Kemiskinan tuh bukan sekadar soal dompet kosong atau tinggal nasi ama garam. Lebih dalam dari itu, kemiskinan adalah kondisi hidup yang dipengaruhi banyak faktor—dari sistem ekonomi yang gak adil, kebijakan politik yang berat sebelah, sampai nilai-nilai budaya yang bikin si miskin makin gak dianggep. Dalam sejarah umat manusia, kemiskinan udah kayak "penyakit sosial" yang susah sembuh karena akarnya nancep dimana-mana.Secara teori umum, kemiskinan bisa dibagi dua: yang mutlak (gak punya kebutuhan dasar kayak makan, tempat tinggal, obat) dan yang relatif (hidup jauh di bawah standar orang kebanyakan di sekitarnya). Jadi meskipun bisa makan, kalau gak mampu ikut ngopi-ngopi cantik kayak tetangga, loe bisa dianggep miskin juga—secara sosial.
Secara filosofi, para pemikir dari zaman Plato sampai Marx udah ribut ngebahas: ini kemiskinan gara-gara nasib? Malas? Atau karena sistem yang memang jahat? Buat banyak filsuf, kemiskinan itu cermin ketidakadilan—membuka borok tentang betapa timpangnya pembagian rezeki dan kesempatan dalam masyarakat.
Dalam politik, kemiskinan bisa dijadikan bahan kampanye, tapi juga bisa jadi akibat dari sistem politik yang cuma mikirin elite. Negara kadang cuma hadir pas musim pemilu doang, tapi pas rakyat susah, pura-pura gak kenal. Jadi kemiskinan bukan cuma soal perut kosong, tapi juga soal kehilangan suara dan hak.
Secara ekonomi, kemiskinan muncul gara-gara ketimpangan penghasilan, pengangguran, harga-harga naik, atau susahnya akses ke modal. Ada debat panjang: ini salah sistem kapitalisme? Atau bisa diselesaikan lewat subsidi, BLT, atau utang luar negeri?
Nah, dari sisi sosial dan budaya, kemiskinan tuh udah kayak cap sosial. Orang miskin kadang dipandang gak keren, bahkan dianggep salah sendiri. Padahal, nilai budaya bisa bantu mereka bangkit—kalau budaya tolong-menolong masih kuat. Tapi kalau budaya kita makin individualistis dan gengsi-gengsian, ya yang miskin makin jauh ke titik nadir.
Intinya: kemiskinan itu bukan cuma soal gak punya, tapi soal gak dikasih akses. Gak dikasih suara. Gak dikasih martabat. Maka, kalau loe mau tahu wajah asli sebuah negara—lihat aja gimana mereka memperlakukan orang miskin.
Dari zaman manusia masih pakai cawat dan hidup di gua, udah ada yang makannya banyak, ada yang cuma kebagian tulang. Tapi waktu itu, belum ada istilah "miskin" kayak sekarang—semuanya masih survival mode. Nah, konsep kemiskinan sebagai masalah sosial yang "resmi" baru muncul pas manusia mulai hidup berkelompok, bikin negara, dan tentu saja... bikin uang dan cuan!
Secara filosofi, sejak zaman Yunani Kuno, para pemikir kayak Plato dan Aristoteles udah sadar kalau ada jurang antara yang kaya dan yang gak punya. Tapi waktu itu, kemiskinan dianggap wajar—kayak bagian dari takdir sosial, biar ada yang kerja kasar dan ada yang mikir. Baru pas agama-agama besar kayak Islam dan Kristen masuk, kemiskinan dikasih makna moral: bukan cuma soal gak punya, tapi soal keadilan dan belas kasihan.
Secara politik, kemiskinan mulai dianggap "masalah" pas negara mulai takut rakyat miskin bisa bikin rusuh. Di Eropa abad pertengahan, lahirlah poor laws—bukan karena kasihan, tapi buat ngatur para pengangguran biar gak keluyuran. Baru pas zaman Pencerahan dan Revolusi Industri, negara mulai kepikiran: "Eh, apa kita harus bantu mereka ya?"—mulailah muncul konsep jaminan sosial, subsidi, dan hak rakyat kecil.
Ekonominya? Nah ini makin jelas pas dunia mulai kapitalis. Orang jadi bisa dihitung nilainya lewat gaji, tanah, dan seberapa produktif doski. Adam Smith bilang: kalau miskin, mungkin kurang usaha. Tapi Karl Marx bilang: justru sistemnya yang bikin orang miskin. Sejak itu, kemiskinan bukan lagi soal sial, tapi soal sistem yang bikin ketimpangan makin parah.
