Kamis, 19 Juni 2025

Ijazah Keramat: Negara Bisa Chaos (Katanya)

 
Ah iya, kisah penuh misteri tentang ijazah Presiden Konoha, Mulyono—katanya sih, kalau sampai diperlihatkan ke publik, negara bisa chaos. Serius, apa iya selembar kertas bisa bikin dunia kiamat? Itu bukan ijazah, bro, itu kayaknya mantra kuno dari Atlantis.
Bayangin deh: begitu ijazah itu dibuka, langit mendadak gelap, gempa bumi mengguncang, rakyat berlarian sambil teriak, “Akhirnya... kita lihat juga kertas keramat itu!” Dramanya setara Avengers: Endgame, tapi versi koplak.
Di zaman dimana pejabat lain hobi pamer gelar, bahkan sampe nulis buku berjudul “Jejak Langkahku”, di sini malah ada ijazah yang katanya terlalu dahsyat buat ditunjukin ke publik. Mungkin bukan ijazah biasa—siapa tahu isinya silsilah Raja Majapahit, atau password Wi-Fi istana.
Dan tentu saja, logika klasik: kalau publik curiga, jangan klarifikasi—tapi bikin suasana makin horor. “Jika ijazah ini dibuka, negeri ini tak akan sama lagi.” Ini udah kayak trailer film distopia: “Di tahun penuh teka-teki, satu dokumen mengancam keseimbangan bangsa...” (suara Morgan Freeman membahana).
Padahal ya, di negara normal, ijazah itu bukan benda keramat. Dicek, diverifikasi, selesai. Tapi di sini, di Konoha, ijazah itu levelnya udah kayak resep rahasia bakso Wonogiri—gak boleh dibagi, karena bisa mengguncang stabilitas negeri.

Dari zaman ke zaman, sejarah dunia udah berkali-kali mencatat orang-orang yang berhasil menipu seluruh bangsa, naik ke tampuk kekuasaan dengan janji-janji manis, tapi ujung-ujungnya justru jadi mimpi buruk buat rakyat sendiri.
Contoh yang amat dikenal ialah Adolf Hitler di Jerman. Usai negaranya babak belur pasca Perang Dunia I dan dihina lewat Perjanjian Versailles, Hitler muncul kayak pahlawan kesiangan. Doi jualan mimpi—bahwa Jerman bakal bangkit, bakal jadi kuat lagi, dan semua itu bisa terjadi asal doski dikasih kuasa penuh. Lewat pidato membakar semangat, propaganda kelas dewa, dan menciptakan musuh fiktif dari kalangan Yahudi dan komunis, Hitler berhasil nge-gaslighting jutaan rakyat Jerman. Tapi begitu pegang kekuasaan, doi malah menutup demokrasi, ngebredel oposisi, dan memulai salah satu genosida paling mengerikan dalam sejarah manusia—Holocaust. Bukan cuma rakyatnya yang jadi korban, tapi dunia juga ikut-ikutan terbakar lewat Perang Dunia Kedua.
Gaya yang hampir sama dipakai juga oleh Benito Mussolini di Italia. Awalnya tampil gagah berani, katanya mau bangkitin kejayaan Romawi kuno. Tapi begitu berkuasa, semua berubah. Demokrasi dilindas, rakyat dibungkam, dan Italia malah ditarik ke dalam perang yang bikin negeri itu hancur-hancuran.

Kasus yang lebih ngeri lagi datang dari Asia Tenggara: Pol Pot di Kamboja. Doski ngejanjiin mau bikin masyarakat tanpa kelas, tanpa kemiskinan, semua setara. Tapi realitanya, begitu doi nguasain pemerintahan, yang muncul justru mimpi buruk: ratusan ribu orang dibantai, dipaksa kerja sampai mati, bahkan hanya karena pakai kacamata pun bisa dibunuh—karena dianggap "intelek".
Di Filipina, ada Ferdinand Marcos. Awalnya sih terpilih secara demokratis, gaya elegan, pintar ngomong. Tapi setelah menjabat, doi pura-pura ngadepin ancaman komunis buat mengumumkan darurat militer. Hasilnya? Demokrasi dimatiin, oposisi dipenjara, rakyat ditindas, dan kekayaannya? Wow—nggak habis tujuh turunan.
Mobutu Sese Seko dari Kongo juga sama. Doi tampil sebagai pahlawan anti-kolonial, menjual narasi nasionalisme Afrika. Tapi begitu duduk manis di atas kekuasaan, yang ada cuma korupsi, pemborosan, dan rakyat yang makin miskin.
Dunia Islam klasik juga nggak bebas dari tipu-tipu politik kayak gini. Ada penguasa yang ngaku-ngaku wakil Tuhan di bumi, tapi naik takhta dengan mengkhianati janji, menindas ulama, dan menjadikan agama cuma alat stempel kekuasaan. Di banyak kitab sejarah Islam, orang kayak gini sering disebut bagian dari fitnah akhir zaman—penguasa yang menebar kebohongan demi takhta.

