justru karena itulah, lagunya jadi hidup.
Kalo loe bikin persatuan berdasarkan keseragaman, kata Nussbaum, itu bukan kuat tapi rapuh. Karena orang-orang yang beda bakal dibungkam, disingkirkan, dan akhirnya marah. Tapi kalau loe buka ruang buat tiap suara, sekecil apapun, maka negara loe jadi kaya—bukan cuma kaya ide, tapi juga kaya empati dan solidaritas.
Nussbaum ngambil dari Stoic dan Tradisi Pencerahan buat ngajak kita mikir: patriotisme itu bukan soal teriak paling keras, tapi soal berani dengerin suara yang paling pelan. Karena di negara yang adil, gak ada yang terlalu kecil buat didengerin.

Coba bayangin Martha Nussbaum duduk nonton berita Indonesia dari kantornya di Harvard. Mungkin doski bakal nyeruput kopinya pelan, sambil ngelirik ke layar dan bilang, “Ini beneran persatuan atau cuma lomba seragam nasional, sih?”
Buat Nussbaum, persatuan itu bukan soal semua orang harus mirip—bukan acara 17 Agustus-an versi ideologi. Tapi soal ngakuin bahwa tiap warga negara, dari Aceh sampai Papua, dari yang pro-pemerintah sampai yang sering dibilang “ngerecokin,” punya harga diri yang setara dan suara yang layak didengerin.
Hari-hari ini, obrolan soal persatuan di Indonesia suka kebablasan jadi obrolan soal “jangan beda, nanti dikira makar.” Padahal menurut Nussbaum, persatuan yang bener itu bukan tentang nyuruh semua orang diem, tapi tentang bikin panggung biar semua suara bisa tampil. Termasuk suara yang nanya: “Kenapa pulau gue dipindahin?” atau “Kenapa tanah gue diambilin?”
Pas rakyat Aceh protes soal empat pulau yang mendadak jadi milik Sumut, atau pas orang Papua ribut soal tambang dan tanah adat, jangan buru-buru dibilang ‘ancaman negara’. Itu bukan separatisme—itu bentuk cinta, tapi cinta yang kritis. Kayak pasangan yang bilang, “Kita masih bareng, tapi gue capek kalau suara gue gak pernah didenger.”
Kalau kita mau Bhinneka Tunggal Ika bukan cuma jadi quote Instagram tiap Hari Sumpah Pemuda, kita harus belajar dari Nussbaum: persatuan itu bukan ngegas yang beda biar nurut, tapi ngerangkul perbedaan biar negara ini gak jadi monolog. Indonesia gak butuh orkestra satu nada, tapi simfoni banyak suara yang main bareng, meski nggak semua nadanya mayor.

Prinsip ketiga dalam Pancasila, “Persatuan Indonesia”, itu bukan cuma kalimat sakti yang dibacain tiap upacara bendera atau dibikin hafalan anak sekolah. Itu semacam lem super spiritual yang nyatuin ribuan pulau, ratusan suku, dan segala macam bahasa jadi satu negara yang kadang kayak benua nyamar jadi republik.
Persatuan versi Pancasila tuh bukan nyuruh orang Minang jadi kayak orang Sunda, atau orang Papua mikir kayak orang Jawa. Bukan. Justru, Persatuan dalam Pancasila ngajak kita semua buat nemuin alasan bareng kenapa kita masih mau tinggal dalam rumah yang sama, meski warna dindingnya beda-beda. Ini bukan persatuan ala robot seragam, tapi lebih kayak band besar—instrumen beda-beda tapi main lagu yang sama.
Lebih dari itu, prinsip ini juga jadi penangkal halus dari penyakit bangsa: politik pecah belah, saling curiga antar agama, atau kecenderungan "kubu-kubuan" yang makin runcing. Kalau prinsip ini bener-bener dihayati, bakalan jadi kompas yang ngarahin diskusi kebangsaan ke arah yang adem, nggak bikin makin panas timeline medsos.
Jadi, bisa dibilang, persatuan dalam Pancasila itu bukan soal mematikan perbedaan, tapi bikin orkestra dari keberagaman. Semua suara boleh beda, tapi mainin nada yang sefrekuensi: nada kebersamaan.

