[Bagian 4]Di sebuah desa kecil yang nyempil di balik bukit-bukit Inggris Utara, tinggallah seorang nenek tua bernama Agnes. Kalau dihitung, hartanya cuman satu jari—rumah batu dengan atap bocor dan perapian yang cuma nyala kalau angin lagi gak bandel. Tiap hari Minggu, sang nenek memanggang satu-satunya roti buat bertahan seminggu.Suatu hari di musim dingin yang kejem banget, datanglah anak lelaki dari ladang sebelah. Badannya gemetaran, sepatunya diikat pakai tali rafia. Doski gak ngomong apa-apa. Cuma berdiri. Ngelirik. Ngelawan dingin.Tanpa banyak nanya, nenek Agnes ngerobek rotinya, ngasih separuh yang masih hangat. “Gak banyak,” katanya, “tapi lumayan buat ngelawan dingin.”Tahun-tahun berlalu. Desa itu berubah. Jalan-jalan diaspal, toko-toko ngegantiin sawah. Anak itu tumbuh jadi laki-laki, balik kampung sebagai wali kota.Di hari pelantikannya, doski gak ngomong soal janji-janji klise. Doi cuma cerita satu hal: “Daku belajar makna dignity bukan dari uang atau jabatan. Tapi dari seorang nenek yang ngasihin aku setengah rotinya—dan membuat diriku ngerasa berharga.”The Economics of Poverty karya Martin Ravallion ibarat mixtape panjang tentang kemiskinan—bukan cuma dari sisi angka, tapi juga dari sisi sejarah, moral, dan kebijakan publik. Doski bukan sekadar ngobrolin kemiskinan sebagai angka di bawah garis, tapi membedahnya sebagai sesuatu yang hidup, berubah-ubah tergantung waktu dan tempat.Ravallion ngajak kita napak tilas dari zaman filsuf klasik sampai ke tukang bikin kebijakan zaman kini. Tapi bukan gaya kuliah yang membosankan—doi benar-benar jago nyambungin teori dan praktik. Mulai dari program bantuan tunai sampai kredit mikro, semuanya dibedah satu-satu. Dan doi juga jujur banget soal ribetnya ngukur “siapa sih yang sebenarnya miskin?”—karena ternyata itu nggak cuma soal duit, tapi juga soal dignity atau martabat manusia, akses, dan keadilan sosial.Yang keren, doski nggak nyodorin solusi instan. Ravallion justru ngegas mereka yang doyan pendekatan copy-paste. Katanya, kebijakan harus ngerti konteks lokal, bukan cuma nurut data statistik doang. Doi juga ngingetin kalau ngurusin kemiskinan tuh urusannya bukan cuma soal APBN atau lembaga donatur, tapi soal pilihan politik, nilai kemanusiaan, dan siapa yang pegang kendali.Ravallion ngajak kita mikir bahwa kemiskinan itu bukan cuma soal angka di spreadsheet. Ia masalah yang punya akar sejarah, dilema moral, dan keputusan politik yang panjang dan ribet. Secara sejarah, kemiskinan dulu dianggap kayak “takdir”. Kalau miskin ya udah, itu bagian dari hidup. Agama pun, menurut perspektif sang panulis, kadang menyikapinya sebagai cobaan atau hukuman. Tapi sejak Revolusi Industri, mulai banyak yang sadar bahwa kemiskinan bukan cuma soal nasib pribadi, tapi ada sistem sosial yang bikin orang bisa terus-terusan kejebak di bawah. Di sinilah mulai muncul ide kalau negara seharusnya turun tangan, bukan cuma ngandelin sedekah dari orang kaya.Dari sisi moral, Ravallion ngebet banget ngingetin pembacanya bahwa kemiskinan itu bukan hal yang harus dianggap biasa. Dia nyentil dua kubu: yang pertama, orang yang pasrah dan bilang, “Ya memang dunia begini, ada yang kaya dan ada yang miskin,” dan yang kedua, orang yang yakin pasar bebas akan nyelesein semua masalah. Menurut Ravallion, kita butuh hati nurani. Negara dan masyarakat punya tanggung jawab untuk bikin semua orang punya kesempatan hidup layak. Dia ogah banget sama gaya pengambil kebijakan yang cuma mikirin efisiensi, tapi nggak peduli orang di bawah kelaparan.Lalu soal kebijakan publik, Ravallion blak-blakan ngupas kenapa banyak program pengentasan kemiskinan gagal. Kadang karena terlalu umum, kadang malah terlalu sempit dan nggak nyambung sama konteks lokal. Doi nggak percaya ama teori "trickle-down" yang bilang, “Kalau orang kaya makin kaya, nanti rejekinya netes juga ke bawah.” Buat doski, solusi harus berbasis data, nyambung ama kebutuhan lapangan, dan—yang paling penting—ada kemauan politik buat berubah. Karena, menurutnya, kebijakan itu bukan netral-netral amat. Di baliknya ada nilai, ada agenda, dan