Sabtu, 07 Juni 2025

Rangkap Jabatan, Rangkap Masalah (1)

Alkisah, ada seorang pejabat tinggi di Indonesia yang dijuluki, dengan cinta sekaligus ketakutan, sebagai “Pak Seribu Jabatan.” Namanya muncul di begitu banyak kementerian, BUMN, anak perusahaan, bahkan grup WhatsApp alumni yang doski sendiri lupa pernah kuliah di sana. Beberapa orang curiga, jangan-jangan doi punya kembaran yang disimpan dalam lemari arsip, atau sudah cloning diri pakai dana APBN.
Suatu hari, dua rapat penting dijadwalkan di jam yang sama. Satu di kementerian, bahas regulasi penting yang bisa berdampak ke jutaan warga. Satu lagi di BUMN semen, bahas bonus tahunan dan menu prasmanan. Dengan tenang, Pak Seribu Jabatan kirim dua staf ke masing-masing lokasi sambil berpesan:
"Liat-liat situasi. Kalau rapatnya tegang, bilang saya lagi dinas luar negeri. Tapi kalau makanannya oke, langsung kabari—saya teleport ke sana."
Pernah juga, doi nyasar ke rapat perpisahan pensiunan bagian logistik. Tapi bukannya mundur, doski duduk manis di kursi depan, manggut-manggut penuh wibawa. Ketika diminta kasih sambutan, doi berdiri dan berkata dengan penuh kharisma:
"Pensiun itu bukan akhir, tapi gerbang menuju… komisaris, penasihat, atau posisi lain yang gajinya jalan tapi rapatnya jarang."
Semua tepuk tangan. Gak ada yang berani bilang itu bukan forum perekrutan, tapi acara pisah sambut Pak Darto yang mau balik kampung.
Saking sibuknya, kalender digitalnya butuh waktu loading. Pernah sekali Google Calendar nanya, “Anda yakin ini masih manusiawi?”
Waktu pemerintah ngumumin bakal audit semua rangkap jabatan, dia cuma nyeruput espresso dan bilang,"Kalau semua jabatan saya diaudit, kantor audit bisa keteteran. Kalau butuh bantuan, ya tinggal rekrut saya juga."

Secara teori, Rangkap Jabatan itu kayak loe jadi ketua OSIS, ketua kelas, dan admin grup WA keluarga... dalam waktu bersamaan. Dalam British English, istilahnya “dual appointments”, sementara versi Amerika-nya bisa disebut “holding multiple offices” atau “dual roles”.
Gampangnya, rangkap jabatan itu ketika satu orang punya lebih dari satu posisi resmi di pemerintahan, BUMN, atau lembaga publik sekaligus. Misalnya, wakil menteri yang juga duduk manis di kursi komisaris. Atau PNS yang kerja di kementerian tapi juga punya jabatan di badan pengawas.Secara teori akademik, ini problematik banget. Banyak pakar bilang ini bikin tanggung jawab jadi kabur, kepentingan pribadi dan publik nyampur, dan kekuasaan terlalu numpuk di satu orang. Meskipun ada yang bilang ini biar keputusan cepat dan kebijakan nyambung, kritiknya: “Eh, yang kayak gitu malah bisa bikin sistem negara kek benang kusut.”
Kalau dibikin analoginya: ini ibarat loe mau jadi superhero, supervillain, dan komentator sinetron... sekaligus. Efeknya? Nggak fokus, banyak konflik peran, dan ujung-ujungnya malah amburadul di kantor.

Dalam Bureaucracy and Democracy: Accountability and Performance (2020, CQ Press), Steven J. Balla dan William T. Gormley ngejelasin kenapa kalau pejabat pegang banyak jabatan, sistem pemerintahan bisa ikut "ngelag". Gini, birokrasi tuh udah ribet dari sononya—semua kerjaan itu dibatesin ama waktu, energi, dan info. Nah, kalau satu orang merangkap dua atau tiga jabatan, otaknya bisa kayak laptop spek kentang dipaksa render video 4K. Hasilnya? Keputusan bisa asal-asalan, setengah matang, atau lebih parah—dipengaruhi banyak kepentingan yang saling tabrakan.
Mereka juga nyebut teori principal-agent, yang intinya: bos (presiden/menteri) nyuruh bawahan (pejabat) ngerjain sesuatu. Tapi kalau si bawahan ini juga jadi bos di tempat lain, gimana cara ngawasin doi? Batas tanggungjawab jadi ngeblur, kayak Instagram story tanpa filter. Dan kalau udah ngeblur, muncul deh kelompok-kelompok yang mulai tarik-menarik. Si pejabat jadi kayak rebutan fans club—yang punya dana dan koneksi paling kuat biasanya yang menang.
Terus mereka juga ngebahas tentang jaringan kekuasaan yang makin kompleks. Orang yang duduk di banyak kursi bisa jadi kayak influencer: follower banyak, suara kenceng, tapi pas ada salah, nggak ada yang bisa nunjuk jelas siapa yang kudu tanggungjawab.
Intinya: makin banyak topi yang dipakai, makin nggak jelas kepala siapa yang sebenernya lagi jalan. Jadi walau rangkap jabatan kedengarannya efisien, di balik layar bisa jadi drama organisasi yang bikin pelayanan publik ambyar.