Tapi, tepatkah bila keputusan Presiden Prabowo ini disebut populis? Keputusan Presiden Prabowo soal balikin empat pulau Aceh itu, kayak pemain sinetron yang tiba-tiba nongol di episode klimaks—tegas, dramatis, dan siap mendobrak skenario lama “Mulyono” and the geng, yang dinasti banget itu.
Dengan cara ini, Presiden Prabowo bukan cuma bicara soal hukum atau peta administratif. Beliau bermain di ranah dignity atau “harga diri”, “solidaritas Aceh”, dan politik panggung yang bisa langsung nyolok emosi publik. Beliau melewati dalil teknokrat dan ngasih signal ke Aceh: “Gue di sini buat loe.” Itu namanya populisme 101—leadership that speaks directly to hearts, bukan koridors.
Tapi ini bukan sekadar teatrikal semata. Langkah beliau juga nyenggol simbol kekuasaan lama: Mulyono dan geng dinastinya. Ibaratnya, Pesiden Prabowo bilang: Jakarta gak main-main soal ambisi politis yang nyelip pake skenario keluarga besar. Jadi iya, ini bisa disebut populis. Tapi bukan populis yang bikin heboh aja—ini populis style: powerful, act-now, no-nonsense.

Keputusan ini memang khas populis, tapi bukan yang asal ramaikan media. Ini sinyal kuat bahwa Presiden Prabowo hendak memimpin dengan aksi nyata dan menolak politik balas jasa ala dinasti yang selama ini, udah bikin rakyat muak.

Mari Bicara Soal Kemiskinan (2)

Di suatu pagi yang dingin, di kota Eropa yang ramai, ada seorang bocil, usianya paling banter sepuluh tahunan, berdiri nempel di jendela toko roti. Bajunya sobek-sobek, tangannya gemetar karena kedinginan, dan matanya nempel ke roti yang baru keluar dari oven.
Di dalam, orang-orang asik ngopi dan tertawa sambil makan croissant, gak ada yang nyadar ada anak kelaparan di balik kaca itu.
Tapi sang tukang roti ngelihat. Bukannya ngusir kayak satpam mal, doi malah keluar dan nanya pelan, “Kamu lapar ya nak?” Sang bocah cuman ngangguk. Gengsi banget buat minta, tapi laper banget buat pura-pura nggak butuh.
Sang tukang roti ngasih roti kecil yang masih hangat. Sang bocah menerima pakai dua tangan, matanya berbinar, trus berbisik, “Makasih, Om.”
Sore harinya, ada yang nanya ke tukang roti, “Kenapa loe ngasih roti gratis ke bocah gak dikenal?” Doski ngejawab kalem aja, “Soalnya, laper itu gak seharusnya dihukum bro!”
Gak ada riuh tepuk tangan. Gak masuk berita. Apalagi algoritma. Seperti Mulyono yang baru pakai baju dan sepatu murah aja udah dielu-elukan oleh para ternaknya, tapi terhenti oleh penyakit autoimun yang gak bisa bo'ong. Aksi kecil sang tukang roti itulah bentuk perlawanan diam-diam terhadap dunia yang sering banget nganggep kemiskinan itu dosa bawaan.