Semua cerita ini punya pola yang sama: jualan harapan, pancing emosi rakyat, bikin musuh imajiner, lalu klaim diri sebagai penyelamat bangsa. Tapi begitu rakyat percaya, yang mereka dapat justru penindasan, krisis, dan kehancuran. Mereka bukan pahlawan, tapi serigala berbulu domba.
George Santayana pernah ngomong gini, “Bangsa yang lupa sejarah bakal mengulanginya.” Dan entah kenapa, masih banyak yang ngeyel.

Dalam bukunya On Tyranny: Twenty Lessons from the Twentieth Century (2017, terbitan Tim Duggan Books), sejarawan Yale bernama Timothy Snyder ngasih peringatan keras: tirani zaman sekarang tuh gak selalu datang dengan tentara dan tank—tapi dengan narasi dan kebohongan yang diulang-ulang.
Menurut Snyder, pemimpin otoriter masa kini gak cuma jago main kuasa, tapi juga jago main cerita. Mereka tampil kayak "juru selamat bangsa", seolah-olah cuma mereka yang bisa beresin negara, bersihin korupsi, atau balikin kejayaan masa lalu yang katanya hilang entah ke mana. Tapi supaya citra itu bisa laku, mereka bikin dulu musuh bayangan—kadang imigran, kadang oposisi, kadang sejarah, kadang bahkan satu kelompok etnis sendiri. Intinya: rakyat harus punya sesuatu (atau seseorang) buat dibenci, dan si pemimpin tampil sebagai penyelamat.
Yang bikin ngeri? Mereka gak cuma ngelesin fakta—tapi bener-bener ngerombak sejarah. Mereka ngaku punya masa lalu yang heroik, silsilah ningrat, atau gelar akademik yang gak bisa dibuktiin. Kadang sejarah bangsa dimodifikasi, dikurasi ulang biar cocok ama "kisah kepahlawanan" sang penguasa. Kalauloe nanya, “buktinya mana?”, jawabannya bisa aja: "Itu rahasia negara."
Snyder bilang, bahaya utamanya adalah: rakyat bisa mati rasa ama kebenaran. Awalnya bohong kecil, lama-lama jadi biasa, dan akhirnya... semua orang gak peduli lagi mana yang bener. Yang penting viral, yang penting dramatis, yang penting "pemimpin kami keren!" Lama-lama, fakta jadi gak penting—yang penting narasi dan kesetiaan.
Snyder juga bedain antara memori sipil dan nostalgia abal-abal. Memori sipil itu kayak ngaca jujur ke masa lalu bangsa—pahit ya pahit, tapi itu bagian dari tumbuh. Tapi nostalgia fiktif? Itu dongeng indah yang gak pernah ada, tapi dijual ke rakyat sebagai masa kejayaan yang "bisa kembali lagi"—asal pilih orang yang tepat (alias doski).
Jadi intinya, kata Snyder: propaganda, ijazah palsu, dan mitos diri bukan kecelakaan politik zaman sekarang—tapi senjata utama tirani modern. Dan yang bikin serem: semuanya dibungkus rapi dalam label “nasionalisme buta” dan “negara adalah harga mati.”