Balla dan Gormley membahas bagaimana pejabat publik yang merangkap banyak jabatan bisa bikin sistem pemerintahan jadi kacau. Bayangin aja, satu orang jadi pelatih tim bola sekaligus wasit di pertandingan yang sama. Pasti bingung kan, mau fokus ngatur strategi atau meniup peluit? Nah, itu yang disebut konflik peran. Pejabat yang punya banyak jabatan seringkali harus memenuhi tanggungjawab yang saling bertentangan, bikin keputusan jadi nggak maksimal.
Trus, kalau ada dua atau lebih orang yang punya wewenang di area yang sama, itu namanya tumpang tindih otoritas. Hasilnya? Kerjaan jadi dobel, bingung siapa yang harus tanggung jawab, dan akhirnya nggak ada yang benar-benar bertanggung jawab.
Balla dan Gormley menekankan bahwa struktur yang kacau kayak gini bisa bikin kinerja institusi publik menurun. Kalau peran dan wewenang nggak jelas, bukan cuma kerjaan yang terganggu, tapi juga mekanisme pengawasan demokratis jadi lemah.

Dalam Jobs for the Boys: Patronage and the State in Comparative Perspective (2012, Harvard University Press), Merilee S. Grindle membahas bagaimana praktik patronase politik bekerja dengan menempatkan orang-orang loyal dalam berbagai posisi pemerintahan. Praktik ini, yang sering disebut "numpuk jabatan" atau "koleksi kursi," merusak sistem meritokrasi dan transparansi, terutama di negara-negara demokrasi berkembang.
Grindle mencatat bahwa meskipun sistem patronase sering dikritik sebagai korup dan tidak efisien, mereka tetap bertahan karena memberikan fleksibilitas bagi pemimpin politik untuk mencapai berbagai tujuan. Dengan menempatkan loyalis di banyak posisi, pemimpin dapat mengkonsolidasikan kekuasaan, memastikan kepatuhan terhadap kebijakan, dan memberi imbalan kepada pendukung. Namun, konsentrasi peran ini sering menyebabkan konflik kepentingan dan mengurangi efektivitas institusi publik.
Praktik numpuk jabatan mengikis rekrutmen berbasis merit dengan memprioritaskan loyalitas daripada kompetensi. Ini menciptakan lingkungan di mana penunjukan dilakukan berdasarkan koneksi pribadi, bukan kualifikasi, yang mengarah pada kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Di demokrasi berkembang, di mana pengawasan institusional mungkin lebih lemah, praktik semacam ini dapat memperkuat dominasi elit dan menghambat kemajuan demokrasi.
Analisis Grindle menyoroti tantangan dalam bertransisi dari sistem berbasis patronase ke layanan sipil meritokratis. Dia mencatat bahwa reformasi sering menghadapi perlawanan dari mereka yang diuntungkan oleh status quo, membuat jalan menuju pemerintahan yang transparan dan efisien menjadi kompleks dan panjang.

Dalam The Oxford Handbook of Public Accountability 
(2014, Oxford University Press), yang disunting oleh Mark Bovens, Robert E. Goodin, dan Thomas Schillemans, dibahas bagaimana rangkap jabatan bisa bikin sistem akuntabilitas publik jadi ruwet. Bayangin aja, satu orang pegang dua jabatan penting—misalnya, jadi pengatur kebijakan sekaligus pelaksana. Pasti bakal bingung sendiri, karena tuntutan dari berbagai pihak bisa saling bertabrakan.
Situasi ini disebut "multiple accountabilities," dimana seseorang harus bertanggungjawab ke banyak pihak dengan ekspektasi yang beda-beda. Tekanan ini bisa bikin pengambilan keputusan jadi lambat atau malah salah arah .
Selain itu, rangkap jabatan juga bisa bikin beban kerja jadi berlebihan. Kalau satu orang kebanyakan tanggungjawab, pasti performanya menurun. Institusi tempatnya bekerja juga bisa kena dampak—jadi nggak efisien dan kepercayaan publik pun menurun.
Belum lagi soal duplikasi peran. Kalau banyak orang atau lembaga punya tugas yang mirip, siapa yang harus disalahkan kalau ada masalah? Akhirnya, akuntabilitas jadi kabur, dan sulit buat menuntut pertanggungjawaban dari siapa pun.

