[Bagian 1]Rangkap jabatan tuh biasanya muncul pas momen-momen krusial kayak abis pemilu, ganti kabinet, atau waktu rezim baru (atau resim lama, kek di Indonesia dimana resim lama) pengen nancepin kuku kekuasaan. Pokoknya, pas situasi politik lagi panas-panasnya dan yang dicari itu bukan yang paling kompeten, tapi yang paling loyal. Gaya-gaya “yang penting orang kita”, biar semua lini bisa dikontrol dari ruang rapat sampai ruang WhatsApp.Tempatnya? Bukan cuma di Indonesia sih, tapi emang di negara-negara yang demokrasinya masih tahap belajar, gejalanya keliatan banget. Institusinya mungkin udah ada, tapi pengawasannya masih lemah, jadi orang bisa tumpuk jabatan kayak main Tetris. Di Indonesia sendiri, lo bisa nemuin praktik ini di kementerian, BUMN, bahkan lembaga pengatur yang punya kuasa gede dan anggaran tebal. Di situlah "kursi empuk" sering diperebutkan, kadang bukan buat kerja, tapi buat jaga posisi dan jaring kuasa.
Di banyak negara yang demokrasinya masih setengah matang, budaya patronase alias "lu bantu gua, gua kasih jabatan" udah kayak bagian dari sistem. Di Indonesia, hal ini udah jadi semacam rahasia umum: banyak jabatan strategis dikasih bukan karena si orang itu paling jago, tapi karena doski orang dalam yang pernah bantu bos naik ke kursi kekuasaan. Bisa jadi karena bantu kampanye, ngucurin dana, atau sekadar setia nempel kayak stiker partai.
Dalam politik balas budi, jabatan tuh kayak hadiah ulang tahun: makin gede jasanya, makin empuk kursi yang dikasih. Lo bisa nemuin “orang titipan” dimana-mana—di kementerian, BUMN, sampai lembaga pengawas yang harusnya independen. Yang penting loyal, soal skill bisa nyusul (atau malah nggak penting-penting amat). Hasilnya? Sistem birokrasi jadi kayak panggung drama, dimana yang main bukan aktor profesional, tapi orang-orang yang dapet peran karena kedekatan, bukan kompetensi.
Masalahnya, kalau yang duduk di posisi penting cuma karena "nggak enakan", bukan karena bisa kerja, ya jangan heran kalau pelayanan publik jalan kayak siput lagi mabuk. Rakyat disuruh percaya, tapi yang duduk di atas lebih sibuk jaga posisi ketimbang jaga amanat.
Dalam The Politics of Presidential Appointments, David E. Lewis ngejelasin kalau di dunia birokrasi, apalagi di sistem yang presidensial, sering banget jabatan-jabatan strategis diisi bukan karena orangnya pinter, tapi karena doi loyal ama bos politiknya. Emang sih, buku ini bahasannya di Amerika, tapi vibes-nya kerasa banget buat Indonesia. Istilahnya, rangkap jabatan itu bukan karena orangnya serba bisa, tapi karena dia serba “dekat.” Lewis nunjukin gimana pilihan kayak gini bikin kinerja lembaga jadi loyo dan akuntabilitas makin kabur kayak sinyal Wi-Fi di ujung gang.
Terus ada juga Curbing Corruption in Asian Countries dari Jon S. T. Quah. Karya ini semacam tur keliling Asia buat ngeliat gimana negara-negara di sini bergulat ama korupsi dan budaya politik patronase. Di bagian Indonesia, Quah nunjukin kalau sistem balas budi dan hubungan patron-klien bikin banyak jabatan tumpang tindih. Dan ini bukan semata soal “efisiensi” tapi udah jadi budaya: siapa yang dekat dengan kekuasaan, doski yang dapat posisi, meskipun CV-nya lebih cocok buat ngelamar jadi MC pesta kawinan.
Kesimpulannya, dua karya ini sama-sama bilang bahwa rangkap jabatan itu bukan sekadar error sistem birokrasi, tapi semacam gejala kronis dari budaya politik yang masih mementingkan loyalitas daripada kapabilitas.
Di Indonesia, fenomena pejabat punya banyak jabatan itu kayak main game RPG—semakin banyak “quest” yang dijalani, semakin besar kekuatan dan keuntungan yang bisa dikumpulkan. Tapi bedanya, di dunia nyata, ini bukan sekadar grinding XP, melainkan strategi politik yang punya dampak besar.