ada siapa yang paling diuntungkan.Intinya, karya Ravallion ini bukan sekadar buku ekonomi. Ia semacam wake-up call buat siapa pun yang merasa peduli—kalau loe beneran mau bantu orang miskin, jangan cuma hitung-hitungan, tapi juga kudu bawa hati dan nyali.Dalam Handbook on Poverty and Inequality karya Jonathan Haughton and Shahidur R. Khandker (2009, The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank), kemiskinan itu gak cuma diukur dari isi dompet yang tipis. Lebih dari itu, kemiskinan dilihat sebagai kondisi serba kekurangan yang bikin orang gak bisa hidup sesuai mimpi dan nilai yang mereka anggap penting. Menurut Haughton dan Khandker, kemiskinan itu kompleks: ada yang gak punya cukup makanan, ada yang gak bisa sekolah, sakit tapi gak ke dokter, dan ada juga yang terpinggirkan secara sosial, bahkan gak punya suara dalam pengambilan keputusan.Mereka bilang, kalau kita mau ngerti kemiskinan secara utuh, gak cukup cuma ngitung angka kemiskinan. Kita juga perlu dengerin cerita mereka yang miskin—gimana mereka menjalani hidup dan melihat diri mereka sendiri. Data itu penting, tapi harus dipotret dari berbagai sudut: laki-laki atau perempuan, kota atau desa, minoritas atau mayoritas, semua punya versi kemiskinannya masing-masing.Uniknya, mereka gak mau lihat orang miskin sebagai korban pasif. Para penulis menekankan bahwa mereka itu pejuang dalam hidup, cuma sistem dan kondisi sekelilingnya yang sering gak adil. Jadi, solusi kemiskinan bukan sekadar bagi-bagi bantuan, tapi harus ubah struktur dari akarnya—kayak pendidikan berkualitas, akses ke kerja yang layak, dan sistem yang lebih adil buat semua.Intinya, para penulis ngajak pembacanya buat stop lihat kemiskinan dari kacamata sempit. Kemiskinan itu bukan cuma masalah ekonomi, tapi juga soal harga diri dan pembangunan manusia yang seutuhnya.Kemiskinan (poverty) dan ketimpangan (inequality) itu kayak dua sahabat lama yang gak bisa dipisahin, walau sebenarnya mereka beda cerita. Kemiskinan itu soal "gak punya apa-apa", sedangkan ketimpangan itu soal "siapa yang punya lebih banyak dibanding yang lain".Haughton dan Khandker bilang, satu negara bisa aja berhasil nurunin angka kemiskinan, tapi di saat yang sama, jurang antara si kaya dan si miskin makin lebar. Sebaliknya, bisa juga negara itu cukup rata pembagiannya, tapi masih banyak orang yang hidup di bawah garis kemiskinan.Mereka menegaskan, ketimpangan itu bikin kemiskinan jadi makin dalam dan susah keluar. Kalau duit, pendidikan, dan peluang kerja cuma beredar di kalangan elite, ya si miskin cuma bisa nonton dari luar pagar. Ekonomi tumbuh sih tumbuh, tapi gak semua ikut naik kelas. Ada yang tetap ngutang buat makan, sementara yang lain nambah properti tiap tahun.Para penulis juga ngasih peringatan: jangan cuma fokus ngurangin kemiskinan doang tapi lupa sama ketimpangan. Soalnya kalau cuma kasih bantuan tanpa ubah sistem yang bikin timpang, hasilnya cuma sementara dan bisa-bisa balik lagi ke titik nol. Intinya, kemiskinan dan ketimpangan itu kayak dua sisi mata uang—gak bisa diselesaikan satu tanpa nyentuh yang lain.The Lie of Global Prosperity: How Neoliberals Distort Data to Mask Poverty and Exploitation (2020, Monthly Review Press) karya Seth Donnelly, kayak tamparan keras buat dunia yang keburu senang karena katanya kemiskinan global udah menurun drastis. Di mata Donnelly, klaim itu cuma “storytelling elite global” yang dibungkus data. Ia ngebongkar gimana lembaga-lembaga besar—terutama Bank Dunia—pakai standar ngawur kayak angka $1.90 per hari buat bilang, “Lihat! Orang miskin makin sedikit!” Padahal? Masih banyak orang hidup setengah mati.Menurut Donnelly, angka $1.90 itu bukan ukuran layak hidup—itu cuma angka buat bikin narasi kelihatan sukses. Kenyataannya, banyak orang yang secara statistik dianggap “nggak miskin lagi” tapi masih makan seadanya, tinggal di gubuk reyot, dan gak pernah ke dokter. Di negara-negara seperti Haiti, Donnelly nunjukin gimana utang, eksploitasi, dan penjajahan gaya baru tetap bikin warga menderita—walau datanya bilang “membaik”.Karya Donnelly ini bukan sekadar