Secara budaya, kemiskinan dulu cuma dianggap nasib—bisa naik turun. Tapi pas kota makin ramai dan kelas sosial makin ketat, orang miskin mulai dicap jelek. Di Inggris zaman Victoria, orang miskin dipotret di media kayak makhluk hina yang ngerepotin negara. Gak heran sampai sekarang, jadi miskin kadang malu-maluin—padahal sistem yang bikin mereka kayak gitu.
Kesimpulannya, kemiskinan itu udah tua banget. Tapi baru dianggap masalah serius pas manusia bikin negara, sistem ekonomi, dan budaya gengsi. Dulu miskin itu kenyataan. Sekarang, miskin itu masalah sistemik—dan sayangnya, kadang juga bahan gosip di grup WhatsApp.
Siapa sih yang pertama kali ngomong ‘Miskin Itu Masyalah’? Jangan bayangin ada satu orang duduk di ruangan gelap sambil ngomong, “Eureka! Ini dia, konsep kemiskinan!” Nggak gitu ceritanya. Konsep miskin itu muncul pelan-pelan, kayak benang kusut yang baru kelihatan pas masyarakat mulai ngerasa: “Eh, kok ada yang makan tiga kali sehari, ada yang ngelihatin doang?”
Secara filosofi, Yunani Kuno udah punya bahan omongan soal ini. Plato tuh pernah bilang kalau negara bisa rusak gara-gara ada yang kelewat kaya dan ada yang nggak punya apa-apa. Aristotle lebih vokal: kalau gap orang kaya dan miskin kebangetan, negara bakal kacau. Tapi, jangan lupakan Timur! Di Tiongkok kuno, Konfusius udah bicara soal pentingnya menjaga harmoni sosial, termasuk bagaimana memperlakukan orang yang kekurangan. Di India, kitab-kitab Veda bicara tentang kemiskinan sebagai bagian dari keseimbangan hidup dan kewajiban moral.
Secara politik, Inggris zaman Ratu Elizabeth I mulai bikin aturan yang namanya Poor Laws buat ngatur orang-orang miskin. Tapi, jauh sebelumnya, Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad udah punya sistem zakat dan baitul mal yang keren banget—redistribusi kekayaan ala Islam biar rakyat nggak kelaparan. Bisa dibilang, itu cikal bakal sistem jaminan sosial modern.
Jujur aja, sistem zakat dan Baitul Mal di zaman Kekhalifahan Abbasiyah itu udah kayak versi syariah dari negara kesejahteraan modern—tapi jauh lebih niat dan spiritual. Di Baghdad, pusat peradaban Islam waktu itu, zakat bukan cuma soal sedekah dadakan, tapi udah jadi sistem negara yang rapi banget. Dan ini bukan sekadar sistem finansial, tapi juga misi keadilan sosial.
Zakat di sana dianggap wajib, bukan pilihan. Jadi bukan “kalau sempat,” tapi “harus, bro!” Negara yang ngatur, petugas yang ngambil, dan dana itu langsung dipakai buat ngebangun rumah sakit, sekolah, jalan, bahkan bantu anak yatim dan orang miskin. Gak ada ceritanya dana masuk ke kantong pejabat—Baitul Mal itu dijaga ketat, ada catatan, dan diaudit (ya, versi jadulnya lah).
Yang paling epic? Di beberapa wilayah Abbasiyah, petugas zakat sampai bingung karena gak nemu lagi orang miskin. Serius. Gak ada yang bisa dikasih zakat karena semua udah sejahtera. Itu bukan gimmick, tapi bukti bahwa sistemnya jalan dan adil.
Satu lagi yang bikin keren: sistem ini gak asal-asalan. Ada ulama dan ekonom zaman dulu yang terus mikirin biar makin efektif. Khalifah bahkan nunjuk menteri khusus buat pastikan semua orang tertangani. Ini bukan cuma buat meredakan kemiskinan sebentar, tapi buat menghapus akar-akarnya.
Gabungan antara iman, ilmu, dan pelayanan publik itulah yang bikin sistem zakat dan Baitul Mal di era Abbasiyah jadi inspirasi sosial Islam yang kece banget. Kalau zaman sekarang bisa niru—gak cuma soal semangatnya tapi juga manajemennya—wah, bisa-bisa dunia tanpa kelaparan beneran kejadian.
