Di suatu pagi yang dingin, di kota Eropa yang ramai, ada seorang bocil, usianya paling banter sepuluh tahunan, berdiri nempel di jendela toko roti. Bajunya sobek-sobek, tangannya gemetar karena kedinginan, dan matanya nempel ke roti yang baru keluar dari oven.Di dalam, orang-orang asik ngopi dan tertawa sambil makan croissant, gak ada yang nyadar ada anak kelaparan di balik kaca itu.Tapi sang tukang roti ngelihat. Bukannya ngusir kayak satpam mal, doi malah keluar dan nanya pelan, “Kamu lapar ya nak?” Sang bocah cuman ngangguk. Gengsi banget buat minta, tapi laper banget buat pura-pura nggak butuh.Sang tukang roti ngasih roti kecil yang masih hangat. Sang bocah menerima pakai dua tangan, matanya berbinar, trus berbisik, “Makasih, Om.”Sore harinya, ada yang nanya ke tukang roti, “Kenapa loe ngasih roti gratis ke bocah gak dikenal?” Doski ngejawab kalem aja, “Soalnya, laper itu gak seharusnya dihukum bro!”Gak ada riuh tepuk tangan. Gak masuk berita. Apalagi algoritma. Seperti Mulyono yang baru pakai baju dan sepatu murah aja udah dielu-elukan oleh para ternaknya, tapi terhenti oleh penyakit autoimun yang gak bisa bo'ong. Aksi kecil sang tukang roti itulah bentuk perlawanan diam-diam terhadap dunia yang sering banget nganggep kemiskinan itu dosa bawaan.Dalam karyanya, System of Economic Contradictions: Or, the Philosophy of Poverty (1846), Pierre-Joseph Proudhon tuh kayak lagi buka aib ekonomi kapitalis satu-satu, kayak youtuber yang ngulas skandal selebriti. Doski bilang sistem ekonomi zaman itu tuh penuh kontradiksi kayak sinetron—setiap solusi justru bikin masalah baru. Misal, pembagian kerja yang katanya efisien, ternyata bikin manusia kayak robot. Persaingan? Katanya bikin inovasi, tapi ujung-ujungnya yang kecil-kecil dimakan ama yang gedhe. Properti pribadi? Bisa bikin nyaman, tapi juga bikin orang serakah dan tamak. Kredit? Bisa bantu hidup, tapi juga bisa jadi jerat utang.Daripada ngajak revolusi brutal atau sistem komunis yang serba ngatur, Proudhon ngusulin sistem mutualisme—kerjasama saling menguntungkan, kayak barter zaman now, tapi versi upgrade: tanpa bos yang nyuruh-nyuruh atau negara yang ngawasin terus.Doi juga kesel banget ama ekonom yang bilang kemiskinan itu wajar dalam pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, itu namanya “filsafat kemiskinan”—alias pembenaran elegan buat penderitaan rakyat. Proudhon bilang, ilmu sosial yang bener itu semestinya ngapus kemiskinan, bukan malah dijadiin bahan teori.Proudhon tuh nggak ngasih definisi kemiskinan yang baku atau pakai istilah filosofis ribet kayak dosen filsafat pas lagi bad mood. Tapi doi ngulik makna kemiskinan dari cara sistem ekonomi itu sendiri bikin orang menderita. Buat dia, kemiskinan bukan cuma soal dompet kosong atau nggak punya rumah—tapi soal sistem yang dari sononya udah toxic. Misalnya, tiap kali ada kemajuan teknologi, bukannya semua orang makin sejahtera, yang ada malah banyak buruh kena PHK. Properti pribadi? Iya sih bisa bikin nyaman, tapi juga bikin jurang kaya-miskin makin dalam. Jadi kemiskinan itu kayak bayangan gelap dari kekayaan—ada terus selama sistemnya masih timpang.Nah, istilah “filsafat kemiskinan” yang doski pakai itu sebenarnya buat nyinyirin para ekonom borjuis. Mereka tuh suka sok bijak: “Kemiskinan itu penting dong, biar ekonomi bisa berkembang.” Proudhon langsung angkat alis. Katanya, “Ini bukan filsafat, ini pembenaran elit yang tega