Bayangkan seorang pejabat seperti karakter utama dalam sinetron atau film laga. Doski bukan cuma jadi gubernur, tapi juga komisaris BUMN, ketua organisasi olahraga, bahkan pemilik bisnis sampingan. Semua jabatan ini bukan sekadar prestasi, melainkan “buff” yang meningkatkan akses ke anggaran, sumber daya, dan jaringan politik.
Di dunia politik Indonesia, loyalitas itu kayak “friendship point” dalam game. Kalau lo setia sama penguasa atau bantu mereka menang dalam pemilu, kemungkinan besar lo bakal dapet hadiah berupa jabatan tambahan. Ini semacam mode “VIP Access” di dunia politik.
Punya banyak jabatan = makin bergengsi. Di sistem yang masih ada nuansa feodal, makin tinggi posisi seseorang, makin luas kekuasaannya. Kaya punya skin legendary yang bikin orang segan.
Setiap jabatan datang dengan berbagai “item bonus”: fasilitas, tunjangan, dan akses ke dana operasional. Dengan merangkap jabatan, pejabat bisa mengakses multiple income streams, yang kadang dimanfaatkan buat kepentingan pribadi atau kelompok.
Walaupun ada aturan yang melarang rangkap jabatan, penegakannya sering lemah. Ini seperti main game multiplayer tanpa admin yang bisa nge-ban cheater. KPK, Ombudsman, atau BPK baru akan bergerak kalau ada protes besar-besaran dari publik.
Di negara dengan sistem yang rapi, konflik kepentingan itu kaya “bug” yang harus segera diperbaiki. Tapi di Indonesia? Kadang dianggap biasa, bahkan ada yang bilang ini “efisiensi.” Padahal efeknya bisa merusak sistem dan integritas pemerintahan.
Setiap kategori pejabat punya aturan rangkap jabatan yang beda-beda. Ini seperti game dengan banyak side quest yang nggak sinkron. Akibatnya, pejabat bisa merangkap posisi tanpa kelihatan melanggar aturan secara eksplisit.
Alih-alih sebagai lembaga kaderisasi yang solid, banyak partai politik di Indonesia lebih mirip “agen distribusi jabatan.” Loyalitas lebih penting dari kompetensi, jadi kalau lo setia, posisi bakal dikasih tanpa lihat skill set lo.
Banyak menteri yang juga jadi komisaris BUMN, padahal ini bisa bikin keputusan ekonomi jadi nggak netral. Ada juga pejabat daerah yang rangkap posisi sebagai ketua organisasi olahraga, pimpinan partai, bahkan komisaris perusahaan daerah—semacam mode “God-tier character” yang bisa masuk di semua arena.
Fenomena ini kayak cheat code yang bikin pejabat bisa unlock banyak peran sekaligus, sementara sistem pengawasan masih sibuk loading. Dan selama publik belum banyak protes, ‘game’ ini akan terus berjalan.
Salah satu alasan kenapa rangkap jabatan masih jadi tren hits di Indonesia adalah karena sistem kita tuh kayak power bank: semua kekuasaan ngumpul di satu titik—pusat. Di sistem kayak gini, makin loe deket sama sumber daya dan kekuasaan, makin gampang loe ngatur-ngatur, bagi-bagi proyek, dan jaga gengsi politik. Orang yang pegang lebih dari satu jabatan itu kadang dibilang buat “koordinasi lebih lancar,” tapi seringnya malah bikin kerjaan tumpang tindih dan lembaga jadi nggak punya taring.
Nggak cuma soal kekuasaan, tapi juga soal gaya. Di sini, jabatan itu bukan cuma kerjaan—itu juga simbol. Kayak outfit mahal atau followers Instagram, makin banyak jabatan, makin keren lo kelihatannya. Orang bisa jadi “Pak Menteri merangkap Ketua Ini, Komisaris Itu, dan Ketua Dewan Sana.” Wah, kayak pemain film yang juga jadi penyanyi, model, dan Youtuber. Bukannya dibilang serakah, malah dipuja karena dianggap “serba bisa.”