Dalam The Politics of Presidential Appointments (2008, Princeton University Press), David E. Lewis ngegas banget soal pejabat yang ngerangkap jabatan gara-gara "balas budi politik". Menurutnya, kalau satu orang megang banyak jabatan sekaligus—apalagi cuma karena doi "orang dekat" atau "tim sukses"—dampaknya bisa ngacauin kinerja instansi pemerintahan.
Lewis nemuin dari data bahwa lembaga yang dipimpin sama orang-orang titipan politik yang dobel jabatan itu cenderung lebih berantakan dibanding yang dipimpin pegawai karier profesional. Alasannya? Mereka lebih sibuk ngeladeni agenda politik bosnya ketimbang ngurus rakyat. Fokusnya jadi ke loyalitas, bukan kompetensi. Akhirnya, lembaganya jalan di tempat, trust publik rontok, dan negara kayak jalan sambil ngesot.
Buat Lewis, ini kayak trade-off antara kontrol politik jangka pendek vs efisiensi birokrasi jangka panjang. Jadi semacam: “Mau punya orang yang nurut tapi nggak bisa kerja, atau yang jago tapi nggak selalu sejalan?” Nah, pilihan ini yang bikin rangkap jabatan jadi kaya drama politik ketimbang solusi administrasi.

Dalam The Federal Appointments Process (2001, Duke University Press), Michael J. Gerhardt ngajarin kita gimana jabatan rangkap itu bisa jadi senjata politik kelas kakap di Amerika. Ketika satu orang megang banyak jabatan sekaligus—misalnya jadi penasihat, pejabat administratif, dan pengawas regulasi—itu ibarat doi punya remote control buat ngejogetin sistem pemerintahan sesuai irama sang presiden.
Gerhardt bilang, ini cara licik tapi legal buat memperkuat cengkeraman kekuasaan eksekutif. Apalagi kalau jabatan-jabatan itu diisi lewat celah hukum kayak "penunjukan saat reses" atau posisi "pejabat sementara" yang nggak perlu restu Senat. Kalau udah gini, presiden bisa nyelipin orang-orang yang rela mati—tanpa perlu ribut-ribut sama DPR.
Masalahnya, praktik kayak gitu bikin garis akuntabilitas jadi buram kayak kaca helm habis ujan. Bahkan kadang pengadilan harus turun tangan buat bilang, “Eh, ini udah kelewatan lho.” Karena jabatan rangkap yang terlalu banyak bisa bikin sistem hukum kewalahan ngebedain mana yang masih sah dan mana yang udah ngangkangin Konstitusi.
Singkatnya, menurut Gerhardt, rangkap jabatan itu bukan cuma urusan teknis birokrasi. Kalau kebablasan, bisa jadi lubang tikus yang menggrogoti pondasi demokrasi dari dalam. Kayak main TikTok, awalnya cuma joget lucu, tapi lama-lama bisa viral buat hal-hal yang nggak lucu.

Dalam Public Administration in Perspective 
(2010, Routledge), David John Farmer membahas betapa ribetnya kalau satu orang megang banyak jabatan di pemerintahan. Bayangin aja, satu orang jadi kepala dinas sekaligus komisaris BUMN—tanggungjawabnya bisa saling tabrakan, bikin doski bingung harus nurutin yang mana dulu.
Farmer ngajak kita ngeliat masalah ini dari berbagai sudut pandang—politik, etika, sampai organisasi. Dengan cara ini, Farmer nunjukin kalau rangkap jabatan bisa ngerusak prinsip dasar pelayanan publik, kayak netralitas, transparansi, dan efisiensi. Misalnya, kalau seseorang jadi penasihat kebijakan sekaligus pejabat pengawas, ia bisa aja bikin keputusan yang nguntungin satu peran tapi ngerugiin yang lain.
Lebih parah lagi, kondisi ini bisa nyiptain situasi yang disebut "multiple principal problem," dimana satu orang harus ngejawab ke banyak atasan dengan kepentingan yang beda-beda. Akibatnya, ia bisa terjebak dalam dilema etika dan bikin keputusan yang malah nambah masalah.