Dalam karya legendaris The True Believer: Thoughts on the Nature of Mass Movements (1951, terbitan Harper & Row), Eric Hoffer ngebongkar satu rahasia kelam tentang manusia: ternyata, rakyat gak selalu cari kebenaran—mereka cari harapan. Apalagi kalau hidup lagi susah, nasib mentok, dan masa depan terasa kayak dinding kusam. Disitulah, pemimpin karismatik muncul kayak superhero layar lebar—bukan karena logikanya kuat, tapi karena ceritanya menyentuh hati.
Hoffer bilang, orang gampang keikut gerakan massa atau figur kuat karena mereka haus makna. Mereka mau jadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari hidup pribadi mereka yang sepi atau penuh tekanan. Nah, pemimpin karismatik tahu banget celah ini. Doi gak perlu bener-bener pinter atau jujur—yang penting doski pede, lantang, dan bisa bikin rakyat merasa "dilihat".
Makanya, walaupun sang pemimpin terang-terangan bo'ong, asal bicaranya bikin haru, bikin bangga, atau bikin rakyat ngerasa “ini suara hati gue,” ya udah—fakta bisa disingkirin dulu. Hoffer bilang, begitu orang udah investasi emosi ke satu tokoh atau gerakan, mereka bakal bela mati-matian walau tahu ada yang gak beres. Kenapa? Karena kalau mereka ngaku salah, itu sama aja kayak ngaku hidup mereka selama ini dibangun di atas ilusi.
Hoffer juga jelasin bahwa semakin orang merasa hampa atau frustrasi secara pribadi, semakin besar kemungkinan mereka ngikut aja ke gerakan massa tanpa mikir panjang. Mereka udah capek mikir sendiri, dan lebih pengen ada yang ngasih jawaban simpel. Dan pemimpin karismatik hadir sebagai penjual jawaban cepat—walaupun isinya cuma narasi kosong, dibungkus dramatisasi nasional.
Jadi intinya: pemimpin karismatik gak butuh bukti—cukup punya kisah yang bikin rakyat merasa punya arah dan harga diri. Buat rakyat yang putus asa, kebohongan pun bisa berubah jadi "kebenaran suci" asal dibawakan dengan keyakinan dan gaya panggung yang meyakinkan.

Dalam Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (1988, terbitan Pantheon Books), Edward S. Herman dan Noam Chomsky ngasih gambaran yang tajam (dan bikin nyesek) tentang gimana media massa, yang katanya independen, ternyata sering jadi tembok pelindung kekuasaan.
Mereka bilang, media itu gak segitu bebasnya. Ada “filter-filter” tak kasat mata yang nentuin berita apa yang naik, gaya liputannya gimana, dan—ini yang paling penting—berita apa yang sengaja dihilangkan. Semua itu dikendalikan oleh kepentingan pemilik modal, elite politik, dan mereka yang pegang akses ke kekuasaan.
Nah, bayangin ada seorang pemimpin yang kariernya dibangun dari ijazah palsu atau cerita mitos kebangsawanan yang gak jelas asalnya. Kalau medianya kritis, kasus kayak gini bakal jadi headline. Tapi kalau medianya “jinak”—alias takut kehilangan iklan, akses wawancara, atau slot eksklusif—kebenaran dikubur rapi, dan citra ecek-ecek itu malah dipoles makin kinclong.
Pertanyaan sederhana kayak “Ini ijazah bener gak sih?” tiba-tiba dianggap penghinaan terhadap negara, atau malah disebut ujaran kebencian. Investigasi diganti dengan puja-puji, kritik dibungkam pakai framing, dan rakyat dicekokin narasi “pemimpin suci” yang gak boleh disentuh.
Ini bukan sensor gaya lama—bukan nutupin berita pakai palu—tapi manipulasi lembut yang dikemas seolah netral. Media tiap hari muter narasi yang sama, sedangkan suara yang beda, dikasih label “teori konspirasi” atau “provokatif”. Rakyat pun pelan-pelan nurut, bukan karena dipaksa, tapi karena udah dicekoki terus-terusan sampai gak nyadar kalau mereka cuma nerima setengah dari kenyataan.
Akhirnya, gambar pemimpin yang dibentuk media jadi lebih nyata dari orang aslinya. Teater politik jadi hiburan harian, dan rakyat gak diajak mikir, cuma disuruh terpesona. Kata Herman dan Chomsky: Propaganda zaman sekarang gak lagi nendang pintu—tapi ngetok pelan-pelan, sambil senyum.