Kombinasi antara haus kuasa dan gila gengsi ini bikin reformasi jalan di tempat. Rangkap jabatan bukan cuma soal tugas, tapi udah kayak aksesoris politik: makin banyak yang dipakai, makin tinggi lo di mata orang. Sayangnya, rakyat malah dapat layanan publik yang lelet, karena para pengurusnya sibuk ngatur waktu antar rapat—dari satu kursi ke kursi lainnya.
Selain karena haus kuasa dan gaya hidup politikus yang penuh gengsi, alasan kenapa banyak pejabat rangkap jabatan di Indonesia tuh karena… cuan, cuan, dan cuan. Jadi pejabat itu bukan cuma soal gaji pokok. Ada tunjangan, fasilitas, honor rapat, dan segudang “bonus” lainnya yang bikin dompet makin tebal. Nah, kalau bisa dapet semua itu dari dua atau tiga jabatan sekaligus? Ya siapa juga yang nolak, bro?
Tapi nggak cuma soal uang saku, ini juga soal kunci ke brankas anggaran. Orang yang duduk di kursi strategis punya wewenang buat ngatur duit negara—mau dialirkan ke proyek mana, dikasih ke siapa, dan lewat jalur mana. Kalau satu orang pegang beberapa posisi penting sekaligus, dia bisa jadi “MC utama” di panggung anggaran. Dari situ lahir praktek bagi-bagi kue proyek, titip-titipan anggaran, sampe peluang main belakang yang susah dideteksi.
Jadi buat banyak pejabat, rangkap jabatan itu bukan karena cinta tanah air, tapi strategi bisnis yang legit. Jabatan dobel = pengaruh dobel = akses cuan dobel. Ini kayak influencer yang sekaligus jadi brand ambassador dan punya produk sendiri. Power-nya nggak ketulungan, tapi transparansi dan akuntabilitas jadi kayak cerita lawas yang tinggal kenangan.
Alasan lain kenapa rangkap jabatan masih rame di Indonesia itu ya karena sistem pengawasannya kayak alarm low-battery—ada, tapi suaranya nggak kedengaran dan gampang diabaikan. Aturan soal larangan jabatan ganda sih ada, tapi kadang bunyinya remang-remang, pelaksanaannya kayak setengah hati, dan sanksinya? Ya kayak prank doang. Lembaga pengawasnya kadang kekurangan dana, nggak punya taring, atau malah udah kena peluk dari politisi.Di dunia kayak gini, melanggar aturan itu bukan bikin takut—malah jadi strategi. Pejabat yang rangkap jabatan sering kali bisa tenang-tenang aja, apalagi kalau punya “koneksi” atau dianggap loyal ke penguasa. Selama masih dalam lingkaran kekuasaan, sanksi kayaknya cuma mitos.
Media dan publik kadang marah, tapi biasanya cuma sebentar. Besoknya udah sibuk bahas gosip baru atau trending yang lain. Tekanan reformasi pun tenggelam kayak judul sinetron yang nggak diperpanjang. Alhasil, rangkap jabatan itu kayak konten viral—selalu muncul lagi, walaupun kita udah capek lihatnya.
Salah ssatu faktor kritis kenapa rangkap jabatan di Indonesia tetap subur kayak sinetron yang nggak pernah tamat itu karena konflik kepentingan dianggap biasa aja—kayak bumbu dalam politik, bukan racun. Pejabat pegang dua-tiga jabatan? Bukannya dicurigai, malah dipuji: “Lihat tuh, doi multitalenta!” Padahal, yang dikelolanya bukan startup, tapi negara.
Budaya etik di birokrasi kita kadang kayak slogan tanpa isi. Aturan soal etika dan integritas sih ada, tapi dipajang doang kayak piagam di ruang tamu. Nggak dipraktekin, apalagi ditegakkan. Akibatnya? Keputusan-keputusan penting bisa dibelokin buat bantu teman, geng, atau bahkan bisnis sendiri—dan itu dianggap wajar.
Yang bikin makin miris, narasi soal “konflik kepentingan” suka dibikin ribet biar nggak kelihatan salah. Di negara lain, baru dicurigai aja udah mundur. Di sini? Ah, tinggal bilang “saya sudah minta izin”, atau “nggak ada yang ngatur kok”. Habis perkara. Lama-lama, publik jadi apatis, karena etika publik rasanya cuma pajangan, bukan pedoman.