Dalam ekonomi, Adam Smith dari Skotlandia nyumbang pemikiran penting: miskin itu bukan cuma gak punya duit, tapi juga gak bisa ikut "nongkrong" di masyarakat. Terus, Karl Marx dari Jerman makin ngegas: kemiskinan itu bukan nasib, tapi hasil dari sistem kapitalisme yang emang dibikin buat nguntungin segelintir orang.Dari sisi sosial dan budaya, mulai kelihatan waktu kota makin padat dan pabrik-pabrik bermunculan. Charles Dickens di Inggris bikin cerita-cerita yang bikin pembaca ikut ngerasain perihnya jadi miskin di London.Charles Dickens adalah maestro dalam menggambarkan pedihnya kemiskinan di London abad ke-19. Berikut ini adalah cerita singkat yang diambil dari karyanya yang paling menyayat hati: Oliver Twist.Bayangin, loh—seorang anak kecil, lahir di sudut kota London yang penuh debu dan jelaga. Namanya Oliver Twist. Doski gak punya siapa-siapa. Gak ada emak, bapak, rumah apalagi mainan. Doi langsung lahir ke dunia yang gak punya hati: panti sosial versi penjara.Salah satu adegan paling bikin nyesek? Oliver lagi kelaparan parah. Badannya kurus, tangannya gemeteran, doi maju pelan-pelan ke depan kepala dapur. Pegang mangkok kecil, dan dengan suara lirih, dia bilang:“Tuan… saya mau minta nambah…”
Langsung: diam total. Semua yang dengerin pada kaget kek habis lihat hantu. Lho kok bisa? Anak miskin minta nambah makan? Itu dianggap nista, bro.Adegan ini bukan sekadar drama. Dickens bikin kita ngerasa: jadi miskin di era itu tuh bukan cuma perih di perut, tapi juga bikin loe dianggap kriminal. Minta makan pun bisa dicap lancang.Tapi lewat kisah Oliver, Dickens juga nunjukin bahwa di tengah sistem yang beku, masih ada cahaya kecil dari orang-orang baik. Meski dunia gak adil, manusia tetap bisa punya harapan.Sementara di Prancis, Émile Durkheim bahas kemiskinan bukan cuma soal perut kosong, tapi soal rasa tersisih dari masyarakat.
Di Prancis akhir abad ke-19, Émile Durkheim gak nulis cerita dongeng buat anak-anak. Doski nulis cerita buat nyentil masyarakat. Bukan soal siapa pacaran sama siapa atau siapa jadi presiden. Tapi soal: “Kenapa sih, makin modern dunia ini, makin banyak orang yang ngerasa sendirian?”
Durkheim bawa cerita beda. Bukan fiksi, tapi angka. Bukan gosip, tapi pola hidup. Di bukunya yang legendaris, Suicide: A Study in Sociology (Le Suicide: Étude de sociologie, pertama kali diterbitkan tahun 1897, edisi bahasa Inggris pertama kali diterbitkan tahun 1952 oleh Routledge & Kegan Paul Ltd.), doski ngebuktiin kalau bahkan keputusan tragis kayak bunuh diri itu bukan cuma urusan pribadi—tapi ada benang tak kasat mata dari cara masyarakat memperlakukan warganya.
Anehnya, doi nemuin bahwa orang miskin justru gak selalu paling rentan bunuh diri. Yang sering ngerasa hampa malah orang kaya, yang hidup di kota, yang jauh dari keluarga, yang kehilangan arah. Jadi ini bukan cerita soal duit, tapi soal keterasingan.
Durkheim ngenalin istilah anomie—keadaan dimana aturan sosial luntur, dan orang hidup kayak melayang-layang, gak punya pegangan. Dunia modern yang katanya cepat, canggih, dan bebas, justru bisa bikin orang ngerasa lebih hampa dan sendiri.
Pesannya jelas: Kalau mau ngobatin luka batin orang, kita gak bisa cuma ngandelin psikolog atau motivasi doang. Kita harus perbaiki cara hidup bareng-bareng. Kemiskinan itu bukan cuma soal dompet tipis, tapi juga soal rusaknya ikatan sosial dan hilangnya makna hidup.
Cerita Durkheim gak punya penjahat atau pahlawan. Tapi doi bikin kita mikir ulang: apa kabar cara kita saling jaga sebagai manusia?
So, siapa sih yang pertama kali "mencetuskan" konsep kemiskinan? Jawabannya: banyak. Bukan satu orang, tapi kumpulan ide dari banyak zaman dan tempat. Masing-masing nambah warna dan makna soal apa itu kemiskinan, dan kenapa kita nggak boleh cuek kalau ada yang hidupnya kepentok lantai.
Sejak zaman masih dijajah, kemiskinan udah jadi isu panas di Indonesia. Tapi bukan cuma dilihat sebagai soal perut kosong—kemiskinan di negeri ini dianggap sebagai warisan penjajahan, ketidakadilan, dan sistem yang sengaja dibikin biar rakyat kecil gak pernah naik kelas. Para tokoh besar kita gak tinggal diam. Mereka gak cuma kasihan, tapi juga marah. Dan mereka melawan—dengan kata-kata, gagasan, dan tindakan.