Dalam The Dictator’s Handbook: Why Bad Behavior is Almost Always Good Politics (2011, terbitan PublicAffairs), Bruce Bueno de Mesquita dan Alastair Smith bikin peta jalan blak-blakan tentang gimana pemimpin otoriter gak bertahan karena jadi baik, tapi karena ngerti cara main kotor yang efektif.
Inti dari teori mereka adalah: pemimpin otoriter itu gak peduli ama rakyat banyak. Fokus mereka adalah kelompok kecil elit yang bikin mereka tetap berkuasa—kayak petinggi militer, partai, pengusaha besar, atau mafia politik. Pokoknya siapa pun yang bisa bantu mereka duduk di kursi empuk kekuasaan. Selama “inner circle” ini happy—dikasih proyek, jabatan, atau kekebalan hukum—rakyat yang lain bisa disuruh tepuk tangan aja.
Nah, demi kelihatan “sah”, pemimpin model begini sering ngarang latarbelakang keren: ngaku lulusan luar negeri, anak tokoh besar, pernah hidup susah tapi sukses, atau pahlawan lokal yang katanya sederhana. Kalau ijazah palsu bisa bikin orang percaya dia layak memimpin, ya kenapa enggak? Itu murah meriah tapi manjur banget buat ngangkat citra. Gak penting itu bener atau nggak—yang penting “laku dijual”.
Dalam sistem kayak gini, yang penting setia, bukan jujur. Kalau pemimpin itu buka aib—kayak ngaku ijazahnya abal-abal—bisa-bisa lingkaran pendukungnya kabur. Jadi, doski harus tampil penuh percaya diri, seolah-olah tak tergoyahkan. Kalau perlu, dokumen dimanipulasi, kritik dibungkam, dan suara sumbang dijadikan kriminal.
Karya ini tegas bilang: ini bukan kecelakaan politik—memang desainnya begicu. Dalam dunia politik versi mereka, bertahan itu lebih penting daripada benar. Kalau bo'ong, sogok, atau nyari dukungan pakai mitos bisa bikin kekuasaan awet, ya itu bukan dosa—itu strategi.
Di negara demokrasi, rakyat adalah bos. Tapi di rezim otoriter, penampilan adalah bosnya. Asal rakyat lihat pemimpin tampil meyakinkan—walau palsu—mereka cenderung diem aja. Karya ini punya satu kalimat yang nancep banget: “Pemimpin melakukan apa yang perlu untuk bertahan, bukan apa yang benar.”

Karya The Prince-nya Niccolò Machiavelli, pertama kali terbit tahun 1532, mungkin bisa dibilang sebagai kitab suci politik "perkadalan". Edisi modernnya banyak beredar, misalnya dari Penguin Classics atau Cambridge University Press—lengkap dengan pengantar akademis yang bikin kita sadar, ternyata isi bukunya masih relate banget ama politik zaman now.
Intinya, The Prince itu bukan buku soal etika atau moral. Isinya lebih kayak panduan how-to jadi penguasa yang langgeng, walau kudu pakai cara licik, manipulatif, atau penuh tipu-tipu. Salah satu prinsip Machiavelli yang paling kondang yalah: lebih baik ditakuti daripada dicintai, kalau gak bisa punya dua-duanya. Dan yang paling penting: yang dilihat rakyat adalah penampilan, bukan kenyataan.
Nah, ini pas banget buat bahas para pemimpin yang ngaku-ngaku punya gelar akademik keren atau keturunan bangsawan. Dalam logika Machiavelli, itu semua sah-sah aja. Kalau dengan ngaku lulusan kampus ternama atau berdarah biru bisa bikin rakyat lebih percaya, maka kebohongan itu dianggap “kebajikan yang perlu.
Machiavelli pernah bilang: "Semua orang melihat apa yang loe tampakin, tapi sedikit yang tahu siapa loe sebenarnya."
Bener banget, kan? Rakyat cuma lihat citra yang dipoles—foto wisuda, gelar "Drs", atau “Ir.”, tergantung loe mau ngecitrain diri kek pahlawan nasional: Drs. Mohammad Hatta  atau Ir. Sukarno, atau cerita heroik masa muda. Tapi siapa yang benar-benar ngecek ijazahnya? Jarang. Apalagi kalau sang tokoh udah bikin narasi “rakyat biasa yang berjuang” atau “titisan raja terakhir”—wah, makin kuat tuh auranya.
Di negara-negara semi-otoriter atau demokrasi yang masih belajar jalan, simbol dan mitos sering lebih penting dari fakta. Kalau seorang pemimpin tampil sebagai orang terpelajar, berdarah bangsawan, atau titisan sejarah, rakyat bisa lebih gampang percaya dan merasa aman. Soal benar atau nggaknya? Urusan belakangan.
Jadi kalau kita pakai kacamata Machiavelli, nge-fake ijazah atau ngarang silsilah keluarga itu bukan aib, tapi strategi panggung. Machiavelli malah mungkin bakal bilang: “Cerdas juga lo, bro.” Karena dalam politik, yang penting orang percaya kamu punya kuasa—bukan bagaimana kamu dapetin kuasa itu.
Buat negara yang menjunjung nilai demokrasi dan kejujuran, tentu ini bikin gerah. Tapi The Prince kasih pengingat pahit: banyak penguasa naik bukan karena kejujuran, tapi karena ilusi. Dan mereka bertahan karena bisa terus ngejaga ilusi itu tetap hidup.