ngelihat rakyat susah demi grafik ekonomi naik.”Jadi kalau dibilang dia punya "filsafat" soal kemiskinan, itu sebenarnya anti-filosofi mainstream—kayak nge-rap battle lawan teori ekonomi yang lupa kalau manusia itu bukan angka.Sebagai dedengkot awal gerakan anarkis dan sosialis, Proudhon tuh nggak main-main waktu ngebongkar akar masalah kemiskinan. Dalam The Philosophy of Poverty, doski nyasar langsung ke jantung sistem—yakni properti dan kerja. Buat dia, properti pribadi yang katanya suci dan sakral itu sebenernya penipuan besar-besaran. Doi sampai bilang, “Kepemilikan itu pencurian!”—bukan karena doski anti-nabung, tapi karena doi kesel ngelihat orang kaya bisa punya pabrik, lahan, dan modal, tapi nggak kerja apa-apa, cuma duduk-duduk sambil ngitung cuan dari kerja keras orang lain.Buruh? Cuma punya tenaga. Jadi tiap hari harus jual diri (secara legal tentunya) biar bisa makan. Tapi sayangnya, bayaran yang dia terima nggak sebanding sama nilai kerja yang dihasilkan. Ujung-ujungnya, kerja malah bikin tambah stres dan nggak punya kendali, bukannya bikin merdeka.Menurut Proudhon, sistem kepemilikan ini bikin kekayaan numpuk di tangan segelintir orang, kayak game monopoli yang dari awal udah curang. Solusinya? Bukan sekadar naikin UMR atau bagi-bagi gentong babi alias bantuan sosial doang. Sistem kepemilikan dan relasi kerja itu sendiri harus dirombak. Doski ngusulin mutualisme, sistem dimana orang bisa nikmatin hasil kerjanya sendiri dan kerjasama dilakukan atas dasar kesetaraan, bukan ketimpangan.Dalam Poor Economics (2011), dua Pemenang Nobel, Abhijit Banerjee dan Esther Duflo kayak nge-prank pemikiran lama soal orang miskin. Mereka bilang, “Orang miskin itu bukan bodoh atau males lho!” Lewat riset bertahun-tahun dan eksperimen ala reality show akademik (yaitu Randomised Controlled Trials), mereka nunjukin bahwa keputusan orang miskin itu masuk akal banget—asalkan loe ngerti kondisi hidup mereka yang ribet dan penuh jebakan.Contohnya, kenapa orang miskin nggak selalu beli obat atau nyekolahin anak? Bukan karena mereka nggak peduli, tapi karena sekolahnya abal-abal, kliniknya jauh, dan nggak ada jaminan hasil. Trus, pas mereka beli TV, jajan manis, atau gelar pesta kecil, itu bukan karena boros. Itu karena hidup mereka stres banget, dan sedikit hiburan tuh bisa jadi penyambung nyawa mental.Banerjee dan Duflo tuh bilang, masalahnya bukan di IQ orang miskin, tapi di sistem yang nggak kasih mereka ruang buat berkembang. Mereka nggak punya asuransi, nggak punya akses ke layanan yang stabil, dan nggak ada jaring pengaman. Solusi ngatasin kemiskinan bukan teori ekonomi level dewa, tapi pendekatan dari bawah—yang ngerti realitas di lapangan, bukan cuma grafik dan asumsi.So, daripada ngasih ceramah soal “ayo nabung”, mending dengerin dulu suara mereka—karena tiap keputusan kecil yang mereka ambil itu, punya cerita besar di baliknya.A Framework for Understanding Poverty (1996, aha! Process Inc.) karya Ruby K. Payne ini bukan cuma ngomongin kemiskinan sebagai soal dompet kosong, tapi sebagai gaya hidup yang punya aturan main sendiri—kayak “aturan tak tertulis” yang beda banget dari kelas menengah. Versi beliau, orang yang hidup dalam kemiskinan turun-temurun tuh punya cara pandang dunia yang gak sama dengan orang-orang mapan. Nah, karena sekolah dan institusi formal itu biasanya ngikutin budaya kelas menengah, jadinya sering timbul salah paham—kayak murid