Di sebuah kota kecil di Prancis akhir abad ke-19, ada kejadian yang mungkin gak dianggep penting sama orang-orang elite, tapi sebenarnya nendang banget. Setiap minggu, sekelompok buruh pabrik rutin mampir ke toko buku lokal—bukan buat beli koran atau pamflet politik, tapi buat baca dan ngobrolin novel Émile Zola, terutama Germinal. Mereka bukan akademisi, bahkan banyak yang cuma lulusan SD. Tapi mereka baca cerita para penambang di novel itu kayak lagi bacain hidup mereka sendiri. Zola nggak teriak-teriak soal revolusi, doski cuman nulis kehidupan orang biasa dengan jujur dan empati. Tapi justru karena itu, para buruh ini jadi ngerasa: “Wah, ternyata penderitaan kita bisa punya suara juga ya?” Itulah kekuatan mute speech—nggak heboh, tapi bisa bikin yang bisu jadi terdengar. Bukan cuma tentang sastra, tapi soal melihat diri sendiri dengan cara yang baru.
Dalam Comedy: A Very Short Introduction (2013, Oxford University Press), Matthew Bevis membahas komedi bukan cuma sebagai hiburan semata, tapi sebagai alat budaya dan politik yang punya kekuatan dahsyat—bisa buat ngetawain, nyindir, bahkan nantang otoritas. Sepanjang sejarah, komedi selalu jadi ruang bebas buat “ngomong apa adanya” tentang kekuasaan, kemunafikan, dan kejanggalan sosial, lewat cara yang lucu tapi menggigit.
Dari zaman Shakespeare sampai komika zaman now, komedi punya satu ciri khas: bikin ketawa sambil mikir. Dalam karya-karya Shakespeare kayak Twelfth Night atau King Lear, tokoh-tokoh badut dan pelawak bukan cuma pemanis cerita. Justru mereka sering jadi suara paling jujur—yang bisa nyeletuk tentang kebodohan raja, rusaknya sistem, atau sifat manusia yang absurd, tapi dibalut lelucon dan sindiran cerdas. Mereka kayak whistleblower zaman dulu, tapi dengan topeng jenaka.
Bevis ngasih tahu bahwa komedian, baik klasik maupun modern, bukan cuma “tukang lawak.” Mereka itu penjaga nurani publik. Di era sekarang, komedian seperti George Carlin, Hannah Gadsby, sampai Trevor Noah jadi semacam “juru bicara rakyat,” yang bisa bahas rasisme, ketimpangan, politik, bahkan trauma, dengan cara yang relate dan bikin orang mau dengar. Mereka bisa bilang hal-hal yang politisi atau tokoh publik takut sampaikan—karena mereka punya “kartu kebal” berupa tawa penonton.
Buat Bevis, kekuatan komedi justru ada di kemampuannya nyatuin orang lewat tawa, sambil ngasih cermin buat liat sisi gelap masyarakat. Komedi bukan pelarian dari masalah, tapi justru pintu masuk yang Cerdas dan kreatif buat ngobrol soal masalah itu sendiri. Dari ketegangan bisa muncul kesadaran, dari lelucon bisa lahir perenungan.
Menurut buku ini, komedian itu bukan sekadar badut panggung, tapi bagian penting dari percakapan demokratis—mereka yang ngingetin kita semua, kadang dengan banyolan, bahwa dunia ini enggak baik-baik saja.
Karenanya, waktu kita ngomong soal kekuatan budaya yang menjaga akal sehat bangsa—selain seniman, penulis, dan pemikir—jangan lupakan para komedian. Mereka memang nggak pakai jas almamater atau jubah akademik. Tapi di balik tawa, ada beban kebenaran yang diam-diam mereka usung ke atas panggung.
Sastra juga nggak kalah keren. Novel, puisi, cerpen, dan esai bisa bikin kita nyemplung ke dunia orang lain, merasakan pedihnya ketidakadilan atau hangatnya solidaritas. Membaca sastra yang bagus itu kayak ngobrol ama manusia dari masa atau tempat lain—dan dari situ, empati tumbuh. Nggak jarang juga, penulis memakai metafora dan simbol dalam menyuarakan perlawanan secara lumat—semacam kritik terselubung terhadap kekuasaan yang semena-mena. Sastra itu semacam “black box” bangsa: sastra menyimpan memori kolektif, luka sejarah, dan mimpi yang belum kesampaian.