Percaya atau nggak, di berbagai belahan dunia, ada aja pemimpin yang naik daun dengan ngaku-ngaku punya darah biru, keturunan bangsawan, atau lulusan kampus top dunia, padahal aslinya? Zonk. Gak lebih dari tipu-tipu buat ningkatin pamor, naikin elektabilitas, atau nutupin fakta bahwa mereka sebenarnya... gak punya modal buat mimpin.
Contoh klasik datang dari Filipina: Ferdinand Marcos. Doski ngaku-ngaku sebagai pahlawan perang paling gagah berani seantero negeri—katanya punya segudang medali dari Perang Dunia II. Tapi belakangan, setelah diselidiki, ternyata banyak dari medali itu palsu, gak pernah dikasih secara resmi. Tapi cerita heroiknya itu kadung melekat di benak rakyat—dan berhasil bikin doi keliatan kayak "abang tertua" yang berani mati demi negara.
Di Thailand, ada juga kisah soal Chatichai Choonhavan, mantan Perdana Menteri, yang katanya sering ngebesar-besarin status kebangsawanannya. Emang sih doski punya latarbelakang militer dan diplomatik, tapi orang-orang sempat bertanya-tanya: ini orang naik karena prestasi atau karena koneksi keluarga?
Nigeria juga punya drama serupa. Tahun 1999, Salisu Buhari, Ketua DPR, ketahuan memalsukan umur dan ijazah. Doski ngakunya lulusan University of Toronto—eh ternyata pihak kampus bilang: "Kami gak pernah punya mahasiswa atas nama itu." Boom! Seketika skandal ini viral, dan doi langsung lengser. Plot twist ala sinetron sore!
Di Amrik, ada Laura Callahan, pejabat tinggi di Departemen Keamanan Dalam Negeri. Kariernya keren banget, sampai akhirnya ketahuan kalau semua gelar akademiknya ternyata dibeli dari kampus palsu alias diploma abal-abal. Langsung resign, reputasi ancur.

Nah, kalau bicara soal konteks politik kekinian, apalagi di negara-negara yang cenderung otoriter atau semi-otoriter, kadang muncul pemimpin yang ijazahnya misterius banget. Ada yang gak bisa dibuktiin, ada yang kampusnya bilang "kami gak kenal", atau dokumennya tiba-tiba hilang kayak ditelan bumi. Tapi anehnya, rakyat dilarang tanya, media mingkem, dan siapa yang nekat buka suara bisa-bisa diamankan.

Semua ini nunjukin satu hal: dalam politik, penampilan bisa jauh lebih penting daripada kenyataan. Gelar “Ir.”, sebutan “bangsawan”, atau cerita “lulusan luar negeri” bisa bikin rakyat kagum setengah mati—padahal bisa jadi itu cuma topeng. Seperti kata Machiavelli: “Yang penting keliatan, bukan beneran.” Selama rakyat masih percaya, kebenaran bisa ditaruh di pojok dulu.

Moral of the story? Jangan gampang baper ama gelar dan dongeng asal-usul. Kadang, "pangeran" yang kita pilih... ternyata bukan jebolan UGM yang ternama, tapi lulusan Photoshop ala Pasar Pramuka.

{English]