dianggep bandel padahal cuma gak paham "aturan mainnya".Salah satu ide utama Payne adalah soal “aturan tersembunyi”—kayak kode sosial yang gak pernah diajarin tapi berlaku kuat. Misalnya, di kelas menengah orang diajarin mikir masa depan, tapi di kalangan miskin, fokusnya ke “yang penting hari ini bisa makan”. Bedanya mindset gini bukan berarti salah, cuma belum ketemu jembatannya aja. Di sinilah Payne ngajak para guru buat lebih peka: daripada ngecap anak dari keluarga miskin itu gak disiplin, lebih baik ajarin mereka gimana cara main di sistem yang ada.Payne ngajak kita buat ngelihat kemiskinan bukan cuma soal isi dompet yang tipis, tapi sebagai sistem hidup yang rumit—penuh dengan aturan tak kasatmata, nilai-nilai khas, dan sumber daya yang jauh lebih kompleks daripada sekadar uang. Menurut Payne, tiap kelas sosial—baik miskin, menengah, maupun kaya—punya “kode rahasia” sendiri yang ngatur cara mikir, ngomong, ambil keputusan, sampai cara ngadepin konflik dan impian masa depan.Kerangka kerjanya dibangun dari delapan jenis resources atau modal yang gak melulu soal duit: mulai dari kekuatan emosional, kecerdasan, spiritualitas, kondisi fisik, dukungan sosial, role model, pemahaman soal “aturan tersembunyi”, sampai modal finansial. Kata Payne, kalau mau bantu orang keluar dari kemiskinan, yang dibutuhkan tuh gak cuma bantuan tunai—tapi juga kekuatan mental buat bangkit pas hidup lagi ambyar.Payne juga ngebedain antara kemiskinan turun-temurun (generational poverty), yang udah jadi budaya dalam keluarga selama dua generasi lebih, dan kemiskinan situasional, yang muncul karena musibah kayak PHK, perceraian, atau sakit berat. Yang turun-temurun ini, menurutnya, udah punya nilai-nilai dan cara hidup sendiri yang gak sama dengan orang kelas menengah.Poin sentral dari kerangka Payne adalah soal “aturan tersembunyi”—kayak kode diam-diam yang jadi pedoman hidup di tiap kelas sosial. Misalnya, kelas menengah itu mikirin masa depan, karier, dan tabungan, sedangkan orang miskin lebih fokus ke “yang penting hari ini bisa makan dan hidup.” Payne percaya, kalau kita mau bantu mereka masuk ke sistem kayak sekolah atau dunia kerja, aturan-aturan ini harus diajarin secara gamblang.Fokus utama Payne memang ke dunia pendidikan. Sekolah-sekolah biasanya jalan dengan nilai-nilai kelas menengah, jadi murid dari keluarga miskin sering dikira “bermasalah” padahal cuma gak tahu aturannya. Dengan memahami ini, guru bisa lebih paham kenapa muridnya bersikap seperti itu dan lebih siap membantu mereka berkembang.Intinya, kerangka Payne ngajak para profesional—khususnya guru dan pekerja sosial—buat berhenti menyalahkan individu atas kemiskinan mereka. Lebih baik pahami bahwa ada rintangan sistemik dan perbedaan budaya yang perlu dijembatani. Bukan berarti mereka harus “jadi orang kelas menengah,” tapi dikasih alat biar bisa sukses dengan jati diri mereka sendiri.Kerangka pikir Andrew Shepherd dan Julia Brunt dalam Chronic Poverty: Concepts, Causes and Policy (2013, Palgrave Macmillan) ibarat kacamata baru buat ngelihat kemiskinan yang udah nancep bertahun-tahun—bahkan lintas generasi. Ini bukan soal “lagi sial sesaat”, tapi soal hidup yang dari awal udah kejebak dalam jurang tanpa tangga. Menurut Shepherd, kemiskinan kronis itu bukan cuma soal penghasilan kecil, tapi soal gak punya kuasa, gak didengar, dan hidup dalam sistem yang emang dari sononya gak adil.Yang bikin kerangka ini