Dalam karyanya, System of Economic Contradictions: Or, the Philosophy of Poverty (1846), Pierre-Joseph Proudhon tuh kayak lagi buka aib ekonomi kapitalis satu-satu, kayak youtuber yang ngulas skandal selebriti. Doski bilang sistem ekonomi zaman itu tuh penuh kontradiksi kayak sinetron—setiap solusi justru bikin masalah baru. Misal, pembagian kerja yang katanya efisien, ternyata bikin manusia kayak robot. Persaingan? Katanya bikin inovasi, tapi ujung-ujungnya yang kecil-kecil dimakan ama yang gedhe. Properti pribadi? Bisa bikin nyaman, tapi juga bikin orang serakah dan tamak. Kredit? Bisa bantu hidup, tapi juga bisa jadi jerat utang.
Daripada ngajak revolusi brutal atau sistem komunis yang serba ngatur, Proudhon ngusulin sistem mutualisme—kerjasama saling menguntungkan, kayak barter zaman now, tapi versi upgrade: tanpa bos yang nyuruh-nyuruh atau negara yang ngawasin terus.
Doi juga kesel banget ama ekonom yang bilang kemiskinan itu wajar dalam pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, itu namanya “filsafat kemiskinan”—alias pembenaran elegan buat penderitaan rakyat. Proudhon bilang, ilmu sosial yang bener itu semestinya ngapus kemiskinan, bukan malah dijadiin bahan teori.
Proudhon tuh nggak ngasih definisi kemiskinan yang baku atau pakai istilah filosofis ribet kayak dosen filsafat pas lagi bad mood. Tapi doi ngulik makna kemiskinan dari cara sistem ekonomi itu sendiri bikin orang menderita. Buat dia, kemiskinan bukan cuma soal dompet kosong atau nggak punya rumah—tapi soal sistem yang dari sononya udah toxic. Misalnya, tiap kali ada kemajuan teknologi, bukannya semua orang makin sejahtera, yang ada malah banyak buruh kena PHK. Properti pribadi? Iya sih bisa bikin nyaman, tapi juga bikin jurang kaya-miskin makin dalam. Jadi kemiskinan itu kayak bayangan gelap dari kekayaan—ada terus selama sistemnya masih timpang.
Nah, istilah “filsafat kemiskinan” yang doski pakai itu sebenarnya buat nyinyirin para ekonom borjuis. Mereka tuh suka sok bijak: “Kemiskinan itu penting dong, biar ekonomi bisa berkembang.” Proudhon langsung angkat alis. Katanya, “Ini bukan filsafat, ini pembenaran elit yang tega ngelihat rakyat susah demi grafik ekonomi naik.”
Jadi kalau dibilang dia punya "filsafat" soal kemiskinan, itu sebenarnya anti-filosofi mainstream—kayak nge-rap battle lawan teori ekonomi yang lupa kalau manusia itu bukan angka.
Sebagai dedengkot awal gerakan anarkis dan sosialis, Proudhon tuh nggak main-main waktu ngebongkar akar masalah kemiskinan. Dalam The Philosophy of Poverty, doski nyasar langsung ke jantung sistem—yakni properti dan kerja. Buat dia, properti pribadi yang katanya suci dan sakral itu sebenernya penipuan besar-besaran. Doi sampai bilang, “Kepemilikan itu pencurian!”—bukan karena doski anti-nabung, tapi karena doi kesel ngelihat orang kaya bisa punya pabrik, lahan, dan modal, tapi nggak kerja apa-apa, cuma duduk-duduk sambil ngitung cuan dari kerja keras orang lain.
Buruh? Cuma punya tenaga. Jadi tiap hari harus jual diri (secara legal tentunya) biar bisa makan. Tapi sayangnya, bayaran yang dia terima nggak sebanding sama nilai kerja yang dihasilkan. Ujung-ujungnya, kerja malah bikin tambah stres dan nggak punya kendali, bukannya bikin merdeka.
Menurut Proudhon, sistem kepemilikan ini bikin kekayaan numpuk di tangan segelintir orang, kayak game monopoli yang dari awal udah curang. Solusinya? Bukan sekadar naikin UMR atau bagi-bagi gentong babi alias bantuan sosial doang. Sistem kepemilikan dan relasi kerja itu sendiri harus dirombak. Doski ngusulin mutualisme, sistem dimana orang bisa nikmatin hasil kerjanya sendiri dan kerjasama dilakukan atas dasar kesetaraan, bukan ketimpangan.

Dalam Poor Economics (2011), dua Pemenang Nobel, Abhijit Banerjee dan Esther Duflo kayak nge-prank pemikiran lama soal orang miskin. Mereka bilang, “Orang miskin itu bukan bodoh atau males lho!” Lewat riset bertahun-tahun dan eksperimen ala reality show akademik (yaitu Randomised Controlled Trials), mereka nunjukin bahwa keputusan orang miskin itu masuk akal banget—asalkan loe ngerti kondisi hidup mereka yang ribet dan penuh jebakan.
Contohnya, kenapa orang miskin nggak selalu beli obat atau nyekolahin anak? Bukan karena mereka nggak peduli, tapi karena sekolahnya abal-abal, kliniknya jauh, dan nggak ada jaminan hasil. Trus, pas mereka beli TV, jajan manis, atau gelar pesta kecil, itu bukan karena boros. Itu karena hidup mereka stres banget, dan sedikit hiburan tuh bisa jadi penyambung nyawa mental.
Banerjee dan Duflo tuh bilang, masalahnya bukan di IQ orang miskin, tapi di sistem yang nggak kasih mereka ruang buat berkembang. Mereka nggak punya asuransi, nggak punya akses ke layanan yang stabil, dan nggak ada jaring pengaman. Solusi ngatasin kemiskinan bukan teori ekonomi level dewa, tapi pendekatan dari bawah—yang ngerti realitas di lapangan, bukan cuma grafik dan asumsi.
So, daripada ngasih ceramah soal “ayo nabung”, mending dengerin dulu suara mereka—karena tiap keputusan kecil yang mereka ambil itu, punya cerita besar di baliknya.