kritik akademik. Ia semacam seruan perang buat aktivis dan orang-orang yang gak mau dibohongi data. Donnelly ngajak kita berhenti ngeliat kemiskinan dari laporan resmi, dan mulai dengerin suara orang yang beneran ngerasain lapar dan nggak punya harapan.Donnelly nunjukin gimana para pendukung neoliberalisme itu jago banget mainin angka biar dunia kelihatan baik-baik aja. Mereka bikin cerita indah soal “kemiskinan global yang menurun,” padahal ceritanya cuma cocok buat bahan pidato elite, bukan realita di lapangan. Senjata utamanya? Garis kemiskinan global yang super rendah: cuma $1.90 per hari!Menurut Donnelly, angka itu bukan berdasarkan apa yang manusia butuhin buat hidup layak, tapi angka murahan yang gampang banget dimanipulasi. Jadi ketika laporan bilang “kemiskinan menurun,” aslinya orang-orang masih banyak yang gak bisa beli makan sehat, bayar sewa rumah, atau beli obat. Hidup masih berat, tapi gak masuk hitungan "miskin" versi data resmi.Tambah parah lagi, data itu diakali pakai trik kayak Purchasing Power Parity (PPP)—cara ngitung yang bikin biaya hidup kelihatan lebih murah dari kenyataan. Akhirnya, dunia kelihatan maju, padahal orang miskin masih dihisap habis lewat utang, kerja murah, dan perampasan sumber daya di negara-negara Global South.Dengan cara kek gitu, neoliberalis bisa bilang mereka “menang lawan kemiskinan,” padahal sistem yang bikin orang tetap miskin gak pernah disentuh. Donnelly nyebut ini sebagai propaganda data—cara licik buat matiin kritik, ngebungkam perlawanan, dan bikin kapitalisme kelihatan kayak pahlawan padahal masih jadi penjahat utama.Kritik Seth Donnelly soal gimana neoliberalis muter-muterin data kemiskinan dunia tuh ngegas banget kalau kita lihat cara Indonesia nyajiin statistik kemiskinan. Menurut Donnelly, permainan dimulai dari definisi—garis kemiskinan dibikin serendah mungkin, sampai orang yang hidupnya udah megap-megap tetap gak dianggap “miskin.” Dan ini bukan cuma trik global, tapi juga sering kejadian di negara kayak Indonesia.Di Indonesia, data kemiskinan resmi sering bilang angka turun, padahal patokan “miskin”-nya cuma berdasar kebutuhan makan dan energi yang paling dasar. Jadi pas pemerintah bilang kemiskinan menurun, rakyat cuma bisa geleng-geleng. Masih banyak orang yang gak punya air bersih, rumah layak, kerjaan tetap, atau akses kesehatan dan pendidikan—tapi secara statistik, katanya mereka “udah gak miskin.”Parahnya lagi, data yang ditampilin tuh kaku banget—cuma angka persen, rata-rata nasional, tanpa nyentuh jurang ketimpangan antar daerah, antara kota dan desa, laki-laki dan perempuan. Penderitaan itu disembunyikan di balik grafik.Kayak yang Donnelly bilang, data ini bukan sekadar angka. Ini strategi buat bikin semuanya kelihatan baik-baik aja. Ini propaganda data versi lokal—bukan bohong terang-terangan, tapi semacam kamuflase supaya kita gak nanya: “Siapa yang nentuin batas miskin? Dan siapa yang paling diuntungkan kalau kemiskinan terus dikecil-kecilin?”Data terbaru nunjukin kalau angka kemiskinan di Indonesia memang udah turun, tapi belum sesuai target yang diharapkan banget. Di bulan Maret 2024, persentase orang miskin tercatat 9,03%, turun dari 9,36% di Maret 2023, dengan total orang miskin sekitar 25,22 juta jiwa. Sampai September 2024, angka kemiskinan makin turun jadi 8,57% atau sekitar 24,06 juta orang, berkurang sekitar 3,67 juta orang dibanding sebelumnya.Penurunan ini terjadi meskipun masih ada tantangan gede banget, terutama kemiskinan ekstrem yang walaupun udah turun, tapi masih cukup tinggi dengan sekitar 6 juta orang. Pemerintah terus ngejalanin berbagai program bansos dan peningkatan penghasilan buat mempercepat penurunan kemiskinan.Intinya, orang miskin di Indonesia emang udah berkurang dalam beberapa tahun terakhir, tapi penurunannya belum maksimal dan masih ngadepin berbagai tantangan. Taapi, ada kritik juga nih, kalau garis kemiskinan yang dipake BPS beda ama standar internasional, jadi angka kemiskinan resmi mungkin belum sepenuhnya ngegambarin kondisi ekonomi real masyarakat yang masih banyak yang struggle secara