Sukarno, Bapak Proklamator kita, dari awal udah teriak lantang: “Kemiskinan itu bukan salah rakyat, tapi akibat sistem kolonial yang nyedot kekayaan kita habis-habisan!” Dalam pidato-pidatonya, terutama Indonesia Menggugat, Bung Karno gak cuma ngomong soal merdeka dari Belanda, tapi juga merdeka dari kemiskinan. Buat beliau, merdeka itu harus lengkap: politik, ekonomi, dan sosial. Kalau rakyat masih miskin setelah merdeka, berarti belum benar-benar merdeka.
Lalu ada Mohammad Hatta, Bapak Koperasi. Kalau Bung Karno pakai semangat revolusi, Bung Hatta lebih kalem tapi tajam. Beliau percaya kemiskinan bisa dilawan lewat koperasi—saling bantu, gak tergantung sama kapital besar. Buat Hatta, gotong royong bukan cuma slogan, tapi kunci buat bikin rakyat kuat dan mandiri secara ekonomi.
Kalau mau yang lebih radikal lagi, ada Tan Malaka. Tokoh satu ini blak-blakan banget. Dalam buku Madilog, beliau bilang kemiskinan di Indonesia itu hasil sistem kapitalis dan penjajahan. Solusinya? Bukan cuma ganti bendera, tapi ganti sistem ekonomi total! Buat Tan, petani dan buruh—yang paling miskin—justru punya kekuatan buat ubah dunia.
Di era modern, ada juga Gus Dur. Presiden nyentrik tapi penuh hati ini selalu ngingetin kita bahwa kemiskinan gak bisa dihapus cuma pakai data dan anggaran. Harus pakai empati. Gus Dur selalu bicara soal orang miskin, penyandang disabilitas, minoritas—semua yang sering dilupakan. Buat beliau, membela yang lemah adalah inti dari kemanusiaan.
Sampai sekarang, isu kemiskinan di Indonesia masih kompleks. Tapi jejak para tokoh ini ngasih pelajaran penting: melawan kemiskinan itu bukan cuma soal angka di APBN, tapi soal keberanian, nilai, dan solidaritas dari akar rumput sampai pucuk kekuasaan.
Sukarno pernah curcol gini: “Gue dilahirin di tengah kemiskinan dan tumbuh miskin. Gue gak punya sepatu. Gak mandi dari keran. Gak tahu soal sendok garpu.” Kebayang nggak? Pak Presiden ngerasain susahnya duluan, makanya beliau ngerti banget gimana rasanya jadi orang kecil . Beliau juga ngebahas kolonialisme: katanya, “Penjajahan itu bukan gegara mau terkenal, tapi karena kebutuhan rezeki,”—intinya: penjajah itu kelaparan kaya, bukan ide besar .
Bung Hatta, sang bapak koperasi, bilang:
“Kurang cerdas bisa dipelajari, kurang cakap bisa diasah, tapi gak jujur itu susah banget diubah.”Implikasinya jelas: mau nolong orang miskin? Mulailah dari nilai kejujuran dulu.Tan Malaka ngajak kita ngelawan omongan kosong:
“Lapar gak berarti kenyang buat si miskin. Si kurus kering gak bisa kita kenyangkan dengan kata ‘kenyang’ meski diulang seribu kali.”Sokongan moral doang gak cukup, bro—yang dibutuhin itu langkah nyata .Gus Dur? Beliau gak punya kutipan viral soal kemiskinan, namun kehidupan dan tindakannya berbicara banyak: sebagai seorang pemimpin, beliau memperjuangkan kaum miskin, kaum terpinggirkan, dan kaum tak bersuara.
Ngomongin kemiskinan itu bukan soal ngorek-ngorek luka, tapi soal ngebuka mata. Konsep “kemiskinan” itu penting banget karena jadi cermin: seberapa adil sih masyarakat ini? Seberapa peduli ama yang paling lemah? Kalau kita pura-pura gak ngelihat orang miskin, berarti kita juga lagi tutup mata ama ketidakadilan yang lebih besar.
Kemiskinan itu bukan cuma soal perut kosong atau gak punya rumah. Itu soal orang yang gak punya kesempatan, gak bisa bersuara, dan sering dilupain sistem. Kalau masyarakat cuek soal kemiskinan, lama-lama bisa mampet sendiri—bukan cuma ekonomi yang macet, tapi nurani juga bisa error. Dengan punya konsep “kemiskinan”, kita bisa ngerumusin solusi yang bukan cuma soal kasih bantuan, tapi kasih harapan, martabat, dan hak hidup layak.
Kemiskinan itu efek domino: ngaruh ke sekolah, kesehatan, kerja, sampai ke mimpi pun bisa dirampas. Konsep ini penting karena bikin yang gak kelihatan jadi kelihatan. Dan kalau udah kelihatan, bisa dilawan. Konsep kemiskinan itu bukan cuma teori—itu senjata untuk keadilan.