Dalam The Uses of Literature karya Italo Calvino (terbit tahun 1986 oleh Harcourt Brace Jovanovich), sastra nggak cuma diposisikan sebagai hiburan doang—tapi sebagai senjata lembut yang ampuh buat mikir kritis, ngebongkar sistem yang kaku, dan jaga supaya kita tetep manusiawi di tengah dunia modern yang makin sibuk dan serba instan. Buat Calvino, sastra itu kek ruang bebas yang langka: tempat dimana ambiguitas itu wajar, pertanyaan nggak dilarang, dan bahasa nggak dipaksa jadi alat komunikasi formal nan kaku seperti di dunia birokrasi.
Lewat esai-esaianya, Calvino nunjukin bahwa membaca sastra bikin otak kita lentur dan imajinasi tetap hidup—dua hal yang seringkali dibunuh oleh sistem yang maunya semua seragam dan rapi. Dalam dunia yang suka menyederhanakan segala hal jadi hitam-putih, sastra justru ngajarin kita buat nyaman ama kerumitan, ngerti bahwa hidup nggak selalu soal benar atau salah. Dengan kata lain, sastra ngajarin kita buat jadi warga negara yang nggak gampang diboongin atau ditakut-takutin.
Calvino juga nyorotin pentingnya bahasa yang nggak dijadikan alat buat ngatur-ngatur orang. Sastra bikin kita terbiasa menginterpretasi, mempertanyakan, dan mencari makna—bukan cuma nerima mentah-mentah apa yang dikasih. Dan itu penting banget dalam hidup bernegara, apalagi di era dimana hoaks dan manipulasi bisa nyebar lebih cepat dari gosip selebriti.
Menurut Calvino, sastra itu bentuk perlawanan sipil yang kalem tapi dalem. Sastra gak tereak-tereak atau demo bawa spanduk, tapi lewat cerita dan kata-kata, sastra ngajak kita buat mikir, ngerasa, dan nggak kehilangan empati. Sastra itu bikin kita tetap waspada, tetap manusia, dan nggak gampang tunduk ama sistem yang pengin bikin kita jadi robot.
Intinya, kalo loe ngira sastra cuma buat galau-galauan atau sekadar pelarian, Calvino bilang: salah besar. Sastra itu alat politik yang elegan, yang bisa jaga demokrasi dan bikin kita tetep punya hati—biarpun saat dunia terasa makin absurd.
Dalam Mute Speech: Literature, Critical Theory, and Politics (2011, Columbia University Press, diterjemahkan ke English oleh James Swenson, diedit dengan kata pengantar oleh Gabriel Rockhill), Jacques Rancière membongkar bagaimana “sastra” yang kita kenal sekarang ini, bukan barang lama, tapi justru lahir dari revolusi sosial dan budaya—terutama sesudah Revolusi Prancis dan munculnya era Romantisisme. Dulu, tulisan itu harus ikut aturan ketat: ini puisi, ini pidato, ini drama. Tapi sejak momen besar itu, sastra jadi liar dan bebas, bisa ngomongin apa aja, dengan gaya apa aja, dan dari suara siapa aja. Rancière ngenalin istilah “mute speech” alias “ucapan bisu”—kayak gimana sastra bisa nyuarain sesuatu tanpa perlu tereak, tanpa perlu nyolot atau terlalu eksplisit. Justru lewat diamnya, lewat struktur kalimat, irama tulisan, atau bahkan hal-hal yang nggak ditulis, sastra bicara lebih dalam. Disitulah kekuatannya: bisa nyentuh lapisan emosi dan realitas sosial yang sering nggak kelihatan, apalagi diwakilkan.
Lewat analisis tokoh-tokoh kayak Victor Hugo, Balzac, dan Zola, Rancière nunjukin bahwa sastra itu nggak cuma buat hiburan atau seni-senian, tapi justru ngebentuk cara kita mikir tentang sejarah, masyarakat, dan politik. Sastra ngasih ruang buat pengalaman yang biasanya dibungkam sistem—dan bikin kita melihat dunia dari sudut pandang yang nggak biasa.