finansial.BPS pake standar garis kemiskinan yang dihitung berdasarkan cost of basic needs alias kebutuhan dasar, dimana rumah tangga miskin ngeluarin duit sekitar 75% buat makan dan 25% buat kebutuhan non-makanan, dengan komposisi barang yang hampir nggak berubah sejak 1998. Garis kemiskinan ini dihitung dari pengeluaran minimum buat kebutuhan makan dan non-makan biar nggak dikategoriin miskin, misalnya di September 2024 garis kemiskinannya Rp595,242 per orang per bulan, dengan 74,5% kontribusinya dari kebutuhan makan.Sementara itu, standar internasionalnya Bank Dunia pake pendekatan Purchasing Power Parity (PPP) yang ngitung perbedaan harga kebutuhan dasar antar negara, dengan garis kemiskinan ekstrem sekitar $1,90 per hari (atau sekitar Rp12,000 per orang per hari), dan nyaranin peningkatan standar jadi $3,2 atau lebih sesuai status negara berpendapatan menengah. Standar BPS cenderung lebih rendah dibanding standar Bank Dunia karena belum sepenuhnya nyesuain komposisi pengeluaran non-makanan yang sekarang makin gede, plus belum update komoditas yang dihitung secara signifikan dari dulu.Intinya, perbedaan utamanya adalah BPS pake standar berbasis pengeluaran kebutuhan dasar dalam rupiah dengan komposisi jadul, sedangkan standar internasional pake pendekatan PPP yang lebih dinamis dan nyesuain daya beli antar negara. Ini bikin angka kemiskinan menurut BPS biasanya lebih rendah dibanding kalau dihitung pake standar internasional.Kalau pake standar internasional Bank Dunia, jumlah orang miskin di Indonesia jauh lebih banyak banget dibanding data resmi BPS. BPS nyatet tingkat kemiskinan sekitar 8,57% atau sekitar 24 juta orang per September 2024 dengan garis kemiskinan sekitar Rp595,000 per orang per bulan. Tapi, Bank Dunia make standar garis kemiskinan yang lebih tinggi berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) dan harmonisasi antar negara.Menurut kajian, kalau pake standar internasional yang lebih realistis dan setara sama negara tetangga kayak Timor Leste, tingkat kemiskinan Indonesia bisa nyampe sekitar 30% dari total populasi, jauh di atas angka resmi BPS yang cuma sekitar 8%. Ini artinya jumlah orang miskin sebenarnya bisa nyampe sekitar 80 juta orang atau lebih, bukan cuma 24 juta.Perbedaan ini terjadi karena BPS pake standar garis kemiskinan yang udah lama dan cenderung rendah, sementara Bank Dunia dan standar internasional ngitung biaya hidup dan daya beli yang lebih sesuai kondisi sekarang dan perbandingan antar negara. So, kalau pake standar internasional Bank Dunia, jumlah penduduk miskin di Indonesia bisa tiga kali lipat lebih banyak dari angka resmi BPS, yakni sekitar 30% dari populasi.Menurut Seth Donnelly, salah satu dampak paling gawat dari “propaganda data versi lokal” adalah rusaknya kesadaran publik dan matinya niat politik buat berubah. Ketika statistik resmi dimainin supaya kelihatan seolah-olah kemiskinan makin turun—padahal kenyataan di lapangan bilang sebaliknya—pemerintah jadi bebas dari tanggungjawab buat beresin akar masalah. Ini semacam ilusi kemajuan yang bikin orang gak bisa ngamuk, kritik jadi tumpul, dan kemiskinan dianggap cuma angka dalam spreadsheet, bukan darurat kemanusiaan.Narasi batil ini juga bikin solidaritas sosial makin lemah. Orang-orang yang masih hidup susah jadi kayak hantu—gak kelihatan di media, gak masuk peta kebijakan. Bukan karena disensor, tapi karena sengaja diabaikan. Kata Donnelly, makin gak kelihatan orang miskin, makin enak posisi elite: sistem eksploitatif bisa jalan terus sambil pura-pura ngasih “kemajuan.”Yang lebih ngeri, data palsu ini sering dipakai buat ngehalalin kebijakan sadis: potong bantuan sosial, cabut subsidi, jual aset publik ke swasta—all in the name of “efisiensi” atau “pertumbuhan ekonomi.” Padahal rakyat kecil makin susah.Akhirnya, Donnelly kasih warning yang tegas: kalau rakyat dibohongi tentang realitas hidup mereka sendiri, gimana mereka bisa nuntut keadilan? Disaat data berubah jadi alat sulap, kemiskinan jadi makin susah dilihat, makin susah diperjuangkan, dan sayangnya… makin gampang diabaikan.
[Bagian 2]