A Framework for Understanding Poverty (1996, aha! Process Inc.) karya Ruby K. Payne ini bukan cuma ngomongin kemiskinan sebagai soal dompet kosong, tapi sebagai gaya hidup yang punya aturan main sendiri—kayak “aturan tak tertulis” yang beda banget dari kelas menengah. Versi beliau, orang yang hidup dalam kemiskinan turun-temurun tuh punya cara pandang dunia yang gak sama dengan orang-orang mapan. Nah, karena sekolah dan institusi formal itu biasanya ngikutin budaya kelas menengah, jadinya sering timbul salah paham—kayak murid dianggep bandel padahal cuma gak paham "aturan mainnya".
Salah satu ide utama Payne adalah soal “aturan tersembunyi”—kayak kode sosial yang gak pernah diajarin tapi berlaku kuat. Misalnya, di kelas menengah orang diajarin mikir masa depan, tapi di kalangan miskin, fokusnya ke “yang penting hari ini bisa makan”. Bedanya mindset gini bukan berarti salah, cuma belum ketemu jembatannya aja. Di sinilah Payne ngajak para guru buat lebih peka: daripada ngecap anak dari keluarga miskin itu gak disiplin, lebih baik ajarin mereka gimana cara main di sistem yang ada.
Payne ngajak kita buat ngelihat kemiskinan bukan cuma soal isi dompet yang tipis, tapi sebagai sistem hidup yang rumit—penuh dengan aturan tak kasatmata, nilai-nilai khas, dan sumber daya yang jauh lebih kompleks daripada sekadar uang. Menurut Payne, tiap kelas sosial—baik miskin, menengah, maupun kaya—punya “kode rahasia” sendiri yang ngatur cara mikir, ngomong, ambil keputusan, sampai cara ngadepin konflik dan impian masa depan.
Kerangka kerjanya dibangun dari delapan jenis resources atau modal yang gak melulu soal duit: mulai dari kekuatan emosional, kecerdasan, spiritualitas, kondisi fisik, dukungan sosial, role model, pemahaman soal “aturan tersembunyi”, sampai modal finansial. Kata Payne, kalau mau bantu orang keluar dari kemiskinan, yang dibutuhkan tuh gak cuma bantuan tunai—tapi juga kekuatan mental buat bangkit pas hidup lagi ambyar.
Payne juga ngebedain antara kemiskinan turun-temurun (generational poverty), yang udah jadi budaya dalam keluarga selama dua generasi lebih, dan kemiskinan situasional, yang muncul karena musibah kayak PHK, perceraian, atau sakit berat. Yang turun-temurun ini, menurutnya, udah punya nilai-nilai dan cara hidup sendiri yang gak sama dengan orang kelas menengah.
Poin sentral dari kerangka Payne adalah soal “aturan tersembunyi”—kayak kode diam-diam yang jadi pedoman hidup di tiap kelas sosial. Misalnya, kelas menengah itu mikirin masa depan, karier, dan tabungan, sedangkan orang miskin lebih fokus ke “yang penting hari ini bisa makan dan hidup.” Payne percaya, kalau kita mau bantu mereka masuk ke sistem kayak sekolah atau dunia kerja, aturan-aturan ini harus diajarin secara gamblang.
Fokus utama Payne memang ke dunia pendidikan. Sekolah-sekolah biasanya jalan dengan nilai-nilai kelas menengah, jadi murid dari keluarga miskin sering dikira “bermasalah” padahal cuma gak tahu aturannya. Dengan memahami ini, guru bisa lebih paham kenapa muridnya bersikap seperti itu dan lebih siap membantu mereka berkembang.
Intinya, kerangka Payne ngajak para profesional—khususnya guru dan pekerja sosial—buat berhenti menyalahkan individu atas kemiskinan mereka. Lebih baik pahami bahwa ada rintangan sistemik dan perbedaan budaya yang perlu dijembatani. Bukan berarti mereka harus “jadi orang kelas menengah,” tapi dikasih alat biar bisa sukses dengan jati diri mereka sendiri.