Biang kerok lain kenapa rangkap jabatan di Indonesia kayak hantu yang nggak pernah ilang-ilang itu karena aturan soal pegang banyak jabatan masih kayak kode rahasia yang nggak jelas. Aturannya nggak tegas, suka beda-beda antar lembaga, dan kadang cuma jadi pajangan doang. Jadi pejabat dan instansi bisa main trik: “Ini boleh, itu nggak jelas, ayo kita main sulap!”
Kalau aturan kuat dan seragam itu kayak lampu lalu lintas yang jelas, maka sekarang jalannya masih amburadul—kadang merah, kadang hijau, tergantung mood siapa yang pegang rem. Karena aturan nggak tegas dan nggak berlaku rata, penegakan hukum jadi susah dan loophole makin banyak. Jadi, pejabat bisa santai pegang beberapa jabatan tanpa takut kena tegur, karena di satu tempat boleh, di tempat lain diam-diam.
Yang lebih parah, kalau batasannya nggak jelas, masyarakat dan aparat jadi anggap rangkap jabatan itu hal biasa—kayak minum kopi di pagi hari. Etika jadi dikalahkan sama “mikir enaknya dulu”. Intinya, aturan yang setengah-setengah ini bikin sistem pemerintahan jadi kayak drama sinetron yang alurnya nggak jelas dan pemerannya suka ganti-ganti, tapi ratingnya tetap naik terus.
Penyebab berikutnya kenapa rangkap jabatan di Indonesia kayak nggak ada matinya itu karena partai politik kita sering kayak klub tanpa prinsip—lebih sibuk cari untung dan ngurus geng sendiri daripada punya visi jelas. Ideologi yang kuat? Jarang banget! Jadi, partai lebih gampang kasih hadiah jabatan buat yang setia atau yang bantu menang pemilu, daripada pilih orang yang bener-bener paham tugas dan tanggungjawab.
Kalau partainya nggak punya “kompas” yang jelas, anggota-anggotanya juga bebas main-main. Jabatan nggak dipakai buat kerja serius, tapi buat ngejaga pengaruh dan dapet duit. Makanya nggak heran banyak pejabat yang pegang jabatan lebih dari satu, karena itu cara ampuh buat ngejaga jaringan dan dapet ‘jatah’ lebih gede.
Lebih parah lagi, kalau partainya nggak punya nilai yang ngikat, semua jadi abu-abu—antara tugas negara sama urusan pribadi atau kelompok. Jadi, rangkap jabatan bukan cuma masalah individu, tapi udah jadi strategi partai buat jaga kekuasaan dan bagi-bagi hadiah. Jadilah birokrasi kita kayak reality show yang drama dan intriknya nggak pernah habis, tapi penontonnya cuma makin bete.
Sampai bulan Juni 2025, setidaknya ada lima Wakil Menteri di Indonesia yang merangkap jabatan sebagai komisaris atau dewan pengawas di BUMN. Fenomena ini ramai dikritik publik, karena dianggap bukan cuma melanggar etika, tapi juga bikin pemerintahan makin kayak “klub elite” yang hobi bagi-bagi kursi buat orang dalam.
Sebut saja Wakil Menteri BUMN yang juga nongkrong di kursi Komisaris Bank BRI. Ada juga Wamen Keuangan, tapi juga menjabat sebagai Wakil Komisaris Utama di PLN. Lalu ada dari Kemenhan yang juga duduk manis sebagai Komisaris di PT Len Industri. Belum cukup? Tambahkan Wamen BUMN, yang juga Komisaris PLN dan Wamen Pertanian yang merangkap jadi Ketua Dewan Pengawas Perum BULOG.
Masalahnya, praktik kayak gini udah diperingatkan Mahkamah Konstitusi (MK) sejak 2019 lewat putusan No. 80/PUU-XXII/2019. Intinya, pejabat negara—termasuk Wakil Menteri—nggak boleh rangkap jabatan di BUMN atau perusahaan swasta. Kenapa? Karena bisa menimbulkan konflik kepentingan, dan ngebikin kinerja pejabat jadi nggak fokus. Tapi ya gitu deh, kayaknya yang baca putusan itu cuma rakyat, bukan pejabatnya.