beda adalah fokusnya pada dinamika kemiskinan—alias, gimana orang bisa jatuh miskin, terus kenapa susah banget buat naik lagi, dan apa yang bikin sebagian orang bisa lepas. Jadi, bukan cuma soal hitungan angka gaji, tapi nyari tahu “kenapa loe bisa kejebak di titik ini, dan apa yang bisa jadi jalan keluar.”Shepherd dan Brunt nyebut ada tiga mesin utama yang bikin orang terjebak dalam kemiskinan kronis: gak punya aset, ikut dalam sistem yang merugikan, dan kurang kemampuan dasar. Misalnya, orang gak punya lahan, pendidikan, atau pekerjaan yang aman. Lalu mereka kerja dalam sistem yang nyedot tenaga tanpa imbalan yang layak—kayak buruh harian atau kerja dengan sistem yang diskriminatif. Tambah parah lagi, mereka gak punya akses ke hal-hal mendasar kayak sekolah, kesehatan, bahkan pengakuan sebagai warga negara.Soal kebijakan, Shepherd dan Brunt minta pemerintah jangan cuma mikirin bantuan sesaat kayak bansos darurat. Mereka dorong bikin sistem perlindungan sosial jangka panjang—kayak bantuan tunai tetap, pensiun untuk lansia, dan tunjangan anak. Tujuannya biar keluarga bisa punya napas panjang buat mikir masa depan, bukan cuma bertahan hari ini.Mereka juga usulin supaya negara bantu orang miskin punya aset—seperti lahan, ternak, pendidikan, dan akses ke pinjaman. Gak cukup cuma nyari pertumbuhan ekonomi doang, tapi harus pertumbuhan yang inklusif—biar lapangan kerja yang diciptakan juga bisa diakses sama yang paling miskin. Dan yang paling penting: harus ada usaha nyata buat ngacak-ngacak struktur sosial yang bikin kemiskinan terus diwariskan, kayak diskriminasi gender, etnis, atau konflik yang gak kelar-kelar.Intinya, kerangka Shepherd dan Brunt ini bukan sekadar analisis, tapi seruan buat ngubah sistem dari akarnya. Bukan cuma ngasih duit, tapi ngasih ruang buat orang miskin bangkit dengan harga diri dan suara yang didengar.The Growth Delusion: Wealth, Poverty and the Well-Being of Nations" (2018, Tim Duggan Books) oleh David Pilling ibarat tamparan elegan buat dunia modern yang udah terlalu cinta buta sama angka-angka pertumbuhan ekonomi, terutama GDP alias Produk Domestik Bruto. David Pilling, dengan gaya nyentrik ala jurnalis kelas dunia, ngajak kita mikir: kenapa sih angka GDP yang dulunya cuma dipake pas zaman perang malah sekarang dianggap tolak ukur utama kesuksesan negara?Pilling nyentil keras: lho, masa sih banjir yang ngancurin rumah bisa bikin angka GDP naik gara-gara proyek pembangunan? Atau, makin banyak orang sakit kanker bikin pengeluaran medis naik, lalu dibilang "ekonomi tumbuh"? Kocak, kan? Tapi ini kenyataan.Menurutnya, GDP itu kayak influencer yang keliatannya kece di depan kamera, tapi aslinya toxic. GDP gak peduli soal kerja-kerja yang gak dibayar kayak ngurus orang tua, relawan, atau ibu rumah tangga. Gak ngitung kesenjangan, gak nyentuh isu lingkungan, dan cuek banget ama kesehatan mental. Pokoknya, asal duit muter, dianggap beres.Pilling ngajak kita jalan-jalan juga—dari pasar informal di Afrika sampai kota-kota penuh asap di China. Di situ dia nunjukin gimana “iman buta” ke pertumbuhan bikin kebijakan yang lebih banyak nyakitin rakyat daripada nolong.Tapi karya ini gak sekadar nyinyir. Doski juga nyodorin solusi. Negara Bhutan, misalnya, punya “Indeks Kebahagiaan Nasional.” New Zealand pakai “Anggaran Kesejahteraan.” Ada juga indeks-indeks lain yang lebih manusiawi dari sekadar ngejar angka pertumbuhan kayak orang mabok.
Jadi gini, GDP itu tadinya cuman alat bantu perang—bukan buat jadi indeks nasional seperti yang sekarang ini. Tahun 1930-an, Simon Kuznets bikin metode hitung pendapatan nasional buat ngebantu atasin Depresi Besar. Pas Perang Dunia II, pemerintah butuh tau seberapa banyak sih “kue ekonomi” yang bisa dikorbanin buat bikin senjata, dibelanjain buat tentara, dan lainnya—nah inilah yang akhirnya jadi GDP.
Abis perang, langsung masuk era Perang Dingin dan GDP jadi alat show-off ideologi: JFK dan Khrushchev sama-sama ngebanggain pertumbuhan ekonomi sebagai bukti siapa yang lebih unggul—kapitalis atau komunis . Maka jadilah GDP dari alat perang berubah jadi simbol nasional, dari mana semua negara berlomba-lomba.
Dalam The Growth Delusion, David Pilling bongkar perjalanan ini—doski jelasin gimana GDP yang fokusnya cuma pada jumlah barang dan jasa (yang bisa dihitung) malah bikin hal-hal esensial kehidupan kayak waktu santai, kualitas lingkungan, budaya yang gak dibayar, jadi gak kelihatan.
Ya, dulu GDP memang bikin banyak negara keluar dari kemiskinan. Tapi Pilling bilang, kalau kita cuma ngedengerin dia tanpa kritis, bisa-bisa kita tumbuh “sukses” tapi malah bikin hidup kita dan planet ini hancur. Makanya doi ngedorong supaya negara pake “dashboard” lain—yang merangkum kebahagiaan, keberlanjutan, dan keadilan. Sip, kan?
[Bagian 3]Indeks Kebahagiaan Nasional itu bukan cuma soal seberapa tebal dompet loe, tapi seberapa damai loe tidur tiap malam. Ini bukan kaya GDP yang cuma ngitung uang muter berapa, tapi lebih ke “hidup loe sebenernya gimana sih rasanya?”Bhutan jadi pelopornya lewat konsep Gross National Happiness (GNH)—alias Kebahagiaan Nasional Bruto—yang ukurannya bukan sekadar pertumbuhan ekonomi, tapi totalitas hidup warga negaranya. Isi indeks ini tuh beragam: dari kesehatan mental, akses pendidikan, waktu buat keluarga, sampai pelestarian budaya, kualitas pemerintahan, dan hubungan sama alam.Misalnya nih, waktu luang loe dihitung. Kalau loe kerja rodi sampai gak sempet ngopi bareng temen, itu poin minus. Atau kalau budaya lokal mulai punah digilas TikTok global, itu juga alarm. Pemerintah yang jujur, masyarakat yang guyub, dan lingkungan yang sehat—semuanya masuk penilaian.Intinya? Indeks ini ngasih pesan lembut tapi nyelekit: hidup yang bahagia itu bukan soal jadi negara kaya, tapi negara yang bikin orang-orangnya merasa punya makna, punya ruang buat napas, dan gak cuma disuruh kerja, kerja, kerja.Finlandia masih jadi juara dunia kebahagiaan—delapan tahun berturut‑turut! Ini resmi dari World Happiness Report (data 2022–2024). Kenapa mereka juara? Karena orang‑orang di sana percaya banget sama sesama, optimis soal masa depan, punya support sosial yang kuat, bebas bikin pilihan, dan yang paling penting, ketimpangan kesejahteraan minim bingit. Semua hal ini bikin rakyat Finland bilang, “Yup, hidup gue oke banget” . Di belakang mereka, negara‑negara Nordic lain kaya Denmark, Islandia, Swedia juga nongkrong di puncak. Ga cuma itu, ada juga Belanda, Costa Rica, Norwegia, Luxembourg, dan Meksiko yang ikutan top‑ten
Di akhir, Pilling bilang: udah saatnya kita ngaca. Kalau cuma ngejar pertumbuhan ekonomi doang, kita bisa jadi negara yang dompetnya tebel, tapi hatinya kosong. Kayak angka, yang miskin rasa.
[Bagian 2]