Kerangka pikir Andrew Shepherd dan Julia Brunt dalam Chronic Poverty: Concepts, Causes and Policy (2013, Palgrave Macmillan) ibarat kacamata baru buat ngelihat kemiskinan yang udah nancep bertahun-tahun—bahkan lintas generasi. Ini bukan soal “lagi sial sesaat”, tapi soal hidup yang dari awal udah kejebak dalam jurang tanpa tangga. Menurut Shepherd, kemiskinan kronis itu bukan cuma soal penghasilan kecil, tapi soal gak punya kuasa, gak didengar, dan hidup dalam sistem yang emang dari sononya gak adil.

Yang bikin kerangka ini beda adalah fokusnya pada dinamika kemiskinan—alias, gimana orang bisa jatuh miskin, terus kenapa susah banget buat naik lagi, dan apa yang bikin sebagian orang bisa lepas. Jadi, bukan cuma soal hitungan angka gaji, tapi nyari tahu “kenapa loe bisa kejebak di titik ini, dan apa yang bisa jadi jalan keluar.”
Shepherd dan Brunt nyebut ada tiga mesin utama yang bikin orang terjebak dalam kemiskinan kronis: gak punya aset, ikut dalam sistem yang merugikan, dan kurang kemampuan dasar. Misalnya, orang gak punya lahan, pendidikan, atau pekerjaan yang aman. Lalu mereka kerja dalam sistem yang nyedot tenaga tanpa imbalan yang layak—kayak buruh harian atau kerja dengan sistem yang diskriminatif. Tambah parah lagi, mereka gak punya akses ke hal-hal mendasar kayak sekolah, kesehatan, bahkan pengakuan sebagai warga negara.
Soal kebijakan, Shepherd dan Brunt minta pemerintah jangan cuma mikirin bantuan sesaat kayak bansos darurat. Mereka dorong bikin sistem perlindungan sosial jangka panjang—kayak bantuan tunai tetap, pensiun untuk lansia, dan tunjangan anak. Tujuannya biar keluarga bisa punya napas panjang buat mikir masa depan, bukan cuma bertahan hari ini.
Mereka juga usulin supaya negara bantu orang miskin punya aset—seperti lahan, ternak, pendidikan, dan akses ke pinjaman. Gak cukup cuma nyari pertumbuhan ekonomi doang, tapi harus pertumbuhan yang inklusif—biar lapangan kerja yang diciptakan juga bisa diakses sama yang paling miskin. Dan yang paling penting: harus ada usaha nyata buat ngacak-ngacak struktur sosial yang bikin kemiskinan terus diwariskan, kayak diskriminasi gender, etnis, atau konflik yang gak kelar-kelar.
Intinya, kerangka Shepherd dan Brunt ini bukan sekadar analisis, tapi seruan buat ngubah sistem dari akarnya. Bukan cuma ngasih duit, tapi ngasih ruang buat orang miskin bangkit dengan harga diri dan suara yang didengar.

The Growth Delusion: Wealth, Poverty and the Well-Being of Nations" (2018, Tim Duggan Books) oleh David Pilling ibarat tamparan elegan buat dunia modern yang udah terlalu cinta buta sama angka-angka pertumbuhan ekonomi, terutama GDP alias Produk Domestik Bruto. David Pilling, dengan gaya nyentrik ala jurnalis kelas dunia, ngajak kita mikir: kenapa sih angka GDP yang dulunya cuma dipake pas zaman perang malah sekarang dianggap tolak ukur utama kesuksesan negara?
Pilling nyentil keras: lho, masa sih banjir yang ngancurin rumah bisa bikin angka GDP naik gara-gara proyek pembangunan? Atau, makin banyak orang sakit kanker bikin pengeluaran medis naik, lalu dibilang "ekonomi tumbuh"? Kocak, kan? Tapi ini kenyataan.
Menurutnya, GDP itu kayak influencer yang keliatannya kece di depan kamera, tapi aslinya toxic. GDP gak peduli soal kerja-kerja yang gak dibayar kayak ngurus orang tua, relawan, atau ibu rumah tangga. Gak ngitung kesenjangan, gak nyentuh isu lingkungan, dan cuek banget ama kesehatan mental. Pokoknya, asal duit muter, dianggap beres.
Pilling ngajak kita jalan-jalan juga—dari pasar informal di Afrika sampai kota-kota penuh asap di China. Di situ dia nunjukin gimana “iman buta” ke pertumbuhan bikin kebijakan yang lebih banyak nyakitin rakyat daripada nolong.
Tapi karya ini gak sekadar nyinyir. Doski juga nyodorin solusi. Negara Bhutan, misalnya, punya “Indeks Kebahagiaan Nasional.” New Zealand pakai “Anggaran Kesejahteraan.” Ada juga indeks-indeks lain yang lebih manusiawi dari sekadar ngejar angka pertumbuhan kayak orang mabok.