Publik mulai gerah karena makin kelihatan bahwa jabatan bukan soal pelayanan, tapi soal gengsi, pengaruh, dan akses ke anggaran. Kalau udah duduk di banyak kursi, siapa sih yang bisa kontrol kinerjanya? Belum lagi kalau ada konflik kepentingan yang diselipin di balik meja rapat—bisa jadi drama politik yang lebih seru dari sinetron prime time.
Menanggapi ini, lembaga bernama Indonesia Law and Democracy Studies (ILDES) langsung naik panggung dan ngajukan gugatan ke MK. Mereka minta supaya pasal dalam UU Kementerian diinterpretasikan ulang: kata “Menteri” jangan diartikan sempit, tapi harus mencakup Wakil Menteri juga—biar nggak ada lagi celah hukum buat merangkap jabatan seenaknya.
Singkatnya, ini bukan sekadar soal banyaknya jabatan, tapi soal kesehatan demokrasi dan akal sehat publik. Kalau pejabat publik bisa bebas rangkap jabatan tanpa sanksi, gimana rakyat bisa percaya bahwa negara ini dijalankan dengan niat baik? Jangan sampai birokrasi kita berubah jadi panggung “drama kekuasaan” di mana logika kalah oleh loyalitas, dan publik cuma jadi penonton.
Kalau kebiasaan Wakil Menteri rangkap jabatan di BUMN terus dibiarkan tanpa kontrol, dampaknya bakal makin panjang dan berlapis. Dalam waktu dekat, rakyat makin ilfeel sama pemerintah. Orang-orang bakal makin mikir kalau jadi pejabat itu bukan soal melayani, tapi soal “naik level” ke lingkaran dalam yang bisa pegang banyak kuasa dan gaji. Rasa percaya ke pemimpin pelan-pelan luntur, dan itu bikin masyarakat jadi cuek—nggak peduli politik, malas kritik, dan akhirnya nyerah sama keadaan. “Ah, semua sama aja,” begitu kira-kira suara hati mereka.
Secara praktis juga bahaya. Bayangin, Wakil Menteri disuruh ngawasin BUMN, tapi dia juga duduk sebagai komisaris di sana. Ya gimana bisa objektif? Bisa-bisa keputusan penting diambil bukan karena kinerja atau manfaat buat negara, tapi karena urusan politik atau “balas budi” antar elite. Akhirnya, BUMN malah makin mandek, penuh drama dalam, dan susah bersaing secara sehat.
Kalau dibiarin, dalam jangka panjang, budaya ini bisa berubah jadi sistem patronase politik yang mengakar dan susah dibongkar. Jabatan publik bakal dilihat bukan sebagai tanggung jawab, tapi semacam golden ticket buat masuk klub komisaris. Kalau semua serba nepotisme dan titipan, siapa yang masih percaya meritokrasi? Demokrasi jadi formalitas, dan korupsi makin susah dilacak karena udah dianggap “biasa.” Investor asing juga bisa kabur karena ngelihat sistem kita gak transparan dan penuh kepentingan di balik layar.
Singkatnya, kalau negara ini terus ngasih ruang buat pejabat pakai banyak “topi” sekaligus, pesan yang tersirat ke rakyat itu jelas: “Kekuasaan itu buat dimanfaatkan, bukan buat dipercaya.” Dan kalau itu udah jadi budaya, maka negara ini bisa berubah jadi taman bermain elite, bukan rumah bersama buat rakyat.
Kesimpulannya, masalah rangkap jabatan di Indonesia itu sebenernya bukan cuma gara-gara orangnya doang yang doyan ngumpulin posisi, tapi lebih ke sistemnya yang lagi ngambek. Aturannya masih suka nggak jelas, partai politiknya juga kayak klub yang nggak punya visi, dan budaya kerja yang kadang malah santuy-santuy aja soal benturan kepentingan. Kalau mau bener-bener diberesin, harus ada aturan yang jelas, tegas, dan yang paling penting, niat dari para pemimpin buat ngedukung sistem yang jujur dan adil. Baru deh, birokrasi kita bisa lebih keren, profesional, dan nggak cuma jadi panggung drama bagi orang-orang yang pengen kuasa dan bagi-bagi ‘jatah’. Pokoknya, kalau mau maju, harus berani bersihin akar masalahnya, bukan cuma ngebersihin daun-daunnya doang.