Mute Speech-nya Rancière ngasih kita cara baru buat mikir: bahwa sastra itu senjata senyap. Bukan yang teriak “revolusi!”, tapi yang pelan-pelan ngacak realitas. Bukan ngasih jawaban, tapi ngajak kita ngerasain dan ngebayangin ulang hidup dan kekuasaan dari sisi yang sering kita skip.
Dalam dunia demokrasi hari ini, sastra versi Rancière bukan cuma tontonan—tapi ruang subversif yang bisa ngoyak layar besar narasi resmi, dan ngasih panggung ke suara-suara yang biasanya nggak dikasih mic.
Lalu, diskusi publik. Ini penting banget—dan sayangnya, sering diremehkan. Ngobrol terbuka soal isu bangsa, debat di forum kampus, konten opini di media sosial, sampai diskusi receh yang ternyata dalam di warung kopi—itu semua adalah tanda bahwa demokrasi masih hidup. Diskusi publik memberi ruang bagi orang biasa untuk menyuarakan keresahan dan ide-ide mereka. Di tempat di mana orang bisa bebas bicara, biasanya kekuasaan jadi lebih hati-hati. Tapi kalau ruang bicara ditutup, yang muncul adalah rasa takut, hoaks, dan apatisme massal.
Menurut "Why We Argue (And How We Should): A Guide to Political Disagreement" karya Scott F. Aikin dan Robert B. Talisse (Routledge, 2019), diskusi publik itu ibarat oksigen bagi demokrasi—kalau gak ada, ya mati. Tapi, sama seperti oksigen, kalau tercemar oleh racun kayak hoaks, ngotot tanpa dasar, atau sekadar ikut-ikutan opini publik tanpa mikir, bisa-bisa yang terjadi bukan saling ngerti, tapi saling serang.
Para penulis bilang, beda pendapat dalam demokrasi itu bukan masalah—justru wajib. Tapi cara kita beda pendapat itu yang penting. Kalau debat dilakukan cuma buat menang adu mulut, buat nunjukin siapa yang paling keras suaranya, atau buat nyenengin “kelompok sendiri” tanpa benar-benar mikir, maka diskursus publik jadi rusak. Kita nggak lagi cari kebenaran atau solusi, tapi cuma cari pembenaran dan dukungan.
Aikin dan Talisse juga ngasih warning soal yang mereka sebut cognitive insulation—semacam mentalitas “hidup dalam bubble.” Orang cuma mau dengerin yang satu frekuensi, nolak dengerin argumen lawan, bahkan yang masuk akal sekalipun. Hasilnya? Makin banyak kelompok yang merasa paling benar sendiri, dan makin susah nemu titik temu. Ini bukan cuma bikin debat politik jadi toxic, tapi bisa ngerusak tatanan masyarakat dari dalam.
Sebaliknya, kalau kita berani berpikir kritis—nggak asal percaya, siap mengakui salah, dan mau benar-benar dengerin orang lain—diskusi publik bisa jadi alat pendidikan sipil. Bukan cuma buat pinter ngomong, tapi buat ngerti dunia yang lebih kompleks, dan buat ngasah empati.
Intinya, menurut buku ini, mikir kritis itu bukan cuma gaya-gayaan. Dalam demokrasi, itu kebutuhan pokok. Tanpa itu, kebebasan berbicara bisa jadi bumerang yang memecah belah, bukan menyatukan. Demokrasi yang sehat bukan cuma tentang boleh ngomong, tapi juga tentang gimana caranya ngomong dengan kepala dingin dan hati terbuka.
Kalau digabung, seni, sastra, dan diskusi publik bukan cuma pelipur lara. Merekalah alarm moral bangsa. Mereka mengingatkan yang berkuasa, membela yang tertindas, dan memberi ruang untuk kita semua bercermin dan bertumbuh. Negara yang mencintai senimannya, memuliakan penulisnya, dan membuka ruang diskusi untuk rakyatnya—itu negara yang nggak cuma hidup secara administratif, tapi juga hidup secara batiniah.
Hidup di negara yang menghargai ekspresi kreatif, suara kritis itu dihargai, serta kebenaran dapat disuarakan sekeras-kerasnya tanpa rasa-takut, terasa seperti bener-bener jadi warga negara. Bukan sekadar punya KTP, tapi punya ruang untuk jadi manusia seutuhnya. Di situlah budaya bukan cuma aksesoris negara—melainkan menjadi hati nuraninya.