Jadi gini, GDP itu tadinya cuman alat bantu perang—bukan buat jadi indeks nasional seperti yang sekarang ini. Tahun 1930-an, Simon Kuznets bikin metode hitung pendapatan nasional buat ngebantu atasin Depresi Besar. Pas Perang Dunia II, pemerintah butuh tau seberapa banyak sih “kue ekonomi” yang bisa dikorbanin buat bikin senjata, dibelanjain buat tentara, dan lainnya—nah inilah yang akhirnya jadi GDP.
Abis perang, langsung masuk era Perang Dingin dan GDP jadi alat show-off ideologi: JFK dan Khrushchev sama-sama ngebanggain pertumbuhan ekonomi sebagai bukti siapa yang lebih unggul—kapitalis atau komunis . Maka jadilah GDP dari alat perang berubah jadi simbol nasional, dari mana semua negara berlomba-lomba.
Dalam The Growth Delusion, David Pilling bongkar perjalanan ini—doski jelasin gimana GDP yang fokusnya cuma pada jumlah barang dan jasa (yang bisa dihitung) malah bikin hal-hal esensial kehidupan kayak waktu santai, kualitas lingkungan, budaya yang gak dibayar, jadi gak kelihatan.
Ya, dulu GDP memang bikin banyak negara keluar dari kemiskinan. Tapi Pilling bilang, kalau kita cuma ngedengerin dia tanpa kritis, bisa-bisa kita tumbuh “sukses” tapi malah bikin hidup kita dan planet ini hancur. Makanya doi ngedorong supaya negara pake “dashboard” lain—yang merangkum kebahagiaan, keberlanjutan, dan keadilan. Sip, kan?

Indeks Kebahagiaan Nasional itu bukan cuma soal seberapa tebal dompet loe, tapi seberapa damai loe tidur tiap malam. Ini bukan kaya GDP yang cuma ngitung uang muter berapa, tapi lebih ke “hidup loe sebenernya gimana sih rasanya?”
Bhutan jadi pelopornya lewat konsep Gross National Happiness (GNH)—alias Kebahagiaan Nasional Bruto—yang ukurannya bukan sekadar pertumbuhan ekonomi, tapi totalitas hidup warga negaranya. Isi indeks ini tuh beragam: dari kesehatan mental, akses pendidikan, waktu buat keluarga, sampai pelestarian budaya, kualitas pemerintahan, dan hubungan sama alam.
Misalnya nih, waktu luang loe dihitung. Kalau loe kerja rodi sampai gak sempet ngopi bareng temen, itu poin minus. Atau kalau budaya lokal mulai punah digilas TikTok global, itu juga alarm. Pemerintah yang jujur, masyarakat yang guyub, dan lingkungan yang sehat—semuanya masuk penilaian.
Intinya? Indeks ini ngasih pesan lembut tapi nyelekit: hidup yang bahagia itu bukan soal jadi negara kaya, tapi negara yang bikin orang-orangnya merasa punya makna, punya ruang buat napas, dan gak cuma disuruh kerja, kerja, kerja.
Finlandia masih jadi juara dunia kebahagiaan—delapan tahun berturut‑turut! Ini resmi dari World Happiness Report (data 2022–2024). Kenapa mereka juara? Karena orang‑orang di sana percaya banget sama sesama, optimis soal masa depan, punya support sosial yang kuat, bebas bikin pilihan, dan yang paling penting, ketimpangan kesejahteraan minim bingit. Semua hal ini bikin rakyat Finland bilang, “Yup, hidup gue oke banget” . Di belakang mereka, negara‑negara Nordic lain kaya Denmark, Islandia, Swedia juga nongkrong di puncak. Ga cuma itu, ada juga Belanda, Costa Rica, Norwegia, Luxembourg, dan Meksiko yang ikutan top‑ten

Di akhir, Pilling bilang: udah saatnya kita ngaca. Kalau cuma ngejar pertumbuhan ekonomi doang, kita bisa jadi negara yang dompetnya tebel, tapi hatinya kosong. Kayak angka, yang miskin rasa.

[Bagian 